Jumat, 17 Desember 2010

PENDDIKAN DAN PEMBENTUKAN WATAK

A. PENDAHULUAN

Merujuk kepada pendapat para tokoh, pemimpin dan pakar pendidikan dunia yang menyepakati pembentukan karakter sebagai tujuan pendidikan, maka sejarah pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Namun dalam perjalanannya, pendidikan moral atau pendidikan karakter sempat tenggelam dan terlupakan dari dunia pendidikan, terutama sekolah.

Menurut analisis Thomas Lickona sebagai dirangkum oleh Howard, bangkitnya logika positivisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan. Begitu juga pemikiran relativitas moral dengan jargonnya semua nilai adalah relatif, berpengaruh terhadap terlupakannya pendidikan karakter.

Paham personalisme yang menyatakan setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun, dan meningkatnya paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-nilai siapakah yang diajarkan, semakin melengkapi alasan penolakan pendidikan karakter. Sementara itu, sekularisasi masyarakat telah menumbuhkan ketakutan untuk mengajarkan moralitas di sekolah karena khawatir dianggap sebagai pengajaran agama. Hal ini terutama banyak dialami oleh negara-negara maju tapi sekuler.

Selanjutnya Howard mencatat, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan. Namun di sekolah-sekolah publik, dukungan untuk pendidikan moral berkurang dan menyusut. Perubahan-perubahan ini seringkali berhubungan dengan dengan kejadian-kejadian bersejarah dan gerakan-gerakan politik. Adapun di Indonesia, sejarah pendidikan moral atau karakter dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship). Kewarganegaraan merupakan wujud loyalitas akhir dari setiap manusia modern.

Di Indonesia, dalam zaman pra-kemerdekaan, yang dikenal adalah pendidikan atau pengajaran budi pekerti yang menanamkan dalam peserta didik asas-asas moral, etika dan etiket yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Setelah Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah presiden Soekarno pada awal 1960-an pendidikan kewarganegaraan muncul dalam bentuk indoktrinasi. Kemudian semasa pemerintahan Orde baru yang dipimpin Soeharto, indoktrinasi itu berganti menjadi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bukan saja sebagai pelajaran wajib tetapi juga penataran wajib. Upaya pembentukan karakter bangsa melalui mata pelajaran berlabel Pancasila ini terus dilakukan dengan pendekatan indoktrinasi sampai pada awal tahun dasawarsa 90-an. Seiring dengan menggemanya reformasi, sekitar tahun 2000 digulirkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang membidani lahirnya pelajaran budi pekerti.

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Apabila aspek sikap mental seseorang sudah terbina dan terbentuk dengan baik, maka aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang akan mengikuti terbina dengan baik. Termasuk tugas pendidikan untuk ikut mencerdaskan bangsa seperti terkandung dalam pembukaan UUD 1945 akan dengan mudah dapat dicapai. Namun sebaliknya apabila sikap mental bangsa tidak terbentuk dengan baik, maka bangsa yang cerdas sulit terwujud atau apabila kecerdasan dapat diwujudkan tidak dapat dipakai untuk membentuk sistim kehidupan atau budaya masyarakat dan bangsa yang kokoh dan maju. Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan.

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global..

Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas saat ini belum mendukung pencapaian hasil belajar penting seperti yang diuraikan di atas. Pembelajaran masih dominan menggunakan metode ceramah dan metode drill yang berpusat pada guru. Metode tersebut diakui berhasil dalam kompetisi menghafal sejumlah informasi tapi gagal dalam menyiapkan siswa memiliki kemampuan kritis, apresiatif, kreatif, dan inovatif untuk mampu bersaing dan hidup kompetitif.

Hasil penelitian yang dilakukan selama 25 tahun terakhir tentang otak manusia, menunjukkan bahwa metode drill yang dilakukan berpengaruh pada berkembangnya otak ”reptil” yaitu otak yang bertanggungjawab terhadap survivel dan pertahanan diri seperti melawan. Tidak berlebihan jika kita khawatir bahwa tidak mustahil metode ini akan berpengaruh pada pola perkelahian dan anarkhi yang akhir-akhir ini sering ditunjukkan oleh kelompok-kelompok siswa.

Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional yaitu “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah “maka Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil / Insan Paripurna) , yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis (Renstra Diknas 2005-2009).

B. PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.

Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila dicermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh.

Hakekat pendidikan seharusnya membentuk karakter karena Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Setiap kita bertanggung jawab terhadap pendidikan bangsa ini. Tidak hanya bagi mereka yang terjun di lembaga pendidikan formal seperti guru, dosen dan sebagainya, tapi semuanya. Pemahaman ini yang harus tertanam terlebih dahulu.Pendidikan tidak sama dengan sekolah. Cakupannya luas tak terbatas .Sekolah hanya satu bagian kecil dari sarana pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak hanya terpaku pada transfer materi dari guru ke murid. Pendidikan harus utuh dan menyeluruh, meliputi semua aspek dalam kehidupan seorang . Pendidikan harus berorientasi pada terbentuknya individu-individu yang memiliki karakter /jati diri. Kepribadian yang utuh dan menyeluruh inilah yang saat ini tengah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Hakikat pendidikan membentuk karakter pendidikan harus berorientasi kepada terbentuknya karakter (kepribadian/jatidiri). Setiap tahapan pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan saksama sehingga menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar dari karakter ada dalam cara berfikir dan cara merasa seseorang. Sebagaimana diketahui, manusia terdiri dari tiga unsur pembangun yaitu hatinya (bagaimana ia merasa), fikirannya (bagaimana ia berfikir) dan fisiknya (bagaimana ia bersikap). Oleh karena itu , langkah – langkah untuk membentuk atau merubah karakter juga harus dilakukan dengan menyentuh dan melibatkan unsur-unsurtersebut.

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

C. MEMBENTUK KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor kelayakan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.

Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?

Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.

Pendidikan di sekolah bukan cuma memberi pengetahuan, tetapi melengkapi siswa dengan keterampilan, kemampuan, dan karakter. Sayangnya, para guru dewasa ini terjebak untuk mengajarkan pencapaian nilai akademik tinggi, sedangkan masalah non-akademik pembentukan karakter, kepribadian, sikap, etos kerja, nasionalisme, termasuk soft skill terabaikan. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Pendidikan merupakan pemberi harapan terhadap kecerahan masa depan bangsa. Ini tidak semata menguasai pengetahuan dan teknologi, tetapi memiliki karakter manusia Indonesia yang kuat. Untuk itu, kita memerlukan pendidik yang cerdas dan berkarakter kuat dan mempunyai cita-cita mencerdaskan peserta didik. Karena pendidikan merupakan motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, tentunya dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Pendidikan dan pembentukan watak (character Building) untuk membangun keberadaban bangsa, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia.

Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibelanjakan, dilatih, dan dikelola secara bertahap. Pembentukan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama, guru, tutor dan seluruh komponen bangsa untuk berkomitmen membentuk, membangun dan mempertahankannya. Pendekatan pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dalam lingkup informal yaitu keluarga serta pendidikan nonformal dan formal.

Untuk menjadi manusia yang berkarakter butuh proses yang tidak sebentar. Jadi tidak cukup hanya melalui pelajaran di sekolah.. Secara spesifik, ada tiga unsur yang harus dilakukan dalam model pendidikan karaktersebagai berikut :

1. Knowing the good.

Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. “Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.

2. Feeling the good.

Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika Feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.

3. Acting the good.

Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya imbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Jadi, konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur. Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan.

D. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PEDAGOGI

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik. Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.

Pedagogi dalam arti sempit mengacu pada proses pendidikan dalam sekolah yang memiliki hubungan yang sifatnya vertikal antara guru dan murid, sedangkan dalam arti yang luas berarti proses pendidikan secara terus menerus, atau proses belajar seumur hidup atau proses pendidikan permanen yang dimiliki oleh setiap orang ( Kusuma, 2009:138)

Pendidikan karaktek disatu sisi merupakan sebuah pedagogi yang merupakan tanggapan atas pendekatan naturalis dan spontan. Pendekatan naturalis dirasakan sangat tidak mencukupi jika diterapkan bagi pendidikan manusia, sebab bukan manusialah yang mesti menyesuaikan diri dengan ritme kodratnya, melainkan kodrat itu mesti mengikuti idealisme yang dimiliki manusia. Pendidikan karakter termasuk dalam sebuah pedagogi yang memberikan penekanan pada nilai-nilai atau idealisme.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan perhatian pada tiga hal penting bagi pertumbuhan manusia, yaitu perkembangan kemampuan kodrati manusis sebagaimana dimiliki secara berbeda oleh setiap individu. Ini merupakan pengembangan metode naturalis, yaitu anak didik diharapkan berkembang sesuai dengan pertumbuhan kodrat alamiahnya. Dalam mengembangkan kemampuan kodrat ini manusia tidak dapat mengabaikan relasi negatifnya dengan lingkungan sosial dan dalam relasi antar individu dan masyarakat dan ia harus mengarahkan diri terhadap nilai-nilai. Pendidikan karakter sebagai pedagogi merupakan sebuah jalan pertumbuhan kehidupan moral yang utuh bagi setiap individu yang terlibat dalam kinerja lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting dalam tindakan edukatif yaitu , Individu , sosial dan moral. oleh karena itu pembaruan dalam dunia pendidikan , serta penerapan program pendidikan karakter dalam setip lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga matra tersebut.

Secara sederhana tiga matra itu mengacu pada unsur-unsur yang menjadi faktor penbentuk pendidikan karakter. Matra individu dalam pendidikan karakter menyiratkan dihargainya nilai-nilai kebebasan dan tanggungjawab. Nilai-nilai kebebasan inilah yang menjadi prasyarat sebuah prilaku bermoral. Yang menjadi subyek untuk bertindak dan subyek moral adalah pribadi itu sendiri. Kebebasan itu diwujudkan melalui kemampuan mengambil keputusan. Matra sosial mengacu pada corak relasional antara individu dengan individu, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam mengorganisir dirinyansendiri. Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi anggotanya. oleh karena itu matra sosial mengekspresikan adanya jalinan relasional antar individu. Matra moral menjadi jiwa gerak dan dinamika masyarakat, sehingga masyarakat menjadi semakin berbudaya dan bermatabat.Tanpa ada matra moral ini masyarakat akan hidup dalam suatu tirani kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan. Kondisi ini akan membuat masyarakat tidak stabil, sebab terjadi konplik untuk saling mempertahankan kebebasannya. Tanpa norma moral, relasi kekuasaan dalam masyarakat akan menjadi liar dan menindas.

Lmbaga pendidikan dalam arti yang paling dalam, sebenarny menjadi tempat kekuasaan itu saling berdialog satu sama lain. Jika kita mencari contoh tentang berbagai macam relasi kekuasaan yang melibatkan individu, masyarakat, dan pandangan moral sekolahlah contoh paling tepat . Sebab dalam sekolah relasi kekuasaan itu begitu kentara sehingga situasi yang opresif maupun bebas itu bisa terjadi.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

E. PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti yang dinyatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:
“the highest and noblest office of education pertains to our moral nature.
The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).

Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).

Kegagalan pendekatan moral reasoning dan values clarification yang mulai dirasakan akibatnya pada demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah membuat titik balik dalam pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik (ethics scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective character education).

Untuk itulah kemudian disusun suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter agar penyakit yang berada dalam masyarakat negara manapun di belahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan Goble menyarankan dalam bukunya The Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa semua agama memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya: Brooks dan Goble dalam bukunya The Case for Character Education menyatakan : It is important to note that the authors' recent experience with groups of teachers in different religious schools has clearly indicated that the various world religions do have a common set of core values. Work with Muslim, 7th Day Adventist, Lutheran, Jewish and Roman Catholic educators all resulteed in the generation of a list of values that were overlapping. All groups listed such values as honesty, respect, courage, perseverence, responsibility, and caring as common values that must be taught in their school

Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta , kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.

Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

  1. Bentuk-Bentuk Karakter

Macam nilai yang akan dibangun dalam diri peserta didik meliputi berbagai hal. Menurut Tim pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:16-18) telah teridentifikasi 80 butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima.

a. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan.

b. Nilai-nilai perilaku manusia terhadapdiri sendiri.

c. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama.

d. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan.

e. Nilai-nilai kebangsaan.

Secara skematis, Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010) menggambarkan nilai-nilai luhur dan perilaku berkarakter yang menyangkut olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa Davies (2010) menyebutkan ada 52 kalimat yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter anak, enam diantaranya misalnya: (1) how I look is not as important as how I act; (2) I treat others the way I want them to treat me; (3) I am a good sport, I follow the rules, take turns and play fair; (4) it is okay to laugh at funny things, but not to laugh at others; (5) I do not gossip, if I cannot say anything helpful, I do not say anything at all; (6) when I am sad, I help myself feel better by thinking of things that are good in my life.

  1. Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Menurut Lickona, dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) mengusahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik (Bashori, 2010).

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai- nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah seharihari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti. (Bashori, 2010).

  1. Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran

Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam pembelajaran dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, memfasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkahlaku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/ peduli, dan menginternalisasi nilai- nilai dan menjadikannya perilaku.

Integrasi dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan dan metode pembelajaran, serta model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan.

Integrasi pendidikan karakter bukan saja dapat dilakukan dalam materi pelajaran, namun teknik dan metode mengajar dapat pula digunakan sebagai alat pendidikan karakter. Membangun individu yang teliti dapat dilakukan dalam proses pengukuran,dan observasi misalnya, membangun tanggungjawab melalui penugasan, membangun kepercayaan diri melalui presentasi dan sebagainya.

Namun sampai saat ini, belum ada upaya di setiap satuan pendidikan untuk mencoba melakukan kegiatan ini hingga menghasilkan dokumen otentik. Pada tingkat sekolah, kepala sekolah harus memfasilitasi hal ini, demikian juga pada tingkat-tingkat birokrasi di atasnya. Disadari variabilitas kualitas pendidik, sekolah, dan akses informasi, sangat mempengaruhi hasil kegitaan ini, namun dengan koordinasi Kemendiknas, melalui pelatihan dan workshop yang mengacu pada sistem perimbasan, hambtan ini dapat dikurangi.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Kegiatan Ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.

Kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian keigiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok. Kegiatan ekstra kurikuler juga diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut.

a. Pengembangan, yaitu mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.

b. Sosial, yaitu mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.

c. Rekreatif, yaitu mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.

d. Persiapan karir, yaitu mengembangkan kesiapan karir peserta didik.

Implementasi pendidikan karakter dalam kegiatan ekstra kurikuler merupakan langkah yang sangat strtegis, namun saat ini, tidak banyak sekolah yang benar-benar mempunyai kegiatan ekstrakurikuler yang memadai. Di banyak sekolah, kegiatan ekstra kurikuler masih dianggap sebapai tempelan kegiatan, sehingga dianggap sebagai kegiatan yang tidak harus diadakan. Beberapa sekolah bahkan lebih senang mengadakan les bimbingan tes dalam kegiatan ekstrakurikulernya. Capaian rerata skor UN yang tinggi masih dianggap memiliki gengsi lebih tinggi daripada prestasi kegiatan yang lain.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Manajemen Sekolah

Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai pula. Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi:

a. nilai-nilai perilaku (karakter) kompetensi lulusan;

b. muatan kurikulum nilai-nilai perilaku (karakter);

c. nilai-nilai perilaku (karakter) dalam pembelajaran;

d. nilai-nilai perilaku (karakter) pendidik dan tenaga kependidikan; dan

e. nilai-nilai perilaku (karakter) pembinaan kepesertadidikan.

Berbagai hal yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dan lain-lain) dirancang dan diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, seperti pengelolaan: siswa, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi, serta pengelolaan lainnya. Ketiga jalur tersebut dalam implementasinya dapat dilakukan dengan seperti berikut.

1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif peserta didik dengan diberikan materi pelajaran yang kongkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual teaching and learning, inquiry based learning, integrated learning).

2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conductive learning community).

3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good.

4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing peserta didik.

5) Menerapkan prinsip-prinsip developmentally appropriate practices.

6) Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas dan seluruh sekolah.

7) Model atau contoh perilaku positif.

8) Menciptakan peluang bagi peserta didik untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk dalam kehidupan di kelas dan di sekolah.

9) Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial.

10) Melibatkan peserta didik dalam wacana moral. Isu moral adalah esensi pendidikan anak untuk menjadi prososial, dan moral manusia.

11) Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk peserta didik.

12) Tidak ada peserta didik yang terabaikan.

F. TAHAPAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Menurut Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:19-21) pengembangan karakter melalui beberapa tahapan, yaitu tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.

Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter.

Penguatan ini berkaitan dengan bentuk- bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Dengan demikian, pendidikan karakter bukan saja membangun pengetahuan tentang karakter yang baik, namun juga harus dilanjutkan dengan membentuk perasaan dalam diri peserta didik agar memiliki kepekaan rasa terhadap hal-hal yang kurang baik dan dapat mengimplementasikan karakterkarakter yang baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

G. PENUTUP

Pendidikan karakter adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Jika komponen-komponen pendidikan peduli untuk meningkatkan mutu lulusan peserta didikinya maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia.

Berikut kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi menyebutkan salah satu dosa fatal adalah “education without character”(pendidikan tanpa karakter).

Martin Luther King pernah berkata: “Intelligence plus character…. that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).

Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya kepada masyarakat).

Pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil baik bilamana dukungan lingkungan yang berupa kehidupan masyarakat dan teknologinya tidak membantu. Tayangan televisi dan media informasi lainnya yang saat ini menjadi dunia keseharian anak, perlu mendapatkan pengaturan waktu dan kualitasnya agar bersahabat dengan pendidikan karakter. Untuk itu diperlukan sosok di bidang regulasi dan pengawasan penyiaran.yang benar-benar memahami pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Albertus, Doni Koesoema. (2009). Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku perubahan dan Pendidik Karakter, Jakarta: Grasindo.

Albertus, Doni Koesoema. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta, Grasindo.

Bashori, Khoiruddin. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com

http://www.republika.co.id. November 2008. Dirjen: Pendidikan Cenderung Cari Nilai Tinggi.

.

http://www.republika.co.id: Maret 2010. Majelis Guru Besar Bahas Pendidikan Berkarakter Indonesia.

Leah, Davies. 52 Character Building Thoughts for Children. http://www. kellybear. com/TeacherArticles/ TeacherTip52.html

_______. Children and Television. http:- //www.kellybear.com/Teacher Articles/TeacherTip8.html

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. How Our School can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Ryan, Kevi & Bohlin, K.E. 1999. Building Character in Schools. Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey-Bass.

Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak diterbitkan.

Williams, Russell T. dan Ratna Megawangi. 2010. Kecerdasan Plus Karakter. http://ihf-org.tripod.com.

Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter, Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.




.


PENDDIKAN DAN PEMBENTUKAN WATAK

( CHARACTER BUILDING )

A. PENDAHULUAN

Merujuk kepada pendapat para tokoh, pemimpin dan pakar pendidikan dunia yang menyepakati pembentukan karakter sebagai tujuan pendidikan, maka sejarah pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Namun dalam perjalanannya, pendidikan moral atau pendidikan karakter sempat tenggelam dan terlupakan dari dunia pendidikan, terutama sekolah.

Menurut analisis Thomas Lickona sebagai dirangkum oleh Howard, bangkitnya logika positivisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan. Begitu juga pemikiran relativitas moral dengan jargonnya semua nilai adalah relatif, berpengaruh terhadap terlupakannya pendidikan karakter.

Paham personalisme yang menyatakan setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun, dan meningkatnya paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-nilai siapakah yang diajarkan, semakin melengkapi alasan penolakan pendidikan karakter. Sementara itu, sekularisasi masyarakat telah menumbuhkan ketakutan untuk mengajarkan moralitas di sekolah karena khawatir dianggap sebagai pengajaran agama. Hal ini terutama banyak dialami oleh negara-negara maju tapi sekuler.

Selanjutnya Howard mencatat, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan. Namun di sekolah-sekolah publik, dukungan untuk pendidikan moral berkurang dan menyusut. Perubahan-perubahan ini seringkali berhubungan dengan dengan kejadian-kejadian bersejarah dan gerakan-gerakan politik. Adapun di Indonesia, sejarah pendidikan moral atau karakter dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship). Kewarganegaraan merupakan wujud loyalitas akhir dari setiap manusia modern.

Di Indonesia, dalam zaman pra-kemerdekaan, yang dikenal adalah pendidikan atau pengajaran budi pekerti yang menanamkan dalam peserta didik asas-asas moral, etika dan etiket yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Setelah Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah presiden Soekarno pada awal 1960-an pendidikan kewarganegaraan muncul dalam bentuk indoktrinasi. Kemudian semasa pemerintahan Orde baru yang dipimpin Soeharto, indoktrinasi itu berganti menjadi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bukan saja sebagai pelajaran wajib tetapi juga penataran wajib. Upaya pembentukan karakter bangsa melalui mata pelajaran berlabel Pancasila ini terus dilakukan dengan pendekatan indoktrinasi sampai pada awal tahun dasawarsa 90-an. Seiring dengan menggemanya reformasi, sekitar tahun 2000 digulirkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang membidani lahirnya pelajaran budi pekerti.

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Apabila aspek sikap mental seseorang sudah terbina dan terbentuk dengan baik, maka aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang akan mengikuti terbina dengan baik. Termasuk tugas pendidikan untuk ikut mencerdaskan bangsa seperti terkandung dalam pembukaan UUD 1945 akan dengan mudah dapat dicapai. Namun sebaliknya apabila sikap mental bangsa tidak terbentuk dengan baik, maka bangsa yang cerdas sulit terwujud atau apabila kecerdasan dapat diwujudkan tidak dapat dipakai untuk membentuk sistim kehidupan atau budaya masyarakat dan bangsa yang kokoh dan maju. Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan.

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global..

Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas saat ini belum mendukung pencapaian hasil belajar penting seperti yang diuraikan di atas. Pembelajaran masih dominan menggunakan metode ceramah dan metode drill yang berpusat pada guru. Metode tersebut diakui berhasil dalam kompetisi menghafal sejumlah informasi tapi gagal dalam menyiapkan siswa memiliki kemampuan kritis, apresiatif, kreatif, dan inovatif untuk mampu bersaing dan hidup kompetitif.

Hasil penelitian yang dilakukan selama 25 tahun terakhir tentang otak manusia, menunjukkan bahwa metode drill yang dilakukan berpengaruh pada berkembangnya otak ”reptil” yaitu otak yang bertanggungjawab terhadap survivel dan pertahanan diri seperti melawan. Tidak berlebihan jika kita khawatir bahwa tidak mustahil metode ini akan berpengaruh pada pola perkelahian dan anarkhi yang akhir-akhir ini sering ditunjukkan oleh kelompok-kelompok siswa.

Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional yaitu “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah “maka Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil / Insan Paripurna) , yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis (Renstra Diknas 2005-2009).

B. PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.

Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila dicermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh.

Hakekat pendidikan seharusnya membentuk karakter karena Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Setiap kita bertanggung jawab terhadap pendidikan bangsa ini. Tidak hanya bagi mereka yang terjun di lembaga pendidikan formal seperti guru, dosen dan sebagainya, tapi semuanya. Pemahaman ini yang harus tertanam terlebih dahulu.Pendidikan tidak sama dengan sekolah. Cakupannya luas tak terbatas .Sekolah hanya satu bagian kecil dari sarana pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak hanya terpaku pada transfer materi dari guru ke murid. Pendidikan harus utuh dan menyeluruh, meliputi semua aspek dalam kehidupan seorang . Pendidikan harus berorientasi pada terbentuknya individu-individu yang memiliki karakter /jati diri. Kepribadian yang utuh dan menyeluruh inilah yang saat ini tengah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Hakikat pendidikan membentuk karakter pendidikan harus berorientasi kepada terbentuknya karakter (kepribadian/jatidiri). Setiap tahapan pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan saksama sehingga menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar dari karakter ada dalam cara berfikir dan cara merasa seseorang. Sebagaimana diketahui, manusia terdiri dari tiga unsur pembangun yaitu hatinya (bagaimana ia merasa), fikirannya (bagaimana ia berfikir) dan fisiknya (bagaimana ia bersikap). Oleh karena itu , langkah – langkah untuk membentuk atau merubah karakter juga harus dilakukan dengan menyentuh dan melibatkan unsur-unsurtersebut.

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

C. MEMBENTUK KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor kelayakan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.

Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?

Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.

Pendidikan di sekolah bukan cuma memberi pengetahuan, tetapi melengkapi siswa dengan keterampilan, kemampuan, dan karakter. Sayangnya, para guru dewasa ini terjebak untuk mengajarkan pencapaian nilai akademik tinggi, sedangkan masalah non-akademik pembentukan karakter, kepribadian, sikap, etos kerja, nasionalisme, termasuk soft skill terabaikan. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Pendidikan merupakan pemberi harapan terhadap kecerahan masa depan bangsa. Ini tidak semata menguasai pengetahuan dan teknologi, tetapi memiliki karakter manusia Indonesia yang kuat. Untuk itu, kita memerlukan pendidik yang cerdas dan berkarakter kuat dan mempunyai cita-cita mencerdaskan peserta didik. Karena pendidikan merupakan motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, tentunya dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Pendidikan dan pembentukan watak (character Building) untuk membangun keberadaban bangsa, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia.

Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibelanjakan, dilatih, dan dikelola secara bertahap. Pembentukan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama, guru, tutor dan seluruh komponen bangsa untuk berkomitmen membentuk, membangun dan mempertahankannya. Pendekatan pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dalam lingkup informal yaitu keluarga serta pendidikan nonformal dan formal.

Untuk menjadi manusia yang berkarakter butuh proses yang tidak sebentar. Jadi tidak cukup hanya melalui pelajaran di sekolah.. Secara spesifik, ada tiga unsur yang harus dilakukan dalam model pendidikan karaktersebagai berikut :

1. Knowing the good.

Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. “Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.

2. Feeling the good.

Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika Feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.

3. Acting the good.

Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya imbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Jadi, konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur. Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan.

D. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PEDAGOGI

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik. Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.

Pedagogi dalam arti sempit mengacu pada proses pendidikan dalam sekolah yang memiliki hubungan yang sifatnya vertikal antara guru dan murid, sedangkan dalam arti yang luas berarti proses pendidikan secara terus menerus, atau proses belajar seumur hidup atau proses pendidikan permanen yang dimiliki oleh setiap orang ( Kusuma, 2009:138)

Pendidikan karaktek disatu sisi merupakan sebuah pedagogi yang merupakan tanggapan atas pendekatan naturalis dan spontan. Pendekatan naturalis dirasakan sangat tidak mencukupi jika diterapkan bagi pendidikan manusia, sebab bukan manusialah yang mesti menyesuaikan diri dengan ritme kodratnya, melainkan kodrat itu mesti mengikuti idealisme yang dimiliki manusia. Pendidikan karakter termasuk dalam sebuah pedagogi yang memberikan penekanan pada nilai-nilai atau idealisme.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan perhatian pada tiga hal penting bagi pertumbuhan manusia, yaitu perkembangan kemampuan kodrati manusis sebagaimana dimiliki secara berbeda oleh setiap individu. Ini merupakan pengembangan metode naturalis, yaitu anak didik diharapkan berkembang sesuai dengan pertumbuhan kodrat alamiahnya. Dalam mengembangkan kemampuan kodrat ini manusia tidak dapat mengabaikan relasi negatifnya dengan lingkungan sosial dan dalam relasi antar individu dan masyarakat dan ia harus mengarahkan diri terhadap nilai-nilai. Pendidikan karakter sebagai pedagogi merupakan sebuah jalan pertumbuhan kehidupan moral yang utuh bagi setiap individu yang terlibat dalam kinerja lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting dalam tindakan edukatif yaitu , Individu , sosial dan moral. oleh karena itu pembaruan dalam dunia pendidikan , serta penerapan program pendidikan karakter dalam setip lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga matra tersebut.

Secara sederhana tiga matra itu mengacu pada unsur-unsur yang menjadi faktor penbentuk pendidikan karakter. Matra individu dalam pendidikan karakter menyiratkan dihargainya nilai-nilai kebebasan dan tanggungjawab. Nilai-nilai kebebasan inilah yang menjadi prasyarat sebuah prilaku bermoral. Yang menjadi subyek untuk bertindak dan subyek moral adalah pribadi itu sendiri. Kebebasan itu diwujudkan melalui kemampuan mengambil keputusan. Matra sosial mengacu pada corak relasional antara individu dengan individu, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam mengorganisir dirinyansendiri. Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi anggotanya. oleh karena itu matra sosial mengekspresikan adanya jalinan relasional antar individu. Matra moral menjadi jiwa gerak dan dinamika masyarakat, sehingga masyarakat menjadi semakin berbudaya dan bermatabat.Tanpa ada matra moral ini masyarakat akan hidup dalam suatu tirani kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan. Kondisi ini akan membuat masyarakat tidak stabil, sebab terjadi konplik untuk saling mempertahankan kebebasannya. Tanpa norma moral, relasi kekuasaan dalam masyarakat akan menjadi liar dan menindas.

Lmbaga pendidikan dalam arti yang paling dalam, sebenarