Sabtu, 09 Januari 2010

PEMAHAMAN KONSEPTUAL PENGARUH KEPEMIMPINAN, MOTIVASI KERJA, IKLIM KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA

IB Arjana

PENDAHULUAN
Penulisan kali ini akan membahas tentang pengaruh kepemimpinan, motivasi kerja, dan iklim kerja terhadap kepuasan kerja. Keterpengaruhan ketiga faktor di muka (kepemimpinan, motivasi kerja, dan iklim kerja) terhadap variabel kepuasan kerja, dapat positif dan dapat juga negatif. Namun sebelumnya, yang perlu pertanyakan adalah kepemimpinan, motivasi kerja, dan iklim kerja yang bagaimanakah yang sekiranya mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang secara positif atau bahkan negatif? Apakah dengan kepuasan kerja tertentu seseorang meningkat motivasi kerjanya dan meningkat pula pula kinerjanya? Nah, untuk itu, marilah kita simak lebih lanjut deskripsi konseptual tentang kepemimpinan, motivasi kerja, iklim kerja dan keterpengaruhannya terhadap kepuasan kerja.
Pertama-tama, penulisan ini terilhami oleh teori Amstrong tentang kebutuhan intrinsik dan entrinsik, di mana setiap proses organisasi untuk mencapai tujuannya harus memenuhi suatu kebutuhan dan memberikan suatu motivasi sumber manusianya yang ada di dalamnya untuk pengembangan organisasi.
Kedua, penulis mencoba mengangkat penelitian Diana, sebagai sumber inspirasi, berkaitan dengan pembahasan konseptual ke-3 faktor dan keterpengaruhannya, Diana (http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=112214&lokasi=lokal), dengan menggunakan populasi penelitian semua pegawai di lingkungan Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta. Mengemukakan hipotesisnya, antara lain: (1) Dengan adanya kepuasan kerja dapat meningkatkan kinerja pegawai; (2) Kepemimpinan dapat mendorong dan meningkatkan efektivitas dan produktivitas kinerja pegawai, (3) Dengan semakin tinggi kepuasan kerja dan kepemimpinan akan memotivasi kinerja pegawai dalam meningkatkan efektivitas, produktivitas dan kualitas kerja pegawai, (4) Kepemimpinan yang mampu menciptakan iklim kerja yang baik dan mampu memotivasi kerja pegawai, akan meningkatkan kinerja pegawai dan pada gilirannya akan menimbulkan kepuasan kerja pegawai dan dengan kepuasan kerja pegawai akan lebih termotivasi kerjanya. Yang kemudian, data penelitian yang dianalisisnya dengan menggunakan Modul/Program Analisis dari SPSS (Statistical Product and Service Solution) for Windows, diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
(1) Faktor kepuasan kerja dengan motivasi kerja, mempunyai hubungan positif yang signifikannya cukup baik, dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasinya cukup baik;
(2) Faktor kepemimpinan dengan motivasi kerja juga didapatkan hasil yang cukup baik atau mempunyai hubungan yang cukup baik dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasinya yang juga cukup baik artinya kedua variabel tersebut mempunyai korelasi atau hubungan yang positif, demikian pula hubungan kedua variabel, yakni kepuasan kerja dan kepemimpinan dengan motivasi kerja mempunyai korelasi yang cukup baik dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasi yang cukup baik.
(3) Semakin baik tingkat hubungan kepuasan kerja ataupun kepemimpinan baik sendiri-sendiri atau secara bersamaan dengan motivasi kerja akan semakin baik manfaatnya dalam peningkatan kualitas kinerja pegawai.
Demikian gambaran umum hasil penelitian Diana, mudah-mudahan dapat secara umum dapat menjadikan bahan renungan atau catatan baik itu untuk semua pihak dan sekaligus sebagai bahan evaluasi dalam peningkatan kinerja pegawai pada Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta; dan khususnya dapat menginspirasi bagi penulis dalam melakukan kajian konseptual seputar faktor dan variabel-variabel tersebut.
Seidentik dengan hipotesis penelitian Diana, tentunya penulis berkehendak untuk memamaparkan 4 asumsi dasar yang akan menjadi pijakan penguraian dalam menggagas pemahaman 4 faktor tersebut, yaitu bahwa:
(1) Kepemimpinan, motivasi kerja dan iklim kerja mempengaruhi kepuasan kerja;
(2) Dengan motivasi kerja yang tinggi akan mempengaruhi kinerja seseorang;
(3) Dengan iklim kerja yang kondusif akan mempengaruhi motivasi dan kinerja seseorang;
(4) Dengan kinerja yang tinggi akan meningkatkan kepuasan kerja dan pada gilirannya akan memotivasi kerja seseorang.
Nah baiklah, untuk sementara waktu bolehlah bahwa keempat asumsi di atas benar adanya, yang mungkin sebagaian asumsi sudah terbukti oleh hasil penelitian Diana, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah kepemimpinan, motivasi kerja dan iklim kerja yang bagaimana yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang? Apakah motivasi kerja yang tinggi akan mampu mempengaruhi kinerja seseorang? Dengan iklim kerja yang bagaimana yang mampu mempengaruhi motivasi dan kinerja? Dan apakah dengan kinerja yang tinggi akan mampu meningkatkan kepuasan dan motivasi kerja seseorang?
Selanjutnya, penulis perlu mengkonfirmasi keterbuktian-keterbuktian hipotesis penelitian Diana sebagaimana terdeskripsi di atas, dan juga berlaku balik mencocokkan temuan-temuan tersebut dengan asumsi-asumsi yang penulis kemukakan ke dalam bahasan teoretis seputar 5 hal dimaksud, yakni: (1) kepemimpinan beserta gayanya; (2) Motivasi kerja; (3) Iklim kerja; (4) Kinerja; dan (5) Kepuasan kerja. Untuk lebih jelasnya marilah kita simak bersama kupasan kelima hal tersebut sebagaimana terdeskripsi dalam uraian kajian pustaka berikut.

