Kamis, 05 November 2009

Bahan Ajar Purana

BUKU AJAR PURANA





Oleh :
Ida Bagus Made Arjana







DEPARTEMEN AGAMA HINDU REPUPLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM
Jl. Pancaka No.7 B Mataram Telp. ( 0370 ) 628382. Fax. (0370 ) 628382.
2009
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Purana merupakan buku susastra Veda atau susastra Hindu yang mesti dipahami oleh setiap umat Hindu, khususnya para mahasiswa atau yang menekunkan dirinya kepada studi yang mendalam terhadap susastra Hindu. Purana dipandang sebagai sumber ajaran Hindu yang komprehensip, oleh karena itu umat Hindu umumnya wajib untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab Purana. Bahan ajar ini akan sangat membantu pengembangan wawasan keagamaan mahasiswa sesuai dengan kandungan isi dari berbagai kitab Purana yang ada.
Penyusunan bahan ajar purana ini terdiri dari beberapa bab , yaitu Bab I pada pendahuluan membahas tentang gambaran umum dari kitab-kita purana serta asfek-asfek yang dipelajari, Bab II membahas tentang pengertian, tujuan dan manfaat dari kitab-kitab Purana. Bab III membahas tentang masa disusunya kitab-kitab purana, dan Bab IV membahas tentang hubungan Purana dan kitab suci Veda. Pada Bab V menguraikan tentang Mitologi – mitologi dalam Purana dan pada Bab VI menceritakan secara singkat tentang isi dari kelompok kitab Maha Purana. Pada Bab VII atau bab terakhir disisipkan kesimpulan.
Penulisan bahan ajar ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang sipatnya membangun sangat penulis butuhkan guna penyempurnaan kerangka isi dari bahan ajar ini. Ucapan terimakasih kami ucapkan Ketua STAHN Mataram yang telah memfasilitasi pembuatan bahan ajar ini dan pada seluruhg teman-teman di STAHN Gde Pudja Mataram yang telah mendukung penulisan bahan ajar ini, sehingga selesai tepat pada waktunya.
Mataram 2009
Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………5
BAB II. PENGERTIAN, TUJUAN DAN MANFAAT PURANA……………16
A. PENGERTIAN………………………………………………………….16
B. TUJUAN…………………………………………………………………17
C. MANFAAT……………………………………………………………...17
BAB III. MASA PENYUSUNAN PURANA…………………………………..19
A. WEDA………………………………………………...…………………20
B. PURANA…………………………………………………..…………….21
C. ITIHASA………………………………………………….……………..22
BAB IV. HUBUNGAN PURANA DENGAN KITAB SUCI VEDA……...….25
A. PENGERTIAN VEDA………………………………………………….25
B. BAHASA VEDA……………………………………………………...…25
C. PEMBAGIAN ISI VEDA…………………………………………...….26
1. SRUTHI………………………………………………………....27
2. SMERTHI…………………………………………………..…...29
D. KELOMPOK UPAVEDA…………………………………..………….30
1. ITIHASA…………………………………………………………….30
2. PURANA…………………………………………………………….31
3. ARTASASTRA……………………………………………..……….32
4. AYUR VEDA……………………………………………….……….32
5. GANDARWA VEDA………………………………………….……33
BAB V. MITOLOGI DALAM PURANA……………………………………..34
A. KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN…………………………35
B. KOSMOLOGI…………………………………………………………..37
C. DUNIA…………………………………………………………………..38
D. MAKHLUK SPIRITUAL……………………………………………...39
E. RAJA DAN KSATRIA…………………………………………………41
F. KISAH LEGENDARIS…………………………………………...……47
BAB. VII. GARIS BESAR CERITA MAHA PURANA……………………..50
BAB VII. KESIMPULAN .................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN
Purana juga dikenal dengan nama “pancama Veda” yaitu Veda kelima karena kitab ini memberikan penjelasan ajaran Veda di dalam bentuk cerita yang sangat mudah dipahami oleh masyarakat umum khususnya di jaman Kali yuga ini. Di dalam bahasa sansekerta, kata purana berarti “tua atau kuno”. Dalam hal ini kata purana berarti kitab yang menguraikan suatu kejadian di masa lampau yang disajikan di dalam bentuk cerita dan ajaran ajaran mulia kemanusiaan. Jika ditinjau dari pengertian puitis, kata purana juga bisa diambil dari kata ”purä –nawa” ( kuno-baru ). Denga kata lain purana adalah suatu kitab yang menguraikan suatu kejadian yang telah terjadi dimasa lampau di dalam bentuk cerita yang berisi ajaran-ajaran yang sesuai dengan ajaran Veda yang selalu baru dan bersifat segar serta tidak pernah membosankan. Selalu segar dan tidak pernah membosankan maksudnya adalah meskipun jika cerita ini didengarkan atau diceritakan berulang kali, namu kisah kisah di dalam purana selalu akan menarik karena didalam kisah tersebut terkandung nilai rohani yang sangat kuat dan memberikan kepuasan kepada sang roh yang bersemayam di dalam badan.
Secara umum, ketika seseorang membaca atau mendengarkan sebuah novel material atau menulis novel material, facta telah membuktikan bahwa novel tersebut suatu hari akan membosankan si pembaca sehinga pada akhirnya hilang tanpa jejak. Maksimal novel novel seperti itu akan tenar atau tersedia di pasaran selama 100 tahun atau mungkin sedikit lebih dan setelah itu tidak akan laku lagi alias kadaluwarsa. Tetapi purana, meskipun sudah dibacakan dan di dengar oleh orang orang sejak beribu ribu tahun silam, namun kisah di dalam purana tidak pernah membosankan para pembaca yang serius untuk mempelajari Purana. Mereka yang dengan serius untuk mempelajari purana dibawah bimbingan yang benar akan selalu mendapat keinsapan baru yang dikupas dari kalimat kalimat di dalam purana. Keinsapan baru bukan berarti menemukan teori baru seperti para ilmuwan modern tetapi suatu hal yang sebenarnya sudah ada namun belum pernah dirasakan atau dipahami oleh si pembaca. Hal ini disebabkan oleh kekuatan rohani sang penulis.
Selain itu, hal yang paling utama yang menyebabkan purana tidak pernah kadaluwarsa adalah karena cerita ini mengandung kegiatan Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu bersifat segar dan baru. Meskipun yang maha kuasa merupakan kepribadian tertua atau orang pertama yang ada di alam semesta namun beliau selalu segar. Di dalam kitab Brahma samhita diuraikan “advaitam acyutam anädim ananta-rüpam ädyam puräna-purusam nava-yauvanam ca.” “Beliau adalah tiada duanya, tidak pernah gagal, tanpa awal, yang memiliki bentuk yang tak terhinga, awal dari segala sesuatu dan Meskipun beliau adalah kepribadian tertua (purana purusa) namun beliau selalu segar dan kelihatan muda (nava yauvanam). Berdasarkan beberapa sumber termasuk kamus ‘amara kosa’, secara umum purana menguraikan 10 pokok bahasan namun ada beberapa purana yang hanya menguraikan 5 dari sepuluh pokok bahasan tersebut. Menurut Matsya Purana bab 53 ayat 65, suatu kitab bisa disebut sebagai purana jika kitab tersebut menguraikan paling tidak lima pokok bahasan sebagai berikut :
“sargas ca pratisargas ca,
vamso manvantaräni ca,
vamsyänucaritam caiva
puränam panca-laksanam”
Lima pokok bahasan yang memenuhi syarat sebagai purana adalah :
1. Proses ciptaan ( sargah )
2. Peleburan ( pratisargah )
3. Silsilah keturunan raja raja yang mulia (vamsah )
4. Masa pemerintahan para manu (manvantara )
5. Kegiatan para raja yang agung ( vamsya anucarita )
Ketika kitab menguraikan kelima pokok bahasan, maka kitab tersebut bisa dimasukan kedalam katagori upa-purana. Jika sebuah purana mengandung lebih dari lima pokok bahasan ini, yaitu sepuluh pokok bahasan maka purana tersebut digolongkan kedalam golongan maha-purana. Sepuluh pokok bahasan purana diuraikan didalam Srimad Bhagavata Purana skanda dua belas bab tujuh sloka sembilan dan sepuluh sebagai berikut:
“sargo ’syätha visargas ca vrtti-raksantaräni ca vamso vamsänucaritam
samsthä hetur apäsrayah dasabhir laksanair yuktam puränam tad-vido viduh kecit panca-vidham brahman mahad-alpa-vyavasthayä”
artinya :
“Oh Brahmana, para otoritas dalam sastra mengerti bahwa purana mengandung sepuluh pokok bahasan. Beberapa ahli menguraikan bahwa maha purana menguraikan sepuluh sedangkan yang menguraikan kurang dari sepuluh di sebut alpa-purana atau upa-purana. Sepuluh pokok bahasan yang disebutkan didalam sloka diatas adalah sebagai berikut:
1. Proses ciptaan alam semesta ( sargah ). Proses ciptaan ini maksudnya adalah proses ciptaan yang diciptakan oleh tuhan yang maha esa Sri Visnu atau Narayana. Pada awalnya yang ada hanya Kepribadian tuhan yang maha esa, Sri Visnu. Kemudian beliau menciptakan unsur dari alam semesta material. Saat ini yang tercipta adalah bahan bahan dari alam semesta yaitu mahat tatva termasuk panca maha bhuta.
2. Proses ciptaan kedua ( visarga ). Proses ciptaan kedua yang dimaksud disini adalah ciptaan yang dilakukan oleh Deva Brahma. Pertama tama tuhan yang maha esa Sri visnu menciptakan unsur dasar dari alam semesta ( sarga ). Beliau juga menciptakan deva brahma yang lahir dari bungan padma yang keluar dari pusar padma beliau. Karena itu Sri Visnu juga dikenal dengan nama “Padma nabha”. Kemudian deva brahma yang dikenal sebagai Vidhi ( hyang Vidhi) yang artinya makhluk hidup pertama yang diciptakan oleh yang maha kuasa, mulai merancang unsur unsur tersebut kedalam berbagai bentuk dibawah bimbingan yang maha kuasa, Sri Narayana. Seperti halnya bahan bangunan sudah disediakan oleh alam namun para arsitek mengolah bahan tesebut menjadi bentuk sebuah rumah dan sebagainya. Seperti itu pula deva brahma menciptakan alam semesta dari bahan bahan yang sudah disediakan oleh tuhan. Proses ciptaan kedua yang dilakukan oleh deva brahma yang di sini disebut Visarga.
3. Pemeliharaan dan perlindungan alam semesta beserta isinya ( Vrtti )
Setelah alam semesta diciptakan kedua kalinya atau dengan kata lain setelah alam semesta ditancang sedemikiaan rupa oleh deva brahma, maka alam semesta tersebut perlu dipelihara. Didalam kehidupan sehari hari kita mengalami bahwa untuk memelihara sesuatu adalah hal yang paling sulit. Untuk membuat dan menghancurkan adalah hal yang tidak begitu sulit tetapi untuk memelihara memerlukan keahlian dan kesabaran. Hanya tuhan yang mampu untuk memelihara, karena itu beliau mengexpansikan diri beliau sebagai Ksirodakasayi Visnu ( paratmatma ) dan memelihara semua makhluk hidup. Kepribadian tuhan dalam bentuk ini dikenal dengan nama Sri Visnu di dalam Tri Murti. Di dalam Upanisad, ada sebuah sloka yag sangat umum yang menguraikan pemeliharaan yang dilakukan oleh tuhan kepada para makhluk hidup. “ nityo nityanam cetanas cetananam eko bahunam vyadadati kaman” beliau seorang yang memenuhi keperluan dari semua makhluk hidup di dalam berbagai bentuk. Diulas dari kata narayana sendiri, kata tersebut bisa diartikan sebagai berikut, “narasya ayanam pravrttih yasmat sah iti narayanah” “Narayana adalah beliau yang merupakan tempat perlindungan ( ayana) bagi para makhluk hidup atau beliau yang merupakan sumber dari makhluk hidup.
4. Perlindungan ( posana ). Posana dengan Vrtti mempunyai kemiripan yaitu sama sama memelihara dan melindungi. Tetapi didalam hal ini, proses perlindungan yang diuraikan di dalam purana maksudya adalah perlindungan yang diberikan oleh tuhan kepada para penyembahnya yang murni. Sedangkan Vrtti merupakan perlindungan secara umum kepada setiap makhluk hidup seperti yang diuraikan di atas. Seperti misalnya Prahlada yang dilindungi oleh Sri Narasimha dari cengkraman raksasa Hiranyakasipu. Uraian ini disebut Posana di dalam purana. Kenapa perlindungan kepada penyembah murni dipisahkan dengan perlindungan secara umum karena penyembah murni memiliki peran yang sangat penting di dalam kemunculan tuhan ke bumi ini sebagai avatara. Tujuan tuhan beravatar bukan hanya untuk menegakkan dharma dan menghancurkan adharma tetapi hal yang lebih penting dari itu semua adalah untuk memuaskan keinginan penyembah beliau yang tulus dan murni.
5. Penyebab kehidupan yang berupa keinginan material (hetu)
Para makhluk hidup ( sang roh ) berkeliling dari satu badan yang satu ke badan yang lain di sebabkan oleh keinginan mereka yang material untuk menikmati di dunia mateial ini. Namun sangat disayangkan sekali bahwa dunia material ini bukanlah tempat untuk kenikmatan yang sejati bagi sang roh. Seperti halnya ikan tidak akan bisa menikmati kemewahan daratan sama halnya sang roh tidak akan bisa menikmati kemewahan hidup di dunia material karena kedudukan dasar dari sang roh adalah sebagai percikan terkecil tuhan yang maha esa seperti uraian bhagavad gita“ mama eva amsah jiva loke jiva bhuta sanatanah.” Karena itu untuk mencapai kenikmatan sejati, sang roh harus kembali pulang ke alam tuhan. Dengan kata lain, mereka harus mencapai moksa. Jadi hetu ( penyebab) mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan semua makhluk hidup yang sangat berhubungan erat dengan hukum karma phala.
6. Masa pemerintahan Manu ( manvantara/antarani). Di dalam satu kalpa ( satu hari bagi deva brahma) diuraikan terjadi pergantian manu sebanyak 14 kali. Satu hari bagi brahma diuraikan di dalam bhagavad gita sebagai berikut, sahasra-yuga-paryantamahar yad brahmano viduhrätrim yuga-sahasräntämte ‘ho-rätra-vido janäh” Berdasarkan perhitungan manusya, seribu kali perputaran jaman ( satya, treta, dvapara, kali yuga) merupakan satu hari bagi brahma. Dan satu malam juga mempunyai masa yang sama”.
Berdasarkan perhitungan di dunia ini, setiap kali yuga berlangsung selama 432.000 tahun, dvapara yuga selama 864.000 tahun, treta yuga selama 1.296.000 tahun dan satya yuga 1.728.000 tahun. Jika keempat jaman ini berputar sebanyak seribu kali maka itu merupakan satu hari bagi dewa brahma dan satu malam juga mempunyai waktu yang sama. Jika dipikirkan berdasarkan pemikiran kita yang terbatas, kelihatannya ini hanyalah sekedar suatu hayalan. Mana mungkin ada orang yang hidup sekian lama? Pemikiran seperti ini sama seperti pemikiran seekor nyamuk yang hidup selama satu mingu. Kalau misalnya kita bisa berbicara dengan si Nyamuk dan bilang bahwa kami manusya hidup 1 x 4 x 12 x 100 mingu, maka nyamuk itu ngak akan percaya dengan pembicaraan kita karena mereka tidak perah mengalami hidup sepanjang itu. Bagi kita mungkin seratus tahun sudah cukup lama tapi di planet lain, seratus tahun di bumi ini bagi mereka hannya sekejap mata. Kalkulasi dari kehidupan dewa brahma ini bukan kalkulasi oleh seorang yang berspekulasi pikiran tetapi kalkulasi yang dibenarkan oleh berbagai sastra paling tidak berdasarkan bhagavad gita yang merupakan himpunan inti sari dari semua ajaran kitab suci Veda. Berdasarkan uraian sastra yang sama, saat sekarang ini, pemerintahan berada di bawah Vaivasvata manu yang merupakan manu yang ke-7 dari empat belas manu. Uraian manu manu lainya diuraikan lebih mendalam didalam purana. Karena purana menguraikan kejadian di dalam berbagai pemerintahan manu, maka kadang kadang ada beberpa cerita yang tidak cocok antara purana yang satu dengan purana yang lain . Seperti contoh, di dalam beberapa purana mungkin diuraikan bahwa begitu pariksit dikutuk oleh brahmana Srengi, pariksit menjadi marah dan mulai membangun bangunan dari batu untuk menghindari masuknya ular taksaka sedangkan di purana lain diuraikan bahwa pariksit maharaj menerima kutukan itu dan duduk di tepi sungai Ganga mendengarkan Bhagavata purana dari Sri Sukadeva Gosvami. Menurut para acarya dan resi penerima wahyu Veda menguraikan bahwa dalam hal ini, perbedaan terjadi karena kejadian tersebut terjadi didalam waktu berbeda. Dengan demikian, kepribadian pariksit pun merupakan kepribadian berbeda antara yang satu dengan yang lain dilihat dari sudut pandang perbedaan manvantara dan perbedaan yuga. Kepribadian yang berbeda tetapi mengambil posisi yang sama. Seperti misalnya permainan drama, saat ini si A berperan sebagai pariksit dan besok si B yang berperan sebagai pariksit. Karena karakter yang berbeda maka aksi pun sedikit berbeda namun tujuan dari kemunculan kepribadian itu semua adalah sama yaitu untuk memberikan jalan kepada yang maha kuasa untuk ikut berperan di dalam suatu kejadian untuk menegakan dharma. Perbedaan seperti ini biasanya terjadi didalam purana yang berbeda judul dan biasanya tidak di dalam purana dalam satu judul.
7. Uraian dynasty raja raja yang agung dan kegiatannya ( Vamsänucarita )
Vamsanucarita adalah kisah para raja yang memerintah di berbagai tempat di bumi ini. Ini juga menyangkut keterunan dan kegiatan dari masing masing keturunan raja raja yang mulia tersebut.
8. Peleburan ( samsthä ). Ada beberapa jenis peleburan. Peleburan pertama disebut dengan kanda pralaya yaitu peleburan yang terjadi di malam hari bagi deva brahma. Saat ini peleburan yang terjadi hanya dari planet bumi sampai ke tujuh susunanan planet bagaian bawah sedangkan tujuh susunan planet keatas tidak akan terlebur. Kanda pralaya terjadi setiap malam hari brahma tiba dan kemudian setelah deva Brahma terbangun dari tidur di pagi hari ( setelah tertidur selama seribu perputaran yuga ) maka beliau melihat segala sesuatu telah terlebur dan beliau mulai menciptakan lagi bagian alam semesta yang terlebur tersebut sehinga para makhluk hidup memilik tempat untuk hidup kembali. Kemudian yang kedua adalah maha pralaya. Maha pralaya terjadi setelah deva brahma mencapai umur 100 tahun. Ketika deva brahma mencapai umur seratus tahun, maka beliau harus mengakhiri post beliau sebagai deva brahma dan kembali pulang ke alam rohani melayani kepribadian tuhan yag maha esa Sri Narayana. Sat ini terjadi peleburan seluruh alam semesta yang berada di bawah tinjauan deva brahma masing masing. Kedua peleburan bhuana agung ini dilakukan oleh deva siva yang berfungsi sebagai pelebur di dalam Tri Murti.
Itu merupakan peleburan di dalam bhuana agung alam semesta. Kemudian purana juga menguraikan peleburan bhuana alit yang juga dibagi menjadi dua. Peleburan pertama ( khanda pralaya bagi bhuana alit ) adalah perpindahan sang roh dari masa kanak kanak ke masak devasa dan ke masa tua. Berdasarkan sastra, perubahan ini termasuk kedalam katagory perpindahan badan karena badan yang sebelumnya sudah diangap meningal. Hal ini bahkan dibuktikan oleh para ilmuwan secara ilmiah bahwa setiap 7 tahun, tidak satu sel pun yang menyusun badan kita masih hidup. Dengan demikian sel penyusun badan kita yang sekarang adalah berbeda dengan sel penyusun badan kita tujuh tahun yang lalu. Srimad Bhagavad gita juga menguraikan ”dehino ’smin yathä dehe
kaumäraà yauvanaà jarä tathä dehäntara-präptir dhéras tatra na muhyati
“ sang roh yang berada di dalam badan secara terus menerus berpindah dari masa kanak kanak ke masa remaja dan dari masa remaja ke usia tua. Sama halnya, sang roh juga berpindah dari badan yang satu ke badan yang lain setelah meningal. Orang bijaksana tidak terbingungkan oleh perganttian seperti ini”. Kemudian maha pralaya bagi bhuana alit adalah seperti bagian terakhir dari sloka di atas yaitu perpindahan dari satu badan ke badan yang lain setelah meninggal dunia. Sang roh akan menerima badan sesuai dengan keinginan yang mereka kembangkan selama berada di badan sebelumnya. Maka dari itu ada proses punar janma. Kadang kadang sang roh menerima badan binatang, kadang kadang menerima badan tumbuh tumbuhan dan kadang kadang menerima badan manusya dan bahkan kadang kadang sebagai apsara dan gandharva ( bidadari bidadara ) dan bahkan kadang kadang sebagai para deva. Ini terantung pada perkembangan keinginan dan aktivitas di dalam badan sebelumnya. Namun di dalam hal ini, badan halus yang sama ( Pikiran, kecedasan dan ego ) masih selalu bersama sang roh di dalam setiap badan. Yang terlebur hanyalah badan kasar yang tersusun dari lima unsur alam.
9. Pembebasan ( mukti/moksa/samstha ). Pada dasarnya, pembebasan atau mukti juga merupakan proses peleburan (samstha ) namun di dalam level yang lebih halus. Peleburan (Samstha ) yang termasuk kedalam katagory moksa adalah peleburan yang terjadi pada badan kasar dan badan halus. Dengan demikian sang roh mencapai kedudukannya yang sejati. Sastra menguraikan “ muktir hitva anyatha rupa svarupena samasthitih”, mukti adalah proses dimana seseorang meningalkan berbagai bentuk badan di dunia material ini ( anyatha rupa ) dan mengambil bentuk sejatinya di dunia rohani ( sva-rupa ). Kedudukan sang roh yang sejati di dunia rohani adalah sebagai pelayan yang maha kuasa, Sri Narayana. Ada berbagai rasa yang bisa dikembangkan di dalam hubungan seseorang denga tuhan.
Moksa bukan hanya berarti menyatu dengan tuhan. Menyatu dengan tuhan adalah pengertian yang masih dangkal tentang moksa atau dengan kata lain tahapan tersebut adalah tahapan awal dari moksa. Menyatu dengan tuhan maksudnya adalah menyatu dengan brahma Jyoti ( sinar suci tuhan). Kalau kita berbicara tentang sinar suci, maka mesti juga mengacu pada sumber dari sinar suci tersebut yang juga merupakan kepribadian yang maha suci. Kepribadian berarti berbentuk pribadi bukan tanpa bentuk. Seperti sinar matahari, adanya sinar matahari karena adanya bola matahari. Sama halnya adanya sinar suci maka mesti ada sumber yang berbentuk yang bersifat suci. Menyatu dengan brahman adalah awalan dari kesempurnaan di dalam kehidupan rohani. Kesempurnaan tertingi di dalam kehidupan rohani adalah kembali ke dalam bentuk sejati ( svarupena samasthitih) dan melakukan pengabdian kepada yag maha kuasa. Ketika seseorang kembali ke dunia rohani atau alam tuhan maka mereka tidak akan kembali lagi ke dunia material ini yang penuh dengan penderiataan sedangkan kalau seseorang yang hanya mencapai tingkatan menyatu dengan brahman ( sinar suci tuhan ) masih ada kemungkinan seseorang untuk kembali ke dunia material ini. Tingkatan brahman, seseorang hanya akan mencapai sifat “Sat” yang berarti kekal, namun sifat “cid dan ananda” ( pengetahuan dan kebahagian ) hanya akan bisa dicapai di dalam alam rohani bukan di dalam sinar suci. Sastra juga menguraikan bahwa moksa merupakan tujuan dari dharma. “ moksa artham jagadhitaya ca iti drama
10. Tempat perlindungan yang utama (apasraya). Apasraya atau juga kadang kadang di sebut dengan ‘asraya’ merupakan pokok bahasasan yang paling penting di dalam semua purana karena ini merupakan tujuan kehidupan rohani. Tempat perlindungan yang paling tingi adalah kepribadian tuhan yang maha esa. Srimad Bhagavata Purana skanda kedua bab sepuluh sloka nomber tujuh menguraikan: äbhäsas ca nirodhas ca, yato ’sty adhyavasiyate, sa äsrayah param brama, paramätmeti sabdyate
“ kepribadian yang satu yang dikenal sebagai kepribadian yang paling utama atau roh yang utama yag bersemayam di dalam hati setiap makhluk hidup merupakan sumber dari seluruh manifestasi semesta, juga sebagai wadah alam semesta serta sebagai akhir dari alam semesta. Dengan demikian beliau adalah sumber asli yang utama dan merupakan kebenaran mutlak”. Di dalam veda diuraikan bahwa kepribadian yang merupakan sumber segala sesuatu adalah Narayana. Urian tersebut adalah sebagai berikut: candramä manaso jätas caksoh süryo ajäyata; sroträdayas ca pränas ca mukhäd agnir ajäyata; näräyanäd brahmä jäyate, näräyanäd rudro jäyate, näräyanät prajäpatih jäyate, näräyanäd indro jäyate, näräyanäd astau vasavo jäyante, näräyanäd ekädasa rudrä jäyante.
” Deva bulan, candra, berasal dari pikiran Narayana. Deva matahari, Surya, berasal dari mata padma Sri Narayana, deva pengontrol pendengaran dan nafas kehidupan berasal dari Narayana. Deva api, Agni, berasal dari mulut padma Narayana, Prajapati dan deva brahma berasal dari Narayana, Indra berasal dari Narayana, delapan vasu berasal dari Narayana,sebelas rudra yang merupakan inkarnasi dari deva siva berasal dari Narayana, dua belas aditya juga berasal dari narayana”.
Uraian lain dari bagian kitab atharva veda juga mendukung pernyataan tersebut diatas sebagai berikut: narayana evedam sarvam yad bhutam yac ca bhavyam niskalanko niranjano nirvikalpo nirakhyatah
suddho deva eko narayanah na dvitiyo’sti kascit sa visnur eva bhavati sa visnur eva bhavati ya evam veda ity upanisat Jadi berdasarkan sumber sumber diatas, menjelaskan dengan sangat jelas bahwa Narayana adalah sumber segala sesuatu yang merupakan kepribadian yang paling utama, kepribadian tuhan yang maha esa yang dikenal dengan sebutan ‘brahman’ oleh para yogi, ‘paramatma’ oleh para jnani dan ‘bhagavan’ oleh para bhakti yogi. Ini merupakan keputusan dan kesimpulan kitab suci yang otentik. Pernyataan apapun yang dinyatakan tanpa dasar sastra maka pernyataan tersebut tidak bisa dipakai dasar argument karena pernyataan tersebut sudah pasti memiliki kekurangan karena orang yang berpendapat sendiri tidak sempurna. Namun sastra Veda dan berbagai suplementnya merupakan sabda brahman atau merupakan wahyu tuhan yang ditulis oleh para resi yang mulia seperti Maha resi Vyasadeva dan lain lain.


















