oleh: Ib.Arjana
A. Pendahuluan
Hakikat pendidikan adalah merupakan upaya proses transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena yang terjadi di sekitarnya. Menurut McLaren, “Pendidikan kritis menyatakan bahwa kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni atau tempat lain harus memiliki visi yang tidak individu-individu adaptif terhadap dunia hubungan sosial, tetapi didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi. Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Masyarakat modern, menurut Shipman, fungsi pokok pendidikan tersimpul dalam tiga hal : Pertama, sosialisasi, yakni wahana integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, penyekolahan (schooling), yakni penyiapan anak didik untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu di masyarakat dengan pembekalan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi. Ketiga, pendidikan (education), diartikan sebagai penciptaan kelompok elit yang diharapkan akan memberi sumbangsih besar bagi kelanjutan program modernisasi. Sekolah ternyata memang bukan sesuatu yang netral atau bebas nilai. Dan sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai yang nyatanya sekedar yang resmi, sedang berlaku dan direstui bahkan wajib diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi dan seragam. Pendapat ini dihadirkan lebih sebatas untuk menunjukkan bahwa pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan sistem dan struktur sosial yang melingkupinya. Pendidikan dapat berperanan penting untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial (status quo) yang ada, juga dapat pula menjadi proses bagi perubahan sosial yang lebih adil. Rahardjo et.al. menyatakan bahwa “peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya.” Karena itu untuk memahami model suatu proses pendidikan dan memproyeksi implikasi dan hasilnya baik secara individu atau kolektif, maupun untuk memahami realitas sosial secara umum, dapat dilakukan dengan mengkaji pilihan paradigma yang dijadikan dasar bagi institusi pendidikan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa paradigmatik peserta didik sedikit banyak ada relasinya dengan pola paradigma yang dianut dalam proses pendidikan yang diikutinya.
Salah satu kajian teori kependidikan perenialis mencuat sebagai sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk reaksi terhadap kalangan progresif, yang mana kalangan perenialis merasakan runyamnya bangunan intelektual kehidupan bangsa karena penekanan di sekolah-sekolah terhadap keterpusatan pada subjek didik, paham kekinian, dan penyesuaian hidup. Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah penolakan besar-besaran terhadap cara pandang progresif. Bagi kalangan perenialis, permanensi (keajegan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan sosial yang sangat menonjol, adalah lebih riil (nyata) daripada konsep perubahan kalangan pragmatis. Dengan demikian kalangan perenialis mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide-gagasan yang luhur-menyejarah dari budaya manusia – ide-gagasan semacam ini telah terukti kebasahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu.
Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar, dan karya-karya besar pemikir masa lalu. Perenialisme adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbaharui dan lebih spesifik dalam formulasi teoritis, karena kemunculannya dilatari oleh 'musuh' yang nyata progresivisme kependidikan.
Kunci memahami protes kalangan perenialis dalam pendidikan adalah konsep pendidikan liberal. Pendidikan liberal (bebas) dalam tradisi klasik berkisar di seputar kajian yang menjadikan orang-orang (baca: subjek didik) bebas dan manusia sejati sebagai lawan dari pelatihan yang menerima (begitu saja) untuk melakukan tugas-tugas khusus dalam dunia kerja. Dalam dunia Yunani, manusia dibagi menjadi dua macam mereka yang melakukan tugas kerja dan mereka yang melakukan tugas berpikir. Dipercayai bahwa mereka yang melakukan tugas kerja pada dasarnya menjalankan fungsi 'kebinatangan' karena mereka mengandalkan kekuatan otot. Dan yang melakukan tugas berpikir berarti menggunakan kemampuan rasionalitas istimewa manusia. Orang-orang dalam kelompok terakhir ini adalah manusia bebas yang menjalankan 'pemerintahan' (fungsi memerintah dan mengatur). Karena mereka bebas, mereka membutuhkan pendidikan yang akan mengembangkan kemampuan rasional kemanusiaannya. Jadi, pendidikan memfokuskan pada aspek mental dan rasional manusia dan cenderung memperhatikan (memikirkan) ide-gagasan yang berpengaruh dari budaya Barat. Pelatihan kerja tidak dilihat sebagai tugas pendidikan, dan karena ia hampir sepenuhnya bisa dikuasai lewat magang daripada lewat sekolah. Pendidikan formal lewat persekolahan tidak lagi begitu diperhatikan untuk mengembangkan manusia bebas atau liberal, dan karenanya seni-seni liberal merupakan kurikulum dalam pendidikan tradisional.
Tradisi seni-seni liberal dalam pendidikan dicakup dari Greek (Yunani) hingga Roma, dari Roma hingga Eropa Kristen. Hingga akhir abad XIX dan awl abad XX, hal itu tampil sebagai arus utama pendidikan di Eropa dan Amerika Serikat. Bangkitnya industrialisme sungguh telah membawa banyak persoalan dan perubahan bagi pendidikan. Teknologi mesin telah membebaskan banyak orang dari beban kerja 'perbudakan' (kerja kasar) dan menyediakan sebuah landasan kesejahteraan yang memungkinkan karena ambil bagian dalam 'hak istimewa' kependidikan yang semula hanya terbatas bagi kalangan penguasa. Namun, pendidikan tradisional tidak mendapat daya tarik dan tampaknya juga tidak bermakna bagi banyak orang yang berasal dari latar belakang kelas pekerja. Kalangan progresif bangkit berjuang mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial baru di sekolah-sekolah.
Kalangan tradisionalis siap sedia menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ancaman anti intelektualisme. Dasar pemikiran ini adalah bahwa mesin-mesin itu dapat berbuat bagi setiap manusia modern (layaknya) apa yang telah diperbuat oleh kalangan budak untuk sekelompok kelas berjaya. Dengan demikian, di alam demokrasi, semua orang dapat bebas dan menjadi penguasa, dan semua orang memerlukan pendidikan liberal supaya dapat berpikir dan berkomunikasi (menyampaikan pemikiran) daripada sekadar dilatih seperti layaknya 'binatang' lewat pendidikan untuk kerja.
Dua juru bicara dari kalangan perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler yang paling berpengaruh dan menggulirkan kampanye dari Universitas Chicago, dimana Hutchins menjabat presiden (rektor) pada tahun 1929 di usia tiga puluh tahun. Keduanya adalah dosen aktif dan penulis produktif, dan berjuang keras membentuk opini publik agar sejalan dengan perenialisme selama lebih dari empat puluh tahun. Hutchins dan Adler telah memberikan sebuah kontribusi besar bagi kalangan perenialis ketika mereka bekerja mengedit kumpulan karangan masif yang diberi judul Great Books of the Western World. Kumpulan karangan ini memuat sekitar seratus tulisan tentang Barat yang berisi ide-pemikiran terbaik. Pemikiran pendidikan kalangan perenialis secara murni diimplementasikan di Perguruan Tinggi St. John di Annapolis, Maryland, di mana Presiden Stringfellow Barr menjadikan kajian tentang karya besar tadi sebagai referensi tingkar sarjana.
Secara filosofis, perenialisme menemukan akar pemikirannya dalam neoskolastisisme, dan karena itu ia sangat bertumpu pada pemikiran Aristoteles. Perenialisme dalam pendidikan pada umumnya berkaitan dengan pendidikan sekuler, meskipun neoskolastisisme berpijak pada tulisan-tulisan Thomas Aquinas dan juga Aristoteles. Teori pendidikan Roma Katolik mempunyai pertalian dengan arus utama perenialisme sekuler, akan tetapi ia lebih menekankan pada pemikiran Thomistik, teologis, dan spiritual. Perenialisme menjadikan sebagian besar rekoimendasi-rekomendasi pemikirannya terkait dengan sekolah lanjutan dan terutama perguruan tinggi. Peran pendidikan dasar dilihat sebagai peran membekali subjek didik sehingga ia nantinya dapat mengkaji dan memahami tradisi liberal.
B. Pembahasan menurut filsafat Ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
a. Manusia adalah Hewan Rasional
Sebagaimana ditulis sebelumnya, kalangan perenialis menilai manusia secara umum mempunyai kesamaan dengan dunia hewan dalam hal keinginan, kesenangan dan tugas kerja. Sebagai contoh, anjing-anjing merasa senang mengendarai mobil, dapat membawa muatan dan bentuk kerja lainnya, dan menyukai makanan yang disiapkan untuk manusia. Dalam pengertian semacam ini, manusia dan hewan banyak mempunyai kesamaan. Hal yang membut berbeda adalah kenyataan, bahwa dari seluruh jenis hewan, hanya manusialah yang mempunyai kecerdasan rasional. Ini adalah karakteristik manusia yang paling berharga dan unik. Aristoteles beranggapan bahw manusia adalah hewan rasional, dan kalangan perenialis senada dalam hal ini. Dengan demikian, pandangan mereka tentang pendidikan amat mengutamakan pada pendidikan sisi rasional manusia. Hutchins menuliskan, bahwa “adalah suatu hal esensial untuk menjadi manusia dan suatu hal esensial pula belajar mempergunakan akal pikiran.” Setelah seseorang mengembangkan akal pikirnya, ia akan dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol nafsu dan syahwatnya.
b. Hakikat (Watak) Dasar Manusia secara Universitas Tak Berubah; Oleh Karena
itu, Pendidikan Harus sama untuk Setiap Orang.
Salah satu kenyataan penting hakikat rasional ini ada pada seluruh manusia di sepanjang penggal sejarahnya. Jika manusia adalah hewan rasional dan jika orang-orang itu sama dalam hal ini, maka itu berarti bahwa semua orang harus mendapatkan pendidikan yang sama. Terkait masalah ini, Hutchins menuliskan :
Setiap manusia memiliki fungsi sebagai manusia. Fungsi sebagai warga negara atau sebagai subjek mungkin beragam dan satu masyarakat ke masyarakat lain, dan sistem pelatihan, adaptasi, pengajaran atau mempertemukan kebutuhan-kebutuhan jangka pendek mungkin bisa beragam. Namun, fungsi sebagai manusia adalah sama dalam setiap kurun dan sebagai manusia adalah sama dalam setiap kurun dan setiap masyarakat, karena ia akibat dari hakikat dasarnya sebagai manusia. Tujuan sebuah sistem pendidikan adalah sama dalam setiap kurun dan setiap masyarakat di mana sistem tadi berada, yaitu mengembangkan manusia sebagai manusia”.
c. Pengetahuan Secara Universal Tak Berubah; Karena Itu, Ada materi Kajian
Dasar Tertentu yang Harus Diajarkan pada Semua Orang.
Jika pengetahuan tidak sama di segala tempat, maka orang-orang terpelajar tidak akan bisa setuju tentang sesuatu pun. Individu-individu mungkin mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda, akan tetapi ketika mereka setuju suatu pendapat jadilah sebagia pengetahuan. Sistem pendidikan harus berkaitan dengan pengetahuan, bukan pendapat, karena pengetahuan mengarahkan orang pada kebenaran abadi dan meperkenalkan subjek didik tentang keajegan-keajegan dunia. Hutchis menandaskan keseragaman kurikulum pendidikan dalam edukasi berikut : “Pendidikan menyiratkan pengajaran. Pengajaran menyiratkan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun sama. Sama karena itu, pendidikan di manapun harus sama.
Pendidikan, menurut kalangan perenialis yang berlawanan dengan kalangan progresif, “janganlah menyesuaikan individu dengan dunia, akan tetapi lebih pada menyesuaikannya dengan kebenaran”. Kurikulum janganlah memusatkan pada kepentingan jangka pendek subjek didik, sesuatu yang sesat tampak penting atau apa yang menarik bagi masyarakat tertentu dalam waktu dan tempat yang sangat spesifik. Fungsi pendidikan bukanlah pelatihan vokasional atau profesional. Sekolah harus memusatkan pada pendidikan intelek untuk menyerap dan memahami kebenarna-kebenaran abadi an essensial yang menghubungkan peran manusia dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan dasar semacam ini akan membantu orang memahami satu sama lain dan akan membekali mereka secara lebih baik untuk berkomunikasi dan membangun sebuah tatanan sosial yang lebih memuaskan.
d. Materi Kajian, Bukan Subjek Didik, Harus Berada pada Inti Usaha Serius
Kependidikan
Sebagian banyak kalangan perenialis setuju bahwa jika sistem pendidikan adalah untuk memperkenalkan subjek didik dengan kebenaran abadi; ia harus mempunyai sebuah kurikulum yang menekankan pada bahasa, sejarah, matematika, ilmu alam, filsafat, dan seni.
Hal utama pembelajaran dalam perenialisme terletak pada aktivitas-aktivitas yang didesain untuk mendisiplinkan akal pikir. Latihan mental yang sulit termasuk membaca, menulis, drill, menghafal, dan menghitung adalah hal penting dalam pelatihan dan pendisiplinan intelek. Belajar untuk menalar juga hal penting, dan karena itu latihan-latihan dalam tata bahasa, logika, dan retorika dianggap aktivitas-aktivitas yang berguna. Tugas-tugas semacam itu mungkin agak tidak disukai oleh rata-rata subjek didik, namun hal ini amat berguna karena kemauan dikembangkan seraya subjek didik tekun bergelur dengan tugas-tugas intelektual yang berat. Pendisplinan mental ruangan kelas yang dipaksakan dari luar membantu anak menginternalisasi daya kemauan yang nantinya akan diperlukan sewaktu ia menghadapi tugas-tugas sulit dalam kehidupan dewasa di mana tak ada lagi 'pemaksa' yang mendorongnya untuk merampungkan tugas-tugas yang tidak menyenangkan.
e. Karya-karya Besar Masa Lampau adalah Sebuah “Gudang” Pengetahuan dan
Kebijaksanaan yang Telah Teruji Waktu dan Relevan dengan Masa Kita
Program (pengajaran) karya-karya besar yang berkaitan dengan Hutchins, Adler, dan St. John's College adalah terobosan yang menjadikan perenialisme mendapatkan publisitas yang luas, sungguhpun tidak semua tokoh terkemuka dalam pergerakan ini mendukung program tersebut. Mereka yang mendukung pendekatan (pengajaran) karya-karya besar menandaskan bahwa pengkajian karya-karya para pemikir terkemuka adalah sarana terbaik untuk sampai pada 'persentuhan' dengan gagasan-gagasan besar manusia, dan karenanya sarana yang paling handal untuk mengembangkan kecerdasan intelek.
Kebesaran sebuah buku terletak pada statusnya sebagai buku klasik. Sebuah buku klasik adalah karya yang relevan bagi tiap kurun dan karena itu berda di atas karya-karya manusia pada umumnya. Karya-karya yang pantas masuk ke dalam kategori ini adalah karya-karya yang telah teruji oleh perjalanan waktu. Karena karya-karya buku semacam itu telah diakui bernilai dalam lintas abad, budaya dan peradaban, maka mereka tentunya berisi 'seabrek' kebenaran. Jika asumsi ini benar, tutur kalangan perenialis, maka pengkajian terhadap mereka merupakan keharusan. Adler menuliskan bahwa pembacaan karya-karya besar bukanlah untuk tujuan-tujuan 'mengoleksi' hal-hal kuno; kepentingannya tidaklah bersifat arkeologis atau filologis .. Karya-karya semacam itu dibaca lebih karena mereka sejalan dengan tuntutan masa kini seperti halnya waktu ditulis dulu, dan karena persoalan-persoalan yang diungkap dan gagasan-gagasan yang dimuat tidak tunduk pada hukum kemajuan yang tiada ujung.
Adanya penekanan pada pembacaan karya-karya besar yang asli berlawanan dengan tradisi esensialis dalam pendidikan yang menonjolkan buku teks sebagai car utama untuk mengalihkan materi kajian yang terorganisir. Hutchins menegaskan bahwa, “buku-buku teks kiranya telah banyak memerosotkan kecerdasan bangsa Amerika. Jika subjek didik harus tahu tentang Cicero, Milton, Galileo atau Adam Smith, mengapa ia tidak harus (juga) membaca karya-karya mereka.
Kalangan perenialis yang kurang menyukai program (pengajaran) karya-karya besar menegaskan bahwa sumber-sumber gagasan besar kontemporer dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Namun, mereka melihat perlunya subjek didik secara langsung bergumul dengan pemikir-pemikir besar daripada dengan bahan 'matang' yang termuat dalam buku-buku teks.
f. Pengalaman Pendidikan adalah (lebih dari) Sebuah Persiapan untuk Hidup
daripada Sebuah Kondisi Kehidupan yang Riil
Sekolah dasarnya adalah sebuah tatanan arti fisial (buatan) di mana intelek-intelek yang belum matang berkenalan dengan capaian-capaian terbesar manusia. Sekolah, seperti pandangan progresif, bukanlah miniatur dari masyarakat yang lebih luas. Kehidupan manusia, dalam pengertian utuhnya, dapat dijalani hanya setelah aspek rasional manusia dikembangkan. Sekolah adalah sebuah institusi khusus yang berupaya mencapai misi yang amat penting ini. Sekolah tidak terlalu berkepentingan dengan persoalan semacam pekerjaan, hiburan, dan rekreasi manusia. Hal-hal ini mempunyai tempat dalam kehidupan manusia, akan tetapi berada di luar lingkup aktivitas pendidikan.
Daftar Bacaan:
1. Riyanto, Theo., (Grasindo, 2002), Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi.
2. Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
3. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.
4. M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi.
5. Paparan lebih mendalam lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 49-52.
6. Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 457.
7. Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 428-433.
Hakikat pendidikan adalah merupakan upaya proses transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena yang terjadi di sekitarnya. Menurut McLaren, “Pendidikan kritis menyatakan bahwa kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni atau tempat lain harus memiliki visi yang tidak individu-individu adaptif terhadap dunia hubungan sosial, tetapi didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi. Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Masyarakat modern, menurut Shipman, fungsi pokok pendidikan tersimpul dalam tiga hal : Pertama, sosialisasi, yakni wahana integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, penyekolahan (schooling), yakni penyiapan anak didik untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu di masyarakat dengan pembekalan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi. Ketiga, pendidikan (education), diartikan sebagai penciptaan kelompok elit yang diharapkan akan memberi sumbangsih besar bagi kelanjutan program modernisasi. Sekolah ternyata memang bukan sesuatu yang netral atau bebas nilai. Dan sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai yang nyatanya sekedar yang resmi, sedang berlaku dan direstui bahkan wajib diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi dan seragam. Pendapat ini dihadirkan lebih sebatas untuk menunjukkan bahwa pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan sistem dan struktur sosial yang melingkupinya. Pendidikan dapat berperanan penting untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial (status quo) yang ada, juga dapat pula menjadi proses bagi perubahan sosial yang lebih adil. Rahardjo et.al. menyatakan bahwa “peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya.” Karena itu untuk memahami model suatu proses pendidikan dan memproyeksi implikasi dan hasilnya baik secara individu atau kolektif, maupun untuk memahami realitas sosial secara umum, dapat dilakukan dengan mengkaji pilihan paradigma yang dijadikan dasar bagi institusi pendidikan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa paradigmatik peserta didik sedikit banyak ada relasinya dengan pola paradigma yang dianut dalam proses pendidikan yang diikutinya.
Salah satu kajian teori kependidikan perenialis mencuat sebagai sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk reaksi terhadap kalangan progresif, yang mana kalangan perenialis merasakan runyamnya bangunan intelektual kehidupan bangsa karena penekanan di sekolah-sekolah terhadap keterpusatan pada subjek didik, paham kekinian, dan penyesuaian hidup. Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah penolakan besar-besaran terhadap cara pandang progresif. Bagi kalangan perenialis, permanensi (keajegan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan sosial yang sangat menonjol, adalah lebih riil (nyata) daripada konsep perubahan kalangan pragmatis. Dengan demikian kalangan perenialis mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide-gagasan yang luhur-menyejarah dari budaya manusia – ide-gagasan semacam ini telah terukti kebasahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu.
Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar, dan karya-karya besar pemikir masa lalu. Perenialisme adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbaharui dan lebih spesifik dalam formulasi teoritis, karena kemunculannya dilatari oleh 'musuh' yang nyata progresivisme kependidikan.
Kunci memahami protes kalangan perenialis dalam pendidikan adalah konsep pendidikan liberal. Pendidikan liberal (bebas) dalam tradisi klasik berkisar di seputar kajian yang menjadikan orang-orang (baca: subjek didik) bebas dan manusia sejati sebagai lawan dari pelatihan yang menerima (begitu saja) untuk melakukan tugas-tugas khusus dalam dunia kerja. Dalam dunia Yunani, manusia dibagi menjadi dua macam mereka yang melakukan tugas kerja dan mereka yang melakukan tugas berpikir. Dipercayai bahwa mereka yang melakukan tugas kerja pada dasarnya menjalankan fungsi 'kebinatangan' karena mereka mengandalkan kekuatan otot. Dan yang melakukan tugas berpikir berarti menggunakan kemampuan rasionalitas istimewa manusia. Orang-orang dalam kelompok terakhir ini adalah manusia bebas yang menjalankan 'pemerintahan' (fungsi memerintah dan mengatur). Karena mereka bebas, mereka membutuhkan pendidikan yang akan mengembangkan kemampuan rasional kemanusiaannya. Jadi, pendidikan memfokuskan pada aspek mental dan rasional manusia dan cenderung memperhatikan (memikirkan) ide-gagasan yang berpengaruh dari budaya Barat. Pelatihan kerja tidak dilihat sebagai tugas pendidikan, dan karena ia hampir sepenuhnya bisa dikuasai lewat magang daripada lewat sekolah. Pendidikan formal lewat persekolahan tidak lagi begitu diperhatikan untuk mengembangkan manusia bebas atau liberal, dan karenanya seni-seni liberal merupakan kurikulum dalam pendidikan tradisional.
Tradisi seni-seni liberal dalam pendidikan dicakup dari Greek (Yunani) hingga Roma, dari Roma hingga Eropa Kristen. Hingga akhir abad XIX dan awl abad XX, hal itu tampil sebagai arus utama pendidikan di Eropa dan Amerika Serikat. Bangkitnya industrialisme sungguh telah membawa banyak persoalan dan perubahan bagi pendidikan. Teknologi mesin telah membebaskan banyak orang dari beban kerja 'perbudakan' (kerja kasar) dan menyediakan sebuah landasan kesejahteraan yang memungkinkan karena ambil bagian dalam 'hak istimewa' kependidikan yang semula hanya terbatas bagi kalangan penguasa. Namun, pendidikan tradisional tidak mendapat daya tarik dan tampaknya juga tidak bermakna bagi banyak orang yang berasal dari latar belakang kelas pekerja. Kalangan progresif bangkit berjuang mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial baru di sekolah-sekolah.
Kalangan tradisionalis siap sedia menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ancaman anti intelektualisme. Dasar pemikiran ini adalah bahwa mesin-mesin itu dapat berbuat bagi setiap manusia modern (layaknya) apa yang telah diperbuat oleh kalangan budak untuk sekelompok kelas berjaya. Dengan demikian, di alam demokrasi, semua orang dapat bebas dan menjadi penguasa, dan semua orang memerlukan pendidikan liberal supaya dapat berpikir dan berkomunikasi (menyampaikan pemikiran) daripada sekadar dilatih seperti layaknya 'binatang' lewat pendidikan untuk kerja.
Dua juru bicara dari kalangan perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler yang paling berpengaruh dan menggulirkan kampanye dari Universitas Chicago, dimana Hutchins menjabat presiden (rektor) pada tahun 1929 di usia tiga puluh tahun. Keduanya adalah dosen aktif dan penulis produktif, dan berjuang keras membentuk opini publik agar sejalan dengan perenialisme selama lebih dari empat puluh tahun. Hutchins dan Adler telah memberikan sebuah kontribusi besar bagi kalangan perenialis ketika mereka bekerja mengedit kumpulan karangan masif yang diberi judul Great Books of the Western World. Kumpulan karangan ini memuat sekitar seratus tulisan tentang Barat yang berisi ide-pemikiran terbaik. Pemikiran pendidikan kalangan perenialis secara murni diimplementasikan di Perguruan Tinggi St. John di Annapolis, Maryland, di mana Presiden Stringfellow Barr menjadikan kajian tentang karya besar tadi sebagai referensi tingkar sarjana.
Secara filosofis, perenialisme menemukan akar pemikirannya dalam neoskolastisisme, dan karena itu ia sangat bertumpu pada pemikiran Aristoteles. Perenialisme dalam pendidikan pada umumnya berkaitan dengan pendidikan sekuler, meskipun neoskolastisisme berpijak pada tulisan-tulisan Thomas Aquinas dan juga Aristoteles. Teori pendidikan Roma Katolik mempunyai pertalian dengan arus utama perenialisme sekuler, akan tetapi ia lebih menekankan pada pemikiran Thomistik, teologis, dan spiritual. Perenialisme menjadikan sebagian besar rekoimendasi-rekomendasi pemikirannya terkait dengan sekolah lanjutan dan terutama perguruan tinggi. Peran pendidikan dasar dilihat sebagai peran membekali subjek didik sehingga ia nantinya dapat mengkaji dan memahami tradisi liberal.
B. Pembahasan menurut filsafat Ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
a. Manusia adalah Hewan Rasional
Sebagaimana ditulis sebelumnya, kalangan perenialis menilai manusia secara umum mempunyai kesamaan dengan dunia hewan dalam hal keinginan, kesenangan dan tugas kerja. Sebagai contoh, anjing-anjing merasa senang mengendarai mobil, dapat membawa muatan dan bentuk kerja lainnya, dan menyukai makanan yang disiapkan untuk manusia. Dalam pengertian semacam ini, manusia dan hewan banyak mempunyai kesamaan. Hal yang membut berbeda adalah kenyataan, bahwa dari seluruh jenis hewan, hanya manusialah yang mempunyai kecerdasan rasional. Ini adalah karakteristik manusia yang paling berharga dan unik. Aristoteles beranggapan bahw manusia adalah hewan rasional, dan kalangan perenialis senada dalam hal ini. Dengan demikian, pandangan mereka tentang pendidikan amat mengutamakan pada pendidikan sisi rasional manusia. Hutchins menuliskan, bahwa “adalah suatu hal esensial untuk menjadi manusia dan suatu hal esensial pula belajar mempergunakan akal pikiran.” Setelah seseorang mengembangkan akal pikirnya, ia akan dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol nafsu dan syahwatnya.
b. Hakikat (Watak) Dasar Manusia secara Universitas Tak Berubah; Oleh Karena
itu, Pendidikan Harus sama untuk Setiap Orang.
Salah satu kenyataan penting hakikat rasional ini ada pada seluruh manusia di sepanjang penggal sejarahnya. Jika manusia adalah hewan rasional dan jika orang-orang itu sama dalam hal ini, maka itu berarti bahwa semua orang harus mendapatkan pendidikan yang sama. Terkait masalah ini, Hutchins menuliskan :
Setiap manusia memiliki fungsi sebagai manusia. Fungsi sebagai warga negara atau sebagai subjek mungkin beragam dan satu masyarakat ke masyarakat lain, dan sistem pelatihan, adaptasi, pengajaran atau mempertemukan kebutuhan-kebutuhan jangka pendek mungkin bisa beragam. Namun, fungsi sebagai manusia adalah sama dalam setiap kurun dan sebagai manusia adalah sama dalam setiap kurun dan setiap masyarakat, karena ia akibat dari hakikat dasarnya sebagai manusia. Tujuan sebuah sistem pendidikan adalah sama dalam setiap kurun dan setiap masyarakat di mana sistem tadi berada, yaitu mengembangkan manusia sebagai manusia”.
c. Pengetahuan Secara Universal Tak Berubah; Karena Itu, Ada materi Kajian
Dasar Tertentu yang Harus Diajarkan pada Semua Orang.
Jika pengetahuan tidak sama di segala tempat, maka orang-orang terpelajar tidak akan bisa setuju tentang sesuatu pun. Individu-individu mungkin mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda, akan tetapi ketika mereka setuju suatu pendapat jadilah sebagia pengetahuan. Sistem pendidikan harus berkaitan dengan pengetahuan, bukan pendapat, karena pengetahuan mengarahkan orang pada kebenaran abadi dan meperkenalkan subjek didik tentang keajegan-keajegan dunia. Hutchis menandaskan keseragaman kurikulum pendidikan dalam edukasi berikut : “Pendidikan menyiratkan pengajaran. Pengajaran menyiratkan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun sama. Sama karena itu, pendidikan di manapun harus sama.
Pendidikan, menurut kalangan perenialis yang berlawanan dengan kalangan progresif, “janganlah menyesuaikan individu dengan dunia, akan tetapi lebih pada menyesuaikannya dengan kebenaran”. Kurikulum janganlah memusatkan pada kepentingan jangka pendek subjek didik, sesuatu yang sesat tampak penting atau apa yang menarik bagi masyarakat tertentu dalam waktu dan tempat yang sangat spesifik. Fungsi pendidikan bukanlah pelatihan vokasional atau profesional. Sekolah harus memusatkan pada pendidikan intelek untuk menyerap dan memahami kebenarna-kebenaran abadi an essensial yang menghubungkan peran manusia dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan dasar semacam ini akan membantu orang memahami satu sama lain dan akan membekali mereka secara lebih baik untuk berkomunikasi dan membangun sebuah tatanan sosial yang lebih memuaskan.
d. Materi Kajian, Bukan Subjek Didik, Harus Berada pada Inti Usaha Serius
Kependidikan
Sebagian banyak kalangan perenialis setuju bahwa jika sistem pendidikan adalah untuk memperkenalkan subjek didik dengan kebenaran abadi; ia harus mempunyai sebuah kurikulum yang menekankan pada bahasa, sejarah, matematika, ilmu alam, filsafat, dan seni.
Hal utama pembelajaran dalam perenialisme terletak pada aktivitas-aktivitas yang didesain untuk mendisiplinkan akal pikir. Latihan mental yang sulit termasuk membaca, menulis, drill, menghafal, dan menghitung adalah hal penting dalam pelatihan dan pendisiplinan intelek. Belajar untuk menalar juga hal penting, dan karena itu latihan-latihan dalam tata bahasa, logika, dan retorika dianggap aktivitas-aktivitas yang berguna. Tugas-tugas semacam itu mungkin agak tidak disukai oleh rata-rata subjek didik, namun hal ini amat berguna karena kemauan dikembangkan seraya subjek didik tekun bergelur dengan tugas-tugas intelektual yang berat. Pendisplinan mental ruangan kelas yang dipaksakan dari luar membantu anak menginternalisasi daya kemauan yang nantinya akan diperlukan sewaktu ia menghadapi tugas-tugas sulit dalam kehidupan dewasa di mana tak ada lagi 'pemaksa' yang mendorongnya untuk merampungkan tugas-tugas yang tidak menyenangkan.
e. Karya-karya Besar Masa Lampau adalah Sebuah “Gudang” Pengetahuan dan
Kebijaksanaan yang Telah Teruji Waktu dan Relevan dengan Masa Kita
Program (pengajaran) karya-karya besar yang berkaitan dengan Hutchins, Adler, dan St. John's College adalah terobosan yang menjadikan perenialisme mendapatkan publisitas yang luas, sungguhpun tidak semua tokoh terkemuka dalam pergerakan ini mendukung program tersebut. Mereka yang mendukung pendekatan (pengajaran) karya-karya besar menandaskan bahwa pengkajian karya-karya para pemikir terkemuka adalah sarana terbaik untuk sampai pada 'persentuhan' dengan gagasan-gagasan besar manusia, dan karenanya sarana yang paling handal untuk mengembangkan kecerdasan intelek.
Kebesaran sebuah buku terletak pada statusnya sebagai buku klasik. Sebuah buku klasik adalah karya yang relevan bagi tiap kurun dan karena itu berda di atas karya-karya manusia pada umumnya. Karya-karya yang pantas masuk ke dalam kategori ini adalah karya-karya yang telah teruji oleh perjalanan waktu. Karena karya-karya buku semacam itu telah diakui bernilai dalam lintas abad, budaya dan peradaban, maka mereka tentunya berisi 'seabrek' kebenaran. Jika asumsi ini benar, tutur kalangan perenialis, maka pengkajian terhadap mereka merupakan keharusan. Adler menuliskan bahwa pembacaan karya-karya besar bukanlah untuk tujuan-tujuan 'mengoleksi' hal-hal kuno; kepentingannya tidaklah bersifat arkeologis atau filologis .. Karya-karya semacam itu dibaca lebih karena mereka sejalan dengan tuntutan masa kini seperti halnya waktu ditulis dulu, dan karena persoalan-persoalan yang diungkap dan gagasan-gagasan yang dimuat tidak tunduk pada hukum kemajuan yang tiada ujung.
Adanya penekanan pada pembacaan karya-karya besar yang asli berlawanan dengan tradisi esensialis dalam pendidikan yang menonjolkan buku teks sebagai car utama untuk mengalihkan materi kajian yang terorganisir. Hutchins menegaskan bahwa, “buku-buku teks kiranya telah banyak memerosotkan kecerdasan bangsa Amerika. Jika subjek didik harus tahu tentang Cicero, Milton, Galileo atau Adam Smith, mengapa ia tidak harus (juga) membaca karya-karya mereka.
Kalangan perenialis yang kurang menyukai program (pengajaran) karya-karya besar menegaskan bahwa sumber-sumber gagasan besar kontemporer dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Namun, mereka melihat perlunya subjek didik secara langsung bergumul dengan pemikir-pemikir besar daripada dengan bahan 'matang' yang termuat dalam buku-buku teks.
f. Pengalaman Pendidikan adalah (lebih dari) Sebuah Persiapan untuk Hidup
daripada Sebuah Kondisi Kehidupan yang Riil
Sekolah dasarnya adalah sebuah tatanan arti fisial (buatan) di mana intelek-intelek yang belum matang berkenalan dengan capaian-capaian terbesar manusia. Sekolah, seperti pandangan progresif, bukanlah miniatur dari masyarakat yang lebih luas. Kehidupan manusia, dalam pengertian utuhnya, dapat dijalani hanya setelah aspek rasional manusia dikembangkan. Sekolah adalah sebuah institusi khusus yang berupaya mencapai misi yang amat penting ini. Sekolah tidak terlalu berkepentingan dengan persoalan semacam pekerjaan, hiburan, dan rekreasi manusia. Hal-hal ini mempunyai tempat dalam kehidupan manusia, akan tetapi berada di luar lingkup aktivitas pendidikan.
Daftar Bacaan:
1. Riyanto, Theo., (Grasindo, 2002), Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi.
2. Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
3. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.
4. M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi.
5. Paparan lebih mendalam lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 49-52.
6. Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 457.
7. Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 428-433.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar