Jumat, 17 Desember 2010

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara atau bangsa selalu menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita nasional bangsa yang bersangkutan. Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu negara berdasarkan sosio kultural, psikologis, ekonomis, dan politis. Pendidikan tersebut ditujukan untuk membentuk ciri khusus atau watak bangsa yang bersangkutan, yang sering juga disebut dengan kepribadian nasional. Melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang kehidupannya, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan dalam bidang kehidupan budaya lainnya.

Didalam UU No.20 Tahun 2003 pasal 5 disebutkan ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;dan ayat (5) setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Dengan ketentuan dan sampai batas umur tertentu, dalam setiap system pendidikan nasional biasanya ada kewajiban belajar. Hal ini berarti bahwa secara formal, setiap warga negara harus menjadi peserta didik, paling tidak biasanya pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Lamanya kewajiban menjadi peserta didik secara normal ini bervariasi antara sistem pendidikan nasional bangsa yang satu dengan yang lainnya.

Pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pada tanggal 17 Desember 2008 silam oleh DPR-RI telah menuai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. Unjuk rasa besar-besaran menolak hadirnya UU BHP oleh sebagian besar mahasiswa di berbagai daerah telah mewarnai pemberitaan media elektronik maupun media cetak di penghujung tahun 2008. Disisi lain beberapa kalangan akademisi dan pengamat pendidikan tinggi justru menyambut baik pengesahan UU BHP ini.

Pro dan kontra terhadap kehadiran UU BHP adalah sebuah kewajaran dalam dinamika kehidupan akademis, karena pemahaman terhadap isi undang- undang BHP yang terdiri dari 14 pasal dan 69 ayat itu bisa berbeda. Kontroversi UU BHP yang digaungkan oleh sebagian masyarakat utamanya para mahasiswa itu lebih mengkritisi pada kekhawatiran dalam pelaksanaannya, yang diduga akan mengakibatkan semakin mahal dan tidak terjangkaunya biaya pendidikan di perguruan tinggi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana dan dalam proses seperti apa seyogyanya amandemen UU No. 20 tahun 2003 itu ?

2. Bagaimanakah implikasi yang kemungkinan ditimbulkan jika pasal 53 UU No.20 tahun 2003 dihapus ?

B. Tujuan

1. Menganalisis dan mendeskripsikan proses seyogyanya amandemen UU No. 20 tahun 2003 itu.

2. Menganalisis dan mendeskripsikan implikasi yang kemungkinan ditimbulkan jika pasal 53 UU No.20 tahun 2003 dihapus.

C. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritisnya adalah diharapkan dapat menambah referensi pengetahuan guna mengembangkan secara komprehensip suatu analisis kebijakan khususnya dalam bidang pendidikan

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktisnya diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai sebuah sumbangan pemikiran akan pentingnya statu pertimbangan kebijakan publik khususnya kebijakan dalam bidang pendidikan.

BAB II

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

A. Dasar Pertimbangan MK Membatalkan UU No. 20 tahun 2009.

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan seluruh pasal dalam Undang- Undang (UU) No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). MK menilai semua isi UU BHP bertentangan dengan UUD 1945.
”Majelis menyatakan, UU No 9 Tahun 2009 tentang BHP Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No 4965 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tegas Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD saat membacakan putusan uji materi UU ini di Ruang Sidang Gedung MK.

Salah satu yang menjadi dasar keputusan MK adalah adanya ketentuan penyeragaman pendidikan yang diatur dalam UU ini dalam bentuk BHP. MK menyatakan tidak menemukan alasan yang mendasar atas diperlukannya penyeragaman pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dalam bentuk BHP. Salah satu yang menjadi sorotan MK adalah Pasal 4 ayat 1 UU BHP
Pasal ini meminta agar BHP dikelola dengan dana mandiri dan prinsip nirlaba. Namun, menurut MK, pasal ini akan memunculkan permasalahan, terutama untuk perguruan tinggi di daerah. Sebab, banyak perguruan tinggi di daerah akan kesulitan mendapatkan sumber dana mandiri. Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP, sasaran yang paling rentan adalah peserta didik, yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik

Karena itu UU BHP dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 tentang pengakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu, UU BHP juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 tentang hak warga negara untuk mendapatkan pengajaran dan pembentukan sistem pengajaran nasional. Selain membatalkan UU BHP, MK juga memutuskan uji materi UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Beberapa pasal di dalam UU Sisdiknas ditafsirkan ulang oleh MK.

Salah satunya adalah pasal yang menjadi landasan pembentukan UU BHP, yakni Pasal 53 ayat 1. Dalam pasal ini terdapat frase ”badan hukum pendidikan”.Menurut MK, frase ini yang kemudian dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Secara filosofi, salah satu yang paling menonjol dalam undang-undang ini adalah lembaga pendidikan harus diatur dalam bentuk badan hukum pendidikan yang bentuknya diatur oleh pemerintah.

Banyak sekali pasal di Un­dang-undang BHP yang ber­benturan dengan konsitutsi. An­tara lain, penyeragaman lembaga pendidikan, mengurangi secara signifikan tanggung jawab ne­gara di bidang pendidikan dan me­nye­rahkannya kepada masya­rakat. Padahal dalam konstitusi, seha­rus­nya negara itu meng­ambil peran yang signifikan da­lam pendidikan. Liberalisasi pendidikan yang menyerahkan secara per­lahan-lahan tanggung jawab pem­biayaan kepada masyarakat harus kita hindari. Sebab bila diterapkan, sama saja pendidikan kita telah menganut paham neolib yang jelas berbenturan dengan undang-undang dasar kita, khu­susnya Pasal 28, Pasal 31 dan ti­dak sesuai dengan amanat Pem­bukaan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi menganggap UU BHP yang menyeragamkan ben­tuk badan hukum pendidikan merupakan adalah pemaksaan ke­hendak. Dengan UU ini, pe­me­rin­tah dianggap mengalihkan tanggung jawab mengenai pen­di­dikan kepada masyarakat. Bila UU ini diterapkan, akan ba­nyak lembaga pendidikan yang ha­rus membubarkan diri lantaran ke­sulitan memperoleh status yang ditentukan oleh per­aturan ini.

Mahkamah Konstitusi menilai UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan melanggar UUD 1945 terutama Pasal 28 C Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1). Jika mencermati dari amar putusan dan pertimbangan hukumnya, setidaknya ada 5 (lima) alasan Mahkamah Konstitusi mencabut UU BHP, yaitu:

1. UU BHP mempunyai banyak kelemahan, baik secara yuridis, kejelasan maksud mauupun keselarasan dengan UU lain.

2. UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Namun realitasnya, kesamaan hanya ada pada jenis yaitu PTN, sedangkan menyoal kemampuan berbeda-beda.

3. Berhubungan dengan poin dua, pemberian otonomi kepada perguruan tinggi dirasa tidak tepat. Hal ini disebabkan perbedaan kemampuan setiap perguruan tinggi dalam mencari pemasukan dan dihubungkan juga dengan perbedaan pasar di setiap daerah dimana perguruan tinggi berada.

4. UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan UUD 1945.

5. Prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP, tapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya.

B. UU NO. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;

3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global;

5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi :

a. Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;

b. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;

c. Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

d. Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;

e. Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;

f. Penyediaan sarana belajar yang mendidik;

g. Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;

h. Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;

i. Pelaksanaan wajib belajar;

j. Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;

k. Pemberdayaan peran masyarakat;

l. Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat;

m. Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti.

Pada tanggal 11 Juni 2003 bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.

Setiap negara atau bangsa selalu menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita nasional bangsa yang bersangkutan. Beranjak dari sinilah nantinya dikenal pendidikan nasional yang didasarkan pada filsafat bangsa dan cita-cita nasional. Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu negara berdasarkan sosio kultural, psikologis, ekonomis, dan politis. Pendidikan tersebut ditujukan untuk membentuk ciri khusus atau watak bangsa yang bersangkutan, yang sering juga disebut dengan kepribadian nasional.

Pada umumnya pendidikan nasional ditujukan terutama untuk memelihara dan memuliakan negara. Negara biasanya diartikan sebagai suatu masyarakat yang disusun demi tujuan utamanya melindungi warga negara dari bahaya serangan dari luar dan disintegrasi yantg terjadi didalam negara itu. Melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang kehidupannya. Proses pendidikan yang diselenggarakan dan dilaksanakan suatu bangsa dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan watak atau kepribadian bangsa, memajukan kehidupan bangsa dalam berbagai bidang kehidupannya, serta mencapai tujuan nasional bangsa yang bersangkutan, itulah yang disebut dengan sistem pendidikan nasional

Pendidikan selalu berubah dan berkembang secara progresif. Sejauh mana pendidikan nasional sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, itulah sebenarnya perkembangan suatu bangsa. Pendidikan juga bisa dikatakan sebagai suatu sistem. Dalam pengertian umum, yang dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan utuh yang saling terkait dari bagian-bagiannya untuk mencapai hasil yang diharapkan berdasarkan kebutuhan yang telah ditentukan. Secara teoritis suatu sistem pendidikan terdiri dari komponen-komponen atau bagianbagian yang menjadi inti dari proses pendidikan.

Maksud sistem pendidikan nasional disini adalah keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan aktivitas pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan nasional. Dalam hal ini, sistem pendidikan nasional tersebut merupakan suatu suprasistem, yaitu suatu sistem yang besar dan kompleks, yang didalamnya tercakup beberapa bagian yang juga merupakan sistem-sistem. Sistem pendidikan nasional bertujuan untuk memberikan arah pada semua kegiatan pendidikan dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan tujuan umum yang hendak dicapai oleh semua satuan pendidikannya. Meskipun setiap satuan pendidikan tersebut mempunyai tujuan sendiri, namun tidak terlepaas dari tujuan pendidikan nasional.

Dalam sistem pendidikan nasional, peserta didiknya adalah semua warga negara. Artinya, semua satuan pendidikan yang ada harus memberikan kesempatan menjadi peserta didiknya kepada semua warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan kekhususannya, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, suku bangsa, dan sebagainya. Hal ini sesua dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.

Didalam UU No. 20 Th 2003 Pasal 5 ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; dan ayat (5) setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah harus menyusun undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam rangka menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang dimaksudkan.

Kendatipun UUD 1945 sudah mengamanatkan demikian, ternyata usaha menyusun undang-undang tentang sistem pendidikan nasional tersebut bukanlah persoalan mudah. Sejak tahun 1945, undang-undang sebagaimana dikehendaki Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 tersebut baru dapat direalisasikan pada tahun 1989, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 pada tanggal 27 Maret 1989, selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.

B. UU NO. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

Salah satu perkembangan mutakhir pendidikan Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) (17/12/2008) oleh DPR RI. UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.

Pembentukan Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.

Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.

UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi.

UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi. Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi.

Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hukum untuk melakuka tindakan hukum dan konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Pasal 63 menyebutkan “ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun da dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) da pasal 39 adalah pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

RUU BHP merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijaksanaan Pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP. Banyak pihak, termasuk pemerintah, yang mengemukakan serangkaian semangat positif dari BHP yang dijadikan alasan legalisasi penerapan UU BHP dalam dunia pendidikan kita. Diantaranya adalah:

1. Konsep BHP akan mewujudkan ’good university governance’

Efektivitas dan efisiensi kinerja institusi menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam institusi berbentuk badan hukum. Profesionalitas ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip BHP, yakni transparansi dan akuntabilias. Apabila dibandingkan dengan sistem sebelumnya, dimana aliran birokrasi sangat panjang, dalam konsep BHP terdapat simplifikasi dengan kemandirian yang dimiliki oleh institusi BHP.

2. Kemandirian akan memicu kreativitas, inovasi dan memaksimalkan potensi diri

Institusi BHP akan semakin diarahkan untuk menjadi institusi yang mandiri, baik secara pengelolan administrasi, kegiatan akademik, financial maupun pengontrolan kualitas. Dengan ini, institusi tersebut, mau tidak mau, harus dapat bertahan dan memberikan kinerja terbaiknya berdasar pada potensi sendiri dengan memanfaatkan segala sumber ‘Semangat Positif’ BHP yang disebutkan diatas bukanlah nilai esensial dari suatu bentuk Badan Hukum Pendidikan. Artinya hal-hal positif tersebut dapat diperoleh tidak hanya dengan bentuk BHP. Bahkan hal tersebut merupakan dampak dari penerapan badan hukum dalam pendidikan ini.

Dalam badan usaha tentunya membutuhkan akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaannya, selain itu akuntabilitas dan transparansi memang menjadi syarat utama bagi masuknya investasi. Bukankah peningkatan kualitas pendidikan, daya inovasi dan kreativitas peserta didik, pemenuhan sarana dan prasarana pelengkap pendidikan, efisiensi birokrasi, dsb dapat pula tercapai dengan sistem pendidikan yang ada sekarang? Tentunya dengan berbagai perbaikan dan peningkatan efisiensi.

Pada prinsipnya ide UU-BHP adalah menguatkan apa yang kita namakan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Strategi pertama adalah ingin memberikan keleluasaan kepada PT untuk berkreasi dan bertindak tidak lagi terikat pada birokrasi pusat yang tersentralisasi. Strategi kedua, PT hendaknya tidak lagi cengeng dengan sepenuhnya bergantung kepada Pemerintah. Jadi ada upaya dari PT untuk secara inovatif mengembangkan diri sebagai enterpreneur .

Meskipun dinilai kontroversial dan banyak ditolak banyak kalangan dunia pendidikan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan RUU BHP (Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) menjadi Undang-undang pada tanggal 17 Desember 2008 (selanjutnya menjadi Undang-Undang No 9 Tahun 2009).

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Rencana Amandemen Pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003

Pasal 53 UU No.20 Tahun 2003 adalah merupakan embrio terbentuknya UU No. Tahun 2009 tentang BHP. Inti permasalahan UU BHP ini terletak dikebijakan perubahan status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP), sebelumnya kebijakan pemerintah mengeluarkan fatwa pembentukan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang diberikan kepada enam (6) universitas terdiri dari UI, ITB, UGM, UPI, USU, dan Unair yang dijadikan sebagai pilot project. BHMN direncanakan akan diperluas ke Perseroan Terbatas (PT) lainnya, baik negeri maupun swasta. Lalu di tengah jalan BHMN dirubah tiba – tiba menjadi BHP. Apakah ini sebuah kemajuan dunia pendidikan atau kemunduran?
Penulis menilai hal tersebut hanya berganti bungkusan saja (baju), apalagi perubahan RUU tersebut dilakukan di tengah kecaman keras dari masyarakat terhadap BHMN. Sedangkan isi tidak mengalami perubahan yang berarti, dimana ujung–ujungnya tetap saja mahasiswa dirugikan dan elit kampus diuntungkan. Di sisi lain, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang BHP jelas sekali terlihat kegamangan dari pemerintah akan ketidakbecusan pemerintah dalam mengembangkan sekaligus membangun dunia pendidikan di negara yang bisa dikategorikan kaya raya ini.
Mengkaji eksistensi UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 Ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. UU BHP yang telah disahkan merupakan sebuah konsep yang sudah 36 kali direvisi dimulai sejak tahun 2003 dan baru di jadikan UU setelah 36 kali revisi di tahun 2008.
Penulis tidak hanya menelaah dari sudut pandang regulasi perundang-undangan saja, pandangan penulis mengkaji penerapan universitas menjadi semacam perusahaan menunjukan pola sistem kapitalisme yang terbungkus dalam dunia pendidikan. Lebih parahnya lagi bisa mengarah kepada representasi neoliberalisme ke depannya kelak.
Ditambah lagi pemerintah secara terselubung ingin menggugurkan tanggung jawabnya untuk memenuhi hak – hak dasarnya dalam bingkai HAM (Hak ekosob), khususnya di aspek pendidikannya. Bahkan, bila menelaah mandat yang diemban negara berdasarkan penjelasan pada UUD 45 Pasal 31 Ayat 1(setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan) dan Ayat 2 (setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya), sudah jelas apa yang harus dilakukan pemerintah dalam dunia pendidikan karena pemerintah sebagai representasi negara. Jelas mandat dari sebuah negara bila dikorelasikan HAM terdiri dari 3 yaitu: melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil), dan memajukan (to promote). Ketiga mandat tersebut haruslah dijalankan secara selaras, sehingga jelas arah perubahan pendidikan.
Pembuatan UU BHP, menurut penulis masih dipertanyakan. Apakah pemerintah bersama DPR RI tidak memperhatikan beberapa kajian dalam membuat UU tersebut, antara lain kajian fungsi negara mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan Pemerintah dalam bidang pendidikan, serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan (Pasal 31 UUD 1945), Kajian filosofisnya yakni cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, kajian pengaturannya mengenai badan hukum pendidikan, sebagai implementasi tanggung jawab negara. Terakhir kajian dari sudut pandang aspirasi masyarakat. Apakah semua kajian tersebut, sudah dipenuhi dan dilaksanakan dalam membuat UU BHP.
Kenyataan realitasnya terbalik, pemerintah menyedot keuntungan dari mahasiswa bagi kemakmuran kampus dan elit di dalam kampus. Sedangkan tanggung jawab pemerintah menyisihkan dana anggaran pendapatan belanja negara sebesar 20% sesuai amanat konstitusi. Akan tetapi itu tidak dilakukan alasan klasiknya diarahkan untuk kemandirian seluruh perguruan tinggi, agar tidak bergantung dengan pemerintah lagi. Secara logika penulis menilai tidak tercipta sumber daya manusia yang bagus bila pemerintah lepas tangan terhadap dunia pendidikan. Halhasil, institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen.
Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan melalui kebijakan UU BHP akan tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN). Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan oleh orang tua diharapkan akan mendatangkan kemudahan dalam mencari pekerjaan atau kedudukan. Imbasnya, ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, kelak mereka akan selalu menghubung-hubungkan antara uang yang telah dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji dirasakan belum cukup untuk mengembalikan uang pelicin untuk mendapatkan bangku pendidikan, mereka tak segan-segan untuk mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara.
Tidak hanya suburnya KKN di lingkungan kampus saja, bila di dalam UU BHP tidak diperjelas sistemnya. Bahkan bila sistem manajemen pendidikan yang diterapkan oleh universitas tidak jelas, maka efek nyata akan menimbulkan diskriminatif serta membuat gap yang sangat luas antara anak-anak orang kaya dengan anak orang miskin. Ukurannya seolah-olah bila ingin mengenyam pendidikan harus diukur dari seberapa besar uang yang dimiliki sebagai biaya masuk untuk mengecap bangku di pendidikan perguruan tinggi.
Timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik pikiran penulis selain gambaran dampak diatas, selanjutnya efek lainnya yaitu timbulnya persaingan tidak sehat antara perguruan tinggi negeri dengan swasta, secara otomatis pihak swasta pun turut menaikan harga pendidikan guna menyeimbangi pihak perguruan tinggi negeri. Di lain pihak siapa yang berani menjamin bila harga pendidikan dinaikan akan memajukan dunia pendidikan?. Penulis melihat secara otomatis lambat laun akan berkurangnya peminat untuk kampus swasta yang tidak ‘terkenal’ karena harus tersisihkan oleh kampus negeri yang diswastakan oleh pemerintah. Hal ini diperparah dengan dibolehkannya institusi pendidikan asing untuk membuka cabangnya di Indonesia. Pilihannya kalau tidak gulung tikar, ya merger dengan kampus lainnya. Dengan adanya institusi asing, jelas akan menjadi ancaman nyata bagi institusi pendidikan dalam negeri.
Penulis melihat ke depannya, pergulatan kompetisi pendidikan antara kampus asing dan kampus lokal berakibat tidak mampunya untuk bersaing, maka karyawan yang harus kehilangan pekerjaan dan mahasiswa harus mengulang kembali di kampus barunya. Dampak lainnya, status yayasan harus diperjelas dalam BHP. Karena status yayasan di UU BHP tidak diperjelas. Bukan mustahil berakhir pada pembubaran. Kalaupun tak bubar, masih menimbulkan pertanyaan soal keterwakilan pengurus yayasan di BHP.
Kampus swasta yang masih berstatus yayasan mengkwatirkan akan berlanjutan manejemen pendidikan dengan sistem yayasan. Lampu kuning sudah dinyalakan oleh Pasal 53 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut pasal ini, penyelenggara pendidikan harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Inilah yang menimbulkan keresahan dikalangan pengelola yayasan pendidikan.
Terdapat satu hal lagi dampak yang akan dirasakan dari penerapan UU BHP yaitu membunuh gerakkan mahasiswa, dimana kekuasaan tertinggi bukan lagi di pegang oleh pemerintah melainkan pemilik modal, bila PTN tersebut dikelola oleh masyarakat (BHPM), karena pemilik modal dapat mengeluarkan sebuah kebijakkan yang menurutnya dapat merugikan lembaga pendidikan yang dikelola/diinvestasi oleh masyarakat, seperti halnya yayasan dimana mahasiswa tidak dapat menolak kebijakkan dari pemilik yayasan.
Bila memang tetap diberlakukan juga UU BHP, maka pemerintah harus melakukan revisi terhadap pasal-pasal yang sangat memarginalkan mahasiswa dalam mengenyam pendidikan. Kuncinya solusi secara kongkrit harus terjadi transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan roda manajemen pendidikan di lingkungan kampus. Bila itu dilakukan maka dunia pendidikan menjadi cermin pembelajaran dari kalangan elit dan komponen di luar kampus. Penulis optimis bila semua komponen di lingkungan kampus secara komitmen tinggi serta secara dasar menjalankan transparansi dan akuntabilitas. Maka akhirnya terbangunnya trust building antara pihak rektorat, tenaga pengajar, serta mahasiswa. Semua itu berpulang kepada pribadi manusia pelaksananya (pemerintah) mau di arahkan serta dibawah kemana bahtera pendidikan kita. Makin berkembang atau terpuruk, bisa jadi tertinggal dari negara dibelahan dunia lainnya, khususnya di pendidikan.

B. Analisis Dihapuskannya Pasal 53 UU No.20 tahun 2003

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan seluruh pasal dalam Undang- Undang (UU) No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). MK menilai semua isi UU BHP bertentangan dengan UUD 1945. Salah satunya adalah pasal yang menjadi landasan pembentukan UU BHP, yakni Pasal 53 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas. Dalam pasal ini terdapat frase ”badan hukum pendidikan”.Menurut MK, Frase badan hukum pendidikan harus dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.

Untuk lebih kelasnya mari kita lihat isi pasal 53 tersebut :

1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

Pasal 53 ayat 1 Undang – Undang No 9 ayat 1 mengenai sistem pendidikan nasional. Dalam keputusannya MK menyatakan aturan ini tidak lagi berlaku. Dalam pasal 53 Ayat (1) menyebutkan, “Penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Kedua undang-undang ini menjadikan warga negara dibebani tanggung jawab besar untuk membiayai pendidikan. Dengan dibatalkannya undang-undang ini “komersialisasi” dari lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya perguruan tinggi bisa dihindari

Undang-undang BHP memberikan aturan sangat terperinci beban warga negara atas pendidikan. Di peraturan tersebut diatur antara lain : setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jelas, ketentuan ini amat memberatkan peserta didik, terutama yang berasal dari kalangan kurang mampu. Ini tentu bertolak belakang dengan UUD 1945 yang menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara. Dan seperti yang dipraktekkan dalam perguruan tinggi negara sekarang, konsep badan hukum membuat biaya pendidikan semakin tak terjangkau oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Undang-undang itu memang menyatakan, sekolah atau badan hukum pendidikan wajib menyediakan beasiswa untuk peserta didik dari keluarga yang kurang mampu. Tapi ketentuan seperti ini tetap menabrak konstitusi. Negara, yang seharusnya memberikan hak pendidikan, seolah memindahkan kewajiban ini ke sekolah atau badan hukum pendidikan.

Pasca dikeluarkannya keputusan ini, pendidikan Indonesia terselamatkan. Negara memang tidak sepantasnya lepas tangan soal pendidikan, karena hal itu tak hanya akan membuatnya semakin amburadul, tapi juga akan menciptakan ketidakadilan. Seharusnya dengan kekayaan alam yang melimpah, pendidikan bisa diberikan gratis kepada seluruh warga negara Indonesia mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

Menindaklanjuti putusan ini, perguruan tinggi hendaknya kembali memainkan perannya yaitu sebagai institusi yang berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa dalam artian mendidik mahasiswa tidak hanya dari kalangan mampu saja, tetapi juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat yang kurang mampu untuk menikmati bangku kuliah.

Selama ini dengan otonomi yang sangat besar, beberapa perguruan tinggi seolah-olah bebas dalam menentukan jalur masuknya. Dengan dalih untuk menutupi biaya pendidikan karena anggaran yang terbatas dari pemerintah, masing-masing perguruan tinggi jor-joran membuka ujian mandiri. Ujian mandiri ini tidak bermasalah dilakukan masing-masing perguruan tinggi untuk bisa menyeleksi mahasiswa terbaik yang kelak akan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan, tetapi kenyataannya di lapangan berbeda. Biaya ujian mandiri oleh perguruan tinggi ini selangit, dari puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Sementara kuota jumlah mahasiswa melalui jalur reguler (SNMPTN) dari tahun ke tahun dikurangi. Padahal inilah satu-satunya jalan yang bisa dilalui oleh masyarakat kurang mampu untuk bisa mengenyam bangku kuliah.

Pendidikan merupakan kebutuhan manusia sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan di manapun ia berada. Tidak boleh ada kekuatan apapun yang menghalangi seseorang untuk tidak mendapatkan pendidikan, termasuk undang-undang BHP sekalipun. Pendidikan sangat penting artinya. Sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan terbelakang. Begitu pula suatu bangsa yang tanpa pendidikan. Ia akan menjadi suatu bangsa yang sulit berkembang dan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing, di samping pendidikan harus menghasilkan juga manusia yang berakhlak baik.

1. Dampak negatif UU No. Tahun 2009 Tentang BHP

a. Melahirkan Disparitas Pendidikan
UU BHP ini akan melahirkan pelayanan pendidikan yang diskriminatif dan disparitas pendidikan yang sangat jauh dan melebar antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin. Pendidikan tidak lagi bertujuan untuk mencerdaskan melainkan melahirkan disparitas antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin.

b. Pengingkaran Terhadap Konstitusi

Tujuan Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tidak lagi murni diemban dan dilakukan oleh Pemerintah/Negara seperti yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 34 ayat 3 dan 4, dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan biaya pendidikan. harus didanai oleh Pemerintah. Artinya, Negara telah melakukan pengingkaran terhadap cita-cita Negara yang telah digambarkan dalam Konstitusi

c. Virus Bagi Wajah Pendidikan
Sebelum dibatalkannya UU BHP ini, maka orang-orang akan berpikir berkali-kali dan takut untuk memasuki dunia pendidikan tersebut, karena melihat akibat yang akan dialaminya setelah itu. Sehingga masyarakat akan memilih untuk tidak mengecap pendidikan daripada harus mati kelaparan Saya berharap, dalam mengelurakan suatu kebijakan, Pemerintah harusnya lebih cerdas untuk memikirkan ketakutan-ketakutan masyarakat terhadap implikasi-implikasi kebijakan yang nantinya akan dikonsumsi oleh mereka. Agar kebijakan tersebut dapat bersifat mutualisme dengan nilai-nilai sosialis populis dan rasa keadilan

d. Kekhwatiran terjadinya kapitalisme dan liberalisme dalam dunia pendidikan.

Pembentukan badan hukum pendidikan itu akan berdampak beralihnya pandangan publik dari anggapan bahwa pendidikan adalah upaya yang mulia mencerdaskan bangsa (dan diharap sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara), menjadi anggapan bahwa pendidikan adalah komoditas yang patut diperjualbelikan. Dengan anggapan itu, lembaga pendidikan akan seenaknya menentukan biaya sekolah dan membebankannya secara naif kepada para mahasiswa lewat orangtua mereka. . Petunjuk ke arah itu dapat dilihat di dalam UU-BHP Bab VI tentang Pendanaan pasal 41 ayat 4 dan juga ayat 9. Pada ayat 4 intinya menyebutkan tentang kewajiban Pemerintah bersama dengan BHPP untuk menanggung paling sedikit setengah (1/2) biaya operasional. Sedangkan pada ayat 9 intinya menyebut tentang tanggungan peserta didik sebesar-besarnya sepertiga (1/3) biaya operasional. Jadi menurut ayat 4, jika Pemerintah dan BHPP mencukupi sampai 2/3 dan peserta didik membayar 1/3 dari biaya operasional, logikanya PT yang bersangkutan akan mampu beroperasi dalam standar nasional pendidikan. Namun perlu dicermati, meskipun dikatakan bahwa paling sedikit setengah (½) menjadi tanggungan Pemerintah, embel-embelnya tanggungan itu disebutkan bersama-sama dengan BHPP atau PT bersangkutan. Artinya bahwa PT yang bersangkutan otomatis harus mencari dana tambahan untuk kegiatan operasional mereka. Apalagi jika hanya sebesar setengah (½) yang berarti ada margin sebesar seperenam (1/6) biaya operasional yang harus dicari oleh pihak PT. Seandainya Pimpinan PT bersangkutan ‘gelap pikir’, tidak kreatif dan inovatif intuk menutupi margin kekurangan dana tersebut, maka secara naif dan ini juga yang menjadi kekhawatirkan para mahasiswa, PT akan ambil jalan mudah untuk meningkatkan sumbangan mahasiswa

Dari penjelasan diatas, maka ada beberapa point yang dapat diseimpulkan yaitu sebagai berikut :

1) UU BHP akan mereduksi kewajiban konstitusional dan tanggung jawab negara untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan,

2) UU BHP telah mendorong komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar, maka Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator,

3) UU BHP Memposisikan “Modal” Sebagai Mitra Utama Penyelenggaraan Pendidikan. Jika dianalisis lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UU BHP dalam kaitannya satu sama lain memiliki satu benang merah yang menunjukkan bahwa dengan BHP maka “modal” menjadi faktor utama dalam menyelenggarakan pendidikan. UU BHP menekankan pada tata kelola keuangan untuk sebagai dasar mengembangkan pendidikan,

4) UU BHP memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik. Bagaimana dengan warga negara yang miskin namun tidak berprestasi? Selamanya kelompok warganegara ini tidak akan mendapatkan akses pendidikan yang layak yang pada akhirnya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak tercapai.

5) BHP mempersempit akses warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu. Meskipun UU BHP memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata “jatah” tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi.

2. Implikasi yang kemungkinan ditimbulkan jika pasal 53 UU No. 20/ 2003 dihapus.

Pasca dibatalkannya UU No.9 Tahun 2009 tentang BHP, Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan Putusan No 021/PUU-IV/2006 telah memberikan catatannya yakni agar undang-undang mengenai badan hukum pendidikan sesuai dengan UUD 1945 harus memperhatikan empat aspek antara lain :

a. Aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan,

b. Aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum;

c. Aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik;

d. Aspek aspirasi masyarakat.

Oleh karena itu, dalam penyususnan suatu RUU mengenai badan hukum pendidikan harus sesuai dengan UUD 1945. UU BHP yang telah dibatalkan oleh MK itu sangat lemah karena landasanya hanya UU Sisdiknas tahun 2003 saja, yang menurut pengamatan saya melanggar Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya, keberadaan Pancasila sebagai dasar negara maupun UUD 1945 sebagai konstitusi negara tidak disebut sama sekali (satu pun), baik dalam naskah akademik maupun dalam batang tubuh UU BHP ini. Padalal Pancasila jelas menjadi sumber dari segala sumber hukum, dan UUD 1945 harus menjadi konstitusi negara. Ini merupakan kelemahan mendasar dari UU BHP.

Sedangkan Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20 persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa negara kita menempatkan pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan. Tetapi sebaliknya UU BHP ini menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan untuk mencari keuntungan material.

Badan hukum dalam dunia pendidikan sangat dibutuhkan, karena keberadaan lembaga pendidikan harus memiliki badan hukum yang jelas sehingga memiliki ketegasan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Setiap lembaga pendidikan harus memiliki badan hukum yang jelas sehingga pengelolaan pendidikan bisa lebih baik dan terukur.Menurut analisa kami, dengan adanya badan hukum pada suatu lembaga, maka akan jelas hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Khusus dalam pendidikan, harus memiliki badan hukum yang khas, seperti universitas-universitas yang telah menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Dengan adanya BLU, lembaga akan lebih profesional dalam mengelola keuangan sesuai potensi yang dimilikinya dan pemerintah memberikan bantuan sesuai "block grant" yang telah ditetapkan. Dengan BLU maka operasional pendidikan akan jauh lebih mudah dan cepat. Karena itu dunia pendidikan sangat membutuhkan lembaga hukum yang jelas, sehingga pelaksanaannya lebih terarah.

Menurut kami semestinya MK tidak harus membatalkan UU Nomor 9/2009 tersebut, namun hanya cukup merevisi beberapa pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 tentang kewajiban negara menyelenggarakan pendidikan kepada warganya. Beberapa pasal yang harus direvisi itu terutama yang bertentangan dengan UUD 1945 dan menjadikan pendidikan terkesan lebih komersial dan menjadikan pendidikan seakan-akan komoditas. Kemudian pasal yang dinilai memberikan kekuasaan terlalu besar kepada pemilik modal. Semestinya cukup ketentuan seperti ini saja yang diubah, tanpa harus membatalkan seluruhnya.

Nasi sudah menjadi bubur, itulah kata yang tepat untuk permasalahan ini, Menurut kami pasca dibatalkannya UU BHP oleh MK, maka bagi universitas – universitas yang telah berstatus BHMN dapat mengunakan pendekatan BLU tanpa harus mengorbankan proses transformasi yang berjalan selama ini. Kami menyarankan pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur tata kelola perguruan tinggi dan satuan pendidikan yang baik sehingga pengelolaan perguruan tinggi dilakukan transparan guna meningkatnya mutu pendidikan.

Pasa 53 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang merupakan embrio dari terbentuknya UU No.9 /2009 tentang BHP yang telah dibatalkan ole MK menjadi persoalan utama bagi pemerintah. Apakah pemerintah akan membuat UU penganti UU BHP ataukah persoalan yang ditampung dalam UU BHP itu bisa ditampung dalam UU Sisdiknas atau PP 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi. Jika dua dasar hukum itu tidak bisa menampung implikasi dari dibatalkannya UU No 9 Tahun 2009 tentang BHP, maka hendaknya pemerintah melakukan suatu exercise atau suatu kajian alternatif untuk menutup kevakuman itu seperti :

1) Membentuk UU pengganti UU BHP.

2) Mengusulkan peraturan pemerintan pengganti undang-undang.

3) Membentuk peraturan pemerintah (PP) baru.

4) Menerbitkan peraturan menteri (permen).

Kiranya langkah-langkah itu dapat diupayakan pemerintah sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan untuk menutupi kevakuman hukum untuk pengelolaan perguruan tinggi pasca dibatalkannya UU No.20 Tahun 2009 oleh MK.

DAFTAR PUSTAKA

Bureau for Program and Policy Coordination, USAID Policy Paper, Institutional Development, US Agency for International Development, Washington, D.C., 1983

Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Ke-2. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Kajian Undang-Undang no. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

implikasi langkah-langkah kebijakannya : laporan.

Prasetyo, Eko. 2006. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Cetakan Ke-4. Yogyakarta: Resist Book.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 33 tahun 2009 tentang Badan Layanan Umum

Peraturan Pemerintah RI No.17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

Topatimasang, Roem., Fakih, Mansour., Rahardjo, Toto. 2007. Mengubah Kebijakan Publik. Cetakan Ke-5. Yogyakarta: Insist Press.

UUD 1945 Amandemen Ke-4 Tahun 2002.

UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

World Education Forum Drafting Committee, Education For All: Meeting Our Collective Commitments, Expanded Commentary on the Dakar Framework for Action, Paris, 2000

http://www.suparlan.com.

http://bksmanci.files.wordpress.com/2009/10/ptk-bk-bag-1.pdf

http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf

http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=259:uu-no-9-tahun-2009-tentang-bhp-dan-swasta&catid=143:berita-harian

http://matanews.com/2009/03/10/uu-no9-tahun-2009-tentang-badan-hukum-pendidikan/

PENDDIKAN DAN PEMBENTUKAN WATAK

A. PENDAHULUAN

Merujuk kepada pendapat para tokoh, pemimpin dan pakar pendidikan dunia yang menyepakati pembentukan karakter sebagai tujuan pendidikan, maka sejarah pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Namun dalam perjalanannya, pendidikan moral atau pendidikan karakter sempat tenggelam dan terlupakan dari dunia pendidikan, terutama sekolah.

Menurut analisis Thomas Lickona sebagai dirangkum oleh Howard, bangkitnya logika positivisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan. Begitu juga pemikiran relativitas moral dengan jargonnya semua nilai adalah relatif, berpengaruh terhadap terlupakannya pendidikan karakter.

Paham personalisme yang menyatakan setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun, dan meningkatnya paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-nilai siapakah yang diajarkan, semakin melengkapi alasan penolakan pendidikan karakter. Sementara itu, sekularisasi masyarakat telah menumbuhkan ketakutan untuk mengajarkan moralitas di sekolah karena khawatir dianggap sebagai pengajaran agama. Hal ini terutama banyak dialami oleh negara-negara maju tapi sekuler.

Selanjutnya Howard mencatat, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan. Namun di sekolah-sekolah publik, dukungan untuk pendidikan moral berkurang dan menyusut. Perubahan-perubahan ini seringkali berhubungan dengan dengan kejadian-kejadian bersejarah dan gerakan-gerakan politik. Adapun di Indonesia, sejarah pendidikan moral atau karakter dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship). Kewarganegaraan merupakan wujud loyalitas akhir dari setiap manusia modern.

Di Indonesia, dalam zaman pra-kemerdekaan, yang dikenal adalah pendidikan atau pengajaran budi pekerti yang menanamkan dalam peserta didik asas-asas moral, etika dan etiket yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Setelah Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah presiden Soekarno pada awal 1960-an pendidikan kewarganegaraan muncul dalam bentuk indoktrinasi. Kemudian semasa pemerintahan Orde baru yang dipimpin Soeharto, indoktrinasi itu berganti menjadi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bukan saja sebagai pelajaran wajib tetapi juga penataran wajib. Upaya pembentukan karakter bangsa melalui mata pelajaran berlabel Pancasila ini terus dilakukan dengan pendekatan indoktrinasi sampai pada awal tahun dasawarsa 90-an. Seiring dengan menggemanya reformasi, sekitar tahun 2000 digulirkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang membidani lahirnya pelajaran budi pekerti.

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Apabila aspek sikap mental seseorang sudah terbina dan terbentuk dengan baik, maka aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang akan mengikuti terbina dengan baik. Termasuk tugas pendidikan untuk ikut mencerdaskan bangsa seperti terkandung dalam pembukaan UUD 1945 akan dengan mudah dapat dicapai. Namun sebaliknya apabila sikap mental bangsa tidak terbentuk dengan baik, maka bangsa yang cerdas sulit terwujud atau apabila kecerdasan dapat diwujudkan tidak dapat dipakai untuk membentuk sistim kehidupan atau budaya masyarakat dan bangsa yang kokoh dan maju. Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan.

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global..

Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas saat ini belum mendukung pencapaian hasil belajar penting seperti yang diuraikan di atas. Pembelajaran masih dominan menggunakan metode ceramah dan metode drill yang berpusat pada guru. Metode tersebut diakui berhasil dalam kompetisi menghafal sejumlah informasi tapi gagal dalam menyiapkan siswa memiliki kemampuan kritis, apresiatif, kreatif, dan inovatif untuk mampu bersaing dan hidup kompetitif.

Hasil penelitian yang dilakukan selama 25 tahun terakhir tentang otak manusia, menunjukkan bahwa metode drill yang dilakukan berpengaruh pada berkembangnya otak ”reptil” yaitu otak yang bertanggungjawab terhadap survivel dan pertahanan diri seperti melawan. Tidak berlebihan jika kita khawatir bahwa tidak mustahil metode ini akan berpengaruh pada pola perkelahian dan anarkhi yang akhir-akhir ini sering ditunjukkan oleh kelompok-kelompok siswa.

Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional yaitu “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah “maka Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil / Insan Paripurna) , yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis (Renstra Diknas 2005-2009).

B. PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.

Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila dicermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh.

Hakekat pendidikan seharusnya membentuk karakter karena Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Setiap kita bertanggung jawab terhadap pendidikan bangsa ini. Tidak hanya bagi mereka yang terjun di lembaga pendidikan formal seperti guru, dosen dan sebagainya, tapi semuanya. Pemahaman ini yang harus tertanam terlebih dahulu.Pendidikan tidak sama dengan sekolah. Cakupannya luas tak terbatas .Sekolah hanya satu bagian kecil dari sarana pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak hanya terpaku pada transfer materi dari guru ke murid. Pendidikan harus utuh dan menyeluruh, meliputi semua aspek dalam kehidupan seorang . Pendidikan harus berorientasi pada terbentuknya individu-individu yang memiliki karakter /jati diri. Kepribadian yang utuh dan menyeluruh inilah yang saat ini tengah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Hakikat pendidikan membentuk karakter pendidikan harus berorientasi kepada terbentuknya karakter (kepribadian/jatidiri). Setiap tahapan pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan saksama sehingga menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar dari karakter ada dalam cara berfikir dan cara merasa seseorang. Sebagaimana diketahui, manusia terdiri dari tiga unsur pembangun yaitu hatinya (bagaimana ia merasa), fikirannya (bagaimana ia berfikir) dan fisiknya (bagaimana ia bersikap). Oleh karena itu , langkah – langkah untuk membentuk atau merubah karakter juga harus dilakukan dengan menyentuh dan melibatkan unsur-unsurtersebut.

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

C. MEMBENTUK KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor kelayakan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.

Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?

Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.

Pendidikan di sekolah bukan cuma memberi pengetahuan, tetapi melengkapi siswa dengan keterampilan, kemampuan, dan karakter. Sayangnya, para guru dewasa ini terjebak untuk mengajarkan pencapaian nilai akademik tinggi, sedangkan masalah non-akademik pembentukan karakter, kepribadian, sikap, etos kerja, nasionalisme, termasuk soft skill terabaikan. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Pendidikan merupakan pemberi harapan terhadap kecerahan masa depan bangsa. Ini tidak semata menguasai pengetahuan dan teknologi, tetapi memiliki karakter manusia Indonesia yang kuat. Untuk itu, kita memerlukan pendidik yang cerdas dan berkarakter kuat dan mempunyai cita-cita mencerdaskan peserta didik. Karena pendidikan merupakan motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, tentunya dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Pendidikan dan pembentukan watak (character Building) untuk membangun keberadaban bangsa, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia.

Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibelanjakan, dilatih, dan dikelola secara bertahap. Pembentukan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama, guru, tutor dan seluruh komponen bangsa untuk berkomitmen membentuk, membangun dan mempertahankannya. Pendekatan pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dalam lingkup informal yaitu keluarga serta pendidikan nonformal dan formal.

Untuk menjadi manusia yang berkarakter butuh proses yang tidak sebentar. Jadi tidak cukup hanya melalui pelajaran di sekolah.. Secara spesifik, ada tiga unsur yang harus dilakukan dalam model pendidikan karaktersebagai berikut :

1. Knowing the good.

Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. “Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.

2. Feeling the good.

Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika Feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.

3. Acting the good.

Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya imbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Jadi, konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur. Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan.

D. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PEDAGOGI

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik. Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.

Pedagogi dalam arti sempit mengacu pada proses pendidikan dalam sekolah yang memiliki hubungan yang sifatnya vertikal antara guru dan murid, sedangkan dalam arti yang luas berarti proses pendidikan secara terus menerus, atau proses belajar seumur hidup atau proses pendidikan permanen yang dimiliki oleh setiap orang ( Kusuma, 2009:138)

Pendidikan karaktek disatu sisi merupakan sebuah pedagogi yang merupakan tanggapan atas pendekatan naturalis dan spontan. Pendekatan naturalis dirasakan sangat tidak mencukupi jika diterapkan bagi pendidikan manusia, sebab bukan manusialah yang mesti menyesuaikan diri dengan ritme kodratnya, melainkan kodrat itu mesti mengikuti idealisme yang dimiliki manusia. Pendidikan karakter termasuk dalam sebuah pedagogi yang memberikan penekanan pada nilai-nilai atau idealisme.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan perhatian pada tiga hal penting bagi pertumbuhan manusia, yaitu perkembangan kemampuan kodrati manusis sebagaimana dimiliki secara berbeda oleh setiap individu. Ini merupakan pengembangan metode naturalis, yaitu anak didik diharapkan berkembang sesuai dengan pertumbuhan kodrat alamiahnya. Dalam mengembangkan kemampuan kodrat ini manusia tidak dapat mengabaikan relasi negatifnya dengan lingkungan sosial dan dalam relasi antar individu dan masyarakat dan ia harus mengarahkan diri terhadap nilai-nilai. Pendidikan karakter sebagai pedagogi merupakan sebuah jalan pertumbuhan kehidupan moral yang utuh bagi setiap individu yang terlibat dalam kinerja lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting dalam tindakan edukatif yaitu , Individu , sosial dan moral. oleh karena itu pembaruan dalam dunia pendidikan , serta penerapan program pendidikan karakter dalam setip lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga matra tersebut.

Secara sederhana tiga matra itu mengacu pada unsur-unsur yang menjadi faktor penbentuk pendidikan karakter. Matra individu dalam pendidikan karakter menyiratkan dihargainya nilai-nilai kebebasan dan tanggungjawab. Nilai-nilai kebebasan inilah yang menjadi prasyarat sebuah prilaku bermoral. Yang menjadi subyek untuk bertindak dan subyek moral adalah pribadi itu sendiri. Kebebasan itu diwujudkan melalui kemampuan mengambil keputusan. Matra sosial mengacu pada corak relasional antara individu dengan individu, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam mengorganisir dirinyansendiri. Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi anggotanya. oleh karena itu matra sosial mengekspresikan adanya jalinan relasional antar individu. Matra moral menjadi jiwa gerak dan dinamika masyarakat, sehingga masyarakat menjadi semakin berbudaya dan bermatabat.Tanpa ada matra moral ini masyarakat akan hidup dalam suatu tirani kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan. Kondisi ini akan membuat masyarakat tidak stabil, sebab terjadi konplik untuk saling mempertahankan kebebasannya. Tanpa norma moral, relasi kekuasaan dalam masyarakat akan menjadi liar dan menindas.

Lmbaga pendidikan dalam arti yang paling dalam, sebenarny menjadi tempat kekuasaan itu saling berdialog satu sama lain. Jika kita mencari contoh tentang berbagai macam relasi kekuasaan yang melibatkan individu, masyarakat, dan pandangan moral sekolahlah contoh paling tepat . Sebab dalam sekolah relasi kekuasaan itu begitu kentara sehingga situasi yang opresif maupun bebas itu bisa terjadi.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

E. PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti yang dinyatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:
“the highest and noblest office of education pertains to our moral nature.
The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).

Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).

Kegagalan pendekatan moral reasoning dan values clarification yang mulai dirasakan akibatnya pada demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah membuat titik balik dalam pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik (ethics scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective character education).

Untuk itulah kemudian disusun suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter agar penyakit yang berada dalam masyarakat negara manapun di belahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan Goble menyarankan dalam bukunya The Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa semua agama memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya: Brooks dan Goble dalam bukunya The Case for Character Education menyatakan : It is important to note that the authors' recent experience with groups of teachers in different religious schools has clearly indicated that the various world religions do have a common set of core values. Work with Muslim, 7th Day Adventist, Lutheran, Jewish and Roman Catholic educators all resulteed in the generation of a list of values that were overlapping. All groups listed such values as honesty, respect, courage, perseverence, responsibility, and caring as common values that must be taught in their school

Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta , kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.

Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

  1. Bentuk-Bentuk Karakter

Macam nilai yang akan dibangun dalam diri peserta didik meliputi berbagai hal. Menurut Tim pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:16-18) telah teridentifikasi 80 butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima.

a. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan.

b. Nilai-nilai perilaku manusia terhadapdiri sendiri.

c. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama.

d. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan.

e. Nilai-nilai kebangsaan.

Secara skematis, Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010) menggambarkan nilai-nilai luhur dan perilaku berkarakter yang menyangkut olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa Davies (2010) menyebutkan ada 52 kalimat yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter anak, enam diantaranya misalnya: (1) how I look is not as important as how I act; (2) I treat others the way I want them to treat me; (3) I am a good sport, I follow the rules, take turns and play fair; (4) it is okay to laugh at funny things, but not to laugh at others; (5) I do not gossip, if I cannot say anything helpful, I do not say anything at all; (6) when I am sad, I help myself feel better by thinking of things that are good in my life.

  1. Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Menurut Lickona, dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) mengusahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik (Bashori, 2010).

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai- nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah seharihari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti. (Bashori, 2010).

  1. Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran

Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam pembelajaran dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, memfasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkahlaku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/ peduli, dan menginternalisasi nilai- nilai dan menjadikannya perilaku.

Integrasi dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan dan metode pembelajaran, serta model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan.

Integrasi pendidikan karakter bukan saja dapat dilakukan dalam materi pelajaran, namun teknik dan metode mengajar dapat pula digunakan sebagai alat pendidikan karakter. Membangun individu yang teliti dapat dilakukan dalam proses pengukuran,dan observasi misalnya, membangun tanggungjawab melalui penugasan, membangun kepercayaan diri melalui presentasi dan sebagainya.

Namun sampai saat ini, belum ada upaya di setiap satuan pendidikan untuk mencoba melakukan kegiatan ini hingga menghasilkan dokumen otentik. Pada tingkat sekolah, kepala sekolah harus memfasilitasi hal ini, demikian juga pada tingkat-tingkat birokrasi di atasnya. Disadari variabilitas kualitas pendidik, sekolah, dan akses informasi, sangat mempengaruhi hasil kegitaan ini, namun dengan koordinasi Kemendiknas, melalui pelatihan dan workshop yang mengacu pada sistem perimbasan, hambtan ini dapat dikurangi.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Kegiatan Ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.

Kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian keigiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok. Kegiatan ekstra kurikuler juga diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut.

a. Pengembangan, yaitu mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.

b. Sosial, yaitu mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.

c. Rekreatif, yaitu mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.

d. Persiapan karir, yaitu mengembangkan kesiapan karir peserta didik.

Implementasi pendidikan karakter dalam kegiatan ekstra kurikuler merupakan langkah yang sangat strtegis, namun saat ini, tidak banyak sekolah yang benar-benar mempunyai kegiatan ekstrakurikuler yang memadai. Di banyak sekolah, kegiatan ekstra kurikuler masih dianggap sebapai tempelan kegiatan, sehingga dianggap sebagai kegiatan yang tidak harus diadakan. Beberapa sekolah bahkan lebih senang mengadakan les bimbingan tes dalam kegiatan ekstrakurikulernya. Capaian rerata skor UN yang tinggi masih dianggap memiliki gengsi lebih tinggi daripada prestasi kegiatan yang lain.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Manajemen Sekolah

Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai pula. Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi:

a. nilai-nilai perilaku (karakter) kompetensi lulusan;

b. muatan kurikulum nilai-nilai perilaku (karakter);

c. nilai-nilai perilaku (karakter) dalam pembelajaran;

d. nilai-nilai perilaku (karakter) pendidik dan tenaga kependidikan; dan

e. nilai-nilai perilaku (karakter) pembinaan kepesertadidikan.

Berbagai hal yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dan lain-lain) dirancang dan diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, seperti pengelolaan: siswa, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi, serta pengelolaan lainnya. Ketiga jalur tersebut dalam implementasinya dapat dilakukan dengan seperti berikut.

1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif peserta didik dengan diberikan materi pelajaran yang kongkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual teaching and learning, inquiry based learning, integrated learning).

2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conductive learning community).

3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good.

4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing peserta didik.

5) Menerapkan prinsip-prinsip developmentally appropriate practices.

6) Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas dan seluruh sekolah.

7) Model atau contoh perilaku positif.

8) Menciptakan peluang bagi peserta didik untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk dalam kehidupan di kelas dan di sekolah.

9) Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial.

10) Melibatkan peserta didik dalam wacana moral. Isu moral adalah esensi pendidikan anak untuk menjadi prososial, dan moral manusia.

11) Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk peserta didik.

12) Tidak ada peserta didik yang terabaikan.

F. TAHAPAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Menurut Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:19-21) pengembangan karakter melalui beberapa tahapan, yaitu tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.

Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter.

Penguatan ini berkaitan dengan bentuk- bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Dengan demikian, pendidikan karakter bukan saja membangun pengetahuan tentang karakter yang baik, namun juga harus dilanjutkan dengan membentuk perasaan dalam diri peserta didik agar memiliki kepekaan rasa terhadap hal-hal yang kurang baik dan dapat mengimplementasikan karakterkarakter yang baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

G. PENUTUP

Pendidikan karakter adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Jika komponen-komponen pendidikan peduli untuk meningkatkan mutu lulusan peserta didikinya maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia.

Berikut kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi menyebutkan salah satu dosa fatal adalah “education without character”(pendidikan tanpa karakter).

Martin Luther King pernah berkata: “Intelligence plus character…. that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).

Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya kepada masyarakat).

Pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil baik bilamana dukungan lingkungan yang berupa kehidupan masyarakat dan teknologinya tidak membantu. Tayangan televisi dan media informasi lainnya yang saat ini menjadi dunia keseharian anak, perlu mendapatkan pengaturan waktu dan kualitasnya agar bersahabat dengan pendidikan karakter. Untuk itu diperlukan sosok di bidang regulasi dan pengawasan penyiaran.yang benar-benar memahami pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Albertus, Doni Koesoema. (2009). Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku perubahan dan Pendidik Karakter, Jakarta: Grasindo.

Albertus, Doni Koesoema. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta, Grasindo.

Bashori, Khoiruddin. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com

http://www.republika.co.id. November 2008. Dirjen: Pendidikan Cenderung Cari Nilai Tinggi.

.

http://www.republika.co.id: Maret 2010. Majelis Guru Besar Bahas Pendidikan Berkarakter Indonesia.

Leah, Davies. 52 Character Building Thoughts for Children. http://www. kellybear. com/TeacherArticles/ TeacherTip52.html

_______. Children and Television. http:- //www.kellybear.com/Teacher Articles/TeacherTip8.html

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. How Our School can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Ryan, Kevi & Bohlin, K.E. 1999. Building Character in Schools. Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey-Bass.

Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak diterbitkan.

Williams, Russell T. dan Ratna Megawangi. 2010. Kecerdasan Plus Karakter. http://ihf-org.tripod.com.

Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter, Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.




.


PENDDIKAN DAN PEMBENTUKAN WATAK

( CHARACTER BUILDING )

A. PENDAHULUAN

Merujuk kepada pendapat para tokoh, pemimpin dan pakar pendidikan dunia yang menyepakati pembentukan karakter sebagai tujuan pendidikan, maka sejarah pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Namun dalam perjalanannya, pendidikan moral atau pendidikan karakter sempat tenggelam dan terlupakan dari dunia pendidikan, terutama sekolah.

Menurut analisis Thomas Lickona sebagai dirangkum oleh Howard, bangkitnya logika positivisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan. Begitu juga pemikiran relativitas moral dengan jargonnya semua nilai adalah relatif, berpengaruh terhadap terlupakannya pendidikan karakter.

Paham personalisme yang menyatakan setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun, dan meningkatnya paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-nilai siapakah yang diajarkan, semakin melengkapi alasan penolakan pendidikan karakter. Sementara itu, sekularisasi masyarakat telah menumbuhkan ketakutan untuk mengajarkan moralitas di sekolah karena khawatir dianggap sebagai pengajaran agama. Hal ini terutama banyak dialami oleh negara-negara maju tapi sekuler.

Selanjutnya Howard mencatat, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan. Namun di sekolah-sekolah publik, dukungan untuk pendidikan moral berkurang dan menyusut. Perubahan-perubahan ini seringkali berhubungan dengan dengan kejadian-kejadian bersejarah dan gerakan-gerakan politik. Adapun di Indonesia, sejarah pendidikan moral atau karakter dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship). Kewarganegaraan merupakan wujud loyalitas akhir dari setiap manusia modern.

Di Indonesia, dalam zaman pra-kemerdekaan, yang dikenal adalah pendidikan atau pengajaran budi pekerti yang menanamkan dalam peserta didik asas-asas moral, etika dan etiket yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Setelah Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah presiden Soekarno pada awal 1960-an pendidikan kewarganegaraan muncul dalam bentuk indoktrinasi. Kemudian semasa pemerintahan Orde baru yang dipimpin Soeharto, indoktrinasi itu berganti menjadi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bukan saja sebagai pelajaran wajib tetapi juga penataran wajib. Upaya pembentukan karakter bangsa melalui mata pelajaran berlabel Pancasila ini terus dilakukan dengan pendekatan indoktrinasi sampai pada awal tahun dasawarsa 90-an. Seiring dengan menggemanya reformasi, sekitar tahun 2000 digulirkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang membidani lahirnya pelajaran budi pekerti.

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Apabila aspek sikap mental seseorang sudah terbina dan terbentuk dengan baik, maka aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang akan mengikuti terbina dengan baik. Termasuk tugas pendidikan untuk ikut mencerdaskan bangsa seperti terkandung dalam pembukaan UUD 1945 akan dengan mudah dapat dicapai. Namun sebaliknya apabila sikap mental bangsa tidak terbentuk dengan baik, maka bangsa yang cerdas sulit terwujud atau apabila kecerdasan dapat diwujudkan tidak dapat dipakai untuk membentuk sistim kehidupan atau budaya masyarakat dan bangsa yang kokoh dan maju. Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan.

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global..

Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas saat ini belum mendukung pencapaian hasil belajar penting seperti yang diuraikan di atas. Pembelajaran masih dominan menggunakan metode ceramah dan metode drill yang berpusat pada guru. Metode tersebut diakui berhasil dalam kompetisi menghafal sejumlah informasi tapi gagal dalam menyiapkan siswa memiliki kemampuan kritis, apresiatif, kreatif, dan inovatif untuk mampu bersaing dan hidup kompetitif.

Hasil penelitian yang dilakukan selama 25 tahun terakhir tentang otak manusia, menunjukkan bahwa metode drill yang dilakukan berpengaruh pada berkembangnya otak ”reptil” yaitu otak yang bertanggungjawab terhadap survivel dan pertahanan diri seperti melawan. Tidak berlebihan jika kita khawatir bahwa tidak mustahil metode ini akan berpengaruh pada pola perkelahian dan anarkhi yang akhir-akhir ini sering ditunjukkan oleh kelompok-kelompok siswa.

Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional yaitu “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah “maka Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil / Insan Paripurna) , yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis (Renstra Diknas 2005-2009).

B. PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.

Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila dicermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh.

Hakekat pendidikan seharusnya membentuk karakter karena Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Setiap kita bertanggung jawab terhadap pendidikan bangsa ini. Tidak hanya bagi mereka yang terjun di lembaga pendidikan formal seperti guru, dosen dan sebagainya, tapi semuanya. Pemahaman ini yang harus tertanam terlebih dahulu.Pendidikan tidak sama dengan sekolah. Cakupannya luas tak terbatas .Sekolah hanya satu bagian kecil dari sarana pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak hanya terpaku pada transfer materi dari guru ke murid. Pendidikan harus utuh dan menyeluruh, meliputi semua aspek dalam kehidupan seorang . Pendidikan harus berorientasi pada terbentuknya individu-individu yang memiliki karakter /jati diri. Kepribadian yang utuh dan menyeluruh inilah yang saat ini tengah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Hakikat pendidikan membentuk karakter pendidikan harus berorientasi kepada terbentuknya karakter (kepribadian/jatidiri). Setiap tahapan pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan saksama sehingga menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar dari karakter ada dalam cara berfikir dan cara merasa seseorang. Sebagaimana diketahui, manusia terdiri dari tiga unsur pembangun yaitu hatinya (bagaimana ia merasa), fikirannya (bagaimana ia berfikir) dan fisiknya (bagaimana ia bersikap). Oleh karena itu , langkah – langkah untuk membentuk atau merubah karakter juga harus dilakukan dengan menyentuh dan melibatkan unsur-unsurtersebut.

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

C. MEMBENTUK KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor kelayakan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.

Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?

Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.

Pendidikan di sekolah bukan cuma memberi pengetahuan, tetapi melengkapi siswa dengan keterampilan, kemampuan, dan karakter. Sayangnya, para guru dewasa ini terjebak untuk mengajarkan pencapaian nilai akademik tinggi, sedangkan masalah non-akademik pembentukan karakter, kepribadian, sikap, etos kerja, nasionalisme, termasuk soft skill terabaikan. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Pendidikan merupakan pemberi harapan terhadap kecerahan masa depan bangsa. Ini tidak semata menguasai pengetahuan dan teknologi, tetapi memiliki karakter manusia Indonesia yang kuat. Untuk itu, kita memerlukan pendidik yang cerdas dan berkarakter kuat dan mempunyai cita-cita mencerdaskan peserta didik. Karena pendidikan merupakan motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, tentunya dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Pendidikan dan pembentukan watak (character Building) untuk membangun keberadaban bangsa, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia.

Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibelanjakan, dilatih, dan dikelola secara bertahap. Pembentukan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama, guru, tutor dan seluruh komponen bangsa untuk berkomitmen membentuk, membangun dan mempertahankannya. Pendekatan pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dalam lingkup informal yaitu keluarga serta pendidikan nonformal dan formal.

Untuk menjadi manusia yang berkarakter butuh proses yang tidak sebentar. Jadi tidak cukup hanya melalui pelajaran di sekolah.. Secara spesifik, ada tiga unsur yang harus dilakukan dalam model pendidikan karaktersebagai berikut :

1. Knowing the good.

Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. “Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.

2. Feeling the good.

Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika Feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.

3. Acting the good.

Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya imbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Jadi, konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur. Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan.

D. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PEDAGOGI

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik. Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.

Pedagogi dalam arti sempit mengacu pada proses pendidikan dalam sekolah yang memiliki hubungan yang sifatnya vertikal antara guru dan murid, sedangkan dalam arti yang luas berarti proses pendidikan secara terus menerus, atau proses belajar seumur hidup atau proses pendidikan permanen yang dimiliki oleh setiap orang ( Kusuma, 2009:138)

Pendidikan karaktek disatu sisi merupakan sebuah pedagogi yang merupakan tanggapan atas pendekatan naturalis dan spontan. Pendekatan naturalis dirasakan sangat tidak mencukupi jika diterapkan bagi pendidikan manusia, sebab bukan manusialah yang mesti menyesuaikan diri dengan ritme kodratnya, melainkan kodrat itu mesti mengikuti idealisme yang dimiliki manusia. Pendidikan karakter termasuk dalam sebuah pedagogi yang memberikan penekanan pada nilai-nilai atau idealisme.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan perhatian pada tiga hal penting bagi pertumbuhan manusia, yaitu perkembangan kemampuan kodrati manusis sebagaimana dimiliki secara berbeda oleh setiap individu. Ini merupakan pengembangan metode naturalis, yaitu anak didik diharapkan berkembang sesuai dengan pertumbuhan kodrat alamiahnya. Dalam mengembangkan kemampuan kodrat ini manusia tidak dapat mengabaikan relasi negatifnya dengan lingkungan sosial dan dalam relasi antar individu dan masyarakat dan ia harus mengarahkan diri terhadap nilai-nilai. Pendidikan karakter sebagai pedagogi merupakan sebuah jalan pertumbuhan kehidupan moral yang utuh bagi setiap individu yang terlibat dalam kinerja lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting dalam tindakan edukatif yaitu , Individu , sosial dan moral. oleh karena itu pembaruan dalam dunia pendidikan , serta penerapan program pendidikan karakter dalam setip lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga matra tersebut.

Secara sederhana tiga matra itu mengacu pada unsur-unsur yang menjadi faktor penbentuk pendidikan karakter. Matra individu dalam pendidikan karakter menyiratkan dihargainya nilai-nilai kebebasan dan tanggungjawab. Nilai-nilai kebebasan inilah yang menjadi prasyarat sebuah prilaku bermoral. Yang menjadi subyek untuk bertindak dan subyek moral adalah pribadi itu sendiri. Kebebasan itu diwujudkan melalui kemampuan mengambil keputusan. Matra sosial mengacu pada corak relasional antara individu dengan individu, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam mengorganisir dirinyansendiri. Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi anggotanya. oleh karena itu matra sosial mengekspresikan adanya jalinan relasional antar individu. Matra moral menjadi jiwa gerak dan dinamika masyarakat, sehingga masyarakat menjadi semakin berbudaya dan bermatabat.Tanpa ada matra moral ini masyarakat akan hidup dalam suatu tirani kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan. Kondisi ini akan membuat masyarakat tidak stabil, sebab terjadi konplik untuk saling mempertahankan kebebasannya. Tanpa norma moral, relasi kekuasaan dalam masyarakat akan menjadi liar dan menindas.

Lmbaga pendidikan dalam arti yang paling dalam, sebenarny menjadi tempat kekuasaan itu saling berdialog satu sama lain. Jika kita mencari contoh tentang berbagai macam relasi kekuasaan yang melibatkan individu, masyarakat, dan pandangan moral sekolahlah contoh paling tepat . Sebab dalam sekolah relasi kekuasaan itu begitu kentara sehingga situasi yang opresif maupun bebas itu bisa terjadi.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

E. PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti yang dinyatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:
“the highest and noblest office of education pertains to our moral nature.
The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).

Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).

Kegagalan pendekatan moral reasoning dan values clarification yang mulai dirasakan akibatnya pada demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah membuat titik balik dalam pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik (ethics scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective character education).

Untuk itulah kemudian disusun suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter agar penyakit yang berada dalam masyarakat negara manapun di belahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan Goble menyarankan dalam bukunya The Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa semua agama memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya: Brooks dan Goble dalam bukunya The Case for Character Education menyatakan : It is important to note that the authors' recent experience with groups of teachers in different religious schools has clearly indicated that the various world religions do have a common set of core values. Work with Muslim, 7th Day Adventist, Lutheran, Jewish and Roman Catholic educators all resulteed in the generation of a list of values that were overlapping. All groups listed such values as honesty, respect, courage, perseverence, responsibility, and caring as common values that must be taught in their school

Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta , kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.

Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

  1. Bentuk-Bentuk Karakter

Macam nilai yang akan dibangun dalam diri peserta didik meliputi berbagai hal. Menurut Tim pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:16-18) telah teridentifikasi 80 butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima.

a. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan.

b. Nilai-nilai perilaku manusia terhadapdiri sendiri.

c. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama.

d. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan.

e. Nilai-nilai kebangsaan.

Secara skematis, Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010) menggambarkan nilai-nilai luhur dan perilaku berkarakter yang menyangkut olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa Davies (2010) menyebutkan ada 52 kalimat yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter anak, enam diantaranya misalnya: (1) how I look is not as important as how I act; (2) I treat others the way I want them to treat me; (3) I am a good sport, I follow the rules, take turns and play fair; (4) it is okay to laugh at funny things, but not to laugh at others; (5) I do not gossip, if I cannot say anything helpful, I do not say anything at all; (6) when I am sad, I help myself feel better by thinking of things that are good in my life.

  1. Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Menurut Lickona, dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) mengusahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik (Bashori, 2010).

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai- nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah seharihari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti. (Bashori, 2010).

  1. Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran

Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam pembelajaran dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, memfasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkahlaku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/ peduli, dan menginternalisasi nilai- nilai dan menjadikannya perilaku.

Integrasi dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan dan metode pembelajaran, serta model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan.

Integrasi pendidikan karakter bukan saja dapat dilakukan dalam materi pelajaran, namun teknik dan metode mengajar dapat pula digunakan sebagai alat pendidikan karakter. Membangun individu yang teliti dapat dilakukan dalam proses pengukuran,dan observasi misalnya, membangun tanggungjawab melalui penugasan, membangun kepercayaan diri melalui presentasi dan sebagainya.

Namun sampai saat ini, belum ada upaya di setiap satuan pendidikan untuk mencoba melakukan kegiatan ini hingga menghasilkan dokumen otentik. Pada tingkat sekolah, kepala sekolah harus memfasilitasi hal ini, demikian juga pada tingkat-tingkat birokrasi di atasnya. Disadari variabilitas kualitas pendidik, sekolah, dan akses informasi, sangat mempengaruhi hasil kegitaan ini, namun dengan koordinasi Kemendiknas, melalui pelatihan dan workshop yang mengacu pada sistem perimbasan, hambtan ini dapat dikurangi.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Kegiatan Ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.

Kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian keigiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok. Kegiatan ekstra kurikuler juga diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut.

a. Pengembangan, yaitu mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.

b. Sosial, yaitu mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.

c. Rekreatif, yaitu mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.

d. Persiapan karir, yaitu mengembangkan kesiapan karir peserta didik.

Implementasi pendidikan karakter dalam kegiatan ekstra kurikuler merupakan langkah yang sangat strtegis, namun saat ini, tidak banyak sekolah yang benar-benar mempunyai kegiatan ekstrakurikuler yang memadai. Di banyak sekolah, kegiatan ekstra kurikuler masih dianggap sebapai tempelan kegiatan, sehingga dianggap sebagai kegiatan yang tidak harus diadakan. Beberapa sekolah bahkan lebih senang mengadakan les bimbingan tes dalam kegiatan ekstrakurikulernya. Capaian rerata skor UN yang tinggi masih dianggap memiliki gengsi lebih tinggi daripada prestasi kegiatan yang lain.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Manajemen Sekolah

Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai pula. Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi:

a. nilai-nilai perilaku (karakter) kompetensi lulusan;

b. muatan kurikulum nilai-nilai perilaku (karakter);

c. nilai-nilai perilaku (karakter) dalam pembelajaran;

d. nilai-nilai perilaku (karakter) pendidik dan tenaga kependidikan; dan

e. nilai-nilai perilaku (karakter) pembinaan kepesertadidikan.

Berbagai hal yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dan lain-lain) dirancang dan diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, seperti pengelolaan: siswa, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi, serta pengelolaan lainnya. Ketiga jalur tersebut dalam implementasinya dapat dilakukan dengan seperti berikut.

1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif peserta didik dengan diberikan materi pelajaran yang kongkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual teaching and learning, inquiry based learning, integrated learning).

2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conductive learning community).

3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good.

4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing peserta didik.

5) Menerapkan prinsip-prinsip developmentally appropriate practices.

6) Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas dan seluruh sekolah.

7) Model atau contoh perilaku positif.

8) Menciptakan peluang bagi peserta didik untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk dalam kehidupan di kelas dan di sekolah.

9) Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial.

10) Melibatkan peserta didik dalam wacana moral. Isu moral adalah esensi pendidikan anak untuk menjadi prososial, dan moral manusia.

11) Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk peserta didik.

12) Tidak ada peserta didik yang terabaikan.

F. TAHAPAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Menurut Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:19-21) pengembangan karakter melalui beberapa tahapan, yaitu tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.

Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter.

Penguatan ini berkaitan dengan bentuk- bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Dengan demikian, pendidikan karakter bukan saja membangun pengetahuan tentang karakter yang baik, namun juga harus dilanjutkan dengan membentuk perasaan dalam diri peserta didik agar memiliki kepekaan rasa terhadap hal-hal yang kurang baik dan dapat mengimplementasikan karakterkarakter yang baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

G. PENUTUP

Pendidikan karakter adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Jika komponen-komponen pendidikan peduli untuk meningkatkan mutu lulusan peserta didikinya maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia.

Berikut kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi menyebutkan salah satu dosa fatal adalah “education without character”(pendidikan tanpa karakter).

Martin Luther King pernah berkata: “Intelligence plus character…. that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).

Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya kepada masyarakat).

Pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil baik bilamana dukungan lingkungan yang berupa kehidupan masyarakat dan teknologinya tidak membantu. Tayangan televisi dan media informasi lainnya yang saat ini menjadi dunia keseharian anak, perlu mendapatkan pengaturan waktu dan kualitasnya agar bersahabat dengan pendidikan karakter. Untuk itu diperlukan sosok di bidang regulasi dan pengawasan penyiaran.yang benar-benar memahami pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Albertus, Doni Koesoema. (2009). Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku perubahan dan Pendidik Karakter, Jakarta: Grasindo.

Albertus, Doni Koesoema. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta, Grasindo.

Bashori, Khoiruddin. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com

http://www.republika.co.id. November 2008. Dirjen: Pendidikan Cenderung Cari Nilai Tinggi.

.

http://www.republika.co.id: Maret 2010. Majelis Guru Besar Bahas Pendidikan Berkarakter Indonesia.

Leah, Davies. 52 Character Building Thoughts for Children. http://www. kellybear. com/TeacherArticles/ TeacherTip52.html

_______. Children and Television. http:- //www.kellybear.com/Teacher Articles/TeacherTip8.html

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. How Our School can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Ryan, Kevi & Bohlin, K.E. 1999. Building Character in Schools. Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey-Bass.

Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak diterbitkan.

Williams, Russell T. dan Ratna Megawangi. 2010. Kecerdasan Plus Karakter. http://ihf-org.tripod.com.

Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter, Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.




.