B. KAJIAN PUSTAKA
1. Kepemimpinan
a. Konsep Kepemimpinan
Peranan pemimpin dalam rangka meningkatkan kualitas lembaga sangat besar pengaruhnya, walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor. Kualitas lembaga banyak dipengaruhi oleh kesiapan berbagai faktor, seperti: personelnya (misalnya: mahasiswa, dosen, staf administratif, pimpinan dan sebagainya) dan juga organisasinya (misalnya: ikilm kerjanya, proses manajerialnya, tujuan dan visi serta misinya, dan sebagainya).
Pemimpin dituntut memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta untuk selalu mengadakan kontrol terhadap setiap kegiatan di lingkungannya. Pemimpin seharusnya dapat meningkatkan daya kreativitas dan partisipasi bawahan terhadap program-program lembaga dengan sepenuh emosional dan intelektualnya.
Dalam proses meningkatkan kualitas layanan, hubungan pemimpin dan bawahan diharapkan terjalin secara harmonis, saling percaya, menghargai dan adanya komunikasi yang jelas untuk menghindari kesalah-pahaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Bawahan sebagai unsur pelaksana pendidikan terdepan dan memegang “peranan kunci” dalam menentukan keberhasilan lembaga, perlu mendapatkan perlakuan yang manusiawi dari pimpinan, karena misi pimpinan akan terealisasi melalui interaksi yang harmonis antara pimpinan dan bawahan.
Sehubungan dengan pentingnya peranan pimpinan, perlu dipahami bahwa ada dua hal yang erat dengan jabatan pimpinan, yaitu: kepemimpinan dan manajemen. Kepemimpinan mempunyai arti yang lebih luas dibanding dengan manajemen. Kepemimpinan dapat terjadi dimanapun asalkan ada seseorang yang berusaha untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok, tanpa mengindahkan bentuk alasannya (Thoha, 1983:255). Stogdil mendefinisikan kepemimpinan, yang dikutip oleh Wahjosumidjo (1984: 21), bahwa “kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan”.
Di dalam kepemimpinan, ada dua (2) bentuk kepemimpinan, yaitu: kepemimpinan yang resmi diangkat dan kepemimpinan yang tidak resmi. Kepemimpinan resmi dimiliki oleh mereka yang meduduki posisi pemimpinan karena diangkat oleh pihak yang berwenang atau dipilih secara resmi. Kepala sekolah dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang resmi. Kepemimpinan tidak resmi dimiliki oleh mereka yang mampu mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu walaupun tidak menduduki posisi pemimpin. Kemampuan dalam mempengaruhi berasal dari kelebihan-kelebihan tertentu pada diri dan pribadinya.
Jika kepemimpinan dibatasi oleh birokrasi atau dikaitkan terjadinya dalam suatu organisasi tertentu, maka dinamakan manajemen (Toha, 1983, p. 256). Kalau diperhatikan, kepala sekolah dari kedudukannya, maka kepala sekolah adalah seorang manajer dan dalam usahanya mencapai tujuan, menggunakan teknik kepemimpinannya.
Kepala sekolah sebagai pemimpin resmi, agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik seharusnya memiliki unsur kepemimpinan yang riil., operasional, fungsional sebagai proyeksi kualitas kelebihan yang dimilikinya. Gaya kerja Kepala Sekolah hendaknya lebih baik jika dibandingkan dengan bawahannya.
Teknik kepemimpinan yang telah dikembangkan oleh para ahli, yang akhirnya menemukan teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang cukup popular adalah kepemimpinan menurut teori sifat, teori situasional, dan teori perilaku.
Kepemimpinan menurut teori sifat dilatarbelakangi oleh filsafat bahwa pemimpin itu dilahirkan dan bukan dipelajari. Sifat-sifat pembawaan dan instink lebih penting dari pada latihan kepemimpinan. Dengan mengadakan penelitian terhadap sifat dan peranan orang besar, diharapkan dapat diketahui ciri-ciri penting dari pemimpin alami yang dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.
Teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Fiedler, dikenal dengan “Fiedler’s Contingecy Model”; yang menurut penelitian yang beliau lakukan: direkomendasikan bahwa dalam situasi kerja ada tiga macam elemen penting yang akan menentukan gaya kerja atau perilaku kepemimpina yang efektif, yaitu (a) hubungan antara pemimpin dengan bawahan, (b) struktur tugas, dan (c) kewibawaan kedudukan pemimpin (Steers, Ungson, Mowday, 1985:312).
Teori kepemimpinan perilaku, bertolak dari pemikiran bahwa perilaku pemimpin menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi. Perilaku pemimpin ditunjukkan dari cara melakukan suatu tugas-tugas kepemimpinannya, misalkan cara memberi perintah, cara membuat keputusan, cara berkomunikasi, cara menegakkkan disiplin, cara menegur kesalahan, dan perilaku lainnya. Pendekatan teori perilaku ini, menggukanan faktor bawaan dan faktor situasional yang dikombinasikan menjadi konsep perilaku pemimpin dan dapat dilukiskan dalam pertanyaan-pertanyaan yang merupakan deskripsi dari perilaku pemimpin. Hemphil dari Maryland setelah bergabung dengan team Ohio, dalam penelitiannya, menggunakan hal apa saja yang dilakukan oleh para pemimpin apabila mereka sedang memimpin. Dari berbagai pencatatan hasil pennyebaran pertanyaan yang diberikan kepada beberapa orang dari bermacam-macam organisasi akhirnya diperoleh gambaran kelakuan pemimpin (Gibson, John, & James, 1982:268).
Ada dua macam dimensi penting mengenai perilaku pemimpin yang dinamakan konsiderasi dan struktur inisiasi. Konsiderasi, yaitu perilaku pemimpin yang cenderung ke arah kepemimpinan bawahan; sedangkan struktur inisiasi, yaitu perilaku pemimpin yang cenderung lebih mementingkan tujuan organisasi dari pada memperhatikan bawahan.

b. Gaya Kerja Pemimpin
Matindas (1996), memilah-milah perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugasnya, menjadi lima tipe, yang disebut gaya kerja. Kelima gaya kerja tersebut, yakni: (1) Gaya komandan; (2) Gaya pelayanan; (3) Gaya bohemian (seniman); (4) Gaya birokrat; dan (5) Gaya manajer. Martindas, mendifinisikan gaya kerja adalah kesatuan dari berbagai cara/ tindakan yang didasari oleh sistim nilai dan asumsi (SINA) seseorang yang ditampilkan di saat ia melakukan hubungan kerja dengan orang lain.
Secara ringkas penjabaran masing-masing gaya kerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Gaya Kerja Komandan
Seorang pemimpin, dengan gaya kerja ”komandan” umumnya merasa benar sendiri, dan mempunyai keyakinan bahwa ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Mereka biasanya berusaha memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya. Dalam situasi kerjasama, ia umumnya berusaha mengambil peran sebagai ”pengambil keputusan”, dan mengharap orang lain mendukung idea dan gagasannya. Ia tidak ingin dibantu, apalagi dipengaruhi dalam menentukan apa yang seharusnya ia lakukan.

(2) Gaya Kerja Pelayan
Seorang pemimpin dengan gaya kerja ”pelayan”, memiliki keinginan yang kuat untuk desenangi/diterima orang lain. Mereka tidak tahan bila merasa dimusuhi oleh orang lain. Mereka punya asumsi bahwa hubungan baik dengan orang lain selalu akan membawa keberuntungan. Kepentingan pihak lain harus didahulukan dari kepentingan sendiri. Pada dasarnya mereka bukan ”sungguh ingin membantu” orang lain, hanya saja tidak mau dinilai ”tidak membantu”.

(3) Gaya Kerja Bohemian (Seniman)
Orang dengan gaya ”Bohemian” adalah tidak mau merepotkan dan juga tidak mau direpotkan oleh orang lain. Kalau bisa mereka sesungguhnya segan untuk bekerjasama. Mereka lebih senang bekerja sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi pada hasil pekerjaannya. Mereka tidak terlalu peduli pada hasil kerjasama atau hasil akhir dari suatu perundingan. Yang paling utama adalah kepentingan pribadinya, bukan kepentingan kelompoknya.

(4) Gaya Kerja Birokrat
Orang dengan gaya ”birokrat” adalah orang yang sangat teliti memperlihatkan prosedur dan aturan yang berlaku. Mereka selalu berusaha bertindak sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Mereka tidak ingin dipersalahkan di kemudian hari, dan karena itu berusaha sekuat-kuatnya untuk memiliki “dasar-hukum” bagi tiap tindakannya.

(5) Gaya Kerja Manajer
Orang dengan gaya kerja ”manajer” berpegang teguh pada slogan : “kerjasama yang baik adalah kerjasama yang dapat memuaskan semua pihak”. Mereka selalu berusaha mencapai yang tebaik bagi semua pihak. Mereka percaya bahwa bila semua pihak mendapat keuntungan, maka kepatuhan terhadap putusan yang diambil akan lebih kuat, dan akan lebih bergairah dalam mengerjakan hal-hal yang ditugaskan kepadanya (Matindas, 1996:14-22).
Lippitt & White, berpendapat: ada tiga gaya kepemimpinan yaitu otokratis, demokratis dan laissez-faire atau kebebasan (Sutarto, 1991:72). Kepemimpinan gaya ”otokratis” adalah pemimpin yang mengutamakan kekuatan posisi formalnya. Dalam membuat keputusan, tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberi masukan. Semua aktivitas ditentukan oleh pemimpin dan komunikasi hanya satu arah, yaitu ke bawah. Kepemimpinan gaya ”demokratis”, adalah pemimpin yang melibatkan bawahan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Keputusan akhir tetap diambil oleh peminpin, setelah melalui proses musyawarah dengan bawahan. Pemimpin menekankan pada dua hal, yakni: bawahan dan tugas. Sedangkan kepemimpinan gaya ”laissez-faire” adalah pemimpin yang membiarkan para bawahan untuk mengatur diri mereka sendiri. Pemimpin menentukan kebijakan dan tujuan umum, bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan dala segala hal yang mereka anggap cocok. Kegiatan diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih banyak dan diserahkan bawahan.
Dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut, dalam kaitannya dengan gaya kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa gaya otokratis dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya Komandan. Gaya demokratis dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya kerja Manajer dan gaya kerja Pelayan. Gaya laissez-faire dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya kerja Bohemian. Persamaan tersebut tidaklah mutlak, tetapi beberapa ciri pada gaya kepemimpinan otokratis sebagian besar ada pada gaya kerja komandan, demikian juga gaya kerja yang lain.

2. Motivasi Kerja
Motivasi Kerja menunjuk pada kondisi-kondisi di dalam dan di luar individu yang menyebabkan adanya keragaman dalam intensitas, kualitas, arah, dan lamanya perilaku kerja. Keragaman mutu kerja yang dihasilkan para dosen/guru/pegawai disebabkan oleh keragaman pengetahuan, persepsi tentang pekerjaannya dan/atau motivasi kerja yang dimilikinya.
Bila mutu kerja seorang dosen/guru/pegawai tidak memuaskan, perlu dicari kepastiannya: Apakah itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan kerja atau persepsinya yang kurang tepat atau kurangnya motivasi, ataukah karena ketiganya?
Ada tiga teori berkenaan dengan motivasi kerja pemimpin atau pegawai, yakni: (1) Teori Pengharapan; (2) Tori Keseimbangan; (3) Tori Penentuan-tujuan.
(1) Teori Pengharapan
Teori pengharapan ini memiliki pandangan bahwa orang akan termotivasi untuk bekerja dengan baik bila ada peluang untuk mendapatkan insentif; Besar kecilnya motivasi kerja tergantung pada nilai insentif itu pada masing-masing individu;
Terdapat 3 konsep penting berkaitan dengan teori ini, yaitu:
(a) Nilai (Valence): Setiap bentuk insentif punya nilai positif atau negatif bagi seseorang. Juga apakah nilai itu besar atau kecil bagi seseorang;
(b) Instrumentalitas: Adanya hubungan antara pekerjaan yang harus dilakukan dengan harapan yang dimiliki. Jadi jika pekerjaan dilihat bisa merupakan alat untuk mendapatkan apa yang diharapkan timbullah motivasi kerja;
(c) Pengharapan: persepsi tentang besarnya kemungkinan keberhasilan mencapai tujuan/hasil kerja.
Ada tiga jenis insentif, yakni: (1) insentif materiil, (2) insentif solidaritas, dan (3) insentif sesuai dengan tujuan organisasi. Insentif ”materiil” adalah penghargaan yang tangible. Sebagai contoh: bantuan keuangan, tugas tambahan yang lebih sedikit. Insentif solidaritas adalah penghargaan dari organisasi/perhimpunan dan anggota-anggotanya, contoh: (1) Pengakuan atau pujian untuk kinerja; (2) bantuan dan dukungan dari rekan/kelompok sejawat. Sedangkan insentif sesuai dengan tujuan organisasi. (Purposive incentive) adalah insentif yang diberikan kepada bawahan berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, contoh: (1) Tugas yang perlu menggunakan pengetahuan dan keterampilan khusus; (2) Kesempatan untuk menumbuhkan dan mengembangkan keprofesionalan.

(2) Teori Kesamaan atau Keseimbangan (Equity Theory)
Orang cenderung akan membandingkan insentif atau reward yang deperolehnya dengan insentif yang diterima oleh orang lain yang mempunyai beban kerja yang serupa. Bila besarnya insentif antara dua orang itu sama, maka akan muncul motivasi kerja. Bila lebih kecil maka akan timbul rasa kecewa yang kemudian mengurangi motivasi-nya untuk bekerja dengan baik. Bila salah seo-rang menerima lebih banyak, maka dia akan ter-motivasi lebih kuat.
Teori keseimbangan ini menyatakan bahwa orang cenderung untuk selalu melihat rasio antara beban kerja (effort) dengan penghargaan yang diterimanya. Bila seimbang antara keduanya maka orang akan merasa puas, bila sebaliknya akan merasa tidak puas atau kecewa. Akibat selanjutnya adalah menurunnya motivasi kerja.
Kekecewaan itu akan menimbulkan ketegangan batin. Orang yang menderita ketegangan batin akan berusaha menguranginya dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengatakan bahwa “barangkali dia telah bekerja lebih keras dan hasilnya lebih baik dari saya”.
(3) Teori Penentuan-Tujuan
Orang termotivasi untuk mencapai tujuan yang jelas; sebaliknya orang akan bermotivasi kerja rendah bila tujuan dari pekerjaannya tidak jelas. Mengapa berbagai permainan (games) sangat memotivasi banyak orang untuk ikut melakukan karena tujuan yang harus dicapai ada, jelas dan menarik. (Main sepakbola misalnya). Orang yang tugasnya jelas tujuannya dan lebih “menantang” (chalenging), lebih menunjukkan motivasi kerja yang lebih besar daripada orang yang tujuan tugasnya kabur atau terlalu mudah untuk mencapainya.
Memberi tujuan tugas yang jelas akan lebih memotivasi pekerja dari pada hanya sekedar mengatakan “Kerjakan dengan sebaik-baiknya”, padahal tujuan yang harus dicapai tidak jelas. Penentuan tujuan yang jelas merupakan kepemimpinan tersendiri. Karana itu rumuskan atau katakan tujuan setiap pekerjaan/tugas dengan jelas agar orang-orang yang akan mengerjakan mengetahui dengan baik. Dan ini akan memotivasi mereka untuk bekerja mencapai tujuan itu, meskipun mereka tidak terlibat dalam penentuan tujuannya.

3. Iklim Kerja
a. Pentingnya Iklim Kerja
Iklim kerja memiliki peranan yang penting dalam suatu lembaga sekolah atau perusahaan tertentu. Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor lain seperti kurikulum, sarana-prasarana, dan kepemimpinan kepala sekolah, lingkungan pembelajaran di kelas dan sekolah memegang peranan penting dalam pembentukan sekolah yang efektif.
Selama dua dasawarsa, lingkungan pembelajaran di sekolah ditengarai sebagai salah satu faktor penentu keefektifan suatu sekolah (Creemer, et al., 1989). Setahun kemudian, Fisher dan Fraser (1990), juga menyatakan bahwa peningkatan mutu lingkungan kerja di sekolah dapat menjadikan sekolah lebih efektif dalam memberikan proses pembelajaran yang lebih baik. Freiberg (1998), menegaskan bahwa iklim kerja yang sehat di suatu sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadapan proses KBM yang efektif. Ia memberikan argumen bahwa pembentukan lingkungan kerja sekolah yang kondusif menjadikan seluruh anggota sekolah melakukan tugas dan peran mereka secara optimal.
Hasil-hasil penelitian yang selaras dan mendukung terhadap penegasan tersebut, misalnya, penelitian oleh Van de Grift dan kawan-kawan (1997), di 121 sekolah menengah di Belanda menunjukkan bahwa prestasi akademik siswa untuk bidang Matematika dipengaruhi oleh sikap siswa terhadap mata pelajaran Matematika, apresiasi terhadap usaha guru, serta lingkungan pembelajaran yang terstruktur. Atwool (1999), menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran sekolah, di mana siswa mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan yang bermakna di dalam lingkungan sekolahnya, sangat diperlukan untuk meningkatan kemampuan belajar siswa, memfasilitasi siswa untuk bertingkah laku yang sopan, serta berpotensi untuk membantu siswa dalam menghadapi masalah yang dibawa dari rumah. Selanjutnya Samdal dan kawan-kawan (1999), juga telah mengidentifikasi tiga aspek lingkungan psikososial sekolah yang menetukan prestasi akademik siswa. Ketiga aspek tersebut adalah tingkat kepuasan siswa terhadap sekolah, terhadap keinginan guru, serta hubungan yang baik dengan sesama siswa. Mereka juga menyarankan bahwa intervensi sekolah yang meningkatan rasa kepuasan sekolah akan dapat meningkatkan prestasi akademik siswa.
Hoy dan Hannum (1997), menemukan bahwa lingkungan sekolah dimana rasa kebersamaan sesama guru tinggi, dukungan sarana memadai, target akademik tinggi, dan kemantapan integritas sekolah sebagai suatu institusi mendukung pencapaian prestasi akademik siswa yang lebih baik. Selain dari itu, Sweetland dan Hoy (2000), menyatakan bahwa iklim kerja sekolah dimana pemberdayaan guru menjadi prioritas adalah sangat esensial bagi keefektifan sekolah yang pada muaranya mempengaruhi prestasi siswa secara keseluruhan. Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan hubungan antara iklim kerja sekolah dengan sikap siswa terhadap mata pelajaran. Papanastaiou (2002), menyatakan bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, iklim kerja sekolah memberi efek terhadap sikap siswa terhadap mata pelajaran IPA di sekolah menengah.

b. Instrument untuk Mengukur Iklim Lingkungan Kerja
Pengembangan dan pembuatan kuisioner atau angket untuk mengukur lingkungan kerja suatu organisasi atau institusi dimulai sekitar tahun 1960. Pace dan Stern (1958) mengembangkan kuisioner ‘College Characteristic Index’ (CCI) untuk mengukur persepsi dosen dan mahasiswa terhadap 30 karakter dari lingkungan Psikososial tingkat universitas.
Bersumber dari quistioner tersebut, Stern (1970), mendesain kuisioner ‘High School Characteristic Index’ (HSCI) untuk mengukur iklim lingkungan psiokososial di sekolah menengah. Dua buah instrument pengukur iklim lingkungan kerja yang paling banyak dipakai adalah ‘Organisational Climate Description Questionnaire’ (OCDQ) yang dikembangkan oleh Halpin dan Croft (1963) dan ‘Work Environmnetal Scale’ (WES) yang dibuat oleh Moss (1974). Kedua instrument ini dijadikan acuan oleh Rentoul dan Fraser (1983), untuk membuat ‘School Level Environmnet Scale’ atau SLEQ, dan Giddings dan Dellar (1990) dalam mengembangkan ‘School Organisational Climate Questionnaire’ (SCOQ) yang lebih sesuai untuk mengevaluasi iklim lingkungan kerja di sekolah menengah.

c. Tujuan Pengkondisian Iklim Kerja
Sehubungan dengan masih langkanya studi tentang iklim lingkungan kerja sekolah, serta mengingat peran penting lingkungan kerja di sekolah bagi peningkatan kinerja guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas misalnya, maka perlu dimulai kegiatan penelitian pada bidang ini. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
(1) Bagaimana persepsi guru terhadap iklim lingkungan kerja di sekolah ?
(2) Apakah ada perbedaan yang berarti secara statistik maupun operasional antara persepsi guru terhadap lingkungan kerja yang sebenarnya (aktual) dengan keadaan yang diharapkan (ideal)?



d. Manfaat Iklim Kerja yang Kondusif
Dari penelitian ini diharapkan akan didapatkan gambaran tentang suasana atau iklim lingkungan kerja sekolah. Dengan menggunakan data hasil penelitian, khususnya pada perbedaan antara lingkungan kerja yang sebenarnya dengan lingkungan kerja yang diinginkan, diharapkan para guru, kepala sekolah serta pengawas maupun lembaga yang peduli terhadap peningkatan pendidikan di Indonesia dapat merumuskan kebijakan untuk perbaikan mutu lingkungan kerja sekolah.
Secara lebih khusus, ditegaskan bahwa lingkungan pembelajaran di kelas dan iklim kerja di sekolah seyogyanya menjadi bagian yang harus digarap jika mutu pendidikan yang ingin ditingkatkan. Penataran-penataran yang selama ini dilakukan dapat digunakan sebagai wahana untuk menggugah kesadaran guru dan kepala sekolah akan aspek penting dari proses pembelajaran di sekolah, yaitu iklim lingkungan kerja dan pembelajaran, yang selama ini terabaikan. Usaha untuk mewujudkan keadaan aktual iklim lingkungan kerja sekolah ke arah seperti yang diinginkan oleh para anggota sekolah diharapkan dapat meningkatkan ethos dan kinerja para guru, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada proses pembelajaran di kelas.

4. Kepuasan Kerja
a. Pemahaman tentang Kepuasan Kerja
Kepuasan Kerja adalah perasaan senang/puas karena pekerjaan yang dilakukannya. Kepuasan kerja ini berkaitan dengan motivasi kerja. Bagaimana hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja? Perbaikan kondisi kerja yang menaikkan peluasan pekerja cenderung meningkatkan produktivitas (kinerja). Tetapi hubungan itu tidak begitu kuat. (korelasinya rata-rata hanya 0,14). Beberapa ahli berpendapat bahwa kinerja (yang tinggi) akan menghasilkan kepuasan, tidak sebaliknya.
Pekerjaan yang untuk mengerjakannya memerlukan pengetahuan dan keterampilan dirasa bernilai oleh yang mengerjakan, dan cenderung akan menghasilkan kepuasan. Sebaliknya jenis pekerjaan yang hanya memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang dinilai rendah tidak akan menghasilkan kepuasan tetapi justru akan menghasilkan ketidak puasan.
Menurut Newstrom dalam , mengemukakan bahwa “job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employes view their work”. Yang artinya kurang lebih bahwa kepuasan kerja berarti perasaan mendukung atau tidak mendukung yang dialami (pegawai) dalam bekerja. Wexley dan Yuki mengartikan kepuasan kerja sebagai “the way an employee feels about his or her job”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. Handoko menegaskan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Stephen Robins memandang kepuasan itu terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan pegawai; merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Apabila dilihat dari pendapat Robin tersebut terkandung dua dimensi, pertama, kepuasan yang dirasakan individu yang titik beratnya individu sebagai anggota masyarakat, dan dimensi lain adalah kepuasan yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaannya melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Terdapat lima (5) aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu:
(1) Pekerjaan itu sendiri (Work It self); Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja;
(2) Atasan (Supervision); atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan sekaligus atasannya;
(3) Teman sekerja (Workers); Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya;
(4) Promosi (Promotion); Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja;
(5) Gaji/Upah (Pay); Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.
Sedangkan aspek-aspek lain yang juga terdapat di dalam kepuasan kerja, antara lain dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
(1) Kerja yang secara mental menantang; Kebanyakan Karyawan menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan;
(2) Ganjaran yang pantas; Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai ”adil”, dan segaris dengan pengharapan mereka. Pemberian upah yang baik didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang menakutkan adalah bahwa upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula dengan karyawan yang berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just), kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka;
(3) Kondisi kerja yang mendukung; Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit);
(4) Rekan kerja yang mendukung, Orang-orang mendapatkan lebih dari pada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan menyenagkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Tetapi Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.
(5) Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan; Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini, mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam kerja mereka.

c. Sumber-sumber Kepuasan Kerja
Ketidak puasan kerja berakibat menurunnya motivasi kerja. Sumber-sumber ketidak-puasan antara lain: kebosanan, penugasan yang tidak sesuai, adanya gangguan-gangguan selama kerja, kekurangan fasilitas kerja dan lain sebagainya. Sumber-sumber kepuasan kerja, antara lain dapat diidentifir sebagai berikut:
(1) Mengetahui dirinya telah berhasil dalam kerjanya;
(2) Merasa senang telah dapat menggunakan pengetahuan/keterampilannya;
(3) Mendapatkan pengembangan keterampilan pribadi secara mental dan fisik;
(4) Kegiatan itu sendiri;
(5) Perkawanan dan kebersamaan sesama pekerja;
(6) Kesempatan mempengaruhi orang lain;
(7) Penghargaan (respect) dari orang lain;
(8) Ketersediaan waktu untuk bepergian dan liburan;
(9) Keamanan dalam penghasilan dan kedudukan.

C. PEMBAHASAN
Banyak faktor yang musti diperhatikan keberadaan fungsinya dalam aktivitas kelembagaan, seperti: kemimpinan, motivasi kerja, kinerja, dan iklim kerja, dan sebagainya terhadap kepuasan kerja seorang pekerja.
Faktor kepemimpinan dalam hal ini memang memegang peranan yang strategis dalam proses kelembagaan, karena seorang pemimpin dituntut untuk mampu memandu jalannya suatu kelembagaan, oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya dengan gaya dan tipe tertentu yang sesuai dengan kondisi di lembaga yang dipimpinnya. Tidak ada gaya dan tipe pemimpin yang terbaik, bahkan tipe pemimpin yang demokratis pun atau gaya kepemimpinan pelayan, manajer pun belum tentu terbaik untuk semua kondisi lembaga. Yang terbaik adalah gaya dan tipe pemimpin yang selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan lembaga pada saatnya.
Faktor motivasi kerja merupakan faktor penting yang musti digalakkan entah oleh dirinya atau karena terkondisi oleh lingkungan sekitarnya. Memang motivasi kerja seseorang dapat ditimbulkan oleh adanya nilai-nilai reward atau karena ketersediaan insentif yang memadai, tetapi reward atau pun insentif pun belum tentu menjadi alasan timbulnya motivasi kerja bagi seseorang..
Iklim kerja juga sangat diperlukan penciptaannya. Reward ataupun dana insentik pun belum tentu menjadi sebab musababnya timbulnya motivasi kerja, tetapi justru dengan iklim lingkungan kerja yang baik akan melahirkan kinerja yang memuaskan dan pada akhirnya timbul kepuasan kerja yang akhirnya mampu menimbulkan kepuasan kerja.
Satu uraian lagi tentang kepuasan kerja. Di depan sudah dijelaskan bahwa kepuasan kerja pada dasarnya merupakan perasaan senang/puas karena pekerjaan yang dilakukannya telah mencapai tingkat kinerja yang memadai. Banyak sumber kepuasan kerja yang selama ini belum kita ketahui dan juga terdapat hal-hal yang dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam bekerja. Seorang pemimpin diharapkan mampu mengolah segala aktivitas lembaga dengan segala efek kepersonalan dan keorganisasian, sehingga kepuasan kerja dapat ditingkatkan dan ketidakpuasan dapat minimalisir.

D. PENUTUP
Demikian kajian tentang saling keterpengaruhan antara kemimpinan, motivasi kerja, dan iklim kerja terhadap kepuasan kerja. Faktor kepemimpinan nampak memegang peranan yang strategis dalam proses kelembagaan, karena dengan kepemimpinan yang bergaya dan bertipe ideal (sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan lembaga, akan mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif dan akan menimbulkan pula kinerja yang optimal; Dan dengan kinerja yang optimal inilah akan menimbulkan kepuasan kerja yang tinggi sehingga pada akhirnya timbul motivasi kerja yang maksimal, begitu seterusnya antara satu faktor dengan faktor laiinnya hendaknya saling mengambil kesempatan secara proaktif tanpa harus membenani satu sama lain, akan tetapi saling bersinergis secara integrated dan berkesinambungan.


DAFTAR REFERENSI
Atwool, N. 1999. Attachment in The School Setting. New Zealand Journal of Educational Studies, 34(2), 309-322.
Brookover, W. B., Schweitzer, J. H., Schneider, J. M., Beady, C. H., Flood, P. K., & Weisenbaker, J. M. 1978. Elementary School Social Climate and School Achievement. American Educational Research Journal(15), 301-318.
Creemers, B., Peters, T., & Reynolds, D. 1989. School Effectiveness and School Improvement. Lisse, The Netherland: Swets & Zeitlinger.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1994. Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP): Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Dikmenum: Jakarta.
Fisher, D. L., & Fraser, B. J. 1990. School Climate, (SET research Information for Teachers No.2). Melbourne: Australian Council for Educational Research.
Freiberg, H. J. 1998. Measuring School Climate: Let Me Count The Ways. Educational Leadership, 56(1), 22-26. Thoha Miftah. (1986). Perilaku organisasi: Konsep dasar dan aplikasi. Jakarta: Rajawali.
Gibson, L.James, John, M.Invancevich, & James, H. Donnelly, Jr. (1982). Organization-
Behavior, Structure-Orocesses. Texas: Bussiness Publication, Inc.
Giddings, G., & Dellar, G. 1990, April. The Development and Use of Instrument for Assessing The Organisational Climate of Shools. Paper presented at the Annual
Metting of the American Educational Research Association, Boston, MA. Van de Grift, W., Houtveen, T., & Vermeulen, C. 1997. Instructional Climate in Dutch Secondary Education. School Effectiveness and School Improvement, 8(4), 449-462.
Halpin, A. W., & Croft, D. B. 1963. Organizational Climate of School. Chicago, IL: Midwest Administration Centre, University of Chicago.
Hoy, W. K., & Hannum, J. W. 1997. Middle School Climate: An Empirical Assessment of Organisational Health and Student Achievement. Educational Administration Quarterly, 33(3), 290-311.
Hughes, P. W. 1991. Teachers' Professional Development. Melbourne, Victoria: Australian Council for Educational Research.
Matindas R. (1996). Berbagai Gaya dalam Bekerja. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen Dikti Direktorat Kemahasiswaan.
Moos, R. H. 1974. The Social Climate Scales: An Overview. Palo Alto, CA: Consulting Psychologist Press.
Papanastasiou, C. 2002. School, Teaching and Family Influence on Student Attitudes Toward Science: Based on TIMSS data for Cyprus. Studies in Educational Evaluation, 28(1), 71-86.
Purkey, S. C., & Smith, M. S. 1985. Too Soon to Cheer? Synthesis of Research on Effective Schools. Educational Leadership(40), 64-69.
Rentoul, A. J., & Fraser, B. J. 1983. Development of a School-Level Environment Questionnaire. Journal of Educational Administration(21), 21-39.

Samdal, O., Wold, B., & Bronis, M. 1999. Relationship Between Students' Perceptions of School Environment, Their Satisfaction With School and Perceived Academic Achievement: An International Study. School Effectiveness and School Improvement, 10(3), 296-320.
Steers, Richard M., Ungson, Gerardo R., & Mowday, Richard T (1985). Managing
Effective Organization: An Introduction. Boston: Kent publishing Company.
Stern, G. G. 1970. People in Context: Measuring Person Environment Congruence in Education and Industry. New York, NY: Wiley.
Stevens, J. 1992. Applied Multivariate Statistics for The Social Sciences. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Sutarto. (1991). Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi (cetakan ke 3). Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Sweetland, S. R., & Hoy, W. R. 2000. School Characteristic and Wahjosumidjo. (1986) Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Rajawali.Educational Outcomes: Toward Organisational Model of student Achievment in Middle Schools. Educational Administration Quarterly, 36(6), 703-729.
Thoha Miftah. (1986). Perilaku organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasi. Jakarta:
Rajawali.
Tye, K. A. 1974. The culture of school. In J. I. Goodlad & M. F. Klein & J. M. Novotney & K. A. Tye (Eds.), Toward a mankind school: An Adventure in Humanistic Education (pp. 123-138). New York, NY: McGraw-Hill.
Wahjosumidjo. (1986) Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Rajawali.
Wahyudi & Fisher, D. L. 2003, April. Teachers’ Perceptions of Their Working Environments in Indonesian Junior Secondary Schools. Paper Presented at the ICASE 2003 Conference on Science and Technology Education, Penang, Malaysia.

"http://id.wikipedia.org/wiki/Kepuasan_Kerja". Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia

2 komentar:

  1. yth. bapak,
    saya seorang mahasiswi semster akhir prodi manajemen pendidikan di Unlam, setelah saya membaca artikel Bpk, apakah Bpk memiliki angket SLEQ yg telah diakui di Indonesia? terimakasih,

    BalasHapus
  2. yth. bapak,
    saya seorang mahasiswi semster akhir prodi manajemen pendidikan di Unlam, setelah saya membaca artikel Bpk, apakah Bpk memiliki angket SLEQ yg telah diakui di Indonesia? terimakasih,

    BalasHapus