Sabtu, 09 Januari 2010

KAJIAN ETIKA DAN FILSAFAT HEDONISME DITINJAU DARI SUDUT PANDANG ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI


Ib Arjana

A. PENDAHULUAN
Ketika hidup dijalani, seorang manusia tidak akan terlepas dari keterikatan hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini dapat dipahami karena ia adalah makhluk sosial. Tidak satupun yang merasa dan siap menghadapi kenyataan hidup seorang diri di tengah keramaian dan hiruk pikuknya dunia ini tanpa bantuan orang lain. Agama bahkan mengajarkan akan pentingya hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam sekitarnya serta mengembangan hubungan kasih sayang, sehingga tercipta kehidupan yang ideal dan harmonis.
Namun, aktivitas yang dilakukan manusia dalam interaksi sosial itu tidak akan pernah lepas dan selalu bersinggungan dengan nilai-nilai, baik yang tertulis maupun tidak. Sehingga disadari ataupun tidak, dalam menjalani aktivitas hidupnya, selalu dilandaskan pada nilai-nilai dalam lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pun seyogyanya tidak terlepas dari nilai-nilai sebagai pengontrol/pengendali, agar tidak terjerembab ke dalam keangkaramurkaan dan nafsu serakah yang pada akhirnya akan menghancurkan dunia dan peradaban manusia itu sendiri. Iptek yang disenyawakan dengan nilai-nilai atau etika ilmiah niscaya akan membuahkan produk yang bermanfaat tanpa harus bermasalah dengan tatanan peradaban umat manusia.
Pembahasan yang terkait dengan konsep nilai, sebenarnya merupakan kajian yang sangat erat secara substansial dengan persoalan etika. Kajian dalam persoalan ini biasanya mempertanyakan "apakah baik atau buruk", atau "bagaimana mestinya berbuat baik sehingga tujuan dapat dicapai dan bernilai". Menyikapi hal tersebut, dalam pembahasan makalah ini, akan dipaparkan tentang apa pengertian dan kajian etika ditinjau dari sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam aliran filsafat hedonisme.
B. CABANG FILSAFAT DAN ALIRANNYA
Untuk mengkaji filsafat secara sistematis, pertama kita golongkan terlebih dahulu menjadi dua kategori kedudukan filsafat. Pertama filsafat teoritis, kedua filsafat praktis. Filsafat teoritis digarap oleh ahli filsafat. Sedangkan filsafat praktis merupakan garapan filsuf. Adakalanya seseorang ahli filsafat bukan seorang filsuf. Seorang ahli filsafat adalah seorang yang menguasai secara akademis dan teoritis tentang asas, historis dan sistematika filsafat-filsafat. Seseorang mungkin mengetahui banyak hal tentang filsafat, tetapi ia sendiri tidak berfikir filsafati seperti filsuf. Mempelajari filsafat tidak ada bedanya dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang mengharuskan kinerja akal.
Untuk memahami filsafat secara teoritis, maka para ahli filsafat membagi kajiannya menjadi tiga bahasan utama, yaitu historis, sistematis dan asas. Pertama, filsafat secara historis terbagi atas filsafat klasik, modern dan kontemporer dengan ranah kajian filsafat Barat, Timur dan Islam. Kedua, filsafat secara sistematis terbagi atas bahasan tentang cabang dan aliran. Contoh cabang filsafat adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Contoh aliran filsafat ialah matrealisme, idealisme. Ketiga filsafat dilihat dari asas yang mendasarinya. Filsafat dapat tumbuh di atas dua pilar pengetahuan yaitu :ilmu dan agama. Berkembangnya filsafat ditangan filsuf, dikarenakan filsuf itu memiliki dasar-dasar ilmu yang kuat atau pengetahuan agama yang mendalam.
Cabang Filsafat dan Alirannya adalah sebagai berikut :
1. Cabang Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan. Dalam membahas ontologi ini, filsafat terbagi atas berbagai aliran seperti monisme, dualisme, pluralisme, spiritualisme, matrealisme, mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme.
2. Cabang Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan. Epistemologi terdiri atas aliran-aliran berupa: rasionalisme, empirisme, realisme, kritisisme, idealisme, positivisme dan pragmatisme.
3. Cabang Aksilogi
Aksiologi yaitu cabang filsafat yang membahas mengenai tindakan. Aksiologi terdiri dari aliran-aliran berwujud: Idealisme Etis, Deontologisme Etis, Etika Teleologis, Hedonisme dan Utilitarianisme.
Pembahasan dalam makalah ini, lebih ditekankan pada kajian nilai etika filsafat ditinjau dari sudut pandangn ontologi, epistemologi dan aksiologi.
C. ALIRAN FILSAFAT HEDONISME
Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Tujuan paham aliran ini, untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Kala itu, hedonisme masih mempunyai arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktik asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar mendapat kebahagiaan sejati. Namun waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam semboyan baru hedonisme. Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap embusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam.
Kedangkalan makna mulai terasa. Pemahaman negatif melekat dan pemahaman positif menghilang dalam hedonisme. Karena pemahaman hedonis yang lebih mengedepankan kebahagiaan diganti dengan mengutamakan kenikmatan.Pengertian kenikmatan berbeda dari kebahagiaan. Kenikmatan cenderung lebih bersifat duniawi daripada rohani. Kenikmatan hanya mengejar hal-hal yang bersifat sementara. Masa depan tidak lagi terpikirkan. Saat paling utama dan berarti adalah saat ini. Bukan masa depan atau masa lalu. Hidup adalah suatu kesempatan yang datangnya hanya sekali. Karena itu, isilah dengan kenikmatan tanpa memikirkan efek jangka panjang yang akan diakibatkan. Bila terlampau memikirkan baik buruknya hidup, akan sia-sia karena setiap kesempatan yang ada akan terlewatkan. Demikian pemikiran hedonis negatif yang berkembang saat ini. Pemikiran itu agaknya sangat cocok dengan gaya hidup masyarakat modern. Individualitas dan nafsu untuk meraih kenikmatan sangat kental mewarnai kehidupan kita. Paham ini mulai merasuki kehidupan remaja.
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya satu kali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epicurus yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."
Kita bisa menyaksikan bahwa saat ini kebanyakan orang terutama para remajanya berbondong-bondong digiring untuk menjalani kehidupan yang berpangkal pada pencarian kesenangan semata, salah satunya berwujud dunia entertaintment. Barangkali, banyak dari kita yang belum sadar mengenai hedonisme sebagai sebuah sistem filsafat etika yang muncul di Barat.
Menurut kamus Indonesia,Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga, 2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan.
Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.
Berbicara mengenai hedonisme, maka kita tidak bisa mengesampingkan seorang filosof Yunani yang dinilai punya peranan signifikan dalam membangun epistemologi hedonisme, yaitu Epicurus of Sámos (341-270 SM). Yang kelak prinsip-prinsip ajarannya tersebut dikenal dengan Epicureanisme. Epicureanisme adalah sebuah sistem filsafat yang bersumber dai ajaran-ajaran Epicurus yang dicetuskan sekitar tahun 307 SM. Inti epistemologi Epicureanisme dibangun diatas tiga kriteria kebenaran: Sensasi atau gambaran (aesthêsis), pra-konsepsi atau prasangka (prolêpsis) dan terakhir feelings atau perasaan (pathê). Prolepsis diartikan sebagai “kekuatan dasar” dan juga bisa didefinisikan sebagai “gagasan universal”, yaitu sebuah konsep dan cita-cita yang bisa dimengerti oleh semua orang.
Contohnya, seperti kata “laki-laki” yang setiap orang memiliki pendapat yang terbentuk sebelumnya mengenai apa itu laki-laki. Kemudian aesthesis atau sensasi (tanggapan pancaindera) dimaknai sebagai pengetahuan atau ilmu yang didapat melalui perasaan dan verifikasi empiris. Seperti kebanyakan sains modern, filsafat Epicurean menjadikan empirisisme sebagai alat untuk mengidentifikasi kebenaran dari kesalahan. Yang terakhir perasaan (feelings) yang sebenarnya erat kaitannya dengan etika daripada dengan teori fisiknya Epicurean yang akan mengkonfirmasikan kepada manusia tentang apa-apa saja yang akan memberi kesenangan dan apa-apa saja yang akan mendatangkan penderitaan. Dengan begini, menjadi penting untuk bisa mendapatkan potret utuh doktrin etika Epicurean.
Bagi Epicurus, kesenangan yang paling tinggi adalah tranquility (kesejahteraan dan bebas dari rasa takut) yang hanya bisa diperoleh dari ilmu pengetahuan (knowledge), persahabatan (friendship) dan hidup sederhana (virtuous and temperate life). Ia juga mengakui adanya perasaan-perasaan akan kesenangan sederhana (enjoyment of simple pleasures), namun Epicurus mengartikan kesenangan sebagai sesuatu yang harus jauh dari hasrat-hasrat jasmaniah (bodily desires), semisal seks dan hawa nafsu. Ia menguraikan, ketika kita makan, jangan sampai terlalu kenyang dan berlebihan, karena bisa menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfaction) nantinya. Maka konsekuensinya, nantinya dikemudian hari, seseorang tidak layak untuk menghasilkan makanan-makanan yang lezat.
Demikian juga, sejatinya seks bisa mendorong untuk meningkatkan birahi atau libido. Namun disisi lain, Epicurus beranggapan, terlalu sering melakukan hubungan seks akan mengurangi hasrat seksual, yang akan mengakibatkan pihak lain merasa tidak puas dengan dengan pasangan ngeseks-nya dan pastinya menyebabkan ketidakbahagiaan (unhappiness). Dengan demikian, parahnya, Epicureanisme terjebak masuk kedalam jurang yang lain, semisal asketisisme (paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban; pertapa, hidup membujang). Epicureanisme dianggap oleh beberapa kalangan sebagai bentuk hedonisme kuno. Epicurus mengidentifikasikan ‘kesenangan’ dengan ‘kesentosaan’ (tranquility) dan penekanan kepada reduksi hasrat berlebih terhadap perolehan spontan kesenangan (the immediate acquisition of pleasure).
Jadi menurut Epicurus, kesenangan bukanlah sesuatu yang pada dasarnya menyenangkan, justru kesenangan adalah kondisi sejahtera. Karena menurut dia kesenangan itu relatif. Dengan demikian, Epicureanisme melepaskan diri dari proposisi yang sebelumnya: kesenangan dan ‘manfaat yang utama’ (the highest good) itu sejajar, Epicurus mengklaim bahwa kesenangan yang paling tinggi tercapai dari sesuatu yang sederhana, semisal kehidupan sederhana yang dijalani bersama teman-teman dan dari diskusi-diskusi filosofis. Dia menekankan bahwa, bukanlah hal baik jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat seseorang yang lain (teman) merasa baik, yang apabila dengan pengalaman perbuatan tersebut seseorang justru meremehkan pengalaman-pengalaman yang akan datang dan membuat seseorang yang lain merasa tidak lagi nyaman. Sayangnya, Epicurus tidak menjelaskan sistem sosial etikanya secara panjang lebar. Dengan arti lain, sistem sosial etikanya Epicurus mengalami kebuntuan pada tataran fungsionalisasi
1. Konsep Dasar
Ide mendasar dibalik makna hedonis mengajarkan kepada kita bahwa setiap tindakan yang baik, bisa diukur pada seberapa banyak kesenangan dan seberapa kecil penderitaan yang bisa diproduksi. Dalam koridor teoretis, hedonisme pun bertalian dengan sistem filsafat etika yang lainnya seperti utilitarianisme, egoisme dan permisifisme. Dalam terma singkatnya, seorang hedonis akan mengarahkan segala usahanya untuk memaksimalkan ‘rasio’ ini (pleasure over pain). Beberapa abad setelah Epicurus, datang John Stuart Mill (1806-1873) seorang filosof utilitarianisme berkebangsaan Inggris dan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris, yang juga pendiri University College London (UCL), keduanya menetapkan beberapa prinsip fundamental hedonisme berdasarkan teori etika utilitarianisme (paham yang mengatakan bahwa manusia dalam tindakannya selalu mencari untung dan manfaat).
Menurut mereka, nilai-nilai utilitarianisme merupakan sebuah pijakan dasar bagi berdirinya nilai-nilai filsafat hedonisme dalam seluruh tindakan yang mengarah kepada proses pencapaian kebahagiaan yang paling besar bagi seluruh manusia. Meskipun konsekwen dengan pencarian kebahagiaan atau kesenangan, ada sedikit perbedaan pandangan nilai-nilai hedonistik antara Bentham dengan Mill yang berkaitan dengan ekspostulat (gagasan) mengenai prinsip-prinsip tentang ‘manfaat’ itu sendiri. Sedikitnya ada dua aliran pemikiran mengenai hedonisme:
Aliran pertama, yang dipromotori oleh Jeremy Bentham, lebih meyakini pendekatan kuantitatif. Bentham meyakini bahwa nilai-nilai mendasar tentang sebuah kesenangan bisa dimengerti secara kuantitatif. Pada dasarnya, dia percaya bahwa nilai-nilai kesenangan bisa dipacu oleh kesenangan lain yang dipengaruhi oleh durasi waktu (intensitas). Jadi, bukan hanya jumlah kesenangan, intensitas dan seberapa lama kesenangan tersebut bisa dinikmati, juga bisa mempengaruhi ‘jumlah’. Aliran yang kedua, vis a vis kelompok pertama, yang diwakili oleh John Stuart Mill, yang menganjurkan pendekatan kualitatif. Mill lebih meyakini adanya perbedaan level kesenangan, yang mana kualitas kesenangan tertingi, lebih baik dari kualitas kesenangan yang lebih rendah. Mill juga berpendapat bahwa, makhluk rendahan (simpler beings) semisal babi, punya jalan termudah untuk memperoleh kesenangan yang sederhana (simpler pleasure); selama mereka (simpler beings, Pen) tidak disibukkan oleh segmen kehidupan yang lain, mereka bisa dengan mudah menuruti kesenangan mereka tersebut.
Sedangkan makhluk yang lebih kompleks (elaborate beings), terbentur predisposisi (kecenderungan) untuk memusatkan perhatiannya kepada persoalan yang lain (dalam kehidupan), oleh karena itu, memperoleh waktu yang sedikit untuk kesenangan. Maka dengan demikian, mereka (elaborate beings, Pen) akan menemukan kesulitan untuk menikmati ‘kesenangan yang sederhana’ yang dilakukan oleh simpler beings, dengan jalan dan cara yang sama.
Namun permasalahan yang muncul adalah: pertama, pada umumnya, setiap kesenangan tidak memiliki kesamaan sifat atau ciri, meskipun fakta mengatakan bahwa ‘kesenangan’ tersebut bisa dilihat sebagai ’sesuatu yang menyenangkan’ (pleasurable). Lagipula, standar yang berlaku untuk sesuatu yang dikatakan ‘menyenangkan’ bermacam-macam. Semisal sadisme, yang sebagian orang menganggap sebagai sebuah kesenangan dan hobi. Sejatinya, pendekatan kuantitatif dan kualitatif harus diposisikan dan dipandang sebagai dua pendekatan yang komplementer. Kedua, seseorang akan merasa keberatan, jika ketika seseorang yang lain mendapatkan kesenangan mungkin yang lain akan merasakan penderitaan, yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi mengenai tindakan moral. Hal ini menjadi kontradiksi jika kita melihat dari perspektif absolutisitas moral. Sementara dari sudut pandang relativitas moral, tidak akan pernah terjadi kontradiksi. Dua persoalan inilah, yang dicap oleh filosof Henry Sidgwick dalam bukunya ‘The Method of Ethics’ (1963) sebagai ‘paradox of hedonism’.
Banyak yang melihat, hedonisme tidak punya kaitan dengan egoisme. Tapi anehnya, utilitarianismenya John Stuart Mill terkadang diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk hedonisme, yang mana klasifikasi tersebut juga membenarkan tindakan moral melalui kontribusi berikutnya kepada manfaat tertinggi dan kebahagiaan. Hal ini juga –bisa dikatakan- sama dengan hedonisme altruistik (altruisme; paham mendahulukan orang lain). Mengingat, diantara doktrin-doktrin hedonistik ada yang mengajarkan untuk melakukan apa saja yang bisa membuat kebahagiaan pribadi seseorang (via usaha yang panjang), Mill juga menyetujui tindakan-tindakan yang dapat membuat orang-orang bahagia. Dengan arti lain, menyandingkan individualisme dengan kolektifisme. Adalah benar bahwa, Epicurus merekomendasikan kepada kita untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, namun harus diingat, dia tidak pernah mengajarkan bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mementingkan diri sendiri (selfish) yang berdampak kepada terhalangnya kesenangan dan kebahagiaan untuk orang lain.
D. NILAI, ETIKA DAN FILSAFAT
1. Nilai
Nilai diartikan sebagai suatu keyakinan/kepercayaan yang berkaitan dengan cara bertingkah laku untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan oleh manusia dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Definisi tersebut adalah seperti yang disarikan dari pendapat para ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia dan konsep nilai.
Beberapa diantaranya adalah:
"Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence." (Rokeach, 1973) .
"Value is a general beliefs about desirable or undesirable ways of behaving and about desirable or undesirable goals or end-states". (Feather, 1994)
"Value is desirable transsituational goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity". (Schwartz, 1994).
Schwartz (1994) menambahkan bahwa pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, ia mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial.
Jika diperhatikan, sebenarnya kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih buruk dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai, sehingga setiap gerak langkah dan prilakunya harus dipertimbangkan apakah harus atau tidak perlu mempunyai ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealisme sebagai dasar untuk mengatur kehidupan. Begitu juga apakah ukuran-ukuran itu konsisten atau tidak, harus mengembangkan kehidupan atau merusaknya.
Kita sadar betul bahwa menganggap sepi dari peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru tentang manusia dan alamnya. Karena meskipun beberapa ilmuwan Barat menganggap pengetahuan yang dikembangkannya tidak harus bersinggungan dengan nilai, seperti yang dikemukakan sekelompok ilmuwan bahwa filsafat dan ilmu bebas nilai (value free), namun ternyata ada beberapa cabang pengetahuan yang terkait dengan masalah nilai, misalnya ekonomi, etika, estetika, filsafat agama dan epistemologi kebenaran. Semua ini pasti membutuhkan kaidah nilai. Meski demikian, bukan berarti cabang ilmu lainnya sama sekali tidak perlu berkaitan dengan nilai-nilai, sebab apapun disiplin dan cabang ilmunya, jika system dan proses konstruksinya terlepas dari kaidah nilai, maka dipastikan atau setidaknya dimungkinkan akan berdampak pada hilangnya nilai substantifnya. Dengan kata lain hal ini akan memberangus keluhuran martabat penggunanya.
2. Etika
Sementara etika, pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang berfungsi sebagai norma atau kaidah tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai ekspektasi atau yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan peranannya. Dilihat dari asal usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Pada perkembangannya, etika adalah studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana mereka harus bertindak.
Dalam teori nilai, etika dijadikan sebagai salah satu unsur penting dalam kajian filsafat. Ini berarti bahwa tingkah laku sosial manusia bertumpu pada system nilai yang berlaku, di manapun posisi dia berada. Peribahasa "dimana bumi dipijak, disitu langit dijungjung" barangkali sangat cocok menjadi gambaran diperlukannya penerapan etika.
Etika dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan kontrol sosial. Karena etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formalnya adalah norma-norma kesusilaan manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normative, yakni adanya pelibatan norma.
Ketika bersinggungan dengan norma, maka muncullah pemikiran-pemikiran tentang etika itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Dr. Frans Magnis Suseno, bahwa etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak tidak bertentangan dengan agama. Manusia akan menjadi baik sekalipun tidak mempunyai tuntunan sebagai mana disebut dalam ajaran agama yaitu dengan mengandalkan akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan sesuatu masalah dengan kebijaksanaan. Sehingga, kita dapat memilih mana yang baik dan mana pula yang buruk bagi kita.
3. Filsafat
Dari segi semantik, filsafat dalam bahasa Yunani adalah "philosophia" yang diartikan sebagai cinta/suka kepada pengetahuan, hikmah/kebijaksanaan, atau kebenaran. Filsafat mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa. Karena ia merupakan hasil daya upaya manusia dengan akal budinya dalam memahami dan mendalami hakikat yang ada, maka ranah Tuhan, alam semesta, dan manusia itu sendiri menjadi sasaran dalam pengkajiannya.
Dikaitkan dengan etika, maka filsafat merupakan induk pengayomnya. Ilmu-ilmu lain seperti: logika, metafisika, estetika, epistemologi, filsafat sejarah, sosiologi dan antropologi, dan lain-lain juga berada di naungannya. Dengan kata lain cabang-cabang ilmu yang dalam kajiannya memerlukan pola berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh dalam menemukan hakikat kebenaran segala sesuatu, merupakan kajian filsafat. Apapun yang dipelajari dalam etika, adalah nilai-nilai kebenaran dan hikmah. Karena ia adalah bagian dari filsafat, maka segala yang dipelajari dalam teori nilai (axiology) haruslah dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh.
E. SISTEM FILSAFAT MORAL
Secara garis besar, sistem filsafat moral dibedakan dalam dua macam etika, yaitu etika bertujuan (teleologis) dan etika berkewajiban (deontologis). Dalam hal ini filsafat dipusatkan pada pemberdayaan nilai-nilai moralitas ilmu. Etika dipandang sebagai ruh dalam memberi batasan-batasan penggalian pengetahuan yang mendalam. Sehingga hasil yang didapat, baik secara empirik maupun rasional, menjadi bermakna karena adanya pengevaluasian terhadap nilai manfaatnya.
1. Etika Bertujuan
Dalam etika ini, sistem filsafat moral terbagi dalam beberapa aliran (isme). Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Ini karena tokoh pencetusnya menggunakan paradigma tujuan yang berbeda.
a) Hedonisme
Aliran ini berasumsi bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah kesenangan (hedone), yaitu segala apa yang dapat memuaskan keinginan kita. Aristippos (±433-355 SM) berpendapat bahwa yang baik adalah kesenangan karena fakta menunjukkan bahwa sejak kecil manusia tertarik akan kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Sedangkan kesenangan itu bersifat badani yang hakikatnya adalah gerak. Ia juga bersifat aktual, bukan masa lalu (ingatan) dan bukan pula masa yang akan datang (harapan), tetapi sekarang dan di sini. Termasuk bersifat individual, karena dialami oleh setiap individu. Meskipun dilakukan secara sosial, namun tetap saja kesenangan dirasakan oleh orang perorangan. Hal senada dikemukakan oleh Epikuros (341-270 SM). Ia menyebutkan bahwa kesenangan adalah tujuan kehidupan manusia. Namun demikian, katanya, yang terbaik dan terpenting adalah yang terbebas dari segala keinginan itu, tapi justru mencapai ketengan jiwa (ataraxia).
b). Eudemonisme
Dikatakan bahwa dalam tiap aktivitas, manusia mengejar tujuan dan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah kebahagiaan (eudemonia). Agar hal ini dapat dicapai, maka diperlukan cara-cara untuk menjalankan fungsi rasio/akalnya. Sebagaimana digagas oleh Aristoteles (384-322 SM). Di sini kekuatan rasio manusia harus dibarengi dengan kekuatan moralnya. Sedemikian hingga eudemonia betul-betul terasa mendalam.
c). Utilitarisme
Prinsip aliran ini adalah kegunaan (utility). Jeremy Bentham (1748-1832) mengemukakan sebuah teori, yaitu kebahagiaan terbesar adalah berasal dari jumlah orang terbesar (the greatest happiness of the greatest number). Oleh karenanya penetapan kegunaan pun melalui kuantifikasi (the hedonistic number), yakni penentuan jumlah terbesar. Artinya suatu perbuatan dinilai baik, menurut paham ini, jika dapat meningkatkan kebahagiaan orang sebanyak mungkin. Namun John Stuart Mill (1806-1873), tokoh lain aliran ini, menambahkan bahwa kebahagiaan dan kesenangan tidak hanya diukur dengan kuantitasnya saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan sisi kualitasnya. Dikatakannya bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu ada yang bermutu tinggi ada pula yang rendah. Jadi, penilaian suatu perbuatan itu baik atau tidak dipengaruhi oleh penentuan kualitas dan kuantitas terhadap kesenangan dan ketidaksenangan.
2. Etika Berkewajiban
Salah seorang pakar etika deontologis, Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa yang baik itu adalah kehendak baik itu sendiri. Suatu kehendak menjadi baik karena bertindak menurut kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah imperative category (perintah yang mewajibkan begitu saja, dan tanpa syarat). Ini nantinya menjadi hukum moral. Dikatakannya bahwa kebebasan bukan berarti bebas dari segala ikatan, tetapi tetap dengan taat pada hukum (moral).
F. IMPLEMENTASI NILAI ETIKA DALAM ILMU
Telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa disukai atau tidak, nampaknya nilai-nilai etika dipandang perlu diimplementasikan pada setiap kegiatan ilmiah, sebagai penyeimbang agar produknya tidak mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan. Ilmu diharapkan menjadi melek moral. Sementara nilai diperlakukan bersenyawa dengan proses dan hasil kemajuan itu.
Namun, dalam pertimbangannya, para ilmuwan berbeda pandangan terhadap apakah etika diperlukan dalam pekerjaan-pekerjaan ilmiah atau tidak. Apakah ilmu tidak menjadi stagnan atau mengalami kemunduran karena terlalu banyaknya pertimbangan nilai. Prof. DR. H. Cecep Sumarna (2008) membedakannya menjadi dua golongan. Pertama, ilmuwan yang menggunakan satu pertimbangan, berupa kebenaran dengan mengesampingkan semua pertimbangan nilai. Kedua, mereka yang menganggap perlunya memasukkan pertimbangan nilai-nilai etik dan nilai-nilai kesusilaan. Sehingga sisi utility (kegunaanya) terasa sebagai penyeimbang pertimbangan nilai kebenaran dalam setiap aplikasi ilmu.
Bertolak dari pandangan para ilmuwan yang satu sama lain berbeda, dengan berbagai dalil alasan yang dikemukakannya, dapat kita pahami bahwa pemasukkan nilai etika ke dalam ilmu, diterima atau tidaknya, akan sangat berurusan dengan tujuan penciptaan ilmu itu sendiri. Ilmuwan yang tujuan penciptaannya memperhatikan segi kemanusiaan dan kesusialaan demi kebenaran tujuan penggunaannya, akan berupaya memasukkan nilai etik ke dalam ilmu. Faktor empirik dan rasional tidak dimentahkan dengan adanya nilai etik, tapi justru dijadikannya bernilai/bermartabat bagi kemaslahatan umat manusia. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai (free value) adalah sebuah keangkuhan dalam berhubungan dengannya.
Sedangkan ilmuwan yang tujuan penciptaannya harus steril dari nilai-nilai metafisik, akan berupaya membendung dan menafikan keterlibatan nilai etik. Penulis beranggapan kalangan ilmuwan pada golongan ini, melakukan dikotomi / pemisahan untuk suatu tujuan penciptaan tidak secara sosial atropogal, melainkan secara eksak matematis. Pertimbangan konotasi atas evaluasi ilmu dianggap tidak diperlukan sebagaimana dipergunakan oleh kalangan ilmuwan yang membolehkan.
Fakta sejarah telah terbukti, proses dan pengawasan terhadap hasil rekayasa ilmu tidak selamanya dipergunakan dengan bebas dampak negatif. Sejak perang dunia kedua, bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima (Jepang) oleh sekutu dibawah pimpinan Amerika Serikat, berdampak negatif pada hilangnya sisi-sisi kemanusiaan dan rusaknya peradaban manusia. Obat bius jenis psikotroprika yang semestinya digunakan dalam pembedahan klinis, dengan lemahnya pengawasan yang menyeluruh, begitu juga teknologi kondom, karena bebas nilai moral dan tidak disertai dengan aturan yang jelas dan mengikat sebagai bentuk pengawasan, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan (misuse).
Kita patut berbangga karena ilmu pengetahuan telah dikembangkan sedemikian rupa. Ia banyak menawarkan jasa bagi pemenuhan hajat hidup manusia, baik bersifat primer (kebutuhan pokok), sekunder (kebutuhan penyerta/sampingan), ataupun tersier (kebutuhan luks kesenangan). Kesemuanya merupakan produk dari perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Di bidang kedokteran, dengan ditemukannya berbagai macam obat, termasuk antibiotika, membawa dampak bagi terselamatkannya jutaan manusia yang sakit. Di bidang pengayaan Uranium, tenaga muklir amat berjasa dalam pembangkit tenaga listrik. Di bidang militer, pengembangan peralatan senjata mutakhir, akan sangat membantu dalam pertahanan negara.
Namun semua itu akan bernilai baik jika ilmu pengetahuan sebagai pilar utamanya dan hasil yang telah dikembangkan itu diikat dengan nilai. Dengan demikian tragedi dehumanisasi tidak akan menggejala. Majunya ilmu diharapkan mengikatnya nilai peradaban umat manusia.

G. MANFAAT MEMPELAJARI ETIKA
Seperti diibaratkan nasihat dokter kepada pasien dengan memberikan petunjuk/nasihat tentang apa yang boleh dan tidak berkenaan dengan penyakitnya, maka etika dapat membuat kita menjadi baik ataupun tidak bergantung pada kemauan kita mau mengikutinya atau tidak. Jika kita mau mentaati etika maka kita bisa menjadi manusia yang baik, jika tidak ia tidak akan berguna bagi kita. Yang jelas, manfaat yang diberikan begitu besar kepada siapapun yang mengikutinya. Ia dapat membukakan mata manusia untuk melihat baik dan buruk. Sebenarnya tujuan etika bukan hanya untuk mengetahui pandangan (teori) di dalamnya semata. Akan tetapi yang paling penting adalah agar mendorong kita supaya membentuk hidup bahagia, menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan serta memberikan manfaat kepada sesama manusia.
H. PENUTUP
Secara ontologi, etika dalam filsafat ilmu yang merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat, adalah bagian yang tak terpisahkan dalam peradaban umat manusia. Sifat dasarnya sangat kritis, karena selalu mempersoalkan norma-norma yang berlaku, menyelidiki dasar dari norma-norma tersebut, begitu juga siapapun yang menetapkan norma itu.
Dari segi kegunaan (aksiologi), bahwa kehidupan manusia perlu ditopang dengan nilai-nilai etika, agar keberadaannya betul-betul dapat dinikmati dengan penuh arti. Dehumanisasi tidak perlu terjadi bilamana human (manusia) berikap legowo menetapkan etika kerja dan etika pengkajian ilmu. Itulah sebabnya mengapa kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh ini dikemas dalam wadah filsafat.
Kita bersyukur pada para ilmuwan yang telah berani memfatwakan perlunya nilai etika dalam semua bidang dan sendi-sendi kehidupan. Meski sebagian yang lain menafikannya. Sebab yang terpenting adalah berpulang kepada kitanya, mau mengiktui etika atau tidak. Mudah-mudahan kesungguhan kita dalam pengamalannya itu akan beroleh manfaat yang besar dan tak hingga nilainya. Akhirnya mudah-mudahan makalah ini membawa percerahan baru dalam memperoleh pemahaman tentang etika sebagai bagian dari filsafat ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Beni, Ahmad S. 2009. Filsafat Ilmu ( kontemplasi filosofis tentang seluk -beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan ). Bandung. Pustaka Setia.
Bertens, K. 1999. Etika. Jakarta: Gramedia
Juhana, S Praja. 2003. Alran-Aliran Filsafat Dan Etika. Jakarta. Prenada Media.
Ramadhan, M Suradi. 2009. Teori Nilai (Etika). www.dpdimmriau.co.cc.
Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press.
Suparlan, Suharsono. 2008. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta. Ar-Ruzz Media.
Ululalbab, Wahyu. 2009. Nilai, Etika, Idealisme Dalam Filsafat. http://wahyu-ululalbab.blogspot.com.

3 komentar:

  1. artikel yang menarik.. afwan saya copy

    BalasHapus
  2. terimakasih sebanyak banyak terhadap penulis karena di blog ini saya telah mendapat banyak pengertian tentang hedonisme dan dijelaskan secara terperinci

    BalasHapus
  3. KAJIAN ETIKA DAN FILSAFAT HEDONISME DITINJAU DARI SUDUT PANDANG ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI |izin copy untuk sumber belajar

    BalasHapus