Sabtu, 16 Januari 2010

PEMBINAAN MORAL DALAM KAJIAN FILSAFAT JAWA (Sebuah Tinjauan Fenomenologis Moral dalam Perilaku Njawani)

Oleh
Ib Arjana

A. Pengantar
Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagi makhuk individu, sebagi makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada dibumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.
Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bagsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil dengan baik.
Namun masalah-masalah moral yang terjadi sekarang ini jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan masalah-masalah moral yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap moral yang tepat, studi di bidang moral dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi itu belum cukup menjamin terjadinya perilaku moral yang tepat. Studi tentang moral tidak bersifat teknis melainkan refeksi, yaitu suatu refleksi tentang tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Moral dapat dikaji secara kognitif sebagai penalaran moral, dapat juga dari aspek perasaan moral, dan dapat huga dari perilaku atau tindakan moral. Ketiga aspek tersebut terintegrasi dalam diri seseorang dan membentuk kematangan moralitas orang tersebut. Maka objek kajian tentang moralitas ini langsung berkaitan dengan praktik kehidupan manusia.
Dari bingkai filsafat, pentingnya nilai dekat dengan teri Revitalisasi Budaya yang melahirkan esensialisme dan perenialisme. Esensialisme menghendaki agar pendidikan bersendikan atas norma dan nilai yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan perenialisme bersendikan atas penggunaan kesenian bebas sebagai modal dasarnya. Unsur-unsur budaya yang telah berabad-abad usianya dipandang sebagai vitalitas yang mantap sebagai landasan menemukan perubahan dan kemajuan pada zaman sekarang (Barnadib, 1996:40).
Dalam konteks yang aplikatif, norma dan nilai seperti termaktub dalam esensialisme dapat dipersonifikasikan dengan norma dan nilai luhur Pancasila. Norma dan nilai luhur, seperti: ketuhanan, persatuan dan kesatuan, rela berkorban, kebenaran dan keadilan, kebersamaan, keberagaman, cinta tanah air, dan sebagainya dapat dijadikan “modal dasar” dalam menyelesaikan krisis yang melanda Indonesia.
Selebihnya penumbuhkembangan norma dan nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan wujud internalisasi dari hakikat manusia, sebagai makhluk berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Keempat dimensi manusia itu dalam pendidikan harus dikembangkan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang agar dapat terbentuk kepribadian manusia yang utuh (Satmoko, 2000:18).
Berdasarkan uraian di atas maka persoalan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: bagaimana melakukan pembinaan moral dalam kajian filsafat Jawa?

B. Pembahasan
1. Pembinaan Moral dan Penalaran Moral
Menurut Lillie dalam Budiningsih, (2004:24), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Moral juga diartikan sebagai hal-hal yang berhungan dengan nilai-nilai susila. Sedangkan Baron, dkk dalam Budiningsih, (2004:24) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Suseno (1987:18) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tinsdakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.
Kohlberg dalam Budiningsih (2004:25) tidak memusatkan perhatian pada perilaku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatanya. Ia menjadikan penalaran moralnya sebagai pusat kajiannya.dikatakan bahwa mengamati perilaku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan moral. Seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perilakunya sama., tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercemin dalam perilaku mereka.
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral judgement,sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian yang sama dan digunakan secara bergantian. Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi penalaran moral Setiono dalam Budiningsih, (2004:25). Penalaran moral mereka lah yang mencerminkan perbedaan kematangan moral tersebut.
Moral dapat diartikan sebagai keseluruan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kerlompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematik dalam etika, filsafat moral, dan teknologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagi makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhluk individu, sebagi makhluk sosial, dan sebagai makhluk yang berpribadi, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak yang mulia. Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bangsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil, dan sustainable (Tauhid, 2002:19).
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan di lakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehinga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan ( statement ) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah,. Alasanya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan mengatakan sesuatu yang sama, maka disini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikanya terhadap sesuatu hal yang benar atau salah.
Penalaran moral dipandang sebagai struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg dalam Budiningsih, 2004:25) Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahab kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya.
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akn sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penalaran moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat di identifikasi tingkat perkembangan moralnya.
Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui prose perkembangan dan cara-cara membantu mengembangkan moral tersebut.
Piaget dan Kohlberg 1980 dalam Budiningsih, (2004:26) telah mengadakan studi dalam proses perkembangan moral. Mereka lebih memusatkan penyelididkan pada pola-pola sturtur penelaran manusia dalam mengadakan keputusan moral dari pada penyelidikan tingkah laku. Kedua tokoh tersebut telah menyusun peta lengkap mengenai bagaimana individu-individu berkembang secara moral. Mereka telah mengembangkan teori-teori perkembangan moral yang dengan jelas memperlihatkan tahap-tahap mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral.
Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahp mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral. Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahap perkembangan moral dan perincian prosedur untuk menentukan siapa-siapa yang ada pada tahap-tahap itu. Dengan demikian teori-teori mereka memberikan sutu alat pendidikan yang tidak tenilai harganya, karena sudah menjadi aksioma dalam pendidikan bahwa pendidikan akan mencapai hasil yang paling efektif kalau orang menyapa pada siswanya pada tahap yang sejajar dengan kemampuan belajar mereka. Program-program pendidikan moral yang disusun tanpa mengetahui tahap perkembangan anak (karakteristik siswa) tidak akan berhasil.
Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:27) mengembangkan alat sistematis untuk mengungkap penalaran-penalaran itu dengan mengembangkan sekumpulan cerita, yang memasukkan orang atau orang-orang kedalam suatu dilema moral. Kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan mengenai dilema-dilema tersebut, yang dimaksudkan untuk menjajaki penalaran-penalaran subjek yang bersangkutan, apakan alasannya maka ia akan melakukan tindakan tertentu dalam situasi seperti itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa moral adalah keseluruhan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan. Sedangkan penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan yaitu: (1) tingkatan pra moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dalam Budiningsih, (2004:28) dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu: (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahaun, (3) tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.
Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat terbalik (irreversible) yaitu bahwa suatu tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan dibawahnya Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28). Misalnya, seseorang yang telah berada pada tahap –5 tidak akan kembali pada tahap –3 atau tahap –4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu gerak maju dari tahap –1 sampai tahap-6, dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral. Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg yang disarikan oleh Hardiman (1987) dalam Budiningsih, (2004:29) sebagai berikut:
a. Tingkatan Pra-Konvensional
Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistik). Tingkat ini di bagi 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap pengusa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2: Orientasi instrumentalistik. Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain. Hubungan antara manusia di pandang seperti hubungan dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip tindakan dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prisip kesalingan adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seseorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan doniman adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kerukunan atau orientasi good boy – nice girl. Pada tahap ini orang perpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagi “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.
Tahap 2: Orientasi ketertiban masyarakat. Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjada tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.
c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagi subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa beralah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani . tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kontrak sosial. Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang lain menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yng jelas untuk mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 2: Orientasi prinsip etis universal. Paad tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputuan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya; cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri, dan kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Melihat tahap-tahap dan orientasi tiap tahap tersebut tampak bahwa seseorang tetap mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan kesalingan, hanya saja konkretisasinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masing-masing tahap. Menurut kohlberg perkembangan penalaran moral ini berlangsung setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peranan pendidik adalah menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi seseorang untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. Seorang terutama memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapnya sekarang dan ia mempunyai peluag untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang pernah dilampauinya.
Menurut kohlberg dalam Budiningsih, (2004:32) perkembangan ini tidak ditentukan oleh usia. Dalam penelitiannya, lebih dari 50% respondennya (orang dewasa) masih ada pada tahap konvensional Hardiman, (1987) dalam Budiningsih, (2004:32). Kecepatan perkembangannya pun beragam. Satu faktor penting dalam perkembangan penlaran moral adalah faktor kognitif, terutama dalam berpikir abstrak dan luas.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahap-tahap penalaran moral di atas penulis berpendapat bahwa terdapat sejumlah tahap perkembangan penalaran moral yang dicirikan sebagai pola struktur pemikiran formal, terlepas dari isinya. Ada perbedaan kualitatif pada masing-masing strukturnya, atau cara berpikir yang berbeda yang mempunyai fungsi dasar dalam proses perkembangan. Semua struktur yang berbeda ini membentuk urutan tetap dan konsisten dalam proses perkembangan moral.
Piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional formal berkembang, maka Kohlberg secara sejajar menunjukkan juga bahwa pada masa remaja dapat dicapai tahap tertinggi penalaran moral yaitu prinsip keadilan yang universal. Dengan demikian seluruh tahap perkembangan penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg dapat diajarkan pada remaja.


3. Membentuk Moral dalam Filsafat Jawa
Pemakaian istilah “filsafat Jawa” kurang popular, barang kali juga kurang tepat, lebih tepat bila disebut dengan falsafah Jawa atau Kejawen. Falsafah berbeda dari filsafat. Falsafah merupakan suatu pandangan hidup, pandangan dunia, lebih mendekati pada pengertian ideologi; sedang filsafat termasuk dalam kawasan ilmu pengetahuan. Kejawen juga dibedakan dari kejawaan. Kalau kejawen merupakan suatu bentuk “kata benda”, berupa ajaran Jawa; sementara kejawaan merupakan suatu bentuk “kata kerja” dan sekaligus “kata sifat”, yaitu tingkah laku kongkrit orang jawa, sebagai orang jawa. Kesesuaian kejawen dengan kejawaan dalam sikap hidup dan tingkah laku orang jawa, disebut njaweni; sebaliknya ketidak-sesuaian sikap hidup dan tingkah laku orang jawa (kejawaan) dengan ajaran atau falsafah jawa (kejawen), dikatakan sebagai ora njaweni (tidak sebagaimana mestinya orang jawa).
Kekaburan nilai, merupakan hal yang sangat mengganggu sekali dalam proses pendidikan. Hal ini lantaran nilai merupakan bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dan sikap hidup itulah, sering disebut mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannnya pada masyarakat (Mulder, 1973).
Dalam pembicaraan ini perbedaan dalam pemakaian istilah filsafat dan falsafah diabaikan, pemakaian istilah “filsafat jawa” dipertahankan dengan meletakkannya diantara tanda kutip; untuk menjaga konsistensi dengan pembicaraan sebelumnya (filsafat India, filsafat Cina).
“Filsafat Jawa” mempunyai ciri-ciri umum yang banyak persamaannya dengan filsafat India maupun Cina. Orang Jawa juga merasakan kefanaan dunia ini dan merindukan kepada baka. Dengan demikian mereka berupaya untuk menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Alam pemikiran Jawa bersifat religius. “Filsafat Jawa” lebih menyerupai ngelmu, suatu aktivitas batin, hasil dari perenungan, daripada ilmu, yang mencari kebenaran dengan metode tertentu.
Sikap orang Jawa lebih bersifat subyektif, menekankan pada perasaan, menyatukan diri dengan alam semesta, lebih terbuka bagi realitas ajaib yang mengatasi segala-galanya. Kehidupan orang Jawa dipenuhi dengan berbagai upacara ritual, yang disebut slametan. Dalam pandangan Jawa, manusia adalah dunia kecil (mikro kosmos) yang merupakan cerminan dari semesta alam (makro kosmos). Manusia dan dunia merupakan satu kesatuan yang harus selalu dijaga keharmonisannya.
“Filsafat Jawa” tidak mengejar kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat berkembang sejauh tidak mengganggu keseimbangan atau keharmonisan semesta alam. Perkembangan ilmu pengetahuan justru terjadi karena upaya untuk mencari keseimbangan tersebut. Oleh karena itu “filsafat Jawa” mengajarkan bagaimana sikap manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. “Filsafat Jawa” menitik-beratkan pada kualitas moral (etika).
“Filsafat Jawa” memandang Tuhan sebagai suatu kekuatan di atas manusia, yang mengatasi manusia, yang menguasai segala sesuatu; yang tidak dapat dikuasai oleh manusia. Oleh karena itu orang Jawa menganggap semua yang berada di atasnya, yang berasal dari atas, adalah Tuhan atau wakil/manifestasi dari Tuhan. Raja adalah wakil/penjelmaan Tuhan di dunia (paham dewaraja). Memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai sarana yang dapat membebaskan manusia. Manusia harus menjalani kewajiban terhadap penguasa sebagai kewajiban berbakti (kebaktian). Bawahan tidak boleh menentang penguasa, sekalipun penguasa telah melanggar norma-norma. Sifat kebaktian terhadap penguasa yang tidak bersifat kritis tersebut mnyuburkan kehidupan feodalis-kolonialis.
Dari uraian tentang ciri-ciri umum “filsafat Jawa” tersebut di atas, dapat disimpulkan tiga pokok pembicaraan dalam “filsafat Jawa” yaitu “ (1) pandangan hidup orang Jawa, (2) sikap hidup orang Jawa, dan (3) prinsip hidup orang Jawa. Berikut ini ketiganya dibicarakan lebih lanjut.
Pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) berdasarkan keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah satu; merupakan satu kesatuan hidup. Menurut pandangan orang Jawa tidak mungkin memisahkan unsur-unsur sakral (yang suci) dari yang profane.
Hidup manusia diselaraskan dengan alam raya (kosmos, alam semesta), yang diatur secara hirarkis. Menjaga keselarasan, keserasian dan keharmonisan dengan tata tertib universal merupakan suatu tugas moral. Kelakuan antara manusia diatur dengan tatakrama (Jawa: etiket); keselarasan dalam masyarkat diatur dengan kaidah-kaidah adat; keselarasan dengan alam atas diatur dengan peraturan dan praktik agama atau keyakinan; dorongan dan emosi pribadi diatur dengan kaidah/norma moral yang menekankan pada sikap: sabar, narima, eling, waspada, andap-asor dan prasaja.
Untuk menjaga keseimbangan semestas alam (alam raya, kosmos), manusia tidak ingin menaklukan atau menguasai alam, tidak ingin merubah alam, melainkan menyatukan diri dengan alam dan menghindari nafsu-nafsu materialistis. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengubah kodrat alam dan kodrat manusia itu sendiri. Perkembangan dan kemajuan pada dasarnya usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan selaras. Teknik, pendidikan, semuanya baik, tetapi intelektualisme dianggap mengandung bahaya, karena intelektulisme memperkuat individualisme dan individualisme dapat mengganggu keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan. Investasi mental merupakan suatu bagian dari setiap perkembangan, kemajuan dan perkembangan. Namun demikian tidak boleh mengganggu/merugikan keseimbangan, keserasian, keselarasan dan keharmonisan. Ilmu hendaklah bersifat sosial dan menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dan alam.
Inti dari pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) adalah kebatinan. Kebatinan menjadi gaya hidup orang Jawa; gaya hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap alam raya, pengetahuan mengenai alam raya bertujuan menjalin hubungan langsung dengan Tuhan, sebagai ekspresi hidup keagamaan yang luhur. Aliran kebatinan merupakan perguruan yang ideal, tempat belajar mencari jalan menuju persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Aliran kebatinan merupakan mistik Jawa.
Kaidah pokok dalam masyarakat Jawa adalah “tidak merugikan orang lain”, menghormati keselarasan sosial dengan menghormati orangtua, guru atau raja, sebagai langkah awal menuju persatuan dengan Tuhan. Syarat utama bagi keselarasan itu adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Konsep-konsep sentral dari cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa adalah: seremonial (upacara), formal (bentuk), simbolik (lambang-lambang), kosmologis, statis dan teratur.
Kehidupan orang Jawa ditempuh melalui berbagai macam upacara, baik yang bersifat pribadi, keluarga, maupun kelompok masyarakat; dari upacara kelahiran, kehidupan sosial, hingga kematian. Untuk peristiwa kelahiran ada upacara: brokohan, sepasaran, selapanan, setahunan, wetonan, tanggap warsa (ulang tahun), dan sewindunan. Dalam kehidupan sosial dikenal upacara supitan, tetesan (sunat), mantenan(pernikahan), omah dewe (menempati rumah sendiri pisah dengan orangtua). Dalam peristiwa kematian ada upacara: bedah kubur, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (satu tahun), pendak pindo (dua tahun), seribu hari, tumbuk warsa. Dalam kehidupan bersama juga ada berbagai upacara, antara lain: sadranan (upacara srada), bersih desa, syukuran, dan lain-lain. Inti dari semua upacara tersebut adalah selamatan (slametan), upaya memperoleh keselamatan.
Bagi orang Jawa, segala sesuatu diwujudkan dalam bentuk formal, dan dalam hal itu lambang-lambang berperan penting. Bentuk atau forma lebih penting, walaupun sering tanpa isi. Bentuk itu menentukan isi, sama dengan isi. Lambang telah dianggap sebagai kenyataan. Segala sesuatu dianggap sah, beres, selesai, bila telah ada secara formalitas; sekalipun hanya berupa pralambang. Orang Jawa tidak memperhatikan waktu, yang lebih diperhatikan adalah bentuk dari waktu itu, misalnya: usia tua dihormati, peringatan-peringatan pegang peran utama, dianggap sebagai kenyataan dari yang diperingati, tentang isinya tidak diperhatikan. Upacara bentuk yang menjadi-sah-kan.
Pandangan orang Jawa bersifat kosmologis, bahwa manusia, dan segala sesuatunya, merupakan bagian dari kosmo (alam raya, semesta alam) yang telah ada secara tetap (statis) dan teratur. Oleh karena itu segala sesuatu harus terpola secara tetap dan teratur. (Hal inilah yang memungkinkan dan mempermudah berlakunya sistem feodal dan kolonial). Orang Jawa tidak membenarkan adanya konflik atau beda pendapat, karena hal itu dapat menimbulkan ketidakteraturan, mengganggu yang sudah mapan. Dalam pemikiran orang Jawa tidak ada pendapat yang salah, maka merasa terhina bila disalahkan. Setiap pendapat memiliki kebenaran. Hal ini menjadi dasar toleransi dan praktik musyawarah bagi orang Jawa.
Sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup. Sikap hidup dipengaruhi oleh adat, agama, latar belakang kebudayaan, dan watak suatu bangsa. Orang yang berbeda pandangan hidupnya terhadap Tuhan, dapat sama sikap hidupnya. Sikap hidup orang Jawa dapat dipelajari, antara lain lewat kebatinan dan sastra Jawa karya para pujangga.
Kebatinan
Kebatinan atau mistik Jawa, merupakan salah satu bentuk bahkan pandangan dasar dari Javanisme. Hampir semua orang Jawa diliputi oleh suasana mistik. Ada tiga ciri sikap hidup orang Jawa, yaitu:
a) Distansi (spiritualisme), yaitu sikap mengambil jarak terhadap hal-hal yang duniawi, atau terhadap kenyataan materiil, dengan maksud agar dapat menguasai kenyataan tersebut, dan dapat mencapai kenyataan (realitas) yang lebih tinggi. Distansi ini tampak dalam sikap hidup: rila, sabar, narima, sepi ing pamrih rame ing gawe.
b) Konsentrasi (sakralitas), yaitu mencari kenyataan lain yang lebih luhur di dalam batin manusia. Hal ini tampak dalm konsep-konsep: tapa (bertapa, askese), pemudaran (pembebasan), nyegah hawa nafsu, mati sajroning urip, hening-hening (bandingkan dengan Samadhi dalam Buddhisme!).
c) Reperesentasi (perwakilan, moralitas), yaitu sikap setelah pemurnian batin melalui distansi dan konsentrasi, kembali ke “dunia” sebagai utusan Allah (Khalifu’llah). Representasi terwujud dalam cara hidup memayu hayuning bawana, yang dapat digambarkan seperti bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah, tetapi dari dirinya sendiri tetap gelap.
Konsentrasi mencakup dua cara, yaitu (1) bertapa (askese) yang merupakan jalan, dan (2) pemudaran atau kebebasan, yang merupakan hasil dari konsentrasi. Konsentrasi tersebut dapat dikacaukan oleh nafsu, utamanya nafsu egosentris, atau egoistis. Dengan bertapa kekuatan jasmani diperlemah, orang menjadi lebih sadar akan kerelatifan dirinya. Dengan demikian perasaan dan sikapnya terhadap sesama manusia akan berubah menjadi lebih baik. Ada dua aliran, berkaitan dengan bertapa.
Pertama, tapa dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat, di tengah-tengah hutan, di gua-gua, di puncak gunung atau tempat-tempat sepi yang lain. Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa orang yang suci, mencapai kesempurnaan lahir dan batin,yang dekat atau menyatu dengan Tuhan, adalah orang yang tidak makan, tidak tidur dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Aliran ini lebih bersifat individualistis (bandingkan dengan aliran Hinayana dalam Buddhisme, yang berarti “Kendaraan Kecil”!).
Kedua, aliran yang berpendapat bahwa tapa perlu dikaitkan dengan makna sosial. Orang tidak boleh mengasingkan diri dari masyarkat. Tapa yang dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat berarti mengusahakan kesempurnaan diri secara egosentris, dapat memperkuat individualisis. Bagi aliran kedua ini melakukan tapa tidak boleh melalaikan tugas atau kewajiban sosialnya (tapa ngrame). Hal inilah yang dilakukan antara lain oleh Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), salah satu aliran kebatinan di Jawa. Aliran kedua ini lebih bersifat sosial. (Bandingkan dengan aliran Mahayana dalam Buddhisme, yang artinya “Kendaraan Besar!)
Pemudaran, merupakan produk dari konsentrasi, yang telah dijalani dengan betapa (laku tapa), adalah suatu kebebasan batin. Pemudaran tidak diartikan sebagai meninggalkan dunia, melainkan tidak terkait atau tidak lekat (lengket) dengan dunia. Orang mengambil jarak terhadap hal-hal yang materialistis. Inilah yang disebut dengan sepi ing pamrih. Orang yang sudah mendapatkan pemudaran, tidak terikat oleh rasa suka atau tidak suka, tidak ada rasa takut, satu-satunya rasa suka yang sah adalah rasa bersatu dengan Tuhan (Pamoring/Manunggaling Kawula-Gusti). Keadaan pemudaran (pembebasan) tersebut juga disebut keadaan hening-hening, suatu ketenangan yang telah mapan, mati sajroning urip, laya-layap ing ngaluyup (mati di tengah-tengah kehidupan).
Laku tapa dilaksanakan melalui proses distansi (mengambil jarak terhadap kenyataan materiil), untuk dapat berkonsentrasi (pemusatan batin), agar dapat mencapai kenyataan yang lebih tinggi atau lebih luhur, yaitu pemudaran atau pembebasan (manunggaling kawula-gusti); yang selanjutnya akan di-representasi-kan dengan memayu hayuning bawana (tugas sosial dalam kehidupan masyarakat). Memayu hayuning bawana dapat diartikan sebagai: (1) menghiasi atau meperindah (ayu = indah, cantik) dunia, dan (2) mengusahakan keselamatan (rahayu) dunia.
Dalam pengertian yang pertama, dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan orang Jawa, dunia atau bawana itu tetap tidak dapat berubah, tetapi diperindah oleh cahaya keindahan yang dipancarkan oleh manusia yang telah mencapai kesempurnaan (pemudaran, kebebasan). Seperti bumi yang disinari dengan terang bulan purnama, kelihatan lebih indah, tetapi sesungguhnya bumi itu sendiri tidak berubah. Manusia yang telah sampai pada tingkat pemudaran berfungsi seperti sinar terang bulan purnama terhadap dunia sekelilingnya.
Dalam pengertian yang kedua, dapat dijelaskan bahwa mengusahakan keselamatan dunia menurut konsep pemikiran orang Jawa memang tidak mengubah dunia, karena dunia memang tidak dapat dirubah. Orang Jawa tidak ingin mengubah dunia, melainkan menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan serta keharmonisan dunia. Tugas dan kewajiban moral orang Jawa adalah mencapai kesempurnaan batin atau pemudaran diri (jagad cilik, mikro kosmos) untuk membangun atau sebagai syarat keselarasan dunia (jagad gede, makro kosmos). Hal itu dapat dicapai melalui sikap hidup sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (kerja keras tanpa pamrih mengusahakan keselamatan dunia). Keselamatan rasionalisme, seimbang dan harmonis. Menarik untuk diingat bahwa ketidak-tertiban manusia (jagad cilik) dapat membahayakan dunia atau bawana (jagad gede). Dengan demikian tepat bila dikatakan bahwa memayu hayuning bawana diartikan sebagai “mengusahakan keselamatan dunia”.
Laku tapa (lelana brata, nglakoni, prihatin), termasuk di dalamnya: berpuasa, adalah cara-cara orang Jawa untuk memusatkan kesaktian (kesakten) atau kekuatan semesta alam menjadi sakti (sekti). Kesaktian akan menjadi luntur dan hilang bila oran mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan pribadi, yang disebut pamrih.
Laku tapa juga sebagai upaya mencapai kesempurnaan urip sajroning mati; layap-layap ing nglayup, di mana orang telah menyadari tentang dirinya, bersatu dengan Tuhan.persatuan diri dengan Tuhan, digambarkan sebagai: makro kosmos termuat dalam mikro kosmos; curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, kodok kinemulan ing leng, kodok ngemuli lenge; sotya manjing embanan; Kang Paring Gasang dimuat oleh kita yang dimuat-Nya (Ajaran mistik).
Laku tapa berguna bagi kontrol terhadap nafsu dan pamrih yang keduanya dapat mengancam keselarasan hidup. Tapa yang berat/keras tidak dianjurkan kepada khalayak ramai, melainkan hanya bagi mereka yang memiliki kekuatan batin istimewa. Bagi orang biasa, hanya berpegang pada prinsip: “jangan berhenti bekerja sebelum capai, jangan makan sebelum lapar”.
Nafsu manusia dirumuskan dalam malima (lima M), yaitu: madat, madon, minum, mangan dan main; sedang pamrih dirumuskan dalam 3 dewe, yaitu: menange dewe, benere dewe dan butuhe dewe. Pamrih tersebut dapat menimbulkan sikap aji mumpung dan dumeh; maka ada ungkapan yang mengingatkan: aja dumeh.
Beberapa ungkapan dalam ajaran moral Jawa yang bernilai luhur antara lain: eling (ingat akan asalnya: Allah), waspada (mawas diri), percaya (percaya pada bimbingan Tuhan), mituhu (taat pada Allah), jagad ora mung sagodong kelor (optimis). Ciri khas kematangan moral orang Jawa antara lain: sabar, narima, rila, legawa, digawe gampang ya gampang, digawe angel ya angel, jujur, temen, prasaja, andapasor, tepa salira, ngono ya ngono ning aja ngono. Budi luhur tersebut juga diterapkan untuk orang lain, maka timbul ungkapan: mangan ora mangan yen kumpul, ana sethitik didum sethitik ana akeh didum akeh. Budi luhur (keutamaan) tersebut bertentangan dengan sifat-sifat yang harus dihindari, yaitu: dahwen (gemar mencela), open (suka memperhatikan kejelekan orang lain) dengki (berbudi rendah), srei (iri), jail (suka main intrik), methakil (kekerasan, licik). Orang Jawa yang belum matang/dewasa secara moral, disebut sebagai durung Jawa atau ora Jawa, atau ora/durung ngerti. Mereka itu masih banyak belum mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebut durung dadi wong. Mereka yang sudah dewasa, tahu menempatkan diri, dapat memenuhi tugas/kewajibannya, disebut wis dadi wong, dan mereka akan dihargai/dihormati (diwongake).
Dua prinsip hidup atau kaidah dasar dalam kehidupan orang Jawa adalah: rukun dan hormat. Berikut ini masing-masing dijelaskan lebih lanjut.
Prinsip rukun
Prinsip rukun atau kerukunan tidak menimbulkan konflik secara terbuka, untuk menciptakan dan mempertahankan keharmonisan. Rukun berarti tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu saling membantu, dalam suasana tenang dan tentram, tidak mengganggu keharmonisan, mempertahankan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Prinsip rukun juga ditunjukkan dari sikap: (a) tidak mau ambil putusan dan menanggung resiko sendiri, (b) penyelesaian segala persoalan dalam semangat kekeluargaan, penyelesaian masalah secara hukum baru ditempuh setelah cara kekeluaragaan menemui jalan buntu, atau sebagai upaya terakhir, (c) memberi bantuan sanak-saudara, baik sebagai keluarga dekat maupun jauh, (dan) perlakuan terhadap orang lain seperti saudara/keluarga sendiri, dengan menggunakan sebutan yang akrab, seperti: bapak, ibu, mbah, eyang, pakde, paklik, bude, bulik, mas, mbakyu, dik dan seterusnya.
Prinsip kerukunan juga tercermin dalam praktik dan sikap: gotong-royong musyawarah untuk mufakat, dalam hal itu kebenaran ada pada kelompok, bukan pada orang-perorang, bukan pada pimpinan dan bukan pada luar kelompok. Kerukunan dalam hal ini termasuk prinsip pranata masyarakat, bukan prinsip moral, artinya orang hanya terikat secara lahir, sedang secara batin tetap bebas untuk berbeda pendapat. Maka sikap rukun tidak berarti tenggelamnya individu dalam kolektif, tidak berarti bahwa orang kehilangan hak-haknya.
Dengan sikap rukun orang Jawa tidak melepaskan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi ditinggalkan pada waktu orang menjalani laku tapa dan telah mencapai kesadaran tingkat tinggi (pemudaran, pembebasan, manunggaling kawula-gusti). Prinsip rukun tidak berarti pengorbanan diri, karena pada saatnya masing-masing pribadi akan mendapat keuntungan dari sikap rukun tersebut. Dengan demikian prinsip kerukunan orang Jawa tidak sama dengan ajaran kolektivitas komunis yang tidak mengakui hak milik, yang disebut persaudaraan universal.
Disamping hal yang positif, kerukunan dalam perspektif Jawa juga menimbulkan hal-hal yang kurang positif, seperti :
a) Sikap rukun tersebut hanya sekedar untuk menghindari konflik terbuka, sehingga rukun tidak merupakan sikap batin (keadaan kejiwaan) melainkan sekedar penampilan, untuk menjaga keharmonisan (harmonious social appearances): sementara konflik batin, di belakang layar masih tetap terjadi.
b) Orang lebih baik tidak berbuat sesuatu daripada menimbulkan konflik, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tetapi rasa ingin tahu tentang urusan orang lain begitu besar, dan dibicarakan di balik layar (ngrasani).
c) Prakarsa pribadi tidak penting, harus maju bersama kelompok.
d) Tidak berterus terang, kurang terbuka: jawaban yang paling tepat adalah “yaitu” (nggih), tidak baik menjawab “tidak” (mboten).
e) Orang Jawa terbiasa dengan berbuat semu (ethok-ethok). Tatakrama merupakan sarana terbaik dalam membina kerukunan. Tatakrama diciptakan untuk mengatur sikap dan perbuatan, agar masing-masing melewati jalur yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak terjadi tabrakan (konflik).
Prinsip hormat
Sikap hormat diatur secara hirarkis sesuai dengan fungsi, derajat dan kedudukannya. Antar keluarga, hirarki tersebut ditentukan berdasar keturunan; antara sesama ditentukan oleh usia dan derajat kepangkatan. Hirarki tersebut akan menentukan jenis kata dan bahasa yang dipergunakan (krama inggil, krama madya, krama andap dan ngoko). Dengan demikian setiap orang dituntut untuk tahu menempatkan dan membawakan dirinya. Keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keharmonisan akan tercapai apabila masing-masing tahu menempatkan dan membawakan dirinya, yaitu juga disebut dengan tahu tatakrama.
Sikap hormat yang ditata secara hirarkis tersebut menimbulkan tanggung jawab moral bagi yang berposisi lebih tinggi (orangtua, sesepuh, pinisepuh, pejabat atau pimpinan). Mereka dituntut untuk berperan sebagai panutan. Adalah cela besar bila panutan ternyata tidak dapat atau tidak pantas untuk dianut (tuwa tuwas). Keteladanan merupakan hal yang prinsipial dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panutan merupakan prinsip hormat yang berlaku bagi yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Jadi sebenarnya prinsip hormat tidak terbatas kepada atasan (wong gede), tetapi juga kepada bawahan (wong cilik).
Seperti halnya dengan sikap rukun, sikap hormat dalam perspektif orang Jawa bukan merupakan sikap batin. Menghormat tidak berarti tunduk atas segala perintah. Orang bisa tetap hormat walaupun tidak setuju dan tidak melaksanakan perintahnya.

C. Penutup
1. Simpulan
Dalam konteks perlunya melakukan upaya pembinaan moral dalan konteks filsafat Jawa maka diperlukan adanya upaya yang sinergis dari seluruh stakeholders. Pandangan seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana, sabar, narima, rila, legawa, jujur, temen, prasaja, andapasor, dan tepa salira, merupakan perilaku positif yang bisa dikembangkan untuk mengadakan pembinaan moral secara mikro dan makro.
Pada akhirnya penumbuhkembangan nilai-nilai dalam pendidikan tidak terlepas dari upaya melakukan ritual yang bermuara pada Filsafat Jawa. Sekalipun pada masa kini ada kecenderungan yang cukup mencemaskan bahwa perilaku yang njawani hanya dipergunakan sebagai lip service atau bahkan hanya moralisme saja, agaknya perilaku yang njawani masih juga merupakan salah satu laku utama yang diharapkan oleh masyarakat.

2. Saran
Apapun format dan desainnya, potret pendidikan kita perlu berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang merupakan refleksi Filsafat Jawa. Perilaku yang njawani merupakan conditio sine qua non manakala stakeholders pendidikan di negeri ini membincangkan pendidikan baik pendidikan konteks makro maupun mikro. Hanya saja, memang diperlukan uraian laku dan patrap yang jelas, supaya perilaku yang njawani dapat menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri yang pluralis dan holistik (Trimo).

PUSTAKA ACUAN:


Barnadib, Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan (Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiningsih, C Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta:Rinika Cipta
Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Satmoko, Retno Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Tauhid. 2002. Fasilitator. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional




PEMBINAAN MORAL DALAM KAJIAN FILSAFAT JAWA
(Sebuah Tinjauan Fenomenologis Moral dalam Perilaku Njawani)

Oleh
Ib Arjana

A. Pengantar
Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagi makhuk individu, sebagi makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada dibumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.
Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bagsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil dengan baik.
Namun masalah-masalah moral yang terjadi sekarang ini jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan masalah-masalah moral yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap moral yang tepat, studi di bidang moral dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi itu belum cukup menjamin terjadinya perilaku moral yang tepat. Studi tentang moral tidak bersifat teknis melainkan refeksi, yaitu suatu refleksi tentang tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Moral dapat dikaji secara kognitif sebagai penalaran moral, dapat juga dari aspek perasaan moral, dan dapat huga dari perilaku atau tindakan moral. Ketiga aspek tersebut terintegrasi dalam diri seseorang dan membentuk kematangan moralitas orang tersebut. Maka objek kajian tentang moralitas ini langsung berkaitan dengan praktik kehidupan manusia.
Dari bingkai filsafat, pentingnya nilai dekat dengan teri Revitalisasi Budaya yang melahirkan esensialisme dan perenialisme. Esensialisme menghendaki agar pendidikan bersendikan atas norma dan nilai yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan perenialisme bersendikan atas penggunaan kesenian bebas sebagai modal dasarnya. Unsur-unsur budaya yang telah berabad-abad usianya dipandang sebagai vitalitas yang mantap sebagai landasan menemukan perubahan dan kemajuan pada zaman sekarang (Barnadib, 1996:40).
Dalam konteks yang aplikatif, norma dan nilai seperti termaktub dalam esensialisme dapat dipersonifikasikan dengan norma dan nilai luhur Pancasila. Norma dan nilai luhur, seperti: ketuhanan, persatuan dan kesatuan, rela berkorban, kebenaran dan keadilan, kebersamaan, keberagaman, cinta tanah air, dan sebagainya dapat dijadikan “modal dasar” dalam menyelesaikan krisis yang melanda Indonesia.
Selebihnya penumbuhkembangan norma dan nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan wujud internalisasi dari hakikat manusia, sebagai makhluk berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Keempat dimensi manusia itu dalam pendidikan harus dikembangkan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang agar dapat terbentuk kepribadian manusia yang utuh (Satmoko, 2000:18).
Berdasarkan uraian di atas maka persoalan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: bagaimana melakukan pembinaan moral dalam kajian filsafat Jawa?

B. Pembahasan
1. Pembinaan Moral dan Penalaran Moral
Menurut Lillie dalam Budiningsih, (2004:24), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Moral juga diartikan sebagai hal-hal yang berhungan dengan nilai-nilai susila. Sedangkan Baron, dkk dalam Budiningsih, (2004:24) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Suseno (1987:18) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tinsdakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.
Kohlberg dalam Budiningsih (2004:25) tidak memusatkan perhatian pada perilaku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatanya. Ia menjadikan penalaran moralnya sebagai pusat kajiannya.dikatakan bahwa mengamati perilaku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan moral. Seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perilakunya sama., tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercemin dalam perilaku mereka.
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral judgement,sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian yang sama dan digunakan secara bergantian. Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi penalaran moral Setiono dalam Budiningsih, (2004:25). Penalaran moral mereka lah yang mencerminkan perbedaan kematangan moral tersebut.
Moral dapat diartikan sebagai keseluruan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kerlompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematik dalam etika, filsafat moral, dan teknologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagi makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhluk individu, sebagi makhluk sosial, dan sebagai makhluk yang berpribadi, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak yang mulia. Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bangsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil, dan sustainable (Tauhid, 2002:19).
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan di lakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehinga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan ( statement ) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah,. Alasanya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan mengatakan sesuatu yang sama, maka disini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikanya terhadap sesuatu hal yang benar atau salah.
Penalaran moral dipandang sebagai struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg dalam Budiningsih, 2004:25) Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahab kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya.
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akn sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penalaran moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat di identifikasi tingkat perkembangan moralnya.
Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui prose perkembangan dan cara-cara membantu mengembangkan moral tersebut.
Piaget dan Kohlberg 1980 dalam Budiningsih, (2004:26) telah mengadakan studi dalam proses perkembangan moral. Mereka lebih memusatkan penyelididkan pada pola-pola sturtur penelaran manusia dalam mengadakan keputusan moral dari pada penyelidikan tingkah laku. Kedua tokoh tersebut telah menyusun peta lengkap mengenai bagaimana individu-individu berkembang secara moral. Mereka telah mengembangkan teori-teori perkembangan moral yang dengan jelas memperlihatkan tahap-tahap mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral.
Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahp mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral. Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahap perkembangan moral dan perincian prosedur untuk menentukan siapa-siapa yang ada pada tahap-tahap itu. Dengan demikian teori-teori mereka memberikan sutu alat pendidikan yang tidak tenilai harganya, karena sudah menjadi aksioma dalam pendidikan bahwa pendidikan akan mencapai hasil yang paling efektif kalau orang menyapa pada siswanya pada tahap yang sejajar dengan kemampuan belajar mereka. Program-program pendidikan moral yang disusun tanpa mengetahui tahap perkembangan anak (karakteristik siswa) tidak akan berhasil.
Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:27) mengembangkan alat sistematis untuk mengungkap penalaran-penalaran itu dengan mengembangkan sekumpulan cerita, yang memasukkan orang atau orang-orang kedalam suatu dilema moral. Kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan mengenai dilema-dilema tersebut, yang dimaksudkan untuk menjajaki penalaran-penalaran subjek yang bersangkutan, apakan alasannya maka ia akan melakukan tindakan tertentu dalam situasi seperti itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa moral adalah keseluruhan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan. Sedangkan penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan yaitu: (1) tingkatan pra moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dalam Budiningsih, (2004:28) dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu: (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahaun, (3) tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.
Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat terbalik (irreversible) yaitu bahwa suatu tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan dibawahnya Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28). Misalnya, seseorang yang telah berada pada tahap –5 tidak akan kembali pada tahap –3 atau tahap –4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu gerak maju dari tahap –1 sampai tahap-6, dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral. Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg yang disarikan oleh Hardiman (1987) dalam Budiningsih, (2004:29) sebagai berikut:
a. Tingkatan Pra-Konvensional
Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistik). Tingkat ini di bagi 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap pengusa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2: Orientasi instrumentalistik. Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain. Hubungan antara manusia di pandang seperti hubungan dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip tindakan dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prisip kesalingan adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seseorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan doniman adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kerukunan atau orientasi good boy – nice girl. Pada tahap ini orang perpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagi “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.
Tahap 2: Orientasi ketertiban masyarakat. Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjada tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.
c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagi subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa beralah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani . tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kontrak sosial. Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang lain menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yng jelas untuk mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 2: Orientasi prinsip etis universal. Paad tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputuan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya; cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri, dan kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Melihat tahap-tahap dan orientasi tiap tahap tersebut tampak bahwa seseorang tetap mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan kesalingan, hanya saja konkretisasinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masing-masing tahap. Menurut kohlberg perkembangan penalaran moral ini berlangsung setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peranan pendidik adalah menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi seseorang untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. Seorang terutama memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapnya sekarang dan ia mempunyai peluag untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang pernah dilampauinya.
Menurut kohlberg dalam Budiningsih, (2004:32) perkembangan ini tidak ditentukan oleh usia. Dalam penelitiannya, lebih dari 50% respondennya (orang dewasa) masih ada pada tahap konvensional Hardiman, (1987) dalam Budiningsih, (2004:32). Kecepatan perkembangannya pun beragam. Satu faktor penting dalam perkembangan penlaran moral adalah faktor kognitif, terutama dalam berpikir abstrak dan luas.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahap-tahap penalaran moral di atas penulis berpendapat bahwa terdapat sejumlah tahap perkembangan penalaran moral yang dicirikan sebagai pola struktur pemikiran formal, terlepas dari isinya. Ada perbedaan kualitatif pada masing-masing strukturnya, atau cara berpikir yang berbeda yang mempunyai fungsi dasar dalam proses perkembangan. Semua struktur yang berbeda ini membentuk urutan tetap dan konsisten dalam proses perkembangan moral.
Piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional formal berkembang, maka Kohlberg secara sejajar menunjukkan juga bahwa pada masa remaja dapat dicapai tahap tertinggi penalaran moral yaitu prinsip keadilan yang universal. Dengan demikian seluruh tahap perkembangan penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg dapat diajarkan pada remaja.


3. Membentuk Moral dalam Filsafat Jawa
Pemakaian istilah “filsafat Jawa” kurang popular, barang kali juga kurang tepat, lebih tepat bila disebut dengan falsafah Jawa atau Kejawen. Falsafah berbeda dari filsafat. Falsafah merupakan suatu pandangan hidup, pandangan dunia, lebih mendekati pada pengertian ideologi; sedang filsafat termasuk dalam kawasan ilmu pengetahuan. Kejawen juga dibedakan dari kejawaan. Kalau kejawen merupakan suatu bentuk “kata benda”, berupa ajaran Jawa; sementara kejawaan merupakan suatu bentuk “kata kerja” dan sekaligus “kata sifat”, yaitu tingkah laku kongkrit orang jawa, sebagai orang jawa. Kesesuaian kejawen dengan kejawaan dalam sikap hidup dan tingkah laku orang jawa, disebut njaweni; sebaliknya ketidak-sesuaian sikap hidup dan tingkah laku orang jawa (kejawaan) dengan ajaran atau falsafah jawa (kejawen), dikatakan sebagai ora njaweni (tidak sebagaimana mestinya orang jawa).
Kekaburan nilai, merupakan hal yang sangat mengganggu sekali dalam proses pendidikan. Hal ini lantaran nilai merupakan bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dan sikap hidup itulah, sering disebut mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannnya pada masyarakat (Mulder, 1973).
Dalam pembicaraan ini perbedaan dalam pemakaian istilah filsafat dan falsafah diabaikan, pemakaian istilah “filsafat jawa” dipertahankan dengan meletakkannya diantara tanda kutip; untuk menjaga konsistensi dengan pembicaraan sebelumnya (filsafat India, filsafat Cina).
“Filsafat Jawa” mempunyai ciri-ciri umum yang banyak persamaannya dengan filsafat India maupun Cina. Orang Jawa juga merasakan kefanaan dunia ini dan merindukan kepada baka. Dengan demikian mereka berupaya untuk menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Alam pemikiran Jawa bersifat religius. “Filsafat Jawa” lebih menyerupai ngelmu, suatu aktivitas batin, hasil dari perenungan, daripada ilmu, yang mencari kebenaran dengan metode tertentu.
Sikap orang Jawa lebih bersifat subyektif, menekankan pada perasaan, menyatukan diri dengan alam semesta, lebih terbuka bagi realitas ajaib yang mengatasi segala-galanya. Kehidupan orang Jawa dipenuhi dengan berbagai upacara ritual, yang disebut slametan. Dalam pandangan Jawa, manusia adalah dunia kecil (mikro kosmos) yang merupakan cerminan dari semesta alam (makro kosmos). Manusia dan dunia merupakan satu kesatuan yang harus selalu dijaga keharmonisannya.
“Filsafat Jawa” tidak mengejar kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat berkembang sejauh tidak mengganggu keseimbangan atau keharmonisan semesta alam. Perkembangan ilmu pengetahuan justru terjadi karena upaya untuk mencari keseimbangan tersebut. Oleh karena itu “filsafat Jawa” mengajarkan bagaimana sikap manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. “Filsafat Jawa” menitik-beratkan pada kualitas moral (etika).
“Filsafat Jawa” memandang Tuhan sebagai suatu kekuatan di atas manusia, yang mengatasi manusia, yang menguasai segala sesuatu; yang tidak dapat dikuasai oleh manusia. Oleh karena itu orang Jawa menganggap semua yang berada di atasnya, yang berasal dari atas, adalah Tuhan atau wakil/manifestasi dari Tuhan. Raja adalah wakil/penjelmaan Tuhan di dunia (paham dewaraja). Memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai sarana yang dapat membebaskan manusia. Manusia harus menjalani kewajiban terhadap penguasa sebagai kewajiban berbakti (kebaktian). Bawahan tidak boleh menentang penguasa, sekalipun penguasa telah melanggar norma-norma. Sifat kebaktian terhadap penguasa yang tidak bersifat kritis tersebut mnyuburkan kehidupan feodalis-kolonialis.
Dari uraian tentang ciri-ciri umum “filsafat Jawa” tersebut di atas, dapat disimpulkan tiga pokok pembicaraan dalam “filsafat Jawa” yaitu “ (1) pandangan hidup orang Jawa, (2) sikap hidup orang Jawa, dan (3) prinsip hidup orang Jawa. Berikut ini ketiganya dibicarakan lebih lanjut.
Pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) berdasarkan keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah satu; merupakan satu kesatuan hidup. Menurut pandangan orang Jawa tidak mungkin memisahkan unsur-unsur sakral (yang suci) dari yang profane.
Hidup manusia diselaraskan dengan alam raya (kosmos, alam semesta), yang diatur secara hirarkis. Menjaga keselarasan, keserasian dan keharmonisan dengan tata tertib universal merupakan suatu tugas moral. Kelakuan antara manusia diatur dengan tatakrama (Jawa: etiket); keselarasan dalam masyarkat diatur dengan kaidah-kaidah adat; keselarasan dengan alam atas diatur dengan peraturan dan praktik agama atau keyakinan; dorongan dan emosi pribadi diatur dengan kaidah/norma moral yang menekankan pada sikap: sabar, narima, eling, waspada, andap-asor dan prasaja.
Untuk menjaga keseimbangan semestas alam (alam raya, kosmos), manusia tidak ingin menaklukan atau menguasai alam, tidak ingin merubah alam, melainkan menyatukan diri dengan alam dan menghindari nafsu-nafsu materialistis. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengubah kodrat alam dan kodrat manusia itu sendiri. Perkembangan dan kemajuan pada dasarnya usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan selaras. Teknik, pendidikan, semuanya baik, tetapi intelektualisme dianggap mengandung bahaya, karena intelektulisme memperkuat individualisme dan individualisme dapat mengganggu keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan. Investasi mental merupakan suatu bagian dari setiap perkembangan, kemajuan dan perkembangan. Namun demikian tidak boleh mengganggu/merugikan keseimbangan, keserasian, keselarasan dan keharmonisan. Ilmu hendaklah bersifat sosial dan menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dan alam.
Inti dari pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) adalah kebatinan. Kebatinan menjadi gaya hidup orang Jawa; gaya hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap alam raya, pengetahuan mengenai alam raya bertujuan menjalin hubungan langsung dengan Tuhan, sebagai ekspresi hidup keagamaan yang luhur. Aliran kebatinan merupakan perguruan yang ideal, tempat belajar mencari jalan menuju persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Aliran kebatinan merupakan mistik Jawa.
Kaidah pokok dalam masyarakat Jawa adalah “tidak merugikan orang lain”, menghormati keselarasan sosial dengan menghormati orangtua, guru atau raja, sebagai langkah awal menuju persatuan dengan Tuhan. Syarat utama bagi keselarasan itu adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Konsep-konsep sentral dari cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa adalah: seremonial (upacara), formal (bentuk), simbolik (lambang-lambang), kosmologis, statis dan teratur.
Kehidupan orang Jawa ditempuh melalui berbagai macam upacara, baik yang bersifat pribadi, keluarga, maupun kelompok masyarakat; dari upacara kelahiran, kehidupan sosial, hingga kematian. Untuk peristiwa kelahiran ada upacara: brokohan, sepasaran, selapanan, setahunan, wetonan, tanggap warsa (ulang tahun), dan sewindunan. Dalam kehidupan sosial dikenal upacara supitan, tetesan (sunat), mantenan(pernikahan), omah dewe (menempati rumah sendiri pisah dengan orangtua). Dalam peristiwa kematian ada upacara: bedah kubur, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (satu tahun), pendak pindo (dua tahun), seribu hari, tumbuk warsa. Dalam kehidupan bersama juga ada berbagai upacara, antara lain: sadranan (upacara srada), bersih desa, syukuran, dan lain-lain. Inti dari semua upacara tersebut adalah selamatan (slametan), upaya memperoleh keselamatan.
Bagi orang Jawa, segala sesuatu diwujudkan dalam bentuk formal, dan dalam hal itu lambang-lambang berperan penting. Bentuk atau forma lebih penting, walaupun sering tanpa isi. Bentuk itu menentukan isi, sama dengan isi. Lambang telah dianggap sebagai kenyataan. Segala sesuatu dianggap sah, beres, selesai, bila telah ada secara formalitas; sekalipun hanya berupa pralambang. Orang Jawa tidak memperhatikan waktu, yang lebih diperhatikan adalah bentuk dari waktu itu, misalnya: usia tua dihormati, peringatan-peringatan pegang peran utama, dianggap sebagai kenyataan dari yang diperingati, tentang isinya tidak diperhatikan. Upacara bentuk yang menjadi-sah-kan.
Pandangan orang Jawa bersifat kosmologis, bahwa manusia, dan segala sesuatunya, merupakan bagian dari kosmo (alam raya, semesta alam) yang telah ada secara tetap (statis) dan teratur. Oleh karena itu segala sesuatu harus terpola secara tetap dan teratur. (Hal inilah yang memungkinkan dan mempermudah berlakunya sistem feodal dan kolonial). Orang Jawa tidak membenarkan adanya konflik atau beda pendapat, karena hal itu dapat menimbulkan ketidakteraturan, mengganggu yang sudah mapan. Dalam pemikiran orang Jawa tidak ada pendapat yang salah, maka merasa terhina bila disalahkan. Setiap pendapat memiliki kebenaran. Hal ini menjadi dasar toleransi dan praktik musyawarah bagi orang Jawa.
Sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup. Sikap hidup dipengaruhi oleh adat, agama, latar belakang kebudayaan, dan watak suatu bangsa. Orang yang berbeda pandangan hidupnya terhadap Tuhan, dapat sama sikap hidupnya. Sikap hidup orang Jawa dapat dipelajari, antara lain lewat kebatinan dan sastra Jawa karya para pujangga.
Kebatinan
Kebatinan atau mistik Jawa, merupakan salah satu bentuk bahkan pandangan dasar dari Javanisme. Hampir semua orang Jawa diliputi oleh suasana mistik. Ada tiga ciri sikap hidup orang Jawa, yaitu:
a) Distansi (spiritualisme), yaitu sikap mengambil jarak terhadap hal-hal yang duniawi, atau terhadap kenyataan materiil, dengan maksud agar dapat menguasai kenyataan tersebut, dan dapat mencapai kenyataan (realitas) yang lebih tinggi. Distansi ini tampak dalam sikap hidup: rila, sabar, narima, sepi ing pamrih rame ing gawe.
b) Konsentrasi (sakralitas), yaitu mencari kenyataan lain yang lebih luhur di dalam batin manusia. Hal ini tampak dalm konsep-konsep: tapa (bertapa, askese), pemudaran (pembebasan), nyegah hawa nafsu, mati sajroning urip, hening-hening (bandingkan dengan Samadhi dalam Buddhisme!).
c) Reperesentasi (perwakilan, moralitas), yaitu sikap setelah pemurnian batin melalui distansi dan konsentrasi, kembali ke “dunia” sebagai utusan Allah (Khalifu’llah). Representasi terwujud dalam cara hidup memayu hayuning bawana, yang dapat digambarkan seperti bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah, tetapi dari dirinya sendiri tetap gelap.
Konsentrasi mencakup dua cara, yaitu (1) bertapa (askese) yang merupakan jalan, dan (2) pemudaran atau kebebasan, yang merupakan hasil dari konsentrasi. Konsentrasi tersebut dapat dikacaukan oleh nafsu, utamanya nafsu egosentris, atau egoistis. Dengan bertapa kekuatan jasmani diperlemah, orang menjadi lebih sadar akan kerelatifan dirinya. Dengan demikian perasaan dan sikapnya terhadap sesama manusia akan berubah menjadi lebih baik. Ada dua aliran, berkaitan dengan bertapa.
Pertama, tapa dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat, di tengah-tengah hutan, di gua-gua, di puncak gunung atau tempat-tempat sepi yang lain. Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa orang yang suci, mencapai kesempurnaan lahir dan batin,yang dekat atau menyatu dengan Tuhan, adalah orang yang tidak makan, tidak tidur dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Aliran ini lebih bersifat individualistis (bandingkan dengan aliran Hinayana dalam Buddhisme, yang berarti “Kendaraan Kecil”!).
Kedua, aliran yang berpendapat bahwa tapa perlu dikaitkan dengan makna sosial. Orang tidak boleh mengasingkan diri dari masyarkat. Tapa yang dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat berarti mengusahakan kesempurnaan diri secara egosentris, dapat memperkuat individualisis. Bagi aliran kedua ini melakukan tapa tidak boleh melalaikan tugas atau kewajiban sosialnya (tapa ngrame). Hal inilah yang dilakukan antara lain oleh Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), salah satu aliran kebatinan di Jawa. Aliran kedua ini lebih bersifat sosial. (Bandingkan dengan aliran Mahayana dalam Buddhisme, yang artinya “Kendaraan Besar!)
Pemudaran, merupakan produk dari konsentrasi, yang telah dijalani dengan betapa (laku tapa), adalah suatu kebebasan batin. Pemudaran tidak diartikan sebagai meninggalkan dunia, melainkan tidak terkait atau tidak lekat (lengket) dengan dunia. Orang mengambil jarak terhadap hal-hal yang materialistis. Inilah yang disebut dengan sepi ing pamrih. Orang yang sudah mendapatkan pemudaran, tidak terikat oleh rasa suka atau tidak suka, tidak ada rasa takut, satu-satunya rasa suka yang sah adalah rasa bersatu dengan Tuhan (Pamoring/Manunggaling Kawula-Gusti). Keadaan pemudaran (pembebasan) tersebut juga disebut keadaan hening-hening, suatu ketenangan yang telah mapan, mati sajroning urip, laya-layap ing ngaluyup (mati di tengah-tengah kehidupan).
Laku tapa dilaksanakan melalui proses distansi (mengambil jarak terhadap kenyataan materiil), untuk dapat berkonsentrasi (pemusatan batin), agar dapat mencapai kenyataan yang lebih tinggi atau lebih luhur, yaitu pemudaran atau pembebasan (manunggaling kawula-gusti); yang selanjutnya akan di-representasi-kan dengan memayu hayuning bawana (tugas sosial dalam kehidupan masyarakat). Memayu hayuning bawana dapat diartikan sebagai: (1) menghiasi atau meperindah (ayu = indah, cantik) dunia, dan (2) mengusahakan keselamatan (rahayu) dunia.
Dalam pengertian yang pertama, dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan orang Jawa, dunia atau bawana itu tetap tidak dapat berubah, tetapi diperindah oleh cahaya keindahan yang dipancarkan oleh manusia yang telah mencapai kesempurnaan (pemudaran, kebebasan). Seperti bumi yang disinari dengan terang bulan purnama, kelihatan lebih indah, tetapi sesungguhnya bumi itu sendiri tidak berubah. Manusia yang telah sampai pada tingkat pemudaran berfungsi seperti sinar terang bulan purnama terhadap dunia sekelilingnya.
Dalam pengertian yang kedua, dapat dijelaskan bahwa mengusahakan keselamatan dunia menurut konsep pemikiran orang Jawa memang tidak mengubah dunia, karena dunia memang tidak dapat dirubah. Orang Jawa tidak ingin mengubah dunia, melainkan menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan serta keharmonisan dunia. Tugas dan kewajiban moral orang Jawa adalah mencapai kesempurnaan batin atau pemudaran diri (jagad cilik, mikro kosmos) untuk membangun atau sebagai syarat keselarasan dunia (jagad gede, makro kosmos). Hal itu dapat dicapai melalui sikap hidup sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (kerja keras tanpa pamrih mengusahakan keselamatan dunia). Keselamatan rasionalisme, seimbang dan harmonis. Menarik untuk diingat bahwa ketidak-tertiban manusia (jagad cilik) dapat membahayakan dunia atau bawana (jagad gede). Dengan demikian tepat bila dikatakan bahwa memayu hayuning bawana diartikan sebagai “mengusahakan keselamatan dunia”.
Laku tapa (lelana brata, nglakoni, prihatin), termasuk di dalamnya: berpuasa, adalah cara-cara orang Jawa untuk memusatkan kesaktian (kesakten) atau kekuatan semesta alam menjadi sakti (sekti). Kesaktian akan menjadi luntur dan hilang bila oran mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan pribadi, yang disebut pamrih.
Laku tapa juga sebagai upaya mencapai kesempurnaan urip sajroning mati; layap-layap ing nglayup, di mana orang telah menyadari tentang dirinya, bersatu dengan Tuhan.persatuan diri dengan Tuhan, digambarkan sebagai: makro kosmos termuat dalam mikro kosmos; curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, kodok kinemulan ing leng, kodok ngemuli lenge; sotya manjing embanan; Kang Paring Gasang dimuat oleh kita yang dimuat-Nya (Ajaran mistik).
Laku tapa berguna bagi kontrol terhadap nafsu dan pamrih yang keduanya dapat mengancam keselarasan hidup. Tapa yang berat/keras tidak dianjurkan kepada khalayak ramai, melainkan hanya bagi mereka yang memiliki kekuatan batin istimewa. Bagi orang biasa, hanya berpegang pada prinsip: “jangan berhenti bekerja sebelum capai, jangan makan sebelum lapar”.
Nafsu manusia dirumuskan dalam malima (lima M), yaitu: madat, madon, minum, mangan dan main; sedang pamrih dirumuskan dalam 3 dewe, yaitu: menange dewe, benere dewe dan butuhe dewe. Pamrih tersebut dapat menimbulkan sikap aji mumpung dan dumeh; maka ada ungkapan yang mengingatkan: aja dumeh.
Beberapa ungkapan dalam ajaran moral Jawa yang bernilai luhur antara lain: eling (ingat akan asalnya: Allah), waspada (mawas diri), percaya (percaya pada bimbingan Tuhan), mituhu (taat pada Allah), jagad ora mung sagodong kelor (optimis). Ciri khas kematangan moral orang Jawa antara lain: sabar, narima, rila, legawa, digawe gampang ya gampang, digawe angel ya angel, jujur, temen, prasaja, andapasor, tepa salira, ngono ya ngono ning aja ngono. Budi luhur tersebut juga diterapkan untuk orang lain, maka timbul ungkapan: mangan ora mangan yen kumpul, ana sethitik didum sethitik ana akeh didum akeh. Budi luhur (keutamaan) tersebut bertentangan dengan sifat-sifat yang harus dihindari, yaitu: dahwen (gemar mencela), open (suka memperhatikan kejelekan orang lain) dengki (berbudi rendah), srei (iri), jail (suka main intrik), methakil (kekerasan, licik). Orang Jawa yang belum matang/dewasa secara moral, disebut sebagai durung Jawa atau ora Jawa, atau ora/durung ngerti. Mereka itu masih banyak belum mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebut durung dadi wong. Mereka yang sudah dewasa, tahu menempatkan diri, dapat memenuhi tugas/kewajibannya, disebut wis dadi wong, dan mereka akan dihargai/dihormati (diwongake).
Dua prinsip hidup atau kaidah dasar dalam kehidupan orang Jawa adalah: rukun dan hormat. Berikut ini masing-masing dijelaskan lebih lanjut.
Prinsip rukun
Prinsip rukun atau kerukunan tidak menimbulkan konflik secara terbuka, untuk menciptakan dan mempertahankan keharmonisan. Rukun berarti tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu saling membantu, dalam suasana tenang dan tentram, tidak mengganggu keharmonisan, mempertahankan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Prinsip rukun juga ditunjukkan dari sikap: (a) tidak mau ambil putusan dan menanggung resiko sendiri, (b) penyelesaian segala persoalan dalam semangat kekeluargaan, penyelesaian masalah secara hukum baru ditempuh setelah cara kekeluaragaan menemui jalan buntu, atau sebagai upaya terakhir, (c) memberi bantuan sanak-saudara, baik sebagai keluarga dekat maupun jauh, (dan) perlakuan terhadap orang lain seperti saudara/keluarga sendiri, dengan menggunakan sebutan yang akrab, seperti: bapak, ibu, mbah, eyang, pakde, paklik, bude, bulik, mas, mbakyu, dik dan seterusnya.
Prinsip kerukunan juga tercermin dalam praktik dan sikap: gotong-royong musyawarah untuk mufakat, dalam hal itu kebenaran ada pada kelompok, bukan pada orang-perorang, bukan pada pimpinan dan bukan pada luar kelompok. Kerukunan dalam hal ini termasuk prinsip pranata masyarakat, bukan prinsip moral, artinya orang hanya terikat secara lahir, sedang secara batin tetap bebas untuk berbeda pendapat. Maka sikap rukun tidak berarti tenggelamnya individu dalam kolektif, tidak berarti bahwa orang kehilangan hak-haknya.
Dengan sikap rukun orang Jawa tidak melepaskan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi ditinggalkan pada waktu orang menjalani laku tapa dan telah mencapai kesadaran tingkat tinggi (pemudaran, pembebasan, manunggaling kawula-gusti). Prinsip rukun tidak berarti pengorbanan diri, karena pada saatnya masing-masing pribadi akan mendapat keuntungan dari sikap rukun tersebut. Dengan demikian prinsip kerukunan orang Jawa tidak sama dengan ajaran kolektivitas komunis yang tidak mengakui hak milik, yang disebut persaudaraan universal.
Disamping hal yang positif, kerukunan dalam perspektif Jawa juga menimbulkan hal-hal yang kurang positif, seperti :
a) Sikap rukun tersebut hanya sekedar untuk menghindari konflik terbuka, sehingga rukun tidak merupakan sikap batin (keadaan kejiwaan) melainkan sekedar penampilan, untuk menjaga keharmonisan (harmonious social appearances): sementara konflik batin, di belakang layar masih tetap terjadi.
b) Orang lebih baik tidak berbuat sesuatu daripada menimbulkan konflik, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tetapi rasa ingin tahu tentang urusan orang lain begitu besar, dan dibicarakan di balik layar (ngrasani).
c) Prakarsa pribadi tidak penting, harus maju bersama kelompok.
d) Tidak berterus terang, kurang terbuka: jawaban yang paling tepat adalah “yaitu” (nggih), tidak baik menjawab “tidak” (mboten).
e) Orang Jawa terbiasa dengan berbuat semu (ethok-ethok). Tatakrama merupakan sarana terbaik dalam membina kerukunan. Tatakrama diciptakan untuk mengatur sikap dan perbuatan, agar masing-masing melewati jalur yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak terjadi tabrakan (konflik).
Prinsip hormat
Sikap hormat diatur secara hirarkis sesuai dengan fungsi, derajat dan kedudukannya. Antar keluarga, hirarki tersebut ditentukan berdasar keturunan; antara sesama ditentukan oleh usia dan derajat kepangkatan. Hirarki tersebut akan menentukan jenis kata dan bahasa yang dipergunakan (krama inggil, krama madya, krama andap dan ngoko). Dengan demikian setiap orang dituntut untuk tahu menempatkan dan membawakan dirinya. Keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keharmonisan akan tercapai apabila masing-masing tahu menempatkan dan membawakan dirinya, yaitu juga disebut dengan tahu tatakrama.
Sikap hormat yang ditata secara hirarkis tersebut menimbulkan tanggung jawab moral bagi yang berposisi lebih tinggi (orangtua, sesepuh, pinisepuh, pejabat atau pimpinan). Mereka dituntut untuk berperan sebagai panutan. Adalah cela besar bila panutan ternyata tidak dapat atau tidak pantas untuk dianut (tuwa tuwas). Keteladanan merupakan hal yang prinsipial dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panutan merupakan prinsip hormat yang berlaku bagi yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Jadi sebenarnya prinsip hormat tidak terbatas kepada atasan (wong gede), tetapi juga kepada bawahan (wong cilik).
Seperti halnya dengan sikap rukun, sikap hormat dalam perspektif orang Jawa bukan merupakan sikap batin. Menghormat tidak berarti tunduk atas segala perintah. Orang bisa tetap hormat walaupun tidak setuju dan tidak melaksanakan perintahnya.

C. Penutup
1. Simpulan
Dalam konteks perlunya melakukan upaya pembinaan moral dalan konteks filsafat Jawa maka diperlukan adanya upaya yang sinergis dari seluruh stakeholders. Pandangan seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana, sabar, narima, rila, legawa, jujur, temen, prasaja, andapasor, dan tepa salira, merupakan perilaku positif yang bisa dikembangkan untuk mengadakan pembinaan moral secara mikro dan makro.
Pada akhirnya penumbuhkembangan nilai-nilai dalam pendidikan tidak terlepas dari upaya melakukan ritual yang bermuara pada Filsafat Jawa. Sekalipun pada masa kini ada kecenderungan yang cukup mencemaskan bahwa perilaku yang njawani hanya dipergunakan sebagai lip service atau bahkan hanya moralisme saja, agaknya perilaku yang njawani masih juga merupakan salah satu laku utama yang diharapkan oleh masyarakat.

2. Saran
Apapun format dan desainnya, potret pendidikan kita perlu berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang merupakan refleksi Filsafat Jawa. Perilaku yang njawani merupakan conditio sine qua non manakala stakeholders pendidikan di negeri ini membincangkan pendidikan baik pendidikan konteks makro maupun mikro. Hanya saja, memang diperlukan uraian laku dan patrap yang jelas, supaya perilaku yang njawani dapat menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri yang pluralis dan holistik (Trimo).

PUSTAKA ACUAN:


Barnadib, Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan (Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiningsih, C Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta:Rinika Cipta
Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Satmoko, Retno Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Tauhid. 2002. Fasilitator. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional





PEMBINAAN MORAL DALAM KAJIAN FILSAFAT JAWA
(Sebuah Tinjauan Fenomenologis Moral dalam Perilaku Njawani)

Oleh
Ib Arjana

A. Pengantar
Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagi makhuk individu, sebagi makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada dibumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.
Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bagsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil dengan baik.
Namun masalah-masalah moral yang terjadi sekarang ini jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan masalah-masalah moral yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap moral yang tepat, studi di bidang moral dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi itu belum cukup menjamin terjadinya perilaku moral yang tepat. Studi tentang moral tidak bersifat teknis melainkan refeksi, yaitu suatu refleksi tentang tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Moral dapat dikaji secara kognitif sebagai penalaran moral, dapat juga dari aspek perasaan moral, dan dapat huga dari perilaku atau tindakan moral. Ketiga aspek tersebut terintegrasi dalam diri seseorang dan membentuk kematangan moralitas orang tersebut. Maka objek kajian tentang moralitas ini langsung berkaitan dengan praktik kehidupan manusia.
Dari bingkai filsafat, pentingnya nilai dekat dengan teri Revitalisasi Budaya yang melahirkan esensialisme dan perenialisme. Esensialisme menghendaki agar pendidikan bersendikan atas norma dan nilai yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan perenialisme bersendikan atas penggunaan kesenian bebas sebagai modal dasarnya. Unsur-unsur budaya yang telah berabad-abad usianya dipandang sebagai vitalitas yang mantap sebagai landasan menemukan perubahan dan kemajuan pada zaman sekarang (Barnadib, 1996:40).
Dalam konteks yang aplikatif, norma dan nilai seperti termaktub dalam esensialisme dapat dipersonifikasikan dengan norma dan nilai luhur Pancasila. Norma dan nilai luhur, seperti: ketuhanan, persatuan dan kesatuan, rela berkorban, kebenaran dan keadilan, kebersamaan, keberagaman, cinta tanah air, dan sebagainya dapat dijadikan “modal dasar” dalam menyelesaikan krisis yang melanda Indonesia.
Selebihnya penumbuhkembangan norma dan nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan wujud internalisasi dari hakikat manusia, sebagai makhluk berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Keempat dimensi manusia itu dalam pendidikan harus dikembangkan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang agar dapat terbentuk kepribadian manusia yang utuh (Satmoko, 2000:18).
Berdasarkan uraian di atas maka persoalan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: bagaimana melakukan pembinaan moral dalam kajian filsafat Jawa?

B. Pembahasan
1. Pembinaan Moral dan Penalaran Moral
Menurut Lillie dalam Budiningsih, (2004:24), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Moral juga diartikan sebagai hal-hal yang berhungan dengan nilai-nilai susila. Sedangkan Baron, dkk dalam Budiningsih, (2004:24) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Suseno (1987:18) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tinsdakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.
Kohlberg dalam Budiningsih (2004:25) tidak memusatkan perhatian pada perilaku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatanya. Ia menjadikan penalaran moralnya sebagai pusat kajiannya.dikatakan bahwa mengamati perilaku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan moral. Seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perilakunya sama., tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercemin dalam perilaku mereka.
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral judgement,sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian yang sama dan digunakan secara bergantian. Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi penalaran moral Setiono dalam Budiningsih, (2004:25). Penalaran moral mereka lah yang mencerminkan perbedaan kematangan moral tersebut.
Moral dapat diartikan sebagai keseluruan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kerlompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematik dalam etika, filsafat moral, dan teknologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagi makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhluk individu, sebagi makhluk sosial, dan sebagai makhluk yang berpribadi, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak yang mulia. Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bangsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil, dan sustainable (Tauhid, 2002:19).
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan di lakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehinga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan ( statement ) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah,. Alasanya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan mengatakan sesuatu yang sama, maka disini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikanya terhadap sesuatu hal yang benar atau salah.
Penalaran moral dipandang sebagai struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg dalam Budiningsih, 2004:25) Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahab kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya.
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akn sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penalaran moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat di identifikasi tingkat perkembangan moralnya.
Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui prose perkembangan dan cara-cara membantu mengembangkan moral tersebut.
Piaget dan Kohlberg 1980 dalam Budiningsih, (2004:26) telah mengadakan studi dalam proses perkembangan moral. Mereka lebih memusatkan penyelididkan pada pola-pola sturtur penelaran manusia dalam mengadakan keputusan moral dari pada penyelidikan tingkah laku. Kedua tokoh tersebut telah menyusun peta lengkap mengenai bagaimana individu-individu berkembang secara moral. Mereka telah mengembangkan teori-teori perkembangan moral yang dengan jelas memperlihatkan tahap-tahap mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral.
Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahp mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral. Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahap perkembangan moral dan perincian prosedur untuk menentukan siapa-siapa yang ada pada tahap-tahap itu. Dengan demikian teori-teori mereka memberikan sutu alat pendidikan yang tidak tenilai harganya, karena sudah menjadi aksioma dalam pendidikan bahwa pendidikan akan mencapai hasil yang paling efektif kalau orang menyapa pada siswanya pada tahap yang sejajar dengan kemampuan belajar mereka. Program-program pendidikan moral yang disusun tanpa mengetahui tahap perkembangan anak (karakteristik siswa) tidak akan berhasil.
Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:27) mengembangkan alat sistematis untuk mengungkap penalaran-penalaran itu dengan mengembangkan sekumpulan cerita, yang memasukkan orang atau orang-orang kedalam suatu dilema moral. Kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan mengenai dilema-dilema tersebut, yang dimaksudkan untuk menjajaki penalaran-penalaran subjek yang bersangkutan, apakan alasannya maka ia akan melakukan tindakan tertentu dalam situasi seperti itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa moral adalah keseluruhan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan. Sedangkan penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan yaitu: (1) tingkatan pra moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dalam Budiningsih, (2004:28) dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu: (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahaun, (3) tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.
Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat terbalik (irreversible) yaitu bahwa suatu tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan dibawahnya Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28). Misalnya, seseorang yang telah berada pada tahap –5 tidak akan kembali pada tahap –3 atau tahap –4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu gerak maju dari tahap –1 sampai tahap-6, dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral. Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg yang disarikan oleh Hardiman (1987) dalam Budiningsih, (2004:29) sebagai berikut:
a. Tingkatan Pra-Konvensional
Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistik). Tingkat ini di bagi 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap pengusa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2: Orientasi instrumentalistik. Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain. Hubungan antara manusia di pandang seperti hubungan dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip tindakan dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prisip kesalingan adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seseorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan doniman adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kerukunan atau orientasi good boy – nice girl. Pada tahap ini orang perpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagi “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.
Tahap 2: Orientasi ketertiban masyarakat. Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjada tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.
c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagi subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa beralah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani . tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kontrak sosial. Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang lain menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yng jelas untuk mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 2: Orientasi prinsip etis universal. Paad tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputuan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya; cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri, dan kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Melihat tahap-tahap dan orientasi tiap tahap tersebut tampak bahwa seseorang tetap mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan kesalingan, hanya saja konkretisasinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masing-masing tahap. Menurut kohlberg perkembangan penalaran moral ini berlangsung setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peranan pendidik adalah menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi seseorang untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. Seorang terutama memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapnya sekarang dan ia mempunyai peluag untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang pernah dilampauinya.
Menurut kohlberg dalam Budiningsih, (2004:32) perkembangan ini tidak ditentukan oleh usia. Dalam penelitiannya, lebih dari 50% respondennya (orang dewasa) masih ada pada tahap konvensional Hardiman, (1987) dalam Budiningsih, (2004:32). Kecepatan perkembangannya pun beragam. Satu faktor penting dalam perkembangan penlaran moral adalah faktor kognitif, terutama dalam berpikir abstrak dan luas.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahap-tahap penalaran moral di atas penulis berpendapat bahwa terdapat sejumlah tahap perkembangan penalaran moral yang dicirikan sebagai pola struktur pemikiran formal, terlepas dari isinya. Ada perbedaan kualitatif pada masing-masing strukturnya, atau cara berpikir yang berbeda yang mempunyai fungsi dasar dalam proses perkembangan. Semua struktur yang berbeda ini membentuk urutan tetap dan konsisten dalam proses perkembangan moral.
Piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional formal berkembang, maka Kohlberg secara sejajar menunjukkan juga bahwa pada masa remaja dapat dicapai tahap tertinggi penalaran moral yaitu prinsip keadilan yang universal. Dengan demikian seluruh tahap perkembangan penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg dapat diajarkan pada remaja.


3. Membentuk Moral dalam Filsafat Jawa
Pemakaian istilah “filsafat Jawa” kurang popular, barang kali juga kurang tepat, lebih tepat bila disebut dengan falsafah Jawa atau Kejawen. Falsafah berbeda dari filsafat. Falsafah merupakan suatu pandangan hidup, pandangan dunia, lebih mendekati pada pengertian ideologi; sedang filsafat termasuk dalam kawasan ilmu pengetahuan. Kejawen juga dibedakan dari kejawaan. Kalau kejawen merupakan suatu bentuk “kata benda”, berupa ajaran Jawa; sementara kejawaan merupakan suatu bentuk “kata kerja” dan sekaligus “kata sifat”, yaitu tingkah laku kongkrit orang jawa, sebagai orang jawa. Kesesuaian kejawen dengan kejawaan dalam sikap hidup dan tingkah laku orang jawa, disebut njaweni; sebaliknya ketidak-sesuaian sikap hidup dan tingkah laku orang jawa (kejawaan) dengan ajaran atau falsafah jawa (kejawen), dikatakan sebagai ora njaweni (tidak sebagaimana mestinya orang jawa).
Kekaburan nilai, merupakan hal yang sangat mengganggu sekali dalam proses pendidikan. Hal ini lantaran nilai merupakan bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dan sikap hidup itulah, sering disebut mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannnya pada masyarakat (Mulder, 1973).
Dalam pembicaraan ini perbedaan dalam pemakaian istilah filsafat dan falsafah diabaikan, pemakaian istilah “filsafat jawa” dipertahankan dengan meletakkannya diantara tanda kutip; untuk menjaga konsistensi dengan pembicaraan sebelumnya (filsafat India, filsafat Cina).
“Filsafat Jawa” mempunyai ciri-ciri umum yang banyak persamaannya dengan filsafat India maupun Cina. Orang Jawa juga merasakan kefanaan dunia ini dan merindukan kepada baka. Dengan demikian mereka berupaya untuk menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Alam pemikiran Jawa bersifat religius. “Filsafat Jawa” lebih menyerupai ngelmu, suatu aktivitas batin, hasil dari perenungan, daripada ilmu, yang mencari kebenaran dengan metode tertentu.
Sikap orang Jawa lebih bersifat subyektif, menekankan pada perasaan, menyatukan diri dengan alam semesta, lebih terbuka bagi realitas ajaib yang mengatasi segala-galanya. Kehidupan orang Jawa dipenuhi dengan berbagai upacara ritual, yang disebut slametan. Dalam pandangan Jawa, manusia adalah dunia kecil (mikro kosmos) yang merupakan cerminan dari semesta alam (makro kosmos). Manusia dan dunia merupakan satu kesatuan yang harus selalu dijaga keharmonisannya.
“Filsafat Jawa” tidak mengejar kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat berkembang sejauh tidak mengganggu keseimbangan atau keharmonisan semesta alam. Perkembangan ilmu pengetahuan justru terjadi karena upaya untuk mencari keseimbangan tersebut. Oleh karena itu “filsafat Jawa” mengajarkan bagaimana sikap manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. “Filsafat Jawa” menitik-beratkan pada kualitas moral (etika).
“Filsafat Jawa” memandang Tuhan sebagai suatu kekuatan di atas manusia, yang mengatasi manusia, yang menguasai segala sesuatu; yang tidak dapat dikuasai oleh manusia. Oleh karena itu orang Jawa menganggap semua yang berada di atasnya, yang berasal dari atas, adalah Tuhan atau wakil/manifestasi dari Tuhan. Raja adalah wakil/penjelmaan Tuhan di dunia (paham dewaraja). Memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai sarana yang dapat membebaskan manusia. Manusia harus menjalani kewajiban terhadap penguasa sebagai kewajiban berbakti (kebaktian). Bawahan tidak boleh menentang penguasa, sekalipun penguasa telah melanggar norma-norma. Sifat kebaktian terhadap penguasa yang tidak bersifat kritis tersebut mnyuburkan kehidupan feodalis-kolonialis.
Dari uraian tentang ciri-ciri umum “filsafat Jawa” tersebut di atas, dapat disimpulkan tiga pokok pembicaraan dalam “filsafat Jawa” yaitu “ (1) pandangan hidup orang Jawa, (2) sikap hidup orang Jawa, dan (3) prinsip hidup orang Jawa. Berikut ini ketiganya dibicarakan lebih lanjut.
Pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) berdasarkan keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah satu; merupakan satu kesatuan hidup. Menurut pandangan orang Jawa tidak mungkin memisahkan unsur-unsur sakral (yang suci) dari yang profane.
Hidup manusia diselaraskan dengan alam raya (kosmos, alam semesta), yang diatur secara hirarkis. Menjaga keselarasan, keserasian dan keharmonisan dengan tata tertib universal merupakan suatu tugas moral. Kelakuan antara manusia diatur dengan tatakrama (Jawa: etiket); keselarasan dalam masyarkat diatur dengan kaidah-kaidah adat; keselarasan dengan alam atas diatur dengan peraturan dan praktik agama atau keyakinan; dorongan dan emosi pribadi diatur dengan kaidah/norma moral yang menekankan pada sikap: sabar, narima, eling, waspada, andap-asor dan prasaja.
Untuk menjaga keseimbangan semestas alam (alam raya, kosmos), manusia tidak ingin menaklukan atau menguasai alam, tidak ingin merubah alam, melainkan menyatukan diri dengan alam dan menghindari nafsu-nafsu materialistis. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengubah kodrat alam dan kodrat manusia itu sendiri. Perkembangan dan kemajuan pada dasarnya usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan selaras. Teknik, pendidikan, semuanya baik, tetapi intelektualisme dianggap mengandung bahaya, karena intelektulisme memperkuat individualisme dan individualisme dapat mengganggu keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan. Investasi mental merupakan suatu bagian dari setiap perkembangan, kemajuan dan perkembangan. Namun demikian tidak boleh mengganggu/merugikan keseimbangan, keserasian, keselarasan dan keharmonisan. Ilmu hendaklah bersifat sosial dan menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dan alam.
Inti dari pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) adalah kebatinan. Kebatinan menjadi gaya hidup orang Jawa; gaya hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap alam raya, pengetahuan mengenai alam raya bertujuan menjalin hubungan langsung dengan Tuhan, sebagai ekspresi hidup keagamaan yang luhur. Aliran kebatinan merupakan perguruan yang ideal, tempat belajar mencari jalan menuju persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Aliran kebatinan merupakan mistik Jawa.
Kaidah pokok dalam masyarakat Jawa adalah “tidak merugikan orang lain”, menghormati keselarasan sosial dengan menghormati orangtua, guru atau raja, sebagai langkah awal menuju persatuan dengan Tuhan. Syarat utama bagi keselarasan itu adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Konsep-konsep sentral dari cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa adalah: seremonial (upacara), formal (bentuk), simbolik (lambang-lambang), kosmologis, statis dan teratur.
Kehidupan orang Jawa ditempuh melalui berbagai macam upacara, baik yang bersifat pribadi, keluarga, maupun kelompok masyarakat; dari upacara kelahiran, kehidupan sosial, hingga kematian. Untuk peristiwa kelahiran ada upacara: brokohan, sepasaran, selapanan, setahunan, wetonan, tanggap warsa (ulang tahun), dan sewindunan. Dalam kehidupan sosial dikenal upacara supitan, tetesan (sunat), mantenan(pernikahan), omah dewe (menempati rumah sendiri pisah dengan orangtua). Dalam peristiwa kematian ada upacara: bedah kubur, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (satu tahun), pendak pindo (dua tahun), seribu hari, tumbuk warsa. Dalam kehidupan bersama juga ada berbagai upacara, antara lain: sadranan (upacara srada), bersih desa, syukuran, dan lain-lain. Inti dari semua upacara tersebut adalah selamatan (slametan), upaya memperoleh keselamatan.
Bagi orang Jawa, segala sesuatu diwujudkan dalam bentuk formal, dan dalam hal itu lambang-lambang berperan penting. Bentuk atau forma lebih penting, walaupun sering tanpa isi. Bentuk itu menentukan isi, sama dengan isi. Lambang telah dianggap sebagai kenyataan. Segala sesuatu dianggap sah, beres, selesai, bila telah ada secara formalitas; sekalipun hanya berupa pralambang. Orang Jawa tidak memperhatikan waktu, yang lebih diperhatikan adalah bentuk dari waktu itu, misalnya: usia tua dihormati, peringatan-peringatan pegang peran utama, dianggap sebagai kenyataan dari yang diperingati, tentang isinya tidak diperhatikan. Upacara bentuk yang menjadi-sah-kan.
Pandangan orang Jawa bersifat kosmologis, bahwa manusia, dan segala sesuatunya, merupakan bagian dari kosmo (alam raya, semesta alam) yang telah ada secara tetap (statis) dan teratur. Oleh karena itu segala sesuatu harus terpola secara tetap dan teratur. (Hal inilah yang memungkinkan dan mempermudah berlakunya sistem feodal dan kolonial). Orang Jawa tidak membenarkan adanya konflik atau beda pendapat, karena hal itu dapat menimbulkan ketidakteraturan, mengganggu yang sudah mapan. Dalam pemikiran orang Jawa tidak ada pendapat yang salah, maka merasa terhina bila disalahkan. Setiap pendapat memiliki kebenaran. Hal ini menjadi dasar toleransi dan praktik musyawarah bagi orang Jawa.
Sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup. Sikap hidup dipengaruhi oleh adat, agama, latar belakang kebudayaan, dan watak suatu bangsa. Orang yang berbeda pandangan hidupnya terhadap Tuhan, dapat sama sikap hidupnya. Sikap hidup orang Jawa dapat dipelajari, antara lain lewat kebatinan dan sastra Jawa karya para pujangga.
Kebatinan
Kebatinan atau mistik Jawa, merupakan salah satu bentuk bahkan pandangan dasar dari Javanisme. Hampir semua orang Jawa diliputi oleh suasana mistik. Ada tiga ciri sikap hidup orang Jawa, yaitu:
a) Distansi (spiritualisme), yaitu sikap mengambil jarak terhadap hal-hal yang duniawi, atau terhadap kenyataan materiil, dengan maksud agar dapat menguasai kenyataan tersebut, dan dapat mencapai kenyataan (realitas) yang lebih tinggi. Distansi ini tampak dalam sikap hidup: rila, sabar, narima, sepi ing pamrih rame ing gawe.
b) Konsentrasi (sakralitas), yaitu mencari kenyataan lain yang lebih luhur di dalam batin manusia. Hal ini tampak dalm konsep-konsep: tapa (bertapa, askese), pemudaran (pembebasan), nyegah hawa nafsu, mati sajroning urip, hening-hening (bandingkan dengan Samadhi dalam Buddhisme!).
c) Reperesentasi (perwakilan, moralitas), yaitu sikap setelah pemurnian batin melalui distansi dan konsentrasi, kembali ke “dunia” sebagai utusan Allah (Khalifu’llah). Representasi terwujud dalam cara hidup memayu hayuning bawana, yang dapat digambarkan seperti bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah, tetapi dari dirinya sendiri tetap gelap.
Konsentrasi mencakup dua cara, yaitu (1) bertapa (askese) yang merupakan jalan, dan (2) pemudaran atau kebebasan, yang merupakan hasil dari konsentrasi. Konsentrasi tersebut dapat dikacaukan oleh nafsu, utamanya nafsu egosentris, atau egoistis. Dengan bertapa kekuatan jasmani diperlemah, orang menjadi lebih sadar akan kerelatifan dirinya. Dengan demikian perasaan dan sikapnya terhadap sesama manusia akan berubah menjadi lebih baik. Ada dua aliran, berkaitan dengan bertapa.
Pertama, tapa dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat, di tengah-tengah hutan, di gua-gua, di puncak gunung atau tempat-tempat sepi yang lain. Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa orang yang suci, mencapai kesempurnaan lahir dan batin,yang dekat atau menyatu dengan Tuhan, adalah orang yang tidak makan, tidak tidur dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Aliran ini lebih bersifat individualistis (bandingkan dengan aliran Hinayana dalam Buddhisme, yang berarti “Kendaraan Kecil”!).
Kedua, aliran yang berpendapat bahwa tapa perlu dikaitkan dengan makna sosial. Orang tidak boleh mengasingkan diri dari masyarkat. Tapa yang dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat berarti mengusahakan kesempurnaan diri secara egosentris, dapat memperkuat individualisis. Bagi aliran kedua ini melakukan tapa tidak boleh melalaikan tugas atau kewajiban sosialnya (tapa ngrame). Hal inilah yang dilakukan antara lain oleh Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), salah satu aliran kebatinan di Jawa. Aliran kedua ini lebih bersifat sosial. (Bandingkan dengan aliran Mahayana dalam Buddhisme, yang artinya “Kendaraan Besar!)
Pemudaran, merupakan produk dari konsentrasi, yang telah dijalani dengan betapa (laku tapa), adalah suatu kebebasan batin. Pemudaran tidak diartikan sebagai meninggalkan dunia, melainkan tidak terkait atau tidak lekat (lengket) dengan dunia. Orang mengambil jarak terhadap hal-hal yang materialistis. Inilah yang disebut dengan sepi ing pamrih. Orang yang sudah mendapatkan pemudaran, tidak terikat oleh rasa suka atau tidak suka, tidak ada rasa takut, satu-satunya rasa suka yang sah adalah rasa bersatu dengan Tuhan (Pamoring/Manunggaling Kawula-Gusti). Keadaan pemudaran (pembebasan) tersebut juga disebut keadaan hening-hening, suatu ketenangan yang telah mapan, mati sajroning urip, laya-layap ing ngaluyup (mati di tengah-tengah kehidupan).
Laku tapa dilaksanakan melalui proses distansi (mengambil jarak terhadap kenyataan materiil), untuk dapat berkonsentrasi (pemusatan batin), agar dapat mencapai kenyataan yang lebih tinggi atau lebih luhur, yaitu pemudaran atau pembebasan (manunggaling kawula-gusti); yang selanjutnya akan di-representasi-kan dengan memayu hayuning bawana (tugas sosial dalam kehidupan masyarakat). Memayu hayuning bawana dapat diartikan sebagai: (1) menghiasi atau meperindah (ayu = indah, cantik) dunia, dan (2) mengusahakan keselamatan (rahayu) dunia.
Dalam pengertian yang pertama, dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan orang Jawa, dunia atau bawana itu tetap tidak dapat berubah, tetapi diperindah oleh cahaya keindahan yang dipancarkan oleh manusia yang telah mencapai kesempurnaan (pemudaran, kebebasan). Seperti bumi yang disinari dengan terang bulan purnama, kelihatan lebih indah, tetapi sesungguhnya bumi itu sendiri tidak berubah. Manusia yang telah sampai pada tingkat pemudaran berfungsi seperti sinar terang bulan purnama terhadap dunia sekelilingnya.
Dalam pengertian yang kedua, dapat dijelaskan bahwa mengusahakan keselamatan dunia menurut konsep pemikiran orang Jawa memang tidak mengubah dunia, karena dunia memang tidak dapat dirubah. Orang Jawa tidak ingin mengubah dunia, melainkan menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan serta keharmonisan dunia. Tugas dan kewajiban moral orang Jawa adalah mencapai kesempurnaan batin atau pemudaran diri (jagad cilik, mikro kosmos) untuk membangun atau sebagai syarat keselarasan dunia (jagad gede, makro kosmos). Hal itu dapat dicapai melalui sikap hidup sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (kerja keras tanpa pamrih mengusahakan keselamatan dunia). Keselamatan rasionalisme, seimbang dan harmonis. Menarik untuk diingat bahwa ketidak-tertiban manusia (jagad cilik) dapat membahayakan dunia atau bawana (jagad gede). Dengan demikian tepat bila dikatakan bahwa memayu hayuning bawana diartikan sebagai “mengusahakan keselamatan dunia”.
Laku tapa (lelana brata, nglakoni, prihatin), termasuk di dalamnya: berpuasa, adalah cara-cara orang Jawa untuk memusatkan kesaktian (kesakten) atau kekuatan semesta alam menjadi sakti (sekti). Kesaktian akan menjadi luntur dan hilang bila oran mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan pribadi, yang disebut pamrih.
Laku tapa juga sebagai upaya mencapai kesempurnaan urip sajroning mati; layap-layap ing nglayup, di mana orang telah menyadari tentang dirinya, bersatu dengan Tuhan.persatuan diri dengan Tuhan, digambarkan sebagai: makro kosmos termuat dalam mikro kosmos; curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, kodok kinemulan ing leng, kodok ngemuli lenge; sotya manjing embanan; Kang Paring Gasang dimuat oleh kita yang dimuat-Nya (Ajaran mistik).
Laku tapa berguna bagi kontrol terhadap nafsu dan pamrih yang keduanya dapat mengancam keselarasan hidup. Tapa yang berat/keras tidak dianjurkan kepada khalayak ramai, melainkan hanya bagi mereka yang memiliki kekuatan batin istimewa. Bagi orang biasa, hanya berpegang pada prinsip: “jangan berhenti bekerja sebelum capai, jangan makan sebelum lapar”.
Nafsu manusia dirumuskan dalam malima (lima M), yaitu: madat, madon, minum, mangan dan main; sedang pamrih dirumuskan dalam 3 dewe, yaitu: menange dewe, benere dewe dan butuhe dewe. Pamrih tersebut dapat menimbulkan sikap aji mumpung dan dumeh; maka ada ungkapan yang mengingatkan: aja dumeh.
Beberapa ungkapan dalam ajaran moral Jawa yang bernilai luhur antara lain: eling (ingat akan asalnya: Allah), waspada (mawas diri), percaya (percaya pada bimbingan Tuhan), mituhu (taat pada Allah), jagad ora mung sagodong kelor (optimis). Ciri khas kematangan moral orang Jawa antara lain: sabar, narima, rila, legawa, digawe gampang ya gampang, digawe angel ya angel, jujur, temen, prasaja, andapasor, tepa salira, ngono ya ngono ning aja ngono. Budi luhur tersebut juga diterapkan untuk orang lain, maka timbul ungkapan: mangan ora mangan yen kumpul, ana sethitik didum sethitik ana akeh didum akeh. Budi luhur (keutamaan) tersebut bertentangan dengan sifat-sifat yang harus dihindari, yaitu: dahwen (gemar mencela), open (suka memperhatikan kejelekan orang lain) dengki (berbudi rendah), srei (iri), jail (suka main intrik), methakil (kekerasan, licik). Orang Jawa yang belum matang/dewasa secara moral, disebut sebagai durung Jawa atau ora Jawa, atau ora/durung ngerti. Mereka itu masih banyak belum mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebut durung dadi wong. Mereka yang sudah dewasa, tahu menempatkan diri, dapat memenuhi tugas/kewajibannya, disebut wis dadi wong, dan mereka akan dihargai/dihormati (diwongake).
Dua prinsip hidup atau kaidah dasar dalam kehidupan orang Jawa adalah: rukun dan hormat. Berikut ini masing-masing dijelaskan lebih lanjut.
Prinsip rukun
Prinsip rukun atau kerukunan tidak menimbulkan konflik secara terbuka, untuk menciptakan dan mempertahankan keharmonisan. Rukun berarti tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu saling membantu, dalam suasana tenang dan tentram, tidak mengganggu keharmonisan, mempertahankan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Prinsip rukun juga ditunjukkan dari sikap: (a) tidak mau ambil putusan dan menanggung resiko sendiri, (b) penyelesaian segala persoalan dalam semangat kekeluargaan, penyelesaian masalah secara hukum baru ditempuh setelah cara kekeluaragaan menemui jalan buntu, atau sebagai upaya terakhir, (c) memberi bantuan sanak-saudara, baik sebagai keluarga dekat maupun jauh, (dan) perlakuan terhadap orang lain seperti saudara/keluarga sendiri, dengan menggunakan sebutan yang akrab, seperti: bapak, ibu, mbah, eyang, pakde, paklik, bude, bulik, mas, mbakyu, dik dan seterusnya.
Prinsip kerukunan juga tercermin dalam praktik dan sikap: gotong-royong musyawarah untuk mufakat, dalam hal itu kebenaran ada pada kelompok, bukan pada orang-perorang, bukan pada pimpinan dan bukan pada luar kelompok. Kerukunan dalam hal ini termasuk prinsip pranata masyarakat, bukan prinsip moral, artinya orang hanya terikat secara lahir, sedang secara batin tetap bebas untuk berbeda pendapat. Maka sikap rukun tidak berarti tenggelamnya individu dalam kolektif, tidak berarti bahwa orang kehilangan hak-haknya.
Dengan sikap rukun orang Jawa tidak melepaskan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi ditinggalkan pada waktu orang menjalani laku tapa dan telah mencapai kesadaran tingkat tinggi (pemudaran, pembebasan, manunggaling kawula-gusti). Prinsip rukun tidak berarti pengorbanan diri, karena pada saatnya masing-masing pribadi akan mendapat keuntungan dari sikap rukun tersebut. Dengan demikian prinsip kerukunan orang Jawa tidak sama dengan ajaran kolektivitas komunis yang tidak mengakui hak milik, yang disebut persaudaraan universal.
Disamping hal yang positif, kerukunan dalam perspektif Jawa juga menimbulkan hal-hal yang kurang positif, seperti :
a) Sikap rukun tersebut hanya sekedar untuk menghindari konflik terbuka, sehingga rukun tidak merupakan sikap batin (keadaan kejiwaan) melainkan sekedar penampilan, untuk menjaga keharmonisan (harmonious social appearances): sementara konflik batin, di belakang layar masih tetap terjadi.
b) Orang lebih baik tidak berbuat sesuatu daripada menimbulkan konflik, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tetapi rasa ingin tahu tentang urusan orang lain begitu besar, dan dibicarakan di balik layar (ngrasani).
c) Prakarsa pribadi tidak penting, harus maju bersama kelompok.
d) Tidak berterus terang, kurang terbuka: jawaban yang paling tepat adalah “yaitu” (nggih), tidak baik menjawab “tidak” (mboten).
e) Orang Jawa terbiasa dengan berbuat semu (ethok-ethok). Tatakrama merupakan sarana terbaik dalam membina kerukunan. Tatakrama diciptakan untuk mengatur sikap dan perbuatan, agar masing-masing melewati jalur yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak terjadi tabrakan (konflik).
Prinsip hormat
Sikap hormat diatur secara hirarkis sesuai dengan fungsi, derajat dan kedudukannya. Antar keluarga, hirarki tersebut ditentukan berdasar keturunan; antara sesama ditentukan oleh usia dan derajat kepangkatan. Hirarki tersebut akan menentukan jenis kata dan bahasa yang dipergunakan (krama inggil, krama madya, krama andap dan ngoko). Dengan demikian setiap orang dituntut untuk tahu menempatkan dan membawakan dirinya. Keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keharmonisan akan tercapai apabila masing-masing tahu menempatkan dan membawakan dirinya, yaitu juga disebut dengan tahu tatakrama.
Sikap hormat yang ditata secara hirarkis tersebut menimbulkan tanggung jawab moral bagi yang berposisi lebih tinggi (orangtua, sesepuh, pinisepuh, pejabat atau pimpinan). Mereka dituntut untuk berperan sebagai panutan. Adalah cela besar bila panutan ternyata tidak dapat atau tidak pantas untuk dianut (tuwa tuwas). Keteladanan merupakan hal yang prinsipial dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panutan merupakan prinsip hormat yang berlaku bagi yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Jadi sebenarnya prinsip hormat tidak terbatas kepada atasan (wong gede), tetapi juga kepada bawahan (wong cilik).
Seperti halnya dengan sikap rukun, sikap hormat dalam perspektif orang Jawa bukan merupakan sikap batin. Menghormat tidak berarti tunduk atas segala perintah. Orang bisa tetap hormat walaupun tidak setuju dan tidak melaksanakan perintahnya.

C. Penutup
1. Simpulan
Dalam konteks perlunya melakukan upaya pembinaan moral dalan konteks filsafat Jawa maka diperlukan adanya upaya yang sinergis dari seluruh stakeholders. Pandangan seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana, sabar, narima, rila, legawa, jujur, temen, prasaja, andapasor, dan tepa salira, merupakan perilaku positif yang bisa dikembangkan untuk mengadakan pembinaan moral secara mikro dan makro.
Pada akhirnya penumbuhkembangan nilai-nilai dalam pendidikan tidak terlepas dari upaya melakukan ritual yang bermuara pada Filsafat Jawa. Sekalipun pada masa kini ada kecenderungan yang cukup mencemaskan bahwa perilaku yang njawani hanya dipergunakan sebagai lip service atau bahkan hanya moralisme saja, agaknya perilaku yang njawani masih juga merupakan salah satu laku utama yang diharapkan oleh masyarakat.

2. Saran
Apapun format dan desainnya, potret pendidikan kita perlu berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang merupakan refleksi Filsafat Jawa. Perilaku yang njawani merupakan conditio sine qua non manakala stakeholders pendidikan di negeri ini membincangkan pendidikan baik pendidikan konteks makro maupun mikro. Hanya saja, memang diperlukan uraian laku dan patrap yang jelas, supaya perilaku yang njawani dapat menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri yang pluralis dan holistik (Trimo).

PUSTAKA ACUAN:


Barnadib, Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan (Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiningsih, C Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta:Rinika Cipta
Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Satmoko, Retno Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Tauhid. 2002. Fasilitator. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional




































Tidak ada komentar:

Posting Komentar