BAB II
PENGERTIAN, TUJUAN DAN MANFAAT KITAB PURANA
A. Pengertian
Purana berarti "cerita zaman dulu") adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti sejarah kuno atau cerita kuno. Purana-purana adalah kitab yang berisi cerita-cerita keagamaan yang menjelaskan tentang kebenaran. kisah-kisah ini diceritakan kepada orang kebanyakan supaya mereka mengerti kebenaran-kebenaran dari kehidupan yang lebih tinggi. Misteri alam semesta diungkapkan kepada orang-orang yang secara spiritual sudah bangun tapi kepada yang lain misteri-misteri itu harus dijelaskan dalam cerita kiasan Berdasarkan catatan ini, Purana-Purana itu dapat dikatakan Weda-Weda dari orang kebanyakan, karena kitab-kitab itu menyajikan seluruh misteri melalui mitos dan legenda.
Kata Purana berarti "purba" (ancient). Purana-Purana itu selalu menekankan bhakti kepada Tuhan. Hampir semua Purana berkaitan dengan penciptaan dan penghancuran alam semesta, garis keturunan atau asal-usul (genealogi) dari dewa-dewa dan para orang suci, dan rincian mengenai dinasti Bulan (Lunar) dan Matahari (Solar). Beberapa dari Purana-Purana itu, seperti Mahabbhagawatam, mempunyai penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang .
Diantara sejumlah besar Purana-Purana itu, delapan belas disebut Purana Besar atau Maha Purana. Masing-masing dari padanya menyediakan satu daftar dari kedelapan belas Purana termasuk dirinya sendiri, tapi nama-nama dalam daftar itu dalam beberapa Purana sedikit bervariasi, oleh karena itu kita mempunyai satu daftar dari duapuluh Maha Purana. Dari duapuluh Purana ini, enam ditujukan kepada Wishnu, enam kepada Siwa dan enam kepada Brahma. Purana-Purana ini ditulis dalam bentuk "tanya jawab." Mereka umumnya berisi kisah-kisah mengenai Dewa dan Dewi Hindu, mahluk supernatural, orang suci dan manusia biasa. Purana-Purana ini tidak memiliki catatan waktu kapan ia ditulis, tapi beberapa orang mengatakan Purana-Purana itu ditulis mulai abad enam.
B. Tujuan
Swami Sivananda dalam bkunya All About Hinduism yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judul Intisati Agama Hindu (1993:26) menyebutkan tujuan dari kitab Purana antara lain :
1. Mempopulerkan ajaran agama yang bersumber dari Veda
2. Memudahkan diserapnya ajaran suci Veda oleh Amat yang awam, untuk membangkitkan mereka akan rasa bhakti lepada para dewata melelui contoh-contoh kongrit, mitos, cerita-cerita, legenda, kehidupan rang-orang suci, para raja dan orang-orang besar, cerita kias dan rangkaian sejarah dari kejadian-kejadian besar.
3. Untuk melukiskan prinsip-prinsip agama yang abadi.
4. Untuk meghantarkan seseorang mencapai kesempurnaan sejati.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tujuan disusunnya kitab Purana pada hakekatnya sama dengan tujuan agama Hindu yaitu untuk mencapai jagadhita (kesejahteraan jasmani) dan moksa (kebahagiaan spiritual yang abadi)
C. Manfaat
1. Pustaka ( literary significance) Dari sudut pandang pustaka, kitab itihasa dan purana mengandung makna yang sangay penting. hampir semua pengarang(rakawi) Sangat tergantung dan mendapat infiráis dari karya sastra ini. Artinya semua karya sastra yang dibuat tidak terlepas dari karakter Itihasa dan Purana
2. Sebagai Ensiklopedi. Kitab Itihasa dan Purana merupakan ensiklopedi abadi yang tidak kan pernah mati tertelan jaman serta merupakan dokumen social keagamaan pada masa lalu yang didalamnya dapat ditemukan segala jenis pengetahuan, baik yang sifatnya sains maupun spitirual.
3. Sejarah (historical significance).Data yang diungkapka dalam karya sastra diatas Sangay penting bagi penyusunan sejarah. Hal ini dapat dibuktikan dari silsilah raja-raja, seperti candrawamsa yang menurunkan pandada dan korawa yang merupakan keturunan dari dinasty kuru yang hidup di India utara ribuan tahun yang lalu.
4. Kebudayaan (Culture significance). kitab itihasa dan purana merupakan potret yang asli dari kebudayaan dan peradaban umat manusia.
5. Agama (religión significance). Kitab Itihada dan Purana merupakan Veda kelima yang disebutkan dalam Candogya Upanisad VII.1.2 yang berbunyi “itihasapuranam pancamam vedanam vedam”
6. Social ( social significance). Ajaran kitab Itihasa dan Purana mengandung ilmuilmu social ( social sciences) baik yang berkaitan dengan moralitas, pendidikan, seksualitas dan lanilla yang dapat dikaji secara lebih mendalam.
7. Politik (political science) dalam kitab ini memuat ilmu-ilmu ekonomi dan politik yang hubungannya dengan kesejahteraan manusia yang didasari dengan drama.
8. Geografi (geografical significance). dalam kitab Itihasa dan Purana juga dijumpai ilmu pengetahuan tentang geografi, seperti ilmu topografi dan lain-lain
Berdasarkan kutipan tersebut, maka kitab purana mempunyai peranan dan manfaat yang Sangay besar dalam khasanah Veda dan susastra Hindu dan menjadi rujukan bagi para sarjana untuk lebih mengkaji secara lengkap.





BAB III
MASA PENYUSUNAN PURANA

Pustaka Suci Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purāna serta epos: Rāmāyaṇa dan Mahābhārata. Bhagavad Gītā adalah ajaran yang dimuat dalam Mahābhārata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sektarian. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti. Sruti berarti “yang didengar” atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Veda, Upanishad, dan Bhagavad Gītā. Dalam perkembangannya, Veda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Rigveda dan Isa Upanishad. Kitab Veda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah 108. Smerti berarti “yang diingat” atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan budaya manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti

A. Veda
Veda (Sansekerta: Vid, "ilmu pengetahuan") adalah sastra suci agama Hindu yang juga dikenal dengan Sanatana Dharma, yang merupakan kumpulan sastra-sastra kuno dari India kuno, yang jumlahnya sangat banyak dan luas. Weda termasuk dalam śruti (yang didengar), karena merupakan wahyu dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia, yang masih ada hingga saat ini. Pada masa awal turunnya wahyu, Weda diturunkan/diajarkan dengan sistem lisan — pengajaran dari mulut ke mulut, yang mana pada masa itu tulisan belum ditemukan — dari Guru ke Siswa. Setelah tulisan ditemukan, para Rsi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan. Weda bersifat apaurusheya, karena berasal dari wahyu, tidak dikarang oleh manusia, dan abadi. Maharsi Vyasa, menyusun kembali Weda dan membagi Weda menjadi empat bagian utama yaitu: Rgveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda, pada masa awal Kali Yuga.
Veda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Veda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Veda berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu dari kata “vid” (Wid) yang berarti tahu. Kata Veda berarti “pengetahuan”. Para nabi yang menerima wahyu Veda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Sapta Maharsi atau Sapta Rsi. Ketujuh nabi tersebut yakni: Rsi Grtsamada, Rsi Wasistha, Rsi Atri, Rsi Wiswamitra, Rsi Wamadewa, Rsi Bharadwaja.,Rsi Kanwa.
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada para maharsi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Nabi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan nabi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Rsi Vyāsa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumanta.. Setelah penyusunan dilakukan, ayat-ayat tersebut. dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Veda. Sesuai dengan isinya, Veda terbagi menjadi empat, yaitu: Rigveda Samhita, Ayurveda Samhita. Samaveda Samhita. Atharvaveda Samhita
Keempat kitab tersebut disebut “Catur Veda Samhita”. Selain keempat Veda tersebut, Bhagavad Gītā yang merupakan intisari ajaran Veda disebut sebagai Veda yang kelima.,Bhagavad Gītā.
Bhagavad Gītā merupakan suatu bagian dari kitab Bhismaparwa, yakni kitab keenam dari seri Astadasaparwa kitab Mahābhārata, yang berisi percakapan antara Sri Kresna dengan Arjuna menjelang Bharatayuddha terjadi. Diceritakan bahwa Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan Dinasti Kuru jika Bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega untuk membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama.
Kresna yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang ksatria agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagavad Gītā..Bhagavad Gītā terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Veda.
B. Purana
Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti sejarah kuno atau cerita kuno. Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai pada tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut “Mahapurana”. Delapan belas kitab tersebut yakni :
1. Matsyapurana
2. Wisnupurana
3. Bhagawatapurana
4. Warahapurana
5. Wamanapurana
6. Markandeyapurana
7. Wayupurana
8. Agnipurana
9. Naradapurana
10. Garudapurana
11. Linggapurana
12. Padmapurana
13. Skandapurana
14. Bhawisyapurana
15. Brahmapurana
16. Brahmandapurana
17.Brahmawaiwartapuran
18. Kurmapurana

C. Itihāsa

Itihāsa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah-kisah epik/kepahlawanan para Raja dan ksatria Hindu di masa lampau dan dibumbui oleh filsafat agama, mitologi, dan makhluk supernatural. Kata Itihāsa terdiri dari tiga suku kata, yaitu: iti-ha-sa, yang berarti “kejadian itu sesungguhnya begitu nyata”. Kitab Itihāsa disusun oleh para Rsi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Rsi Walmiki dan Rsi Vyāsa. Itihāsa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahābhārata.
Selain kitab Veda, Bhagavad Gītā, Upanishad, Purana dan Itihāsa, agama Hindu mengenal berbagai kitab lainnya seperti misalnya: Tantra, Jyotisha, Darsana, Salwa Sutra, Niti Sastra, Kalpa, Chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut tergolong ke dalam kitab Smerti karena memuat ajaran astroniomi, ilmu hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan, ilmu bangunan dan pertukangan, dan lain-lain.
Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing sekte dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan pura dan peletakkan citra (arca). Kitab Niti Sastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.
Dikisahkan setelah menyusun MahaBharata Weda Vyasa yang ke 28 ( Maharsi Khrisna Dvipayana ) menyusun 18 Mahapurana dan 18 Upapurana ( seperti halnya kitabVeda (Sruti; catur Veda.) Purana disusun dalam tulisan jauh setelah kisah tersebut berkembang, sehingga tiap Purana banyak ditemukan Versinya ) Keseluruhan Mahapurana terdiri atas ± empat Laksa (400.000) Sloka. Dan Krsna Dvipayana dipercaya sebagai penyusunnya ( ada lagi kepercayaan bahwa Mahapurana yang disusun oleh Vedavyasa mempunyai satu crore Sloka, karena jumlah tersebut sangat sulit untuk dibaca oleh manusia biasa, beliau merangkum purana purana tersebut dalam empat laksa Sloka saja; Siva Purana ). Atau dengan kata lain Vedavyasa telah menyusun suatu Purana asli yang dikenal dengan nama Purana Samhita, beliau kemudian mengajarkan Purana ini kepada muridnya Lomaharsana atau Romaharsana yang kemudian menceritakan Purana Samhita itu kepada umum, dari cerita Lomaharsana tersebut terbetuklah Mahapurana tersebut;
Roma ( rambut ) Harsana ( bergetar ), setiap orang yang mendengar cerita Romaharsana membuat bulu tubuh (bulu roma ) orang yang mendengarkannya berdiri karena terpengaruh oleh indah, seram dan sebagainya dari cerita Purana beliau. Dengan demikian dinyatakan bahwa Purana tidak disusun oleh seorang pun pengarang lain, pada setiap kurun waktu. Hanya saja beberapa pengarang telah menambahkan cerita dan embel embel hingga naskah ini berkembang lebh banyak jadi sangatlah mungkin beberapa bagian Puranan disusun sekitar 500 tahun sebelum masehi
Kebanyakan Sarjana Menyetujui bahwa Mahapurana disusun dalam bentuk akhir antara 1000-300 tahun sebelum masehi.
Karakter Purana itu sendiri yg dalam penjabarannya akan selalu mengagungkan salah satu Dewa Trimurti ( mengingat dalam manusia dipengaruhi 3 sifat dasar Tri Guna : satwam = kebaikan Rajas= Nafsu/gairah Tamas= kegelapan (kebodohan), Rajasika Purana : Mengagungkan Dewa Brahma, Sattwika Puranan : Mengagungkan Vishnu. Tamasika Purana : Mengagungkan Shiva. Hal yang menarik dalam Purana adalah satu Purana dengan Purana yang lain mengisahkan peristiwa yang sama dengan versi yang berbeda ( sepintas seperti kontradiksi, namun sebenarnya mengajarkan kita untuk menilai dan menganalisa sesuatu dari sudut pandang yg berbeda. Kedelapanbelas Mahapurana masing-masing :
1. Rajasika Puranas : Brahma Purana 9.000, Brahmānda Purana 18.000
Brahma Vaivarta Purana 18.000. Mārkandeya Purana 9.000. Bhavishya Purana 14.000. Vāmana Purana 10.000
2. Sattwika Puranas : Vishnu Purana 23.000 , Bhagavata Purana 18.000
Nārada Purana 25.000, Garuda Purana 19.000. Padma Purana 55.000
Varaha Purana 24.000
3. Tamasika Puranas : Shiva Purana 24.000, Vāyu purana 24.000
Skanda Purana 81.000, Agni Purana 15.000 , Matsya Purana 15.000
Kūrma purana 17.000











BAB IV
HUBUNGAN PURANA DAN KITAB SUCI VEDA
A. Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
B. Bahasa Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

C. Pembagian dan Isi Weda
Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.
Srutistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai smerth,te sarrtheswamimamsye tabhyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).
Artinya:Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)
Weda khilo dharma mulamsmrti sile ca tad widam,acarasca iwa sadhunamatmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).
Artinya:Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).
Srutir wedah samakhyatodharmasastram tu wai smrth,te sarwatheswam imamsyetabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).
Artinya:Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu. Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut:
a. Sruti
Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:
1) Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.
Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.
2) Sama Weda Samhita.
Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.
3).Yajur Weda Samhita.
Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.
4) Atharwa Weda Samhita.
Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.. Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.


b. Smerthi
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda. Kelompok Wedangga: Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:
1). Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta rendah tekanan suara.
2). Wyakarana (Tata Bahasa)
Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar.
3). Chanda (Lagu)
Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.
4). Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.
5). Jyotisa (Astronomi)
Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan yadnya.
6). Palpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang berhubungan dengan ilmu arsitektur. Kelompok Upaweda: Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga.
D. Kelompok Upaweda
1. Itihasa
Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang disusun sekitar abad ke-8. Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan keluarga Bharata dan menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti Itihasa (berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya") maka Mahabharata itu gambaran sejarah, yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran Hindu. Kitab Mahabharata meliputi 18 Parwa, yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.. Diantara parwa-parwa tersebut, terutama di dalam Bhismaparwa terdapatlah kitab Bhagavad Gita, yang amat masyur isinya adalah wejangan Sri Krsna kepada Arjuna tentang ajaran filsafat yang amat tinggi.
2. Purana
Merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara, cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian hukum yang pernah di jalankan. Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.
3) Arthasastra
Adalah jenis ilmu pemerintahan negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu, jenis ilmu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau pula Dandaniti. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan ke dalam jenis ini adalah kitab Usana, Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Ada beberapa Acarya terkenal di bidang Nitisastra adalah Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan Rsi Canakya.
4) Ayur Weda
Adalah kitab yang menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Ayur Weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena demikian, maka luas lingkup ajaran yang dikodifikasikan di dalam Ayur Weda meliputi bidang yang amat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Menurut isinya, Ayur Weda meliptui delapan bidang ilmu, yaitu ilmu bedah, ilmu penyakit, ilmu obat-obatan, ilmu psikotherapy, ilmu pendiudikan anak-anak (ilmu jiwa anak), ilmu toksikologi, ilmu mujizat dan ilmu jiwa remaja. Disamping Ayur Weda, ada pula kitab Caraka Samhita yang ditulis oleh Maharsi Punarwasu. Kitab inipun memuat delapan bidan ajaran (ilmu), yakni Ilmu pengobatan, Ilmu mengenai berbagai jens penyakit yang umum, ilmu pathologi, ilmu anatomi dan embriologi, ilmu diagnosis dan pragnosis, pokok-pokok ilmu therapy, Kalpasthana dan Siddhistana. Kitab yang sejenis pula dengan Ayurweda, adalah kitab Yogasara dan Yogasastra. Kitab ini ditulis oleh Bhagawan Nagaryuna. isinya memuat pokok-pokok ilmu yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya dalam pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.

5) Gandharwaweda
Adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang ilmu seni. Ada beberapa buku penting yang termasuk Gandharwaweda ini adalah Natyasastra (yang meliputi Natyawedagama dan Dewadasasahasri), Rasarnawa, Rasaratnasamuscaya dan lain-lain. Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa kelompok Weda Smerti meliptui banyak buku dan kodifikasinya menurut jenis bidang-bidang tertentu. Ditambah lagi kitab-kitab agama misalnya Saiwa Agama, Vaisnawa Agama dan Sakta Agama dan kitab-kitab Darsana yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta. Kedua terakhir ini termasuk golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad. Dengan uraian ini kiranya dapat diperkirakan betapa luasnya Weda itu, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalam ajaran Weda, yang perlu adalah disiplin ilmu, karena tiap ilmu akan menunjuk pada satu aspek dengan sumber-sumber yang pasti pula. Hal inilah yang perlu diperhatikan dan dihayati untuk dapat mengenal isi Weda secara sempurna.









BAB V
MITOLOGI DALAM PURANA
Mitologi Hindu adalah suatu istilah yang digunakan oleh para sarjana masa kini kepada kesusastraan Hindu yang luas, yang menjabarkan dan menceritakan tentang kehidupan tokoh-tokoh legendaris, Dewa-Dewi, makhluk supernatural, dan inkarnasi Tuhan yang dijelaskan dengan panjang lebar dalam aliran filsafat dan ilmu akhlak. Mitologi Hindu juga menjabarkan kisah-kisah kepahlawanan sebagai sejarah India masa lampau, seperti Ramayana dan Mahabharata.
Cerita-cerita dalam mitologi Hindu terjalin dalam empat jenjang zaman yang disebut Catur Yuga. Masing-masing Yuga memiliki karakter yang berbeda. Berbagai legenda, kisah tentang Dewa-Dewi dan awatara diyakini terjadi pada zaman yang berbeda-beda pula. Cerita itu dapat disimak dalam kesusastraan Hindu. Kesusastraan mitologi Hindu terjalin oleh etos agama Weda kuno dan kebudayaan Weda, dan cerita-cerita tersebut didasari oleh sistem filsafat Hindu.
Akar dari segala mitologi Hindu dan cerita-cerita keagamaannya berasal dari kebudayaan Weda, dan merupakan agama kuno yang berkembang pada saat Weda muncul. Weda berjumlah empat, yaitu: Rigweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Di samping itu, terdapat bagian-bagian dalam tubuh Weda yang luas, dan merupakan kitab-kitab tersendiri, seperti Jyotisha, Purana, Itihasa, Niti Sastra, Sulwa Sutra, Tantra, Darsana, dan lain-lain. Ajaran yang terkandung dalam bagian tubuh Weda tersebut adalah: filsafat, teologi, astronomi, ilmu tata negara, cerita keagamaan, dan biografi tokoh-tokoh masa lampau. Ajaran tersebut menjadi dasar kepercayaan dan peradaban agama Hindu dan memberikannya beragam mitologi.
Kitab yang memuat cerita keagamaan, seperti Purana dan Itihāsa, sangat terkenal sebagai sumber mitologi Hindu yang utama. Kitab Purana merupakan kitab yang memuat legenda Hindu dan kisah-kisah makhluk supernatural (Dewa, Asura, Detya, Raksasa, Yaksa, dan lain-lain) dalam kaitannya dengan kejadian di alam semesta. Kitab Purana banyak sekali jenisnya. Masing-masing kitab menceritakan tokoh-tokoh Hindu (Raja-Raja kuno, para resi), dewa-dewi, inkarnasi Tuhan (awatara), dan legenda.
Selain Purana, ada kitab yang disebut Itihasa. Itihasa adalah kitab yang memuat tentang kisah kepahlawanan (epos atau wiracarita) dan diyakini memiliki hubungan dengan sejarah India. Kisah kepahlawanan tersebut adalah Ramayana dan Mahabharata. Kisah tersebut dihimpun oleh para Maharesi yang terkenal, yakni Resi Walmiki dan Resi Byasa. Berbagai sudut pandang muncul akan kebenaran kisah yang terjadi dalam Itihasa. Sebagian orang meyakini bahwa kisah dalam Itihāsa merupakan fakta sejarah, sementara yang lain menganggap bahwa cerita tersebut hanyalah karangan, atau suatu cerita kiasan, bahwa kejahatan selalu kalah oleh kebajikan.
A. Kemunculan dan perkembangan
Mitologi Hindu umurnya ribuan tahun, setua umur agama Hindu. Tahun kemunculan mitologi ini tidak pasti dan sukar diperkirakan secara tepat. Mitologi ini diyakini muncul bersamaan ketika Weda mulai berkembang di anak benua India. Pada saat itu lagu-lagu pujian pada Rig Weda (Weda pertama) mulai dinyanyikan. Lagu tersebut memuji-muji alam dan unsur-unsurnya, seperti: udara, air, petir, matahari, api, dan sebagainya. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk Dewa-Dewa yang memiliki gelar masing-masing sesuai dengan unsur alam, seperti Bayu, Baruna, Indra, Surya, Agni, dan sebagainya. Dewa-Dewi inilah yang akan menjadi bagian dari mitologi Hindu.
Menurut para sarjana masa kini, pada zaman Weda, Dewa-Dewi dalam mitologi Hindu masih dikonsepkan. Pada zaman ini, pemujaan dan mitologi mengenai Dewa-Dewa merupakan pengetahuan akan ilmu ketuhanan. Setelah zaman Weda, disusul oleh kebudayaan zaman Brahmana. Pada zaman ini, ilmu Weda dikembangkan dengan pengetahuan akan upacara keagamaan. Zaman ini ditandai dengan cenderungnya pelaksanaan upacara daripada pengajaran filsafat. Pada zaman ini mulai disusun kitab-kitab yang menceritakan tentang mitologi, legenda, kosmologi, dan sebagainya. Pada zaman Weda umat Hindu memohon anugerah dari para Dewa, sedangkan pada zaman Brahmana para Dewa memiliki kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara
Zaman Purana merupakan perkembangan dari kebudayaan terdahulu. Zaman ini merupakan masa-masa ketika mitologi Hindu dihimpun. Pada zaman tersebut, Dewa-Dewi tersebut memiliki karakter khusus dan dilukiskan secara detail. Pada zaman ini pula, terjadi kisah epos Ramayana dan Mahabharata, yang dipercaya sebagai kejadian bersejarah. Pada epos Ramayana, dikisahkan bahwa Sri Rama dan bala tentaranya membangun sebuah jembatan dari India menuju Alengka (kini Sri Lanka). Reruntuhan jembatan kuno yang menghubungkan antara India dan Sri Lanka yang kini terpendam di dasar laut dianggap dan diyakini sebagai bukti sejarahnya. Bukti arkeologi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan apakah cerita tersebut merupakan bagian dari sejarah atau mitologi belaka.
Pada zaman modern, selama agama Hindu masih memiliki penganut, mitologi Hindu masih eksis dan diceritakan, namun sebagian belum terkenal dan jarang diketahui. Mitologi Hindu mudah beradaptasi dengan budaya lokal tanpa melupakan format aslinya (Weda, Purana, Itihasa). Pada masa penyebaran agama Hindu ke wilayah Asia Tenggara, seperti: Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Nusantara (terutama Semenanjung Malaka, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali dan lain-lain), beberapa bagian dari mitologi Hindu yang asli dari India telah bercampur dengan budaya lokal dan diadaptasi agar lebih mudah dicerna. Mitologi Hindu tersebut diadaptasikan sesuai dengan kepercayaan lokal (seperti Islam, Animisme dan Dinamisme), dengan menambahkan atau mengurangi format aslinya. Di Indonesia, pada beberapa bagian dari kesusastraan Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata, adaptasi budaya dapat ditoleransi selama tidak mencemarkan atau melupakan versi aslinya. Sebagai catatan, sebagian dari mitologi Hindu yang datang ke Indonesia telah beradaptasi dengan budaya lokal.
B. Kosmologi
Dalam ajaran Hindu, gambaran mengenai keadaan awal dari alam semesta dituliskan dalam suatu lagu dalam kitab Rigweda. Di sana dikisahkan, pada mulanya, alam semesta adalah sesuatu yang kosong dan tak berbentuk. Kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Di alam semesta dahulu tidak ada sesuatu yang ada namun juga tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada bumi, matahari, bulan, planet-planet, bintang-bintang, maupun segala benda kosmik di alam semesta, namun hanya terdapat Brahman, sesuatu yang bernafas namun tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri, ia tidak terikat oleh waktu, tidak berawal namun juga tidak berakhir, tidak memiliki umur, di luar kehidupan dan kematian, yang tiada lain adalah Tuhan. Dari kekosongan yang tak beraturan itu Brahman menciptakan sesuatu yang seperti lautan luas, apakah itu merupakan air, namun dalamnya tak terhingga. Lautan tersebut merupakan kekacauan yang tak berbentuk. Dari sana munculah Hiranyagharba yang berarti "janin emas", yang mengeluarkan Brahma, yang bergelar sebagai Dewa pencipta. Dari segala hal yang tak beraturan tersebut Brahma mengaturnya kembali menjadi suatu alam semesta yang rapi dan teratur. Tidak ada yang sungguh-sungguh mengetahui kejadian apa yang sebenarnya terjadi, bahkan para Dewa sekalipun.
Dalam kitab Purana disebutkan, alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311 Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.
Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahmā meninggal, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah berhenti.
C. Dunia
Mitologi Hindu mengenal adanya empat belas dunia (bukan planet) selain bumi, yang mana tujuh dunia berada di atas, tujuh dunia lagi berada di bawah. Dunia-dunia tersebut merupakan wilayah khusus yang menjadi tempat persinggahan sementara bagi jiwa yang sudah meninggalkan raganya. Setelah mencapai dunia yang sesuai dengan karma (perbuatan) semasa hidup, jiwa dilahirkan kembali (reinkarnasi). Di antara empat belas dunia tersebut, tujuan yang tertinggi merupakan moksa, yakni filsafat Hindu yang mengatakan bahwa jiwa berada dalam keadaan bahagia, lepas dari siklus reinkarnasi, tidak terikat pada sesuatu dan tidak dipenuhi oleh berbagai nafsu, atau menyatu dengan Tuhan.
1. Dunia atas
Dalam mitologi Hindu, "Swarga" adalah dunia ketiga di antara tujuh dunia yang lebih tinggi (dunia atas). Dalam penggunaan sehari-hari, kata "Swarga" sering disamakan dengan "Sorga", dunia yang tertinggi dalam gambaran umum, tempat orang-orang hidup bahagia setelah meninggalkan dunia yang fana. Menurut agama Hindu, Swarga merupakan persinggahan sementara bagi orang-orang yang berjiwa baik sebelum bereinkarnasi.
Menurut mitologi Hindu, dunia atas merupakan dunia suci, dunia para dewa, atau kahyangan. Sesuatu yang bersifat jahat, kasar, dan nafsu duniawi (hubungan seks, arak, uang, dan sebagainya) sangat dilarang karena kebahagiaan di sana tidak diperoleh dengan pemuasan nafsu. Di sana terdapat beragam makhluk supernatural, yaitu: Dewa, Apsari, Gandharwa, Yaksa, Kinnara, dan lain-lain. Di Swarga juga tinggal penari-penari yang cantik, seperti misalnya: Urwasi, Menaka, Ramba, dan Tilottama. Tugas mereka adalah menghibur para penghuni swarga atas perintah dari Dewa Indra. Selain itu mereka juga ditugaskan untuk menguji iman para pertapa yang memohon kesaktian kepada para Dewa.
2. Dunia Bawah
Dalam mitologi Hindu, salah satu dunia yang berada di bawah disebut "Naraka" (bahasa Indonesia: Neraka), dan istilah tersebut digunakan dengan sangat terkenal. Dunia bawah dipenuhi oleh para Asura. Naraka dikuasai oleh Dewa Yama yang bergelar sebagai Raja Neraka, Dewa kematian, dan Dewa keadilan. Naraka merupakan tempat dimana jiwa seseorang diadili oleh Dewa Yama dan dihukum menurut perbuatannya semasa hidup dan setelah itu dilahirkan kembali untuk menebus kesalahan di kehidupan sebelumnya agar mendapat kesempatan untuk mencapai moksha (kebahagiaan tertinggi).
D. Makhluk Supranatural
Mitologi Hindu tak lepas dari cerita para makhluk supranatural, seperti misalnya: Dewa, Asura, Raksasa, Detya, Gandharwa, Yaksa, dan lain-lain. Makhluk supernatural yang paling terkenal adalah Dewa, Asura, dan Raksasa.
1. Dewa-Dewi
Dalam mitologi Hindu dikenal adanya Dewa-Dewi, yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan personifikasi dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan. Kepercayaan tentang dewa-dewi dalam agama Hindu sudah muncul sejak zaman Weda, yaitu pada masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-dewi banyak disebut-sebut dalam Weda sebagai makhluk di bawah derajat Tuhan. Pada zaman Weda, dewa-dewi banyak dipuja sebagai pelindung diri manusia.
Para Dewa dan Dewi tinggal menurut tempatnya masing-masing, seperti misalnya: Dewa Siwa di gunung Kailasha, Dewa Wisnu di Waikuntha, dan sebagainya. Namun, atas sifat-sifat gaib yang dimilikinya, para dewa dan dewi dapat muncul dengan cepat kapan saja dan dimana saja sesuai dengan keinginannya. Dalam kebudayaan India, penggambaran terhadap para dewa dan dewi dituangkan dalam bentuk pahatan, ukiran, dan lukisan sesuai dengan atributnya. Atribut yang dimiliki oleh para Dewa disesuaikan dengan karakternya, misalnya: Dewa Agni berambut api, Dewa Wisnu bertangan empat dan memegang cakram, Dewa Brahma berwajah empat, dan sebagainya.
2. Asura
Asura adalah bangsa Detya, kadangkala disamakan dengan raksasa atau makhluk yang jahat dalam mitologi Hindu. Mereka merupakan golongan makhluk supranatural dan memiliki sifat negatif, yakni memusuhi para Dewa. Meskipun demikian, beberapa Asura merupakan Dewa, seperti Kubera, golongan bangsa Yaksa, adalah Dewa keuangan dan kekayaan. Para Asura mengatur fenomena sosial di muka bumi seperti Baruna, Dewa air, yang juga mengatur hukum rta. Sedangkan Dewa, mengatur fenomena alam, seperti Indra, Dewa hujan, Dewa petir dan cuaca. Dalam beberapa kitab, para dewa adalah golongan bangsa yang memiliki sifat mulia sedangkan Asura sebaliknya.
3. Raksasa
Dalam mitologi Hindu, Raksasa adalah makhluk jahat atau jiwa yang bersifat jahat. Dalam bahasa Sanskerta, kata "raksasa" berarti kekejaman dan merupakan lawan kata dari "raksha" (sentosa). Mereka adalah bangsa pemakan daging manusia atau kanibal. Menurut mitologi Hindu, beberapa raksasa merupakan reinkarnasi dari orang-orang berdosa pada kehidupannya yang lampau. Meskipun bersifat jahat dan suka bertikai dengan para dewa, namun mereka juga memohon kesaktian dengan menyembah dewa tertentu, misalnya Brahma. Dalam Hindu, tidak selamanya raksasa berwujud mengerikan, mukanya sangar dan bertubuh besar. Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya raksasa, seperti misalnya: Kamsa, Duryodana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala. Tokoh-tokoh tersebut muncul dalam kisah Mahabharata. Raksasa betina disebut Rakshasi, sedangkan raksasa dalam wujud manusia disebut Manushya Raksasa.
E. Para raja dan kesatria
Mitologi Hindu tidak hanya bercerita tentang dewa-dewi dan makhluk supranatural saja, namun juga menceritakan tentang kisah para kesatria, raja-raja, dan pertempuran akbar yang digunakan untuk mengungkap sejarah masa lampau.
1. Kesatria
Dalam ajaran Hindu, Ksatria adalah golongan (warna) para bangsawan, raja-raja, kesatria dan prajurit. Mitologi Hindu tidak lepas dari kisah-kisah para kesatria. Dalam berbagai legenda Hindu, kesatria jumlahnya sangat banyak, dan yang terkenal hanya beberapa saja. Dalam kitab Purana, kesatria yang paling terkenal adalah Parasurama dan Rama. Mereka adalah awatara Wisnu. Parasurama merupakan seorang brahmana (pemuka agama) yang juga seorang kesatria. Dalam legenda, ia merupakan brahmana bersenjata kapak yang paling ditakuti kasta Ksatria. Dalam kisah Ramayana, Rama merupakan ksatria pemanah yang terkenal. Dia adalah putera Raja Dasarata, seorang keturunan Ksatria dari Dinasti Surya. Selain berperan sebagai ksatria pemanah dan putera mahkota, ia merupakan awatara ketujuh Dewa Wisnu. Pasangannya adalah Dewi Sita, yang menurut kitab Ramayana, ia diculik oleh Rahwana, Raja Alengka. Parasurama pernah menantang Rama untuk membuktikan kesaktiannya dengan membengkokkan busur Wisnu. Rama mampu melakukannya. Kemudian ia mengakui bahwa Rama merupakan awatara Wisnu.
2. Para raja kuno
Para Raja kuno dalam mitologi Hindu banyak sekali jumlahnya. Raja-raja yang disebut-sebut dalam mitologi Hindu merupakan keturunan dari beragam dinasti yang berbeda pada zaman India kuno. Menurut mitologi Hindu, maharaja yang diduga pertama kali ada di muka bumi ini adalah Manu. Ia diyakini sebagai putera Wiwaswan, Dewa matahari. Dalam kitab Purana, beliau merupakan Maharaja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah dengan membuat bahtera besar atas amanat Dewa Wisnu. Ia menurunkan ajarannya kepada Ikswaku, salah satu dari sepuluh anaknya. Ajarannya dikenal sebagai Manusmrti.
Dalam Mahabharata juga banyak disebutkan nama Raja-Raja. Raja-Raja utama dalam kisah tersebut digolongkan ke dalam dua Dinasti besar yang merupakan keturunan dari Yayati. Dua dinasti tersebut adalah Dinasti Kuru dan Dinasti Yadu. Para Raja yang termasuk dalam dinasti Kuru misalnya Santanu, Citrānggada, Pandu, Dretarastra, Yudistira, dan lain-lain. Para Raja yang termasuk dalam dinasti Yadu misalnya Basudewa, Kresna, Surasena, Hredika, dan lain-lain. Dalam Mahabharata, para putera mahkota dari Dinasti Kuru berselisih untuk menjadi penerus yang terbaik. Di lain pihak, terdapat seorang Raja dari Dinasti Yadu yang masih sekerabat dengan Dinasti Kuru, Kresna, yang akan menjadi penengah dalam perselisihan tersebut. Namun ketika konflik tak bisa dihindari lagi, dua keluarga dalam satu dinasti terpaksa harus bertarung. Akhirnya keturunan dinasti Kuru yang paling mulialah yang akan menjadi penerus tahta.
Dalam ajaran Hindu, beberapa Dewa-Dewi diyakini berinkarnasi ke dalam suatu bentuk material yang disebut awatara, seperti yang dilakukan Wisnu. Awatara dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran. Kresna sebagai perantara Tuhan Yang Maha Esa dalam Bhagawad Gita bersabda:
"Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata abhyutthānam adharmasya tadātmanam srjāmy aham paritrānāya sādhūnām vināśāya ca duskrtām dharma samsthāpanarthāya sambavāmi yuge yuge" (Bhagavad Gītā, 4.7-8)
Arti: manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia, wahai keturunan Bharata (Arjuna) untuk menyelamatkan orang-orang saleh dan membinasakan orang jahat dan menegakkan kembali kebenaran, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman
Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana. Sepuluh Awatara dari zaman ke zaman
• Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
• Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
• Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
• Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
• Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
• Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
• Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
• Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
• Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
• Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
a. Jenis-jenis Awatara
Menurut kitab-kitab purana, tak terhitung banyaknya Awatara yang pernah turun ke dunia ini. Awatara-awatara tersebut tidak selamanya merupakan “inkarnasi langsung” atau “penjelmaan langsung” dari Sang Hyang Wisnu. Beberapa Awatara diyakini memiliki “jiwa yang terberkati” atau mendapat “kekuatan Tuhan” sebagai makhluk yang terpilih.
1) Purusha Awatara: Awatara pertama Sang Hyang Wisnu yang mempengaruhi penciptaan alam semesta. Awatara tersebut yakni: Vasudeva , Sankarshan , Pradyumna , Aniruddha
2). Guna Awatara: Awatara-Awatara yang mengatur tiga macam aspek dalam diri makhluk hidup. Awatara-Awatara tersebut yakni:
• Brahmā, pengatur nafsu dan keinginan (Rajas)
• Wisnu, pengatur sifat-sifat kebaikan (Sattwam)
• Çiwa, pengatur sifat kemalasan (Tamas)
3).Lila Awatara: Awatara yang sering ditampilkan dalam kitab-kitab Purana, seperti Dasa Awatara dan Awatara lainnya. Awatara tersebut turun secara teratur ke dunia, dari zaman ke zaman untuk menjalankan misi menegakkan Dharma dan menunjukkan jalan Bhakti dan Moksha.
4). Manwantara Awatara: Awatara yang diyakini sebagai pencipta para leluhur dari umat manusia di muka bumi. (lihat: Manu)
5). Shaktyawesa Awatara: ada dua jenis – 1)makhluk yang merupakan penjelmaan Wisnu secara langsung; dan 2)makhluk diberkati yang mendapatkan kekuatan dari Wisnu. Jenis tersebut memiliki jumlah yang besar, dan merupakan Awatara yang istimewa. Awatara jenis ini, misalnya saja Narada Muni atau Sang Buddha. Awatara jenis tersebut kadang-kadang dikenal dengan sebutan Saktyamsavatar, Saktyaveshavatar atau Avesha avatar. Awatara lain yang termasuk jenis kedua, misalnya Parashurama, yang mana Dewa Wisnu tidak secara langsung menjelma. Dalam jenis yang kedua tersebut, menurut Srivaishnavism, ada dua macam lagi, yakni: 1)Wisnu memasuki jiwa makhluk yang terpilih tersebut (seperti Parashurama); 2)Wisnu tidak memasuki jiwa secara langsung, namun memberikan kekuatan suci (misalnya Vyasa, penyusun Veda).
Awatara jenis kedua tersebut tidak dipuja sebagaimana mestinya Awatara yang lain. Hanya Awatara yang merupakan penjelmaan langsung yang kini sering dipuja, seperti Narasimha, Rama, dan Sri Krishna. Menurut aliran Waisnawa, Krishna merupakan Awatara yang tertinggi di antara Awatara yang lain. Namun, pengikut Sri Chaitanya (termasuk ISKCON), Nimbarka, Vallabhacharya memiliki filsafat berbeda dengan pengikut aliran Waisnawa, seperti Ramanuja dan Madhva dan menganggap bahwa Krishna merupakan kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa, dan bukan seorang Awatara belaka. Dalam beberapa filsafat Hinduisme, tidak ada perbedaan dalam memuja Sang Hyang Wisnu ataupun Awataranya karena semua pemujaan tersebut akan menuju kepada-Nya.
b. Awatara-Awatara dalam Purana
Dalam kitab-kitab Purana, dikenal adanya 25 Awatara termasuk sepuluh Awatara yang terkenal. Awatara-Awatara tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Awatara-Awatara tersebut yakni:
1) Catursana (empat putra Brahmana)
2) Narada (sang orang bijak yang senang mengembara)
3) Waraha (sang babi hutan)
4) Matsya (sang ikan)
5) Yajna
6) Nara-Narayana (si kembar)
7) Kapila (sang pujangga)
8) Dattatreya
9) Hayagriva (sang kuda)
10) Hamsa (sang angsa)
11) Prsnigarbha
12) Rishabha (ayah Raja Bharata)
13) Prithu
14) Narasimha (sang manusia-singa)
15) Kurma (sang kura-kura)
16) Dhanvantari (ayah dari Ayurweda)
17) Mohini (wanita cantik)
18) Wamana (orang cebol)
19) Parasurama (sang ksatria)
20) Ramachandra (Raja Ayodhya)
21) Vyasa (penulis Weda)
22) Balarama (kakak Krishna)
23) Krishna (sang gembala)
24) Buddha (Siddharta Gautama)
25) Kalki (sang penghancur)
Balarama (Baladewa), kakak Sri Kresna, berdiri di dekat sungai Yamuna. Bersenjata pembajak sawah sebagai lambang pertanian. Beberapa orang meyakini bahwa filsafat Dasa Awatara menunjukkan perkembangan kehidupan dan peradaban manusia di muka bumi. Setiap Awatara merupakan lambang dari setiap perkembangan zaman yang terjadi. Matsya Awatara merupakan lambang bahwa kehidupan pertama terjadi di air. Kurma Awatara menunjukkan perkembangan selanjutnya, yakni munculnya hewan amphibi. Waraha Awatara melambangkan kehidupan selanjutnya terjadi di darat. Narasimha Awatara melambangkan dimulainya evolusi mamalia. Wamana Awatara melambangkan perkembangan makhluk yang disebut manusia namun belum sempurna. Parashurama Awatara, pertapa bersenjata kapak, melambangkan perkembangan manusia di tingkat yang sempurna. Rama Awatara melambangkan peradaban manusia untuk memulai pemerintahan. Krishna Awatara, yang mahir dalam enam puluh empat bidang pengetahuan dan kesenian melambangkan kecakapan manusia di bidang kebudayaan dan memajukan peradaban. Balarama Awatara, Kakak Kresna yang bersenjata alat pembajak sawah, melambangkan peradaban dalam bidang pertanian. Buddha Awatara, yang mendapatkan pencerahan, melambangkan kemajuan sosial manusia.
Awatara yang turun ke dunia juga memiliki makna-makna menurut zamannya: masa para Raja meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma dilindungi oleh Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga. Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia. Awatara-awatara dalam daftar di atas merupakan inkarnasi Wisnu, yang mana dalam suatu filsafat merupakan lambang dari takaran dari nilai-nilai kemasyarakatan. Istri Dewa Wisnu bernama Laksmi, Dewi kemakmuran. Kemakmuran dihasilkan oleh masyarakat, dan diusahakan agar terus berjalan seimbang. Hal tersebut dilambangkan dengan Dewi Laksmi yang berada di kaki Dewa Wisnu. Dewi Laksmi sangat setia terhadapnya.
Filsafat Catur Yuga yang merupakan masa-masa yang menjadi latar belakang turunnya suatu Awatara dideskripsikan sebagai berikut:
• Satya Yuga dilambangkan dengan seseorang membawa sebuah kendi (kamandalu)
• Treta Yuga dilambangkan dengan seseorang yang membawa sapi dan sauh
• Dwapara Yuga dilambangkan dengan seseorang membawa busur panah dan kapak
• Kali Yuga dilambangkan dengan seseorang yang sangat jelek, telanjang, dan melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Jika deskripsi di atas diamati dengan seksama, maka masing-masing zaman memiliki makna tersendiri yang mewakili perkembangan peradaban masyarakat manusia. Pada masa pertama, Satya Yuga, ada peradaban mengenai tembikar, bahasa, ritual (yajña), dan sebagainya. Pada masa yang kedua, Treta Yuga, manusia memiliki kebudayaan bertani, bercocok tanam dan beternak. Pada masa yang ketiga, manusia memiliki peradaban untuk membuat senjata karena bidang pertanian dan kemakmuran perlu dijaga. Yuga yang terakhir merupakan puncak dari kekacauan, dan akhir dari peradaban manusia.
F. Kisah legendaries
Kisah-kisah legendaris dalam mitologi Hindu dimuat dalam kitab Purana dan Itihasa (Ramayana dan Mahabharata). Kitab Purana memuat tentang kejadian-kejadian yang berhubungan dengan para Dewa, Detya, dan makhluk supranatural lain. Kisah-kisah tersebut berkembang menjadi mitologi yang menjelaskan tentang asal mula sesuatu, kejadian zaman dahulu, dan penjelmaan-penjelmaan Tuhan (Awatara). Kitab Itihasa memuat kisah-kisah ksatria dan para Raja zaman dulu, pertempuran, dan diyakini sebagai sejarah.


1. Air bah
Kisah mengenai air bah yang terkenal, terdapat dalam berbagai mitologi dari bermacam-macam kebudayaan dunia, seperti Yunani, Yahudi, dan lain-lain. Kisah tersebut juga terdapat dalam mitologi Hindu. Dalam mitologi Hindu, bencana air bah pertama kali terjadi dalam sejarah manusia pada masa Satya Yuga. Pada masa tersebut bertahtalah Maharaja Manu, seorang Raja yang bijaksana dan suci. Manu mendapat pesan dari Dewa Wisnu dalam wujud Matsya (ikan besar), agar segera membuat bahtera karena bencana air bah akan datang. Manu pun mengikuti amanat tersebut. Bahtera tersebut diisi beragam jenis binatang yang jumlahnya masing-masing sepasang (betina-jantan), dan tak lupa beliau turut menyelamatkan tumbuh-tumbuhan ke dalam bahtera.
2. Pertempuran
Kisah pertempuran dalam mitologi Hindu tidak jarang muncul dalam kitab-kitab Purana dan Itihasa. Dalam kitab-kitab tersebut, terdapat tiga macam pertempuran: pertempuran antar individu, pertempuran antara individu dengan kelompok, pertempuran antara kelompok dengan kelompok. Dalam filsafat Hindu, pertempuran adalah jalan terakhir yang ditempuh jika usul perdamaian tidak ditanggapi atau jika kejahatan sulit untuk berkompromi. Peperangan dalam mitologi Hindu melibatkan senjata-senjata sakti, pusaka, makhluk supranatural, dan kekuatan gaib. Dalam kitab Itihasa, terdapat dua kisah kepahlawanan yang sangat terkenal, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Dalam kedua kisah tersebut, ditampilkan pertempuran antara dua kelompok besar—yang satu bertindak dalam kebajikan, yang satu lagi bersifat jahat—yang bertarung untuk mencapai tujuan masing-masing. Pertempuran tersebut selalu memiliki akhir yang sama, yakni kemenangan selalu berada di pihak yang benar. Kisah-kisah peperangan dengan tema seperti itu dan dengan akhir kisah yang sama merupakan filsafat terkenal yang mengatakan bahwa kemenangan dan kejayaan yang direbut melawan orang baik tak akan bisa dicapai dalam orang yang bersifat jahat.
3. Senjata
Dalam mitologi Hindu terdapat banyak sekali senjata, dan biasanya digunakan oleh para ksatria, Raja, dan Dewa. Dalam kisah-kisah pertempuran juga disebutkan adanya bermacam senjata. Senjata tersebut digunakan untuk bertempur, melindungi diri, membasmi kejahatan, membela kebenaran, atau hanya sebagai atribut Dewa. Senjata yang muncul dalam mitologi Hindu misalnya: Gada, hakram, Trisula, Agneyastra, Brahmastra, Garudastra, Kaumodaki, Narayanastra, Pasupati, Siwa Danus, Sudarsana, Waisnawastra, Bajra, Warunastra, dan Wayawastra. Para Dewa tertentu juga memiliki senjata-senjata tertentu


















BAB VI
GARIS BESAR CERITA MAHA PURANA
1. Matsya Purana
Matsyapurana Dalam ajaran agama Hindu, Matsya matsya berarti ikan) adalah awatara Wisnu yang pertama, yang muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya Awatara turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besa
Dalam kitab Matsyapurana diceritakan, pada zaman Satyayuga, bumi diperintah oleh seorang raja bernama Waiwaswata Manu, putra Surya. Pada suatu ketika, saat sang raja hendak membasuh muka di sungai, munculah ikan kecil yang meminta perlindungan dari sang raja. Sang raja menempatkan ikan tersebut di sebuah tempat air. Namun dalam waktu yang singkat, badan ikan tersebut bertambah besar dan memenuhi tempat air yang disediakan sang raja. Akhirnya sang raja memindahkan ikan tersebut ke tempat air yang lebih besar. Karena hal yang sama terjadi lagi, maka sang raja memindahkan ikan tersebut ke sebuah kolam. Di kolam tersebut badan si ikan juga bertambah besar, memenuhi daya tampung kolam. Akhirnya sang raja memindahkan ikan tersebut ke sungai Gangga, hingga akhirnya ke samudra. Di samudra, ikan tersebut menampakkan wujud aslinya, yaitu Wisnu. Wisnu memberitahu Waiwaswata Manu bahwa bencana air bah akan melanda bumi. Maka dari itu, Wisnu memerintahkan sang raja untuk menyiapkan bahtera lalu membawa makhluk hidup berpasangan ke dalam bahtera tersebut untuk diselamatkan. Amanat tersebut dijalankan oleh sang raja. Akhirnya sang raja beserta segala makhluk yang ada dalam bahtera selamat dari bencana air bah. Setelah air bah yang melanda bumi surut, sang raja dan makhluk hidup lainnya menempati bumi kembali. Waiwaswata Manu mendirikan kota yang disebut Ayodhya, letaknya di Kerajaan Kosala. Di antara para putranya, Waiwaswata Manu memilih Ikswaku sebagai raja. Keturunan Ikswaku merupakan para raja dari Dinasti Surya. Para raja yang mahsyur dalam legenda India, seperti misalnya Bhagiratha dan Sri Rama, lahir dalam dinasti ini.
2. Wisnupurana
Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman
Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata VISNU berasal dari Bahasa Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti "menempati", "memasuki", juga berarti "mengisi" — menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira diartikan: "Sesuatu yang menempati segalanya". Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh ("sesuatu yang memasuki segalanya"), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu). Adi Shankara dalam pendapatnya tentang Wisnu Sahasranama, mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan mengartikannya: "yang hadir dimana pun" ("sebagaimana Ia menempati segalanya, vevesti, maka Ia disebut Visnu"). Adi Shankara menyatakan: "kekuatan dari Yang Mahakuasa telah memasuki seluruh alam semesta." Akar kata Viś berarti 'masuk ke dalam.' Mengenai akhiran –nu, Manfred Mayrhofer berpendapat bahwa bunyinya mirip dengan kata jiṣṇu' ("kejayaan"). Mayrhofer juga berpendapat kata tersebut merujuk pada sebuah kata Indo-Iranian *višnu, dan kini telah digantikan dengan kata rašnu dalam kepercayaan Zoroaster di Iran. Akar kata viś juga dihubungkan dengan viśva ("segala"). Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata "Wisnu" misalnya: vi-ṣṇu ("mematahkan punggung"), vi-ṣ-ṇu ("memandang ke segala penjuru") dan viṣ-ṇu ("aktif"). Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda terjadi karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.
Susastra Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara dewa-dewi lainnya. Dalam kitab Weda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul bersama dengan Indra, yang membantunya membunuh Wretra, dan bersamanya ia meminum Soma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut sebagai saudara. Dalam Weda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai Tri-wikrama atau Uru-krama untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga. Dalam kitab Purana, Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihasa (wiracarita Hindu). Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul. Dalam kitab Bhagawadgita, Wisnu menjabarkan ajaran agama dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna, kusir kereta Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan wujud rohaninya sebagai Wisnu, kemudian ia menampakkan wujud semestanya kepada Arjuna.
Dalam Purana, dan selayaknya penggambaran umum, Dewa Wisnu dilukiskan sebagai dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan empat, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Wisnu adalah senjata cakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.
Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:
• Jñāna: mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
• Aishvarya: maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
• Shakti: memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
• Bala: maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
• Virya: kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
• Tèjas: memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk
Beberapa sarjana Waisnawa meyakini bahwa masih banyak kekuatan Wisnu yang lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang paling penting untuk diketahui hanyalah enam.
Dalam Purana, Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada dimana-mana. Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan, dan arca. Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut:
• Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
• Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit. Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
• Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu.
• Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi Laksmi, pasangannya.
• Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga
• Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
• Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan dan kesakitan.
• Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:
• Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama "Panchajanya", dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan ether.
• Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama "Sudarshana", dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
• Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
• Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India), Wisnu disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud tersebut yaitu: Kāraṇodakaśāyi Vishnu atau Mahā Vishnu; Garbhodakaśāyī Vishnu; dan Kṣirodakasāyī Vishnu. Menurut Bhagawadgita, ketiga aspek tersebut disebut "Puruṣa Avatāra", yaitu penjelmaan Wisnu yang mempengaruhi penciptaan dan peleburan alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu yang berbaring dalam "lautan penyebab" dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.
Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu:
• Para. Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya — Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila Di sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
• Vyuha. Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
• Vibhava. Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
• Antaryami. Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati makhluk hidup.
• Arcavatara. Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.
Dewa Wisnu memiliki hubungan dengan Dewi Lakshmi, Dewi kemakmuran yang merupakan istrinya. Selain dengan Indra, Wisnu juga memiliki hubungan dekat dengan Brahmā dan Siwa sebagai konsep Trimurti. Kendaraan Dewa Wisnu adalah Garuda, Dewa burung. Dalam penggambaran umum, Dewa Wisnu sering dilukiskan duduk di atas bahu burung Garuda tersebut Dalam tradisi Dvaita Waisnawa, Wisnu merupakan Makhluk yang Maha Kuasa. Dalam filsafat Advaita Vedanta, Wisnu dipandang sebagai salah satu dari manifestasi Brahman. Dalam segala tradisi Sanatana Dharma, Wisnu dipuja secara langsung maupun tidak langsung, yaitu memuja awatara-nya. Aliran Waisnawa memuja Wisnu secara khusus. Dalam sekte Waisnawa di India, Wisnu dipuja sebagai roh yang utama dan dibedakan dengan Dewa-Dewi lainnya, yang disejajarkan seperti malaikat. Waisnawa menganut monotheisme terhadap Wisnu, atau Wisnu merupakan sesuatu yang tertinggi, tidak setara dengan Dewa. Dalam tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu memanifestasikan dirinya menjadi Awatara, dan di India, masing-masing awatara tersebut dipuja secara khusus. Tidak diketahui kapan sebenarnya pemujaan terhadap Wisnu dimulai. Dalam Veda dan informasi tentang agama Hindu lainnya, Wisnu diasosiasikan dengan Indra. Shukavak N. Dasa, seorang sarjana Waisnawa, berkomentar bahwa pemujaan dan lagu pujia-pujian dalam Veda ditujukan bukan untuk Dewa-Dewi tertentu, melainkan untuk Sri Wisnu Yang Maha Kuasa — yang merupakan jiwa tertinggi dari para Dewa. Di Bali, Dewa Wisnu dipuja di sebuah pura khusus untuk beliau, bernama Pura Puseh, yakni pura yang harus ada di setiap desa dan kecamatan. Di sana ia dipuja sebagai salah satu manifestasi Sang Hyang Widhi yang memberi kesuburan dan memelihara alam semesta. Menurut konsep Nawa Dewata dalam Agama Hindu Dharma di Bali, Dewa Wisnu menempati arah utara dalam mata angin. Warnanya hitam, aksara sucinya “U” (ung).
3. Bhagawata Purana
Bhagawatapurana atau Shrimad Bhagawatam (disingkat "Bhagawata" atau "Bhagawatam") adalah salah satu kitab Purana dalam agama Hindu yang berisi syair kisah kepahlawanan dan mitologi tentang berbagai awatara, atau penjelmaan Tuhan yang turun ke dunia, yang ditulis dalam bahasa Sanskerta (versi asli). Kitab ini menekankan ajaran bhakti dalam agama Hindu, yaitu tulus ikhlas memuja Tuhan. Menurut legenda, penyusun kitab ini adalah Maharesi Byasa, putera Maharesi Parasara
Bhagawatapurana dituturkan seperti sebuah narasi. Diceritakan bahwa Raja Parikesit dari Hastinapura sedang mencemaskan nasibnya, sebab ia dikutuk agar tewas digigit ular. Untuk dapat menghadapi kematian dengan baik, Parikesit menghabiskan sisa umurnya dengan cara berdo'a di tepi sungai Gangga. Di sanalah Resi Suka, yakni putera Maharesi Byasa, menceritakan cerita suci Bhagawatam untuk Parikesit, bersama dengan para resi lainnya. Kisah yang dituturkan pertama kali adalah mitologi tentang penciptaan alam semesta, kemudian cerita berlanjut tentang kisah bagaimana Nārāyana turun ke dunia untuk menyelamatkan orang saleh dari ancaman makhluk jahat. Parikesit atau Pariksita adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Hastina dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.
Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana Granggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Sarmiti. Parikesit tewas digigit oleh Naga Taksaka, setelah beliau diramalkan akan dibunuh oleh seekor ular. Maka beliaupun menyuruh untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular. Tetapi karena sudah takdirnya, beliau pun digigit sampai wafat.
a. . Peristiwa sebelum kelahiran
Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang. Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang maish berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya. Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa). Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya. Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Ia menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimibingan Krepa
b. Kutukan Sang Srenggi
Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah. Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung. Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.
c. Keturunan Raja Parikesit
Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta.
4. Waraha Purana
Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa. Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang. Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.Nama lain dari Waraha Awatara adalah : Bhuwaraghan, Waraghan, Warha, Yagnawaraha, Srīeewaraham dan Adhiwaraha
5. Wamana Purana
Wamana Purana Dalam agama Hindu, Wamana adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali. Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah. Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya. Wamana sebagai 'Sang Hyang Triwikrama' digambarkan memiliki tiga kaki, satu berada di bumi, kaki yang terangkat berada di surga, dan yang ketiga di kepala Mahabali. Kisah Wamana Awatara dan Raja Bali diperingati setiap tahun pada perayaan Onam di Kerala (India). Di sana juga terdapat kuil yang khusus memuja beliau (Wamana). Selain di sana, beberapa kuil Wamana tersebar di India, salah satunya di Kanchipuram, dekat kuil Kamakshi.
6. Markandeya Purana
Karya ini dinamakan Markandeya mengambil seorang Maharsi pada masa yang sangat kuno yang muncul sebagai seorang tokoh yang memberi wejangan kitab mahabrata. Maharsi Markandeya memberikan wejangan kepada muidnya tentang penciptaan alam semesta, kuruan waktu atau umur dunia, silsilah dan asal usul raja dan topik-topik lain yang merupakan karakteristik dari purana. Wisnu dan Siwa dalam purana in i tidak menempati posisi penting , tetapi Indra dan Brahma mendapat tempat terkemuka dan para dewata seperti Agni , Surya diagungkan melalui lagu-lagu pujian.
Markandeya Purana, salah satu dari 18 Weda Purana, terdiri dari sebuah dialog antara orang bijak Jaimini dengan Markandeya. Purana ini tidak memiliki konten sektarian. Inti dari Markandeya Purana dimulai dengan empat pertanyaan dalam kisah mahabrara yang diajukan oleh Jaimini untuk Markandeya. Keempat pertanyaan itu adalah :
a. Mengapa Tuhan mengambil wujud sebagai awatara, sedangkan ia adalah asal dari segalanya ?
b. Bagaimana drupadi bisa menjadi istri Panca Pandawa ?
c. Mengapa panca kumara anak-anak drupadi terbunuh pada usia yang sangat muda?
d. Bagaimana tentang penebusan dosa balarama yang telah membunuh seorang brahmana?
Maharsi Markadeya idak menjawab pertanyaan-pertayaan itu, tetapi beliau menunjuk empat burung yang bujak untuk menjelaskan pertanyaan Jaimini. Burung-burung itu adalah para brahmana yang lahir sebagai burung akibat kutukan. Salah satu burung bernama Drona dan menurut purana ini burung-burung itu adalah putra dari Drona. Burung-burung itu menceritakan kepada Jaimini serangkaian legenda untuk menjawab pertanyaan-pertanyan yang diajukan kepada mereka. Jawaban atas pertanyaan tentang Panca Kumara juga diceritakan bahwa Panca Kumara adalah lima dewata (viswadewa) yang pernah mengalahkan Wiswamitra ketika ia memperlakukan Hariscandra dengan kasar, dan ia dikutuk akan lahir sebagai manusia dan meninggal pada usia muda dan tidak akan menikah. Lima purta Drupadi adalah para dewata yang kena kutukan itu.
7. Wayu Purana
Wayu purana ini terkait dengan pemujaan Dewa Siwa, dalam purana ini juga dijelaskan tentang karakteristik dari kitab-kitab purana yaitu penciptaan dunia, silsilah dan asal-usul para raja, ajaran dari efisiensi yoga. Purana ini juga menguraikan tentang roh-roh dari orang-orang yang telah meningal dunia (pitr) dan cara-cara pemujaannya (sraddha).
8. Agni Purana
Isi dari agni purana ini adalah merupakan wejangan Dewa Agni kepada Maharsi Wasstha. purana ini mengambarkan inkarnasi Wisnu diantaranya Rama dan Kresna. sekalipun dimulai dengan pemujaan terhadap Visnu, namun purana ini bersifat Sivaistik karena menguraikan secara mendalam tata cara pemujaan mistis dari sebuah lingga dan pemujaan kepada dewi Durgha. selain itu purana ini juga membahas tentang kosmologi, geneologi dan geografi yang merupakan karateristik dari kitab-kitab purana. Purana in i juga membahas tentang pengetahuan astronomi, astrologi, perkawinan, upacara kematian, tanda-tanda atau isyarat, kontruksi rumah dan kebiasaan hidup sehari-hari, juga mengenai politik, hukum, seni, dan tata bahasa.
9. Narada Purana
Narada Purana Narada atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai vina, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra. Menurut legenda, Narada dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya 'dari pikiran Dewa Brahma', atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam alam semesta menurut Purana. Ia dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau pengembara sejati yang mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga), Mrityuloka (bumi) dan Patalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan sesuatu mengenai kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya. Narada Muni memiliki posisi penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam kitab-kitab Purana, ia termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau 'pemuja besar' Dewa Wisnu. Karena ia adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadi Resi, ia berada dalam kategori Dewaresi Bhagawatapurana menceritakan pencerahan spiritual yang dialami Narada: Dalam kehidupannya yang dulu, Narada adalah gandarwa (sejenis malaikat) yang dikutuk agar lahir di planet bumi karena melanggar sesuatu. Maka ia kemudian lahir sebagai putera seorang pelayan yang khusus melayani pendeta suci (brahmin). Para pendeta yang berkenan dengan pelayanan Narada dan ibunya, memberkahinya dengan mengizinkannya memakan sisa makanan mereka (prasad) yang sebelumnya dipersembahkan kepada dewa mereka, yaitu Wisnu. Perlahan-lahan Narada menerima berkah dan berkah lagi dari para pendeta tersebut, dan mendengarkan mereka memperbincangkan banyak topik mengenai spiritual. Lalu pada suatu hari, ibunya meninggal karena digigit ular, dan karena menganggap itu adalah perbuatan Dewa (Wisnu), ia memutuskan untuk pergi ke hutan demi mencari pencerahan agar memahami 'Kebenaran yang paling mutlak'. Ketika di dalam hutan, Narada menemukan tempat yang tenang, dan setelah melepaskan dahaga dari sungai terdekat, ia duduk di bawah pohon dan bermeditasi (yoga), berkonsentrasi kepada wujud paramatma Wisnu di dalam hatinya, seperti yang pernah diajarkan oleh para pendeta yang pernah dilayaninya. Setelah beberapa lama, Narada melihat sebuah penampakan, dimana Narayana (Wisnu) muncul di depannya, tersenyum, dan berkata bahwa 'meskipun ia memiliki anugerah untuk melihat wujud tersebut pada saat itu juga, Narada tidak akan dapat melihat wujudnya (Wisnu) lagi sampai ia mati'. Narayana kemudian menjelaskan bahwa kesempatan yang diberikan agar Narada dapat melihat wujudnya disebabkan oleh keindahan dan rasa cintanya, dan akan menjadi sumber inspirasi dan membakar keinginannya yang terlelap untuk bersama sang dewa lagi. Setelah memberi tahu Narada dengan cara tersebut, Wisnu kemudian menghilang dari pandangannya. Narada bangun dari meditasinya dengan terharu sekaligus kecewa. Selama sisa hidupnya Narada memusatkan rasa baktinya, bermeditasi, dan menyembah Wisnu. Setelah kematiannya, Wisnu menganugerahinya dengan wujud spiritual "Narada", yang kemudian dikenal banyak orang. Dalam beberapa susastra Hindu, Narada dianggap sebagai penjelmaan (awatara) dewa, dan berkuasa untuk melakukan tugas-tugas yang ajaib atas nama Wisnu Narada dalam pewayangan, antara lain yang berkembang di Jawa, dilukiskan dengan bentuk tubuh cebol bulat, berwajah tua, dengan kepala menengadah ke atas. Dalam versi ini narada menduduki jabatan penting dalam kahyangan, yaitu sebagai penasihat dan "tangan kanan" Batara Guru, raja kahyangan versi Jawa. Menurut naskah Paramayoga, Batara Narada adalah putra Sanghyang Caturkaneka. Ayahnya adalah sepupu Sanghyang Tunggal, ayah dari Batara Guru. Pada mulanya Narada berwujud tampan. Ia bertapa di tengah samudera sambil memegang pusaka pemberian ayahnya, bernama cupu Linggamanik. Hawa panas yang dipancarkan Narada sempat membuat kahyangan geger. Batara Guru mengirim putra-putranya untuk membangunkan Narada dari tapanya. Akan tetapi tidak seorang pun dewa yang mampu memenuhi perintah tersebut. Mereka terpaksa kembali dengan tangan hampa. Batara Guru memutuskan untuk berangkat sendiri untuk menghentikan tapa Narada. Narada pun terbangun. Keduanya kemudian terlibat perdebatan seru. Batara Guru yang merasa kalah pandai marah dan mengutuk Narada sehingga berubah wujud menjadi jelek. Sebaliknya, karena Narada telah dikutuk tanpa penyebab yang jelas, Batara Guru pun menderita cacad berlengan empat.(Sebenarnya bertangan 4 ini adalah pengejawantahan dari malaikat papat, Jibril Mikail Izrail Israfil). Ia pun sadar bahwa Narada memang lebih pandai darinya. Maka, ia pun memohon maaf dan meminta Narada supaya sudi tinggal di kahyangan sebagai penasihatnya. Dalam pentas pedalangan, tempat tinggal Batara Narada disebut dengan nama Kahyangan Sidiudal-udal. Atau Sidik pangudal udal.
10. Garuda Purana
Kitab Garuda Purana ádalah kitab Purana Vaisnawa, garuda ádalah nama dari burung mitos seperti yang wedarkan oleh Visnu sendiri yang kemudian disampaikan pada Kasyapa. Didalamnya menceritakan tentang penciptaan, masa kehidupan dunia, geneologi. Tetapi dalam Purana ini lebih bayak ditujukan pada pemujaan Visnu, Uraian upacara bagi Vaisnawa dan brata(puasa), upacara penebusan dosa serta pengagungan tempat-tempat suci. Ia juga mengakui pemujaan pada sakti dan mengandung aturan untuk pemujaan lepada Pancayatama (limadewata : visnu, siwa, durgha, surya dan ghanesa) Selain itu juga garuad purana membahas tentang cerita-cerita Ramayana , Mahabrata, Harivamsa, juga terdapat bagian mengenai kosmologi, astronomi, tanda-tanda atau isyarat, ilmu rajah tangan, obat-obatan, ilmu metrik, tata bahasa, pengetahuan tentang batu-batu mulia,(ratnapariksa)dan juga politik(niti)


11. Lingga Purana
Purana ini diberi nama linga yang muncul sebagai sebuah mistik dari Siva dalam wujudnya sebagai sakala(berwujud) dan niskala) tanpa wujud). purana ini menceritakan dua bagian. bagian pertama mengambarkan evolusi Linga yaitu wujud Siwa sebagai Phallus. Bagian kedua menceritakan tentang keagungan Linga, bentuk Linga secara detail, konsepsi dan atributnya, brata atau pantangan, hadiah-hadiah dan mantra-mantra yang berhubungan dengan pemujaan kepada Linga. Berikut ini akan dijelaskan secara detail tentang Linga yaitu :
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum. Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 601).
Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2) kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 : 69).
Di India terutama di India selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte linggayat (Putra, 1975 : 104). Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 : 40). Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa.
Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42).
Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102). Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah. Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut: ”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman.. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.
Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.
Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.
a. Bentuk Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Artinya:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber siwa.
Dalam bahasa sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri.
Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah.
Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99).

Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa) (Gopinatha Rao, 1916 : 93).
b. Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain :
- Chalalingga
- Achalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah

1). Mrinmaya Lingga.
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab agama.
2). Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.

3). Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa.
4). Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
5). Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha.. Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan.
I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu.. Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
a). Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama). b). Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.c). Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas. d). Daivika lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman). e). Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama

12. Padma Purana
Padma Purana adalah salah satu dari delapan belas Purana utama. Purana ini ditulis antara tahun 800-1000 masehi. Cerita dalam purana ini dibagi menjadi lima bagian yaitu :
a. Dalam bagian pertama Pulastya bijak menjelaskan kepada Bisma tentang agama dan inti dari agama.
b. Bagian kedua menjelaskan secara rinci Pertiwi (bumi).
c. bagian ketiga deskripsi kosmos diberikan, termasuk penciptaan, dan deskripsi geografis dari India (Bharata Varsha).
d. Bagian keempat menggambarkan kehidupan dan perbuatan Rama.
e. Bagian kelima dalam gaya dialog antara Siwa dan istrinya, Parvati, dan berkaitan dengan pengetahuan penting tentang agama.
13. Skanda Purana
Kisah ini diawali dengan : Daksayani ( Sati ) adalah putri Daksa Prajapati yang dinikahkan dengan Siva, namun suatu hari Daksayani mengakhiri hidupnya dalam suatu Yajna yang diselenggarakan oleh Daksa ayahnya ( dalam Yajna tersebut semua Dewa diundang kecuali Siva, Daksayani pergi ke Yajna itu untuk menanyakan kenapa suaminya tidak diundang, Daksa mengacuhkan puterinya dan menghina Siva, menyebut Siva sebagai Menantu yang tidak tahu menghormati mertua, Daksayani tidak tahan mendengar lalu mengakhiri hidupnya dengan api suci, Shiva mengetahui hal itupun murka, dia segera menghancurkan Yajna Daksa )
setelah kematian Daksayani Siva bersedih dan tenggelam dalam meditasi, hal ini membuat para Asura mulai merajalela salah satunya adalah Raksasa Bernama Taraka putra Namuci yang Melalui Meditasi luar biasa dia menyenangkan Brahma dan meminta dirinya agar tidak terkalahkan
“ engkau tidak dapat menjadi yang tidak terkalahkan “ jawab Brahma
“ tetapi aku akan memberikanmu anugerah yang lain yang laurbiasa. Kamu hanya akan kalah dalam suatu pertarungan apabila lawan tandingmu adalah anak kecil” Taraka Tetap bahagia dengan anugerah itu dia kemudian memerangi para Dewa sehingga mmbuat Indra dan Dewa-Dewa yang lain terusir dari Surga dan tak ada yang menolong mereka, ketika para Dewa bersedih dan menyesali nasibnya, lalu terdengar suara dari langit
“ jangan kecewa, Putera Siva akan membunuh Taraka. Kalian harus melakukan sesuatu untuk menikahkan Siva “ Mereka diberitahu bahwa calon istri Siva adalah putri dari Himalaya, segera para Dewa menuju ke gunung Himalaya, Himalaya dan istrinya Menaka memohon kepada Para Dewa agar mereka di anugerahi seorang Putri. Para Dewa dengan senang hati memberkatinya, sehingga lahirlah kemudian seorang Putri yang bernama Parwati dipanggil juga Uma dan Gauri. Setelah Parvati dewasa Himalaya mengajaknya ketempat Siva bermeditasi, Parvati mulai mengunjungi Siva setiap hari tetapi Siva tidak tertarik padanya. Para Dewa membantu dengan mengirimkan Madana atau Kama Dewa Cinta. Madana selalu membawa busur panah yang terbuat dari bunga-bunga dia juga memeiliki tabung panah yang penuh dengan panah-panah, yang juga terbuat dari bunga. Siapapun yang menjadi sasaran Madana dengan panahnya akan terbakar oleh cinta kasih.
Madana pergi ke tempat Siva bermeditasi dan menciptakan suasan yang harum dan penuh keindahan serta kicau burung di musim semi lalu melepaskan anak panahnya pada Siva untuk menganggu meditasinya. Siva membuka mata ketiganya da melihat Parvati didepannya dengan karangan bunga ditangan, tetapi dengan mata ketiganya pula beliau melihat Madana. Siva marah serta membakar Madana menjadi abu dengan mata ketiganya. Para Dewa mencurahkan bunga dan memohon Siva mengampuni Madana.
Siva pergi dari tempat itu, namun Parvati tetap diam disana untuk melakukan tapasya yang sangat sulit, beliau memutuskan hanya memakan daun-daun segar, kemudian daun-daun kering lalu akhirnya tidak makan satu helai daun pun ( Parvati dikenal dengan sebutan Aparna karena hal ini ). Parvati juga tidak minum air. Akhirnya Siva terkesan namun beliau ingin menguji Parvati dengan menyamar menjadi Brahmana yang menjelek-jelekkan Siva di depan Parwati.seperti halnya Daksayani, parvati juga tidak tahan mendengar Siva dihina Beliau pun marah dan mengusir Brahmana itu pergi sebelum kesabarannya habis. Lalu Siva pun memperlihatkan wujud asli beliau, Parvati begitu senang lalu meminta anugerah “ lupakah paduka pada kelahiran sebelumnya hamba adalah Daksayani, menikahlah dengan hamba, para Dewa menunggu kelahiran anka kita, anak yang akan mengalahkan Taraka “
Dewa Siva pun berkenan maka berlangsunglah pernikahan mereka di Himalaya Setelah menikah Siva mengajak Parvati ke gunung Gandhamanda, suasana disanapun berubah begitu indah bagai musim semi Vasanta mereka berdua tenggelam dalam lautan kebahagiaan. Ribuan tahun pun berlalu
Para Dewa mulai khawatir karena Putra Siva belum juga lahir. Brahma dan Visnu pun mengutus Agni ( dewa Api ) untuk memata-matai Siva dan Parvati.
Agni mengkerutkan tubuhnya sehingga lolos dari pengamatan Nandi dan Bhringgi ( Pengawal utama Siva ) sehingga bias masuk ke kediaman Siva.
Parvati murka mengetahui hal itu, dia menuduh Para Dewa telah mengganggu mereka karena ingin memperolleh Anugerah dari Putra Siva dan Parvati
“ karena anda menginginkan anugerah maka terimalah skanna ( energi ) Siva ini, namun anugerah ini akan memberikan anda kesulitan “ “ kau harus menerima anugerah ini “ Siva pun turut memaksa karena beliau tersinggung Para Dewa memata-matai mereka. Energi Siva masuk kedalam tubuh Agni, namun beliau tidak sanggup menahannya, dalam wujud burung Merpati Agni terbang menuju sungai Ganga untuk melepaskan energi Siva, bagaimanapun Dewi Ganga tidak kuat menahan energi Siva beliau menangkap dan menghempaskan Energi Siva dengan gelombangnya sehingga energi itu membentuk gunung Sveta. Disaat yang sama enam dari Tujuh istri Sapta Rsi tengah mandi di sungai Gangga turut pula menyerap energi itu.
Pada suatu saat Sapta Rsi mengadakan suatu Yajna meminta Agni hadir untuk menyucikan Yajna mereka. Disanalah Agni bertemu dengan istri-istri dari Sapta Rsi yang sangat cantik-cantik. Beliau pun tergoda dan menginginkannya. Agni menjadi malu karena keinginannya itu dan kecewa karena tidak mungkin memenuhi hasratnya karena hal itu merupakan suatu Dosa. Svaha Putri Daksa yang lain ( istri dari Agni ) mengetahui hal itu, dai memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekati Agni, karena meskipun Beliau telah diperistri akan tetapi Agni tidak pernah mencintainya.
Svaha mengambil wujud dari istri ketujuh Rsi tersebut mulai dari Siva ( istri Maharsi Angirasa ) yang dengan sukacita disambut Agni, lalu hari berikutnya mengambil wujud Suparni…… dstnya ( setiap habis berhubungan dengan Agni Svaha yang menyerap energi Siva dari Agni membuang energi tersebut ke sebuah lubang keemasan diantara ilalang (sara) di Gunung Sveta ) namun ketika hendak mengambil wujud Dewi Arundhati ( istri Maharsi Vasistha ) Svaha tidak bisa melakukannya, karena Arundathi mempunyai kekuatan dan keteguhan seorang istri disamping itu pula saat Agni melempaskan energi Siva di sungai Gangga beliau tidak ikut Mandi. Agni menyadari kesalahannya ( tanpa tahu itu perbuatan Svaha ) Beliau berniat mengakhiri hidupnya….. namun suara dari langit terdengar agar Beliau mengurungkan niatnya karena Beliau telah memperoleh hukuman sebagai penyebab kesulitan pencernaan dalam setiap mahluk dan menyuruh Agni pergi ke Gunung Sveta.
Sementara itu bagaimana pun juga para Rsi menuduh istri- istri mereka telah menyeleweng dan mengusir mereka. Dari lubang keemasan tempat Svaha membuang Energi setiap kali berhubungan dengan Agni lalu lahir seorang anak bersinar keemasan, mempunyai satu leher enam Wajah ( Sesuai dengan jumlah wujud yang diambil oleh Svaha yakni Istri2 dari para Rsi Agung ) bertangan 12. Agni yang berada disana segera tahu bahwa anak yang terlahir itu adalah puteranya, Beliau menghadiahkan sebuah tombak padanya, karena terlahir dari skanna ( energi ) maka anak itu dinamakan Skanda sebutan yang lain adalah Sanhamukha (berwajah enam), Semenjak Lahir Skanda telah membuat keributan…. Jeritannya membuat para Raksasa ketakutan, dia mulai menghujamkan tombak dan panah pada gunung Sveta membuat guncangan yang dahsyat. Para Dewa yang tidak mengenal Skanda menyangka Beliau adalah ancaman Baru, mereka mendesak Indra untuk menghukum Skanda. Diiringi para Dewa Indra menuju gunung Sveta untuk bertarung melawan Skanda. Dari mulutnya Skanda mengeluarkan api yang dahsyat ( ingat beliau adalah putera Agni ) membuat Para Dewa terpukul mundur. Indra pun menggunakan Vajranya untuk menghadapi Skanda. Namun Skanda tidak mempan dihantam Vajra, bahkan setiap bagian tubuh yang terhantam Vajra muncul beberapa wujud, dari sisi kanan muncul pemuda diberi nama Sakha dari sisi kiri tubuhnya muncul peuda yang lain dinamai Visakha, lalu dari hantaman Vajra yang lain tercipta juga tujuh orang wanita. Indra terpaksa mengaku kalah dan memberi hormat kepada Skanda, Laksmi atau Sri, Dewi kekayaan dan kesuburan serta kemenangan muncul mendampingi Skanda. Para Dewa pun menghormati Skanda yang kemudian begitu cemerlang menggunakan mahkota tameng keemasan, karangan bunga terbuat dari emas dan berbusana merah Para Dewa dan Rsi berkata “ Wahai yang bersinar keemasan, engkau baru berumur enam hari dan dunia telah ada ditelapak kakaimu. Terimalah posisi Indra, jadilah pemimpin dunia “ Indra juga menawarkan jabatannya kepada Skanda, tetapi Skanda menolaknya dengan mengatakan ia cukup senang melayani Indra “ aku tidak menginginkan mahkotamu, wahai raja para Dewa “ kata Skanda “ kalau begitu jadilah pemimpin pasukan kami “ kata Indra “ aku akan mengangkatmu menjadi Deva Senapati “ posisi itu diterima oleh Skanda, Beliaupun menjadi Pemimpin pasukan para Dewa. Berita perayaan itu sampai pada Siva dan Parvati, mereka datang untuk memberkahi anak mereka “ ini orang tuamu Skanda “ Brahma memperkenalkan Siva dan Parvati pada anak mereka. Tetapi tujuh istri para Rsi Agung datang, mereka mengakui Skanda sebagai anak mereka.
Lalu pertengkaran terjadi antara Parvati, Agni, Svaha, Gangga dan ketujuh istri Maharsi Agung. Skanda tersenyum dan menengahi
“ Aku adalah putera kalian semua, apa yang bisa kulakukan untuk kalian? “
Istri istri dari Sapta Rsi meminta mereka punya tempat dilangit, karena mereka diusir oleh suami mereka tanpa mendengarkan penjelasan mereka terlebih dahulu. Skanda memberi mereka tempat sebagai Krittika ( kelompok bintang dari Rasi Taurus ), oleh sebab itu beliau juga dikenal sebagai Kartikeya, putera dari Krittika. Svaha meminta agar Agni mencintainya dan selalu berada disampingnya, Skanda pun memberi Anugerah agar dalam setiap Yajna yang menggunakan Api sebagai penyucian harus menggunakan mantram Agneya Svaha ( Svaha dan Agni ) agar bisa diterima . Kepada Agni Skanda memberi Anugerah agar Beliau bias hadir dalam setiap upacara persembahan, kepada Ganga Skanda memberi anugerah bahwa Beliau akan dikenal sebagai Gangeya ( putera Ganga ). Dalam perayaan itu Bhrashpati ( Pendeta nya para Dewa) mengukuhkan Skanda di tepi sungai Mahanadi para Dewa pun memberikan anugerah kepada Skanda, Garuda memeberikan burung Merak sebagai tunggangan Skanda, Aruna menghadiahkan Ayam jantan dan masih banyak yang lain. Sudah tiba saatnya Para Deva menghadapi Asura pimpinan Taraka. Persiapan Perang dilakukan, Skanda menunggangi Merak, Chandra Dewa Bulan memayungi dengan tabir Surya, Indra dengan menunggang Gajah Airavata bersama Yama ,Kubera dan Dewa yang lain serta Pasukan mereka masing-masing mengiringi Skanda. Para Asura pun bersiap, Taraka menaiki Wimana ( kereta terbang ) di iringi Panglima dan pasukannya. Pertempuran pun pecah. Para Dewa mencoba menghadapi Taraka, namun terlihat jelas oleh Visnu bahwa hanya Skanda yang bias mengalahkan Taraka., Beliau memerintahkan Skanda menghadapi Taraka, Taraka berteriak menghina para Dewa “ kalian sungguh memalukan, menyuruh anak kecil menghadapiku, apa yang bias kalian lakukan dengan memiliki raja yang pengecut seperti Indra ? “
Indra murka lalau menyerang Taraka dengan Vajranya, tapi Taraka menangkap Vajra lalu melemparkan pada Indra sehingga beliau terjatuh, Virabhadra pembantu Siva mencoba menolong tapi malah ditusuk dengan Tombak Taraka. Skanda lalu menghadapi Taraka, pertarungan serupun terjadi, suatu saat Skanda dihantam dengan tombak sehingga beliau terjatuh. Para Dewa Para Rsi, Gandharva ( Penari Surga ), Apsara ( Penyanyi Surga ), Guhyaka ( pengikut Kubera ) Caranna ( Penyair Surga ) yang menyaksikan pertarungan itu Khawatir, tentang siapa yang akan keluar sebagai pemenang, Skanda Tersenyum “ tenanglah aku akan membunuh pendosa ini “
Beliau bangkit menyerang Taraka lalu suatu ketika beliau berhasil membelah dada Taraka dengan Tombak, Tombak itu tembus menhujam Bumi dari lubang yang terbentuk mengeluarkan air. Jeritan kematian Taraka membuat Para Asura ketakutan dan Panik, para Dewa semakin mudah mengalahkannya. Mereka mengundurkan diri ke Patala Loka, (Dunia Bawah). Jagat Raya Bersuka cita karena bebas dari penindasan Taraka, Para Dewa dan Rsi serta penghuni Swargaloka memuji Skanda dan menaburkan bunga sebagai penghormatan.


14. Bhawisya Purana
Purana ini menunjukan sebuah karya yang berisikan ramalan-ramalan tentang masa depan (bhawisya), upacara-upacara perayaan yang bersifat brahmanik dan tugas-tugas berbagai profesi (warna). Selain itu juga terdapat beberapa legenda tentang perayaan upavara Nagapancami yang diabdikan pada pemujaan ular raksasa, cerita-cerita mitologi tentang ular naga, salah satu bab juga menceritakan tentang pemujaan kepada Surya dan agni hotra.
15. Brahma Purana
Brahmapurana adalah kitab Purana yang pertama disusun di antara delapan belas kitab Purana atau Mahapurana. Kitab ini mengandung legenda dan mitologi Hindu mengenai penciptaan alam semesta (sarga); proses penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta secara periodik (pratisarga); sejarah Dinasti Surya dan Candra; kisah para dewa, orang suci dan para raja kuno. Naskah asli kitab Brahmapurana ini tidak utuh lagi; naskah Brahmapurana yang ada sekarang ini merupakan susunan ulang dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari Bayupurana, Wisnupurana, Markandeyapurana, Mahabharata dan Hariwangsa. Ajaran-ajaran agama Hindu dalam Purana ini disampaikan melalui sebuah cerita. Cerita tersebut dinarasikan oleh seorang resi bernama Romaharshana atau Lomaharshana, yang konon merupakan murid Resi Byasa.
16. Brahmanda Purana
Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan. Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu) Siwa. Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana (caturasrama) dan lain-lain. Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna . Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti "memilih (sebuah kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra.
a. Warna yang utama
1) Brahmana
Brahmana adalah salah satu golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan. Di jaman dahulu, golongan ini umumnya adalah kaum pendeta, agamawan atau brahmin. Mereka juga disebut golongan paderi atau sami. Kaum Brahmana tidak suka kekerasan yang disimbolisasi dengan tidak memakan dari makluk berdarah (bernyawa). Sehingga seorang Brahmana sering menjadi seorang Vegetarian. Brahmana adalah golongan karya yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan suci maupun pengetahuan ilmiah secara umum. Dahulu kita bertanya tentang ilmu pengetahuan dan gejala alam kepada para brahmana. Bakat kelahiran adalah mampu mengendalikan pikiran dan prilaku, menulis dan berbicara yang benar, baik, indah, menyejukkan dan menyenangkan. Kemampuan itu menjadi landasan untuk mensejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya, menjadi manggala (yang dituakan dan diposisikan secara terhormat), atau dalam keagamaan menjadi pemimpin upacara keagamaan.
2). Ksatriya
Kesatria atau ksatria, adalah golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Golongan karya ini memiliki tugas profesi sebagai bangsawan, tokoh masyarakat, penegak keamanan, penegak keadilan, pemimpin (direktur), pemimpin masyarakat, pembela kaum tertindas atau lemah karena ketidak-adilan dan ketidak-benaran. Bakat dasar seorang ksatria adalah berani, bertanggungjawab, lugas, cekatan, prilaku pelopor, memperhatikan keselamatan dan keamanan, adil, dan selalu siap berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Di zaman dahulu ksatria merujuk pada klas masyarakat kasta bangsawan atau tentara, hingga raja. Zaman sekarang, ksatria merujuk pada profesi seorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat karena tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan dan keamanan di masyarakat, bangsa dan negara.
3). Waisya
Waisya adalah golongan karya atau warna dalam tata masyarakat menurut agama Hindu. Bersama-sama dengan Brahmana dan Ksatria, mereka disebut Tri Wangsa, tiga kelompok golongan keraya atau profesi yang menjadi pilar penciptaan kemakmuran masyarakat. Bakat dasar golongan Waisya adalah penuh perhitungan, tekun, trampil, hemat, cermat, kemampuan pengelolaan asset (kepemilikan) sehingga kaum Wasya hampir identik dengan kaum pedagang atau pebisnis. Kaum Waisya adalah kelompok yang mendapat tanggungjawab untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dan bisnis agar terjadi proses distribusi dan redistribusi pendapatan dan penghasilan, sehingga kemakmuran masyarakat, negara dan kemanusiaan tercapai.
4). Sudra
Sudra (Sansekerta: śūdra) adalah sebuah golongan profesi (golongan karya) atau warna dalam agama Hindu di India. Warna ini merupakan warna yang paling rendah. Warna lainnya adalah brahmana, ksatria, dan waisya. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya. Tugas utamanya adalah berkaitan langsung dengan tugas-tugas memakmurkan masyarakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk golongan karya di atasnya, seperti menjadi buruh, tukang, pekerja kasar, petani, pelayan, nelayan, penjaga, dll.
b. Sistem kerja
Caturwarna menekan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Golongan Brahmana diwajibkan untuk memberi pengetahuan rohani kepada golongan Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Golongan Ksatriya diwajibkan agar melindungi golongan Brahmana, Waisya, dan Sudra. Golongan Waisya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan material golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra. Sedangkan golongan Sudra diwajibkan untuk membantu golongan Brahmana, Ksatriya, dan Waisya agar kewajiban mereka dapat dipenuhi dengan lebih baik.
Keempat golongan tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya, Sudra) saling membantu dan saling memenuhi jika mereka mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Dalam sistem Caturwarna, ketentuan mengenai hak tidak diuraikan karena hak diperoleh secara otomatis. Hak tidak akan dapat diperoleh apabila keempat golongan tidak dapat bekerja sama. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Caturwarna terjadi suatu siklus "memberi dan diberi" jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.
Karena status seseorang tidak didapat semenjak lahir, maka statusnya dapat diubah. Hal tersebut terjadi jika seseorang tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana status yang disandangnya. Seseorang yang lahir dalam keluarga Brāhmana dapat menjadi seorang Sudra jika orang tersebut tidak memiliki wawasan rohani yang luas, dan juga tidak layak sebagai seorang pendeta. Begitu pula seseorang yang lahir dalam golongan Sudra dapat menjadi seorang Brāhmana karena memiliki pengetahuan luas di bidang kerohanian dan layak untuk menjadi seorang pendeta.
c. Penyimpangan
Banyak orang yang menganggap Caturwarna sama dengan Kasta yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya.
Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya. Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada membanggakannya.
Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma Denpasar pada rapat Desa Adat se-kabupaten Badung tahun 1974. Gde Putera yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama mengemukakan[2]:
Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman.
Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna.
17. Brahmavaiwarta Purana
Brahmawaivarta Purana Dalam agama Hindu, Brahmawaiwartapurana adalah salah satu dari delapan belas kitab Purana utama atau Mahapurana. Dinamakan demikian, karena Purana ini menceritakan tentang Brahma dan proses penciptaan melalui evolusi (wiwartana). Purana ini kurang lebih memiliki delapan belas ribu sloka, dan disusun pada kalpa (satuan waktu) yang disebut Kalpadi. Menurut legenda, Purana ini pertama kali dituturkan oleh Sawarni Manu kepada Resi Narada.
Seperti Purana lainnya, Brahmawaiwartapurana ini mengandung mitologi tentang penciptaan alam semesta; peleburan dan penciptaan jagat raya kembali; kisah para dewa, orang suci dan para raja kuno; dan sejarah Dinasti Surya dan Candra. Selain itu, Purana ini banyak menyinggung masalah mengenai Kresna, dan Kresna dianggap sebagai Brahman itu sendiri, atau penguasa jagat raya yang berkepribadian. Dengan kata lain, Purana ini memuliakan Kresna. Menurut Purana ini, Kresna yang turun ke dunia (awatara) merupakan penjelmaan dari Kresna yang abadi atau Brahman.
18. Kurma Purana
Kurma Purana Dalam agama Hindu, Kurma adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa. Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih. Kurma juga nama dari seorang resi, putra Gretsamada.
a. Mitologi
Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa. Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!" Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam. Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
b. Timbulnya racun
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
• Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
• Apsara, kaum bidadari kahyangan
• Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
• Uccaihsrawa, kuda para Dewa
• Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan
• Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi
• Airawata, kendaraan Dewa Indra
• Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.
c. Perebutan tirta amerta
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa. Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.














BAB VII
KESIMPULAN
Dari paparan enam bab tersebut maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Kitab Purana yang menguraikan 5 pokok bahasan dimasukan dalam kategori Upa Purana seperti ; Proses ciptaan ( sargah ), Peleburan ( pratisargah ), Silsilah keturunan raja raja yang mulia (vamsah ), Masa pemerintahan para manu (manvantara ), Kegiatan para raja yang agung ( vamsya anucarita ), sedangkan jika membahas 10 pokok bahasan dikategorikan kelompok Maha Purana yaitu : sarga, visarga, vrthi, posana, hetu, manvantara, vamsanucarita, samstha, moksa dan apasrya
2. Purana berarti "cerita zaman dulu") adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti sejarah kuno atau cerita kuno. Purana-purana adalah kitab yang berisi cerita-cerita keagamaan yang menjelaskan tentang kebenaran. kisah-kisah ini diceritakan kepada orang kebanyakan supaya mereka mengerti kebenaran-kebenaran dari kehidupan yang lebih tinggi.
3. Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai pada tahun 500 SM.
4. Purana merupakan bagian dari Veda Smerti pada sub bagian dari Upaweda
5. Cerita-cerita dalam mitologi Hindu terjalin dalam empat jenjang zaman yang disebut Catur Yuga. Masing-masing Yuga memiliki karakter yang berbeda. Berbagai legenda, kisah tentang Dewa-Dewi dan awatara diyakini terjadi pada zaman yang berbeda-beda pula. Cerita itu dapat disimak dalam kesusastraan Hindu. Kesusastraan mitologi Hindu terjalin oleh etos agama Weda kuno dan kebudayaan Weda, dan cerita-cerita tersebut didasari oleh sistem filsafat Hindu.
6. Masing-masing cerita dalam kitab purana menjabarkan tokoh-tokoh yang berbeda dengan kejadian yang berbeda pula, secara garis besar membicarakan 5 asfek yang merupakan karakteristik dari kitab Purana. perbedaan alur cerita tidak mengecilkan makna yang terkandung dalam kitab purana tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya Teologi Kasih Alam Semesta. Surabaya.Paramita
Heri IB Dkk. 2008. Bunga Rampai Mimbar Hindu. Pontianak.Depag
Maswisnara,I Wayan. 2008. Srimad Bhagawadgita. Surabaya.Paramita
Metha Rohit. 2005. Bertemu Tuhan Dalam Diri. Denpasar. Sarad
Radhakrina S. (terjemahan). 1989. Upanisad-Upanisad Utama jilid I. Tabanan. Parijata
Radhakrina S. (terjemahan). 1989. Upanisad-Upanisad Utama jilid II. Tabanan. Parijata
TiTib, I Made. 1998.Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya. Paramita.
Titib, I Made. 2004. Purana Sumber Ajaran Hindu Kompehensif. Surabaya. Paramita

1 komentar:

  1. ¬ hal yg tidak pernah terbayangkan kini menjadi kenyataan,dengan keluarga saya untuk AKY SANTORO kami ucapkan banyak terimah kasih karna berkat BANTUAN AKY SANTORO ALHAMDULILLAH keluarga kami bisa lepas dari segala HUTANG HUTANG. karna nomor togel yang di berikan KY SANTORO YAITU-4D. nya BENAR BENAR TERBUKTI TEMBUS 100% DAN SAYA MEMENANGKAN.125 juta.ALLHAMDULILLAH saya bisa menutupi semua tuhang hutang saya.dan MOTOR saya yg dulunya aku gadaikan,kini sudah di tebus kembali.dan kami juga sudah membuka usaha kecil kecilan,kami tidak menduga KY SANTORO TELAH MERUBAH NASIB KAMI DALAM SEKEJAP.dan hanya AKY SANTORO Lah DUKUN TOGEL YANG PALING BERSEJARAH DI KELUARGA KAMI.ini adalah benar benar kisah nyata dari saya.dan saya tidak malu menceritakannya.semua tentang kesusahan yg perna saya jalani.karna di situlah saya mulai berfikir bahwa mungkin masih banyak saudara kami yg membutuhkan bantuan seperti saya.yang ingin seperti saya silahkan hub AKY SANTORO DI NOMOR(_0823_1294_9955_).DI JAMIN 100% TEMBUS.JIKA ANDA PENUH KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN SILAHKAN ANDA BUKTIKAN SENDIRI.DAN SAYA SANGAT YAKIN BAHWA ANGKA GHOIB YANG DI BERIKAN KY SANTORO DAPAT MERUBAH NASIB ANDA SEPERTI SAYA.SEBELUMNYA SAYA MOHON MAAF KALAU ADA PERKATAAN SAYA YANG KURANG SOPAN.TOLONG DI MAAF KAN.TERIMAH KASIH.THANK'Z ROOMX ZHOBATH.!!!

    BalasHapus