Ib Arjana
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan modern saat ini, makin terasa betapa pentingnya peranan organisasi terhadapa kepentingan manusia, tidak ada seorang pun di antara manusia ini rasanya yang dilahirkan sampai pada saat kematiannya tidak terikat pada organisasi.
Kata organisasi selalu mengandung dua macam pengertian secara umum, yaitu menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional, dan yang lain mengandung arti proses pengorganisasian. Berkembanglah berbagai studi tentang organisasi. Organisasi dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan, alat untuk melindungi, atau alat melestarikan sumber pengetahuan, dan organisasi dipandang sebagai sumber karir. Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan amat berat seolah-olah kepemimpinan dipaksa menghadapi berbagai macam faktor seperti: struktur atau tatanan, koalisi, kekuasaan,dan kondisi lingkungan organisasi. Sebaliknya, kepemimpinan rasanya dapat dengan mudah menjadi satu alat penyelesaian yang luar biasa terhadap persoalan apa saja yang sedang menimpa suatu organisasi
Manusia sebagai mahluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menetukan sikap terhadap dunia luarnya. Bahkan mendasari setiap tingkah laku yang hendak dan harus dilaksanakan sehubungan dengan pola hidup dan susunan kemasyarakatanya. Demikian luasnya cakupan kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan mengingkat para anggota yang dilingkupi kebudayaan itu untuk berprilaku sesuai dengan budaya yang ada. Apabila pengertian ini ditarik kedalam organisasi, maka apabila seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka para anggota organisasi akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan budaya itu tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah budaya yang bersifat mengarahkan kepada anggota organisasi untuk mempunyai kinerja yang baik, maka dapat dipastikan apabila memang semua anggota organisasi sudah menganggap norma itu sebagai budaya, maka ia akan melaksanakanya dengan baik. Akhirnya pelaksanaan budaya itu akan menghasilkan output kinerja yang baik.
B. Kajian Pustaka
1. Budaya Organisasi
a). Pengertian Budaya Organisasi
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f) explaining and explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi input, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Tak Tampak —————————————————Sulit berubah
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak —————————————————Mudah berubah
Bagan 1. Budaya dalam Sebuah Organisasi
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998.
Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.5)
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif.
Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
b). Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No Nilai Perilaku Dasar
1 Ilmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Bekerja
3 Kesenian Menikmati keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatan Berbakti/berkorban
6 Politik/kenegaraan Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
1. Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
2. Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (2)Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan menghargai seni; (6) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
3. Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal. Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
4. Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put – proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
5. Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning.
6. Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
2. kepemimpinan
Peranan pemimpin dalam rangka meningkatkan kualitas lembaga sangat besar pengaruhnya, walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor. Kualitas lembaga banyak dipengaruhi oleh kesiapan berbagai faktor, seperti: personelnya (misalnya: mahasiswa, dosen, staf administratif, pimpinan dan sebagainya) dan juga organisasinya (misalnya: ikilm kerjanya, proses manajerialnya, tujuan dan visi serta misinya, dan sebagainya).
Pemimpin dituntut memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta untuk selalu mengadakan kontrol terhadap setiap kegiatan di lingkungannya. Pemimpin seharusnya dapat meningkatkan daya kreativitas dan partisipasi bawahan terhadap program-program lembaga dengan sepenuh emosional dan intelektualnya.
Dalam proses meningkatkan kualitas layanan, hubungan pemimpin dan bawahan diharapkan terjalin secara harmonis, saling percaya, menghargai dan adanya komunikasi yang jelas untuk menghindari kesalah-pahaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Bawahan sebagai unsur pelaksana pendidikan terdepan dan memegang “peranan kunci” dalam menentukan keberhasilan lembaga, perlu mendapatkan perlakuan yang manusiawi dari pimpinan, karena misi pimpinan akan terealisasi melalui interaksi yang harmonis antara pimpinan dan bawahan.
Sehubungan dengan pentingnya peranan pimpinan, perlu dipahami bahwa ada dua hal yang erat dengan jabatan pimpinan, yaitu: kepemimpinan dan manajemen. Kepemimpinan mempunyai arti yang lebih luas dibanding dengan manajemen. Kepemimpinan dapat terjadi dimanapun asalkan ada seseorang yang berusaha untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok, tanpa mengindahkan bentuk alasannya (Thoha, 1983:255). Stogdil mendefinisikan kepemimpinan, yang dikutip oleh Wahjosumidjo (1984: 21), bahwa “kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan”.
Di dalam kepemimpinan, ada dua (2) bentuk kepemimpinan, yaitu: kepemimpinan yang resmi diangkat dan kepemimpinan yang tidak resmi. Kepemimpinan resmi dimiliki oleh mereka yang meduduki posisi pemimpinan karena diangkat oleh pihak yang berwenang atau dipilih secara resmi. Kepala sekolah dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang resmi. Kepemimpinan tidak resmi dimiliki oleh mereka yang mampu mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu walaupun tidak menduduki posisi pemimpin. Kemampuan dalam mempengaruhi berasal dari kelebihan-kelebihan tertentu pada diri dan pribadinya.
Jika kepemimpinan dibatasi oleh birokrasi atau dikaitkan terjadinya dalam suatu organisasi tertentu, maka dinamakan manajemen (Toha, 1983, p. 256). Kalau diperhatikan, kepala sekolah dari kedudukannya, maka kepala sekolah adalah seorang manajer dan dalam usahanya mencapai tujuan, menggunakan teknik kepemimpinannya.
Kepala sekolah sebagai pemimpin resmi, agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik seharusnya memiliki unsur kepemimpinan yang riil., operasional, fungsional sebagai proyeksi kualitas kelebihan yang dimilikinya. Gaya kerja Kepala Sekolah hendaknya lebih baik jika dibandingkan dengan bawahannya.
Teknik kepemimpinan yang telah dikembangkan oleh para ahli, yang akhirnya menemukan teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang cukup popular adalah kepemimpinan menurut teori sifat, teori situasional, dan teori perilaku.
Kepemimpinan menurut teori sifat dilatarbelakangi oleh filsafat bahwa pemimpin itu dilahirkan dan bukan dipelajari. Sifat-sifat pembawaan dan instink lebih penting dari pada latihan kepemimpinan. Dengan mengadakan penelitian terhadap sifat dan peranan orang besar, diharapkan dapat diketahui ciri-ciri penting dari pemimpin alami yang dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.
Teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Fiedler, dikenal dengan “Fiedler’s Contingecy Model”; yang menurut penelitian yang beliau lakukan: direkomendasikan bahwa dalam situasi kerja ada tiga macam elemen penting yang akan menentukan gaya kerja atau perilaku kepemimpina yang efektif, yaitu (a) hubungan antara pemimpin dengan bawahan, (b) struktur tugas, dan (c) kewibawaan kedudukan pemimpin (Steers, Ungson, Mowday, 1985:312).
Teori kepemimpinan perilaku, bertolak dari pemikiran bahwa perilaku pemimpin menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi. Perilaku pemimpin ditunjukkan dari cara melakukan suatu tugas-tugas kepemimpinannya, misalkan cara memberi perintah, cara membuat keputusan, cara berkomunikasi, cara menegakkkan disiplin, cara menegur kesalahan, dan perilaku lainnya. Pendekatan teori perilaku ini, menggukanan faktor bawaan dan faktor situasional yang dikombinasikan menjadi konsep perilaku pemimpin dan dapat dilukiskan dalam pertanyaan-pertanyaan yang merupakan deskripsi dari perilaku pemimpin. Hemphil dari Maryland setelah bergabung dengan team Ohio, dalam penelitiannya, menggunakan hal apa saja yang dilakukan oleh para pemimpin apabila mereka sedang memimpin. Dari berbagai pencatatan hasil pennyebaran pertanyaan yang diberikan kepada beberapa orang dari bermacam-macam organisasi akhirnya diperoleh gambaran kelakuan pemimpin (Gibson, John, & James, 1982:268).
Ada dua macam dimensi penting mengenai perilaku pemimpin yang dinamakan konsiderasi dan struktur inisiasi. Konsiderasi, yaitu perilaku pemimpin yang cenderung ke arah kepemimpinan bawahan; sedangkan struktur inisiasi, yaitu perilaku pemimpin yang cenderung lebih mementingkan tujuan organisasi dari pada memperhatikan bawahan.
b. Gaya Kerja Pemimpin
Matindas (1996), memilah-milah perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugasnya, menjadi lima tipe, yang disebut gaya kerja. Kelima gaya kerja tersebut, yakni: (1) Gaya komandan; (2) Gaya pelayanan; (3) Gaya bohemian (seniman); (4) Gaya birokrat; dan (5) Gaya manajer. Martindas, mendifinisikan gaya kerja adalah kesatuan dari berbagai cara/ tindakan yang didasari oleh sistim nilai dan asumsi (SINA) seseorang yang ditampilkan di saat ia melakukan hubungan kerja dengan orang lain.
Secara ringkas penjabaran masing-masing gaya kerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Gaya Kerja Komandan
Seorang pemimpin, dengan gaya kerja ”komandan” umumnya merasa benar sendiri, dan mempunyai keyakinan bahwa ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Mereka biasanya berusaha memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya. Dalam situasi kerjasama, ia umumnya berusaha mengambil peran sebagai ”pengambil keputusan”, dan mengharap orang lain mendukung idea dan gagasannya. Ia tidak ingin dibantu, apalagi dipengaruhi dalam menentukan apa yang seharusnya ia lakukan.
2). Gaya Kerja Pelayan
Seorang pemimpin dengan gaya kerja ”pelayan”, memiliki keinginan yang kuat untuk desenangi/diterima orang lain. Mereka tidak tahan bila merasa dimusuhi oleh orang lain. Mereka punya asumsi bahwa hubungan baik dengan orang lain selalu akan membawa keberuntungan. Kepentingan pihak lain harus didahulukan dari kepentingan sendiri. Pada dasarnya mereka bukan ”sungguh ingin membantu” orang lain, hanya saja tidak mau dinilai ”tidak membantu”.
3). Gaya Kerja Bohemian (Seniman)
Orang dengan gaya ”Bohemian” adalah tidak mau merepotkan dan juga tidak mau direpotkan oleh orang lain. Kalau bisa mereka sesungguhnya segan untuk bekerjasama. Mereka lebih senang bekerja sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi pada hasil pekerjaannya. Mereka tidak terlalu peduli pada hasil kerjasama atau hasil akhir dari suatu perundingan. Yang paling utama adalah kepentingan pribadinya, bukan kepentingan kelompoknya.
4). Gaya Kerja Birokrat
Orang dengan gaya ”birokrat” adalah orang yang sangat teliti memperlihatkan prosedur dan aturan yang berlaku. Mereka selalu berusaha bertindak sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Mereka tidak ingin dipersalahkan di kemudian hari, dan karena itu berusaha sekuat-kuatnya untuk memiliki “dasar-hukum” bagi tiap tindakannya.
5). Gaya Kerja Manajer
Orang dengan gaya kerja ”manajer” berpegang teguh pada slogan : “kerjasama yang baik adalah kerjasama yang dapat memuaskan semua pihak”. Mereka selalu berusaha mencapai yang tebaik bagi semua pihak. Mereka percaya bahwa bila semua pihak mendapat keuntungan, maka kepatuhan terhadap putusan yang diambil akan lebih kuat, dan akan lebih bergairah dalam mengerjakan hal-hal yang ditugaskan kepadanya (Matindas, 1996:14-22).
Lippitt & White, berpendapat: ada tiga gaya kepemimpinan yaitu otokratis, demokratis dan laissez-faire atau kebebasan (Sutarto, 1991:72). Kepemimpinan gaya ”otokratis” adalah pemimpin yang mengutamakan kekuatan posisi formalnya. Dalam membuat keputusan, tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberi masukan. Semua aktivitas ditentukan oleh pemimpin dan komunikasi hanya satu arah, yaitu ke bawah. Kepemimpinan gaya ”demokratis”, adalah pemimpin yang melibatkan bawahan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Keputusan akhir tetap diambil oleh peminpin, setelah melalui proses musyawarah dengan bawahan. Pemimpin menekankan pada dua hal, yakni: bawahan dan tugas. Sedangkan kepemimpinan gaya ”laissez-faire” adalah pemimpin yang membiarkan para bawahan untuk mengatur diri mereka sendiri. Pemimpin menentukan kebijakan dan tujuan umum, bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan dala segala hal yang mereka anggap cocok. Kegiatan diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih banyak dan diserahkan bawahan.
Dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut, dalam kaitannya dengan gaya kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa gaya otokratis dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya Komandan. Gaya demokratis dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya kerja Manajer dan gaya kerja Pelayan. Gaya laissez-faire dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya kerja Bohemian. Persamaan tersebut tidaklah mutlak, tetapi beberapa ciri pada gaya kepemimpinan otokratis sebagian besar ada pada gaya kerja komandan, demikian juga gaya kerja yang lain.
3. Komitmen Organisasi Dan Kinerja
Komitmen dipandang penting dalam suatu organisasi, karena dengan komitmen yang tinggi seorang karyawan akan bersikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disepakati bersama dalam organisasi, yang fokusnya adalah nilai-nilai dan sikap (attitude) yang dimiliki oleh karyawan. contoh : organisasi –organisasi di Jepang, utamanya organisasi bisnis, memiliki tradisi yang tumbuh berdasarkan kekuatan masyarakatnya yang mengandalkan nilai-nilai komitmen, dedikasi, loyalitas, kompetensi yang tinggi dan hasrat yang kuat untuk menghasilkan kinerja karyawannya. Pengembangan kinerja karyawan perlu dirancang sesuai dengan visi dan misi organisasi. Disamping itu partisipasi individu secara aktif dan mandiri menjadi dinamika utamanya, sehingga kekompakan kerja dalam unit, atau kelompok kecil, secara intra maupun inter grup tercapai.
Jika karyawan berpartisipasi secara penuh dalam bekerja berarti karyawan memperhatikan kepentingan-kepentingan organisasi dalam mencapai tujuan- tujuannya. Karyawan menjadi lebih peduli terhadap fungsi organisasi yang efektif, sehingga lebih loyal dan berdedikasi dalam melakukan pekerjaan, serta berusaha memelihara perilaku-perilaku yang dimilikinya dalam melakukan tugas pekerjaan tersebut. Karyawan tersebut akan lebih berkomitmen dalam bekerja, karena mereka memandang usaha dan kinerja yang mereka berikan terhadap organisasi memiliki makna yang positif bagi kesejahteraan organisasi dan kesejahteraan individu mereka sendiri). Sependapat dengan hal tersebut, Whitmore, (1996), mengemukakan bahwa tanggung jawab dan partisipasi yang menyeluruh dapat dianggap sebagai kadar yang menunjukkan sejauh mana komitmen organisasi secara keseluruhan merupakan bagian penting dalam kehidupannya. Perilaku produktif merupakan konsekuensi dari adanya suatu tanggung jawab dari karyawan untuk mencapai kinerja yang tinggi melalui cara-cara kerja yang efektif dan efisien. Hal ini menjadikan karyawan mau mengerahkan tenaga, pikiran, dan potensinya serta berpartisipasi secara penuh untuk mencapai tujuan organisasi.
2). Teori Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variabel terikat, variabel bebas, maupun variabel mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya.
Menurut Greenberg dan Baron (1993), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya juga lebih menguntungkan bagi organisasi. Mowday, Porter, dan Steers (1982) mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi.
Sementara itu, Randall, Fedor, dan Longenecker (dalam Greenberg & Baron, 1993) menyatakan bahwa komitmen organisasi berkaitan dengan keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban bagi organisasi. Di sisi lain, komitmen organisasi yang tinggi memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat absensi dan tingkat turnover (Caldwell, Chatman, & O’Reilly:1990; Mowday :1982, serta Shore & Martin dalam Greenberg & Baron, Steers (1977) menyatakan bahwa komitmen berkaitan dengan intensi untuk bertahan dalam organisasi, tetapi tidak secara langsung berkaitan dengan unjuk kerja karena unjuk kerja berkaitan pula dengan motivasi, kejelasan peran, dan kemampun karyawan (Porter & Lawler dalam Mowday dkk, 1982).
1. Tipologi dan Definisi Komitmen Organisasi
Meskipun istilah dan tipologi komitmen organisasi sudah mulai diperkenalkan oleh Etzioni pada tahun 1961, istilah ini semakin populer sejak tahun 1977 setelah dibahas oleh Staw & Salancik, yang mengajukan dua bentuk komitmen, yaitu komitmen sikap (attitudinal commitment) dan komitmen tingkah laku (behavioral commitment). Komitmen sikap adalah keadaan dimana individu mempertimbangkan sejauhmana nilaiNdan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi, serta sejauhmana keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Pendekatan sikap ini memandang komitmen organisasi sebagai komitmen afektif (Allen & Meyer:1990) serta berfokus pada proses bagaimana seseorang berpikir tentang hubungannya dengan organisasi (Mowday dkk:1982). Komitmen tingkah laku didasarkan pada sejauhmana karyawan menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya kerugian jika memutuskan melakukan alternatif lain di luar pekerjaannya saat ini. Berbeda dengan pendekatan sikap, pendekatan tingkah laku ini lebih menekankan pada proses dimana individu mengembangkan komitmen tidak pada organisasi tetapi pada tingkah lakunya terhadap organisasi (Miner, 1992). Mowday, Porter, dan Steers (1982:186) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an individual's identification with and involvement in a particular organization. Definisi menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiiki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya.
Komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Mowday dkk ini bercirikan adanya: (1) belief yang kuat serta penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi; (2) kesiapan untuk bekerja keras; serta (3) keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Komitmen ini tergolong komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauhmana individu merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Semakin besar kongruensi antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi. Tipologi terakhir dari komitmen organisasi dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990) dengan tiga komponen organisasi yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuans (continuance commitment), dan komitmen normative (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan hubungan individu dengan organisasi, dan (2) mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi. Adapun definisi dan penjelasan dari setiap komponen komitmen organisasi adalah sebagai berikut.
Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena merekamemang ingin (want to) melakukan hal tersebut. Komitmen kontinuans berkaitan dengan an awareness of the costs associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat Becker yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain.
Komitmen normatif merefleksikan a feeling of obligation to continue employment. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Wiener (dalam Allen & Meyer, 1990) mendefinisikan komponen komitmen ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat organisasi. Oleh karena itu, tingkah laku karyawan didasari pada adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta berkaitan dengan masalah moral. Allen dan Meyer (1990) serta Meyer dan Allen (1997) lebih memilih untuk menggunakan istilah komponen komitmen organisasi daripada tipe komitmen organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam ketiga komponen tersebut. Selain itu, setiap komponen komitmen berkembang sebagai hasil dari pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula. Misalnya, seorang karyawan secara bersamaan dapat merasa terikat dengan organisasi dan juga merasa wajib untuk bertahan dalam organisasi. Sementara itu, karyawan lain dapat menikmati bekerja dalam organisasi sekaligus menyadari bahwa ia lebih baik bertahan dalam organisasi karena situasi ekonomi yang tidak menentu. Namun, karyawan lain merasa ingin, butuh, dan juga wajib untuk terus bekerja dalam organisasi. Dengan demikian, pengukuran komitmen organisasi juga seharusnya merefleksikan ketiga komponen komitmen tersebut, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif.
3. Pengukuran Komitmen Organisasi
Berdasarkan tipologi komitmen organisasi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh, ada berbagai pengukuran komitmen pada organisasi. Salah satu pengukuran komitmen organisasi yang terkenal adalah Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) yang disusun oleh Porter dan Smith pada tahun 1970. Kuesioner ini mengukur komitmen afektif melalui 15 pertanyaan yang berbentuk skala Likert yang terdiri dari 7 angka, mulai dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju terhadap pernyataan. Untuk mengukur komitmen organisasi yang terdiri dari tiga komponen, Allen dan Meyer telah beberapa kali merevisi alat ukur yang telah disusun. Revisi terakhir dilakukan Meyer dan Allen pada tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 item, dimana setiap komponen diwakili oleh 6 item. Skala komitmen organisasi ini memiliki skor yang berkisar antara nilai 1 (sangat tidak setuju dengan pernyataan) sampai dengan nilai 6 (sangat setuju dengan pernyataan).
B. Kinerja
Secara sederhana kinerja dapat diartikan sebagaihasil yang dicapai oleh seorang karyawan selama periode waktu tertentu pada bidang pekerjaan tertentu. Seorang karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi dan baik dapat menunjang tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu lembaga atau perusahaan. Untuk dapat memiliki kinerja yang tinggi dan baik, seoarang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya harus memiliki keahlian dan ketrampilan yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dimilikinya.
Menurut Mangkunegarara (2001:67) prestasi kerja sama dengan kinerja yang memiliki arti hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.Sementara Asad (1998:12 ) mendifinisikan prestasi kerja sebagai hasil yang dicapai oleh seorang menurut ukuran yang berlaku untuk suatu pekerjaan yang bersangkutan
Sedangkan Mitchell dan Larson (1998:23) mengatakan bahwa prestasi kerja menunjukan pada suatu hasil perilaku yang dinilai oleh beberapa kreteria atau standar mutu suatu hasil kerja. Persoalan mutu ini berkaitan dengan baik buruknya hasil yang dikerjakan oleh pekerja. Bila perilaku pekerja memberikan hasil pekerjaan yang sesuai dengan standar atau kreteria yang ditetapkan organisasi, maka prestasi kerjanya tergolong baik. Sebaliknya bila perilaku pekerjaan memberikan hasil pekerjaan yang kurang atau tidak sesuai dengan standar atau kreteria yang ditetapkan oleh organisasi, maka prestasi kerjanya tergolong kurang baik. Hasibuan (1997:105 ) mengemukakan bahwa prestasi kerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada pegawai yang didasarkan atas kemampuan, kedisiplinan, kesungguhan kerja dan hasil kerja pegawai.
D. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
b) Pembahasan
Model budaya organisasi yang ideal untuk suatu organisasi adalah yang memiliki paling sedikit dua sifat. Pertama, kuat (strong), artinya budaya organisasi yang dikembangkan organisasi harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku (behavior) para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan anggota organisasi) untuk menyeleraskan (goal congruence) antara tuuan individu dan tujuan dan tujuan kelompok mereka dengan tujuan organisasi. Selain itu. Budaya organisasi yang dibangun tersebut harus memiliki tujuan (goals), sasaran (objective), persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan, interaksi sosial, dan norma bersama yang mempunyai arah yang jelas sehingga mereka mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka dalam arah dan tujuan yang sama, serta dalam semangat yang sama pula.
Kedua, dinamis dan adaptif (dynamic and adaptive) artinya budaya organisasi yang akan dibangun harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi (mega environments) seperti tuntutan dari stakeholders eksternal dan perubahan dalam lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial, tekhnologi informasi, pemanufakturan dan lainya.
Faktor yang tak kalah penting untuk menunjang kinerja organisasi adalah faktor gaya kepemimpinan. Gaya kepemmpinan dalam organisasi mempunyai peran yang sangat menetukan dalam pencapaian tujuan organisasi. Hal ini dikarenakan melalui gaya kepemimpinan yang baik, seorang pemimpin dapat mempengaruhi bawahan agar meningkat kinerjanya.
Untuk membawa bawahan sesuai dengan kemauan pemimpin. Maka seorang pemimpin harus mampu memotivasi pegawai. Motivasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain memberikan pujian, memberikan penghargaan, memberikan insetif kepada pegawai yang mempunyai kinerja yang baik.
Pada akhirnya kinerja sebuah organisasi masih tetap tergantung pada kualitas sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut. Kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan pernah tidaknya mengikuti kegiatan pelatihan dan pengembangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seeorang diharapkan semakin tinggi kinerjanya. Semakin banyak pengalaman kerja seseorang, juga semakin baik kinerjanya. Demikian juga semakin sering seseorang diikutkan kegiatan pelatihan dan pengembangan, maka ia akan semakin berkualitas, sehingga akan semakin baik pula kinerjanya.
Kinerja organisasi tidak hanya pada level top manager saja. Tetapi juga harus ada pada middle manager dan para bawahan. Jika hanya para top manager yang mempunyai kinerja yang tinggi. Padahal bawahanya tidak memiliki kinerja yang inggi, maka kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat akan tetap rendah. Hal ini dikarenakan dalam praktek dilapangan para pelaksana lapangan justru adalah para bawahan, oleh karena itu upaya peningkatan kinerja organisasi harus meliputi keseluruhan level organisasi.
Ukuran kinerja suatu organisasi tidak dapat diukur dari pelaksana pelayanan tetapi justru dari para pelaksana pelayanan, tetapi justru dari penerima layanan. Hal ini dikarenakan kinerja itu pada dasarnya adalah output dan bukan input. Pihak yang dapat merasakan output bukanlah penyelenggara layanan (biokrasi) tetapi pengguna jasa layanan (masyarakat). Oleh karena itulah dalam pengukuran kinerja mau tidak mau harus melibatkan konsumen yang berasal dari masyarakat pengguna jasa layanan.
Input kinerja yang penting adalah budaya organisasi. Taylor (dalam Soekanto, 1990) mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencangkup engetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pendapat Taylor tersebut berarti bahwa kebudayaan mencangkup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, yaitu mencangkup segala cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Daftar Pustaka
Alan Cowling & Philip James. 1996 .The Essence of Personnel Management and Industrial Relations (terj. Xavier Quentin Pranata). Yogyakarta: ANDI.
CarterMcNamara.“Organizational Culture” The Management Assistance Program for Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry/culture/culture.htm)
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Fred Luthan. 1995. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill,Inc.
Hay Group. 2003,. “Intervention: Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. (http:// hayresourcesdirect. haygroup.com/ Misc/style_climate_intervention.asp.)
Jann E. Freed. et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education”. (http://www.ed.gov/databases/ERICDigests/ed406962.html).
Joan Gaustad. “School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/ digests/digest078.html). ERIC Digest 78. December 1992
John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo.
Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir,. 2000. Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issu, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996. (http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html ).
Moh. Surya .1995. Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,
Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership”. MIT Sloan Management Review. (http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html)
Stephen Stolp. Leadership for School Culture. ERIC Digest, Number 91. Tahun 1994 (http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ ed370198.html).
Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali.
Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,
Van Peursen. 1984. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan Kanisius,
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan modern saat ini, makin terasa betapa pentingnya peranan organisasi terhadapa kepentingan manusia, tidak ada seorang pun di antara manusia ini rasanya yang dilahirkan sampai pada saat kematiannya tidak terikat pada organisasi.
Kata organisasi selalu mengandung dua macam pengertian secara umum, yaitu menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional, dan yang lain mengandung arti proses pengorganisasian. Berkembanglah berbagai studi tentang organisasi. Organisasi dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan, alat untuk melindungi, atau alat melestarikan sumber pengetahuan, dan organisasi dipandang sebagai sumber karir. Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan amat berat seolah-olah kepemimpinan dipaksa menghadapi berbagai macam faktor seperti: struktur atau tatanan, koalisi, kekuasaan,dan kondisi lingkungan organisasi. Sebaliknya, kepemimpinan rasanya dapat dengan mudah menjadi satu alat penyelesaian yang luar biasa terhadap persoalan apa saja yang sedang menimpa suatu organisasi
Manusia sebagai mahluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menetukan sikap terhadap dunia luarnya. Bahkan mendasari setiap tingkah laku yang hendak dan harus dilaksanakan sehubungan dengan pola hidup dan susunan kemasyarakatanya. Demikian luasnya cakupan kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan mengingkat para anggota yang dilingkupi kebudayaan itu untuk berprilaku sesuai dengan budaya yang ada. Apabila pengertian ini ditarik kedalam organisasi, maka apabila seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka para anggota organisasi akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan budaya itu tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah budaya yang bersifat mengarahkan kepada anggota organisasi untuk mempunyai kinerja yang baik, maka dapat dipastikan apabila memang semua anggota organisasi sudah menganggap norma itu sebagai budaya, maka ia akan melaksanakanya dengan baik. Akhirnya pelaksanaan budaya itu akan menghasilkan output kinerja yang baik.
B. Kajian Pustaka
1. Budaya Organisasi
a). Pengertian Budaya Organisasi
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f) explaining and explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi input, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Tak Tampak —————————————————Sulit berubah
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak —————————————————Mudah berubah
Bagan 1. Budaya dalam Sebuah Organisasi
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998.
Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.5)
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif.
Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
b). Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No Nilai Perilaku Dasar
1 Ilmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Bekerja
3 Kesenian Menikmati keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatan Berbakti/berkorban
6 Politik/kenegaraan Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
1. Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
2. Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (2)Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan menghargai seni; (6) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
3. Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal. Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
4. Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put – proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
5. Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning.
6. Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
2. kepemimpinan
Peranan pemimpin dalam rangka meningkatkan kualitas lembaga sangat besar pengaruhnya, walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor. Kualitas lembaga banyak dipengaruhi oleh kesiapan berbagai faktor, seperti: personelnya (misalnya: mahasiswa, dosen, staf administratif, pimpinan dan sebagainya) dan juga organisasinya (misalnya: ikilm kerjanya, proses manajerialnya, tujuan dan visi serta misinya, dan sebagainya).
Pemimpin dituntut memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta untuk selalu mengadakan kontrol terhadap setiap kegiatan di lingkungannya. Pemimpin seharusnya dapat meningkatkan daya kreativitas dan partisipasi bawahan terhadap program-program lembaga dengan sepenuh emosional dan intelektualnya.
Dalam proses meningkatkan kualitas layanan, hubungan pemimpin dan bawahan diharapkan terjalin secara harmonis, saling percaya, menghargai dan adanya komunikasi yang jelas untuk menghindari kesalah-pahaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Bawahan sebagai unsur pelaksana pendidikan terdepan dan memegang “peranan kunci” dalam menentukan keberhasilan lembaga, perlu mendapatkan perlakuan yang manusiawi dari pimpinan, karena misi pimpinan akan terealisasi melalui interaksi yang harmonis antara pimpinan dan bawahan.
Sehubungan dengan pentingnya peranan pimpinan, perlu dipahami bahwa ada dua hal yang erat dengan jabatan pimpinan, yaitu: kepemimpinan dan manajemen. Kepemimpinan mempunyai arti yang lebih luas dibanding dengan manajemen. Kepemimpinan dapat terjadi dimanapun asalkan ada seseorang yang berusaha untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok, tanpa mengindahkan bentuk alasannya (Thoha, 1983:255). Stogdil mendefinisikan kepemimpinan, yang dikutip oleh Wahjosumidjo (1984: 21), bahwa “kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan”.
Di dalam kepemimpinan, ada dua (2) bentuk kepemimpinan, yaitu: kepemimpinan yang resmi diangkat dan kepemimpinan yang tidak resmi. Kepemimpinan resmi dimiliki oleh mereka yang meduduki posisi pemimpinan karena diangkat oleh pihak yang berwenang atau dipilih secara resmi. Kepala sekolah dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang resmi. Kepemimpinan tidak resmi dimiliki oleh mereka yang mampu mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu walaupun tidak menduduki posisi pemimpin. Kemampuan dalam mempengaruhi berasal dari kelebihan-kelebihan tertentu pada diri dan pribadinya.
Jika kepemimpinan dibatasi oleh birokrasi atau dikaitkan terjadinya dalam suatu organisasi tertentu, maka dinamakan manajemen (Toha, 1983, p. 256). Kalau diperhatikan, kepala sekolah dari kedudukannya, maka kepala sekolah adalah seorang manajer dan dalam usahanya mencapai tujuan, menggunakan teknik kepemimpinannya.
Kepala sekolah sebagai pemimpin resmi, agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik seharusnya memiliki unsur kepemimpinan yang riil., operasional, fungsional sebagai proyeksi kualitas kelebihan yang dimilikinya. Gaya kerja Kepala Sekolah hendaknya lebih baik jika dibandingkan dengan bawahannya.
Teknik kepemimpinan yang telah dikembangkan oleh para ahli, yang akhirnya menemukan teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang cukup popular adalah kepemimpinan menurut teori sifat, teori situasional, dan teori perilaku.
Kepemimpinan menurut teori sifat dilatarbelakangi oleh filsafat bahwa pemimpin itu dilahirkan dan bukan dipelajari. Sifat-sifat pembawaan dan instink lebih penting dari pada latihan kepemimpinan. Dengan mengadakan penelitian terhadap sifat dan peranan orang besar, diharapkan dapat diketahui ciri-ciri penting dari pemimpin alami yang dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.
Teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Fiedler, dikenal dengan “Fiedler’s Contingecy Model”; yang menurut penelitian yang beliau lakukan: direkomendasikan bahwa dalam situasi kerja ada tiga macam elemen penting yang akan menentukan gaya kerja atau perilaku kepemimpina yang efektif, yaitu (a) hubungan antara pemimpin dengan bawahan, (b) struktur tugas, dan (c) kewibawaan kedudukan pemimpin (Steers, Ungson, Mowday, 1985:312).
Teori kepemimpinan perilaku, bertolak dari pemikiran bahwa perilaku pemimpin menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi. Perilaku pemimpin ditunjukkan dari cara melakukan suatu tugas-tugas kepemimpinannya, misalkan cara memberi perintah, cara membuat keputusan, cara berkomunikasi, cara menegakkkan disiplin, cara menegur kesalahan, dan perilaku lainnya. Pendekatan teori perilaku ini, menggukanan faktor bawaan dan faktor situasional yang dikombinasikan menjadi konsep perilaku pemimpin dan dapat dilukiskan dalam pertanyaan-pertanyaan yang merupakan deskripsi dari perilaku pemimpin. Hemphil dari Maryland setelah bergabung dengan team Ohio, dalam penelitiannya, menggunakan hal apa saja yang dilakukan oleh para pemimpin apabila mereka sedang memimpin. Dari berbagai pencatatan hasil pennyebaran pertanyaan yang diberikan kepada beberapa orang dari bermacam-macam organisasi akhirnya diperoleh gambaran kelakuan pemimpin (Gibson, John, & James, 1982:268).
Ada dua macam dimensi penting mengenai perilaku pemimpin yang dinamakan konsiderasi dan struktur inisiasi. Konsiderasi, yaitu perilaku pemimpin yang cenderung ke arah kepemimpinan bawahan; sedangkan struktur inisiasi, yaitu perilaku pemimpin yang cenderung lebih mementingkan tujuan organisasi dari pada memperhatikan bawahan.
b. Gaya Kerja Pemimpin
Matindas (1996), memilah-milah perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugasnya, menjadi lima tipe, yang disebut gaya kerja. Kelima gaya kerja tersebut, yakni: (1) Gaya komandan; (2) Gaya pelayanan; (3) Gaya bohemian (seniman); (4) Gaya birokrat; dan (5) Gaya manajer. Martindas, mendifinisikan gaya kerja adalah kesatuan dari berbagai cara/ tindakan yang didasari oleh sistim nilai dan asumsi (SINA) seseorang yang ditampilkan di saat ia melakukan hubungan kerja dengan orang lain.
Secara ringkas penjabaran masing-masing gaya kerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Gaya Kerja Komandan
Seorang pemimpin, dengan gaya kerja ”komandan” umumnya merasa benar sendiri, dan mempunyai keyakinan bahwa ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Mereka biasanya berusaha memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya. Dalam situasi kerjasama, ia umumnya berusaha mengambil peran sebagai ”pengambil keputusan”, dan mengharap orang lain mendukung idea dan gagasannya. Ia tidak ingin dibantu, apalagi dipengaruhi dalam menentukan apa yang seharusnya ia lakukan.
2). Gaya Kerja Pelayan
Seorang pemimpin dengan gaya kerja ”pelayan”, memiliki keinginan yang kuat untuk desenangi/diterima orang lain. Mereka tidak tahan bila merasa dimusuhi oleh orang lain. Mereka punya asumsi bahwa hubungan baik dengan orang lain selalu akan membawa keberuntungan. Kepentingan pihak lain harus didahulukan dari kepentingan sendiri. Pada dasarnya mereka bukan ”sungguh ingin membantu” orang lain, hanya saja tidak mau dinilai ”tidak membantu”.
3). Gaya Kerja Bohemian (Seniman)
Orang dengan gaya ”Bohemian” adalah tidak mau merepotkan dan juga tidak mau direpotkan oleh orang lain. Kalau bisa mereka sesungguhnya segan untuk bekerjasama. Mereka lebih senang bekerja sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi pada hasil pekerjaannya. Mereka tidak terlalu peduli pada hasil kerjasama atau hasil akhir dari suatu perundingan. Yang paling utama adalah kepentingan pribadinya, bukan kepentingan kelompoknya.
4). Gaya Kerja Birokrat
Orang dengan gaya ”birokrat” adalah orang yang sangat teliti memperlihatkan prosedur dan aturan yang berlaku. Mereka selalu berusaha bertindak sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Mereka tidak ingin dipersalahkan di kemudian hari, dan karena itu berusaha sekuat-kuatnya untuk memiliki “dasar-hukum” bagi tiap tindakannya.
5). Gaya Kerja Manajer
Orang dengan gaya kerja ”manajer” berpegang teguh pada slogan : “kerjasama yang baik adalah kerjasama yang dapat memuaskan semua pihak”. Mereka selalu berusaha mencapai yang tebaik bagi semua pihak. Mereka percaya bahwa bila semua pihak mendapat keuntungan, maka kepatuhan terhadap putusan yang diambil akan lebih kuat, dan akan lebih bergairah dalam mengerjakan hal-hal yang ditugaskan kepadanya (Matindas, 1996:14-22).
Lippitt & White, berpendapat: ada tiga gaya kepemimpinan yaitu otokratis, demokratis dan laissez-faire atau kebebasan (Sutarto, 1991:72). Kepemimpinan gaya ”otokratis” adalah pemimpin yang mengutamakan kekuatan posisi formalnya. Dalam membuat keputusan, tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberi masukan. Semua aktivitas ditentukan oleh pemimpin dan komunikasi hanya satu arah, yaitu ke bawah. Kepemimpinan gaya ”demokratis”, adalah pemimpin yang melibatkan bawahan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Keputusan akhir tetap diambil oleh peminpin, setelah melalui proses musyawarah dengan bawahan. Pemimpin menekankan pada dua hal, yakni: bawahan dan tugas. Sedangkan kepemimpinan gaya ”laissez-faire” adalah pemimpin yang membiarkan para bawahan untuk mengatur diri mereka sendiri. Pemimpin menentukan kebijakan dan tujuan umum, bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan dala segala hal yang mereka anggap cocok. Kegiatan diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih banyak dan diserahkan bawahan.
Dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut, dalam kaitannya dengan gaya kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa gaya otokratis dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya Komandan. Gaya demokratis dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya kerja Manajer dan gaya kerja Pelayan. Gaya laissez-faire dapat dimasukkan ke dalam kategori gaya kerja Bohemian. Persamaan tersebut tidaklah mutlak, tetapi beberapa ciri pada gaya kepemimpinan otokratis sebagian besar ada pada gaya kerja komandan, demikian juga gaya kerja yang lain.
3. Komitmen Organisasi Dan Kinerja
Komitmen dipandang penting dalam suatu organisasi, karena dengan komitmen yang tinggi seorang karyawan akan bersikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disepakati bersama dalam organisasi, yang fokusnya adalah nilai-nilai dan sikap (attitude) yang dimiliki oleh karyawan. contoh : organisasi –organisasi di Jepang, utamanya organisasi bisnis, memiliki tradisi yang tumbuh berdasarkan kekuatan masyarakatnya yang mengandalkan nilai-nilai komitmen, dedikasi, loyalitas, kompetensi yang tinggi dan hasrat yang kuat untuk menghasilkan kinerja karyawannya. Pengembangan kinerja karyawan perlu dirancang sesuai dengan visi dan misi organisasi. Disamping itu partisipasi individu secara aktif dan mandiri menjadi dinamika utamanya, sehingga kekompakan kerja dalam unit, atau kelompok kecil, secara intra maupun inter grup tercapai.
Jika karyawan berpartisipasi secara penuh dalam bekerja berarti karyawan memperhatikan kepentingan-kepentingan organisasi dalam mencapai tujuan- tujuannya. Karyawan menjadi lebih peduli terhadap fungsi organisasi yang efektif, sehingga lebih loyal dan berdedikasi dalam melakukan pekerjaan, serta berusaha memelihara perilaku-perilaku yang dimilikinya dalam melakukan tugas pekerjaan tersebut. Karyawan tersebut akan lebih berkomitmen dalam bekerja, karena mereka memandang usaha dan kinerja yang mereka berikan terhadap organisasi memiliki makna yang positif bagi kesejahteraan organisasi dan kesejahteraan individu mereka sendiri). Sependapat dengan hal tersebut, Whitmore, (1996), mengemukakan bahwa tanggung jawab dan partisipasi yang menyeluruh dapat dianggap sebagai kadar yang menunjukkan sejauh mana komitmen organisasi secara keseluruhan merupakan bagian penting dalam kehidupannya. Perilaku produktif merupakan konsekuensi dari adanya suatu tanggung jawab dari karyawan untuk mencapai kinerja yang tinggi melalui cara-cara kerja yang efektif dan efisien. Hal ini menjadikan karyawan mau mengerahkan tenaga, pikiran, dan potensinya serta berpartisipasi secara penuh untuk mencapai tujuan organisasi.
2). Teori Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variabel terikat, variabel bebas, maupun variabel mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya.
Menurut Greenberg dan Baron (1993), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya juga lebih menguntungkan bagi organisasi. Mowday, Porter, dan Steers (1982) mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi.
Sementara itu, Randall, Fedor, dan Longenecker (dalam Greenberg & Baron, 1993) menyatakan bahwa komitmen organisasi berkaitan dengan keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban bagi organisasi. Di sisi lain, komitmen organisasi yang tinggi memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat absensi dan tingkat turnover (Caldwell, Chatman, & O’Reilly:1990; Mowday :1982, serta Shore & Martin dalam Greenberg & Baron, Steers (1977) menyatakan bahwa komitmen berkaitan dengan intensi untuk bertahan dalam organisasi, tetapi tidak secara langsung berkaitan dengan unjuk kerja karena unjuk kerja berkaitan pula dengan motivasi, kejelasan peran, dan kemampun karyawan (Porter & Lawler dalam Mowday dkk, 1982).
1. Tipologi dan Definisi Komitmen Organisasi
Meskipun istilah dan tipologi komitmen organisasi sudah mulai diperkenalkan oleh Etzioni pada tahun 1961, istilah ini semakin populer sejak tahun 1977 setelah dibahas oleh Staw & Salancik, yang mengajukan dua bentuk komitmen, yaitu komitmen sikap (attitudinal commitment) dan komitmen tingkah laku (behavioral commitment). Komitmen sikap adalah keadaan dimana individu mempertimbangkan sejauhmana nilaiNdan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi, serta sejauhmana keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Pendekatan sikap ini memandang komitmen organisasi sebagai komitmen afektif (Allen & Meyer:1990) serta berfokus pada proses bagaimana seseorang berpikir tentang hubungannya dengan organisasi (Mowday dkk:1982). Komitmen tingkah laku didasarkan pada sejauhmana karyawan menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya kerugian jika memutuskan melakukan alternatif lain di luar pekerjaannya saat ini. Berbeda dengan pendekatan sikap, pendekatan tingkah laku ini lebih menekankan pada proses dimana individu mengembangkan komitmen tidak pada organisasi tetapi pada tingkah lakunya terhadap organisasi (Miner, 1992). Mowday, Porter, dan Steers (1982:186) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an individual's identification with and involvement in a particular organization. Definisi menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiiki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya.
Komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Mowday dkk ini bercirikan adanya: (1) belief yang kuat serta penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi; (2) kesiapan untuk bekerja keras; serta (3) keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Komitmen ini tergolong komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauhmana individu merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Semakin besar kongruensi antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi. Tipologi terakhir dari komitmen organisasi dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990) dengan tiga komponen organisasi yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuans (continuance commitment), dan komitmen normative (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan hubungan individu dengan organisasi, dan (2) mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi. Adapun definisi dan penjelasan dari setiap komponen komitmen organisasi adalah sebagai berikut.
Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena merekamemang ingin (want to) melakukan hal tersebut. Komitmen kontinuans berkaitan dengan an awareness of the costs associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat Becker yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain.
Komitmen normatif merefleksikan a feeling of obligation to continue employment. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Wiener (dalam Allen & Meyer, 1990) mendefinisikan komponen komitmen ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat organisasi. Oleh karena itu, tingkah laku karyawan didasari pada adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta berkaitan dengan masalah moral. Allen dan Meyer (1990) serta Meyer dan Allen (1997) lebih memilih untuk menggunakan istilah komponen komitmen organisasi daripada tipe komitmen organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam ketiga komponen tersebut. Selain itu, setiap komponen komitmen berkembang sebagai hasil dari pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula. Misalnya, seorang karyawan secara bersamaan dapat merasa terikat dengan organisasi dan juga merasa wajib untuk bertahan dalam organisasi. Sementara itu, karyawan lain dapat menikmati bekerja dalam organisasi sekaligus menyadari bahwa ia lebih baik bertahan dalam organisasi karena situasi ekonomi yang tidak menentu. Namun, karyawan lain merasa ingin, butuh, dan juga wajib untuk terus bekerja dalam organisasi. Dengan demikian, pengukuran komitmen organisasi juga seharusnya merefleksikan ketiga komponen komitmen tersebut, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif.
3. Pengukuran Komitmen Organisasi
Berdasarkan tipologi komitmen organisasi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh, ada berbagai pengukuran komitmen pada organisasi. Salah satu pengukuran komitmen organisasi yang terkenal adalah Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) yang disusun oleh Porter dan Smith pada tahun 1970. Kuesioner ini mengukur komitmen afektif melalui 15 pertanyaan yang berbentuk skala Likert yang terdiri dari 7 angka, mulai dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju terhadap pernyataan. Untuk mengukur komitmen organisasi yang terdiri dari tiga komponen, Allen dan Meyer telah beberapa kali merevisi alat ukur yang telah disusun. Revisi terakhir dilakukan Meyer dan Allen pada tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 item, dimana setiap komponen diwakili oleh 6 item. Skala komitmen organisasi ini memiliki skor yang berkisar antara nilai 1 (sangat tidak setuju dengan pernyataan) sampai dengan nilai 6 (sangat setuju dengan pernyataan).
B. Kinerja
Secara sederhana kinerja dapat diartikan sebagaihasil yang dicapai oleh seorang karyawan selama periode waktu tertentu pada bidang pekerjaan tertentu. Seorang karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi dan baik dapat menunjang tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu lembaga atau perusahaan. Untuk dapat memiliki kinerja yang tinggi dan baik, seoarang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya harus memiliki keahlian dan ketrampilan yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dimilikinya.
Menurut Mangkunegarara (2001:67) prestasi kerja sama dengan kinerja yang memiliki arti hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.Sementara Asad (1998:12 ) mendifinisikan prestasi kerja sebagai hasil yang dicapai oleh seorang menurut ukuran yang berlaku untuk suatu pekerjaan yang bersangkutan
Sedangkan Mitchell dan Larson (1998:23) mengatakan bahwa prestasi kerja menunjukan pada suatu hasil perilaku yang dinilai oleh beberapa kreteria atau standar mutu suatu hasil kerja. Persoalan mutu ini berkaitan dengan baik buruknya hasil yang dikerjakan oleh pekerja. Bila perilaku pekerja memberikan hasil pekerjaan yang sesuai dengan standar atau kreteria yang ditetapkan organisasi, maka prestasi kerjanya tergolong baik. Sebaliknya bila perilaku pekerjaan memberikan hasil pekerjaan yang kurang atau tidak sesuai dengan standar atau kreteria yang ditetapkan oleh organisasi, maka prestasi kerjanya tergolong kurang baik. Hasibuan (1997:105 ) mengemukakan bahwa prestasi kerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada pegawai yang didasarkan atas kemampuan, kedisiplinan, kesungguhan kerja dan hasil kerja pegawai.
D. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
b) Pembahasan
Model budaya organisasi yang ideal untuk suatu organisasi adalah yang memiliki paling sedikit dua sifat. Pertama, kuat (strong), artinya budaya organisasi yang dikembangkan organisasi harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku (behavior) para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan anggota organisasi) untuk menyeleraskan (goal congruence) antara tuuan individu dan tujuan dan tujuan kelompok mereka dengan tujuan organisasi. Selain itu. Budaya organisasi yang dibangun tersebut harus memiliki tujuan (goals), sasaran (objective), persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan, interaksi sosial, dan norma bersama yang mempunyai arah yang jelas sehingga mereka mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka dalam arah dan tujuan yang sama, serta dalam semangat yang sama pula.
Kedua, dinamis dan adaptif (dynamic and adaptive) artinya budaya organisasi yang akan dibangun harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi (mega environments) seperti tuntutan dari stakeholders eksternal dan perubahan dalam lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial, tekhnologi informasi, pemanufakturan dan lainya.
Faktor yang tak kalah penting untuk menunjang kinerja organisasi adalah faktor gaya kepemimpinan. Gaya kepemmpinan dalam organisasi mempunyai peran yang sangat menetukan dalam pencapaian tujuan organisasi. Hal ini dikarenakan melalui gaya kepemimpinan yang baik, seorang pemimpin dapat mempengaruhi bawahan agar meningkat kinerjanya.
Untuk membawa bawahan sesuai dengan kemauan pemimpin. Maka seorang pemimpin harus mampu memotivasi pegawai. Motivasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain memberikan pujian, memberikan penghargaan, memberikan insetif kepada pegawai yang mempunyai kinerja yang baik.
Pada akhirnya kinerja sebuah organisasi masih tetap tergantung pada kualitas sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut. Kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan pernah tidaknya mengikuti kegiatan pelatihan dan pengembangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seeorang diharapkan semakin tinggi kinerjanya. Semakin banyak pengalaman kerja seseorang, juga semakin baik kinerjanya. Demikian juga semakin sering seseorang diikutkan kegiatan pelatihan dan pengembangan, maka ia akan semakin berkualitas, sehingga akan semakin baik pula kinerjanya.
Kinerja organisasi tidak hanya pada level top manager saja. Tetapi juga harus ada pada middle manager dan para bawahan. Jika hanya para top manager yang mempunyai kinerja yang tinggi. Padahal bawahanya tidak memiliki kinerja yang inggi, maka kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat akan tetap rendah. Hal ini dikarenakan dalam praktek dilapangan para pelaksana lapangan justru adalah para bawahan, oleh karena itu upaya peningkatan kinerja organisasi harus meliputi keseluruhan level organisasi.
Ukuran kinerja suatu organisasi tidak dapat diukur dari pelaksana pelayanan tetapi justru dari para pelaksana pelayanan, tetapi justru dari penerima layanan. Hal ini dikarenakan kinerja itu pada dasarnya adalah output dan bukan input. Pihak yang dapat merasakan output bukanlah penyelenggara layanan (biokrasi) tetapi pengguna jasa layanan (masyarakat). Oleh karena itulah dalam pengukuran kinerja mau tidak mau harus melibatkan konsumen yang berasal dari masyarakat pengguna jasa layanan.
Input kinerja yang penting adalah budaya organisasi. Taylor (dalam Soekanto, 1990) mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencangkup engetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pendapat Taylor tersebut berarti bahwa kebudayaan mencangkup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, yaitu mencangkup segala cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Daftar Pustaka
Alan Cowling & Philip James. 1996 .The Essence of Personnel Management and Industrial Relations (terj. Xavier Quentin Pranata). Yogyakarta: ANDI.
CarterMcNamara.“Organizational Culture” The Management Assistance Program for Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry/culture/culture.htm)
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Fred Luthan. 1995. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill,Inc.
Hay Group. 2003,. “Intervention: Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. (http:// hayresourcesdirect. haygroup.com/ Misc/style_climate_intervention.asp.)
Jann E. Freed. et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education”. (http://www.ed.gov/databases/ERICDigests/ed406962.html).
Joan Gaustad. “School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/ digests/digest078.html). ERIC Digest 78. December 1992
John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo.
Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir,. 2000. Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issu, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996. (http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html ).
Moh. Surya .1995. Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,
Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership”. MIT Sloan Management Review. (http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html)
Stephen Stolp. Leadership for School Culture. ERIC Digest, Number 91. Tahun 1994 (http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ ed370198.html).
Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali.
Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,
Van Peursen. 1984. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan Kanisius,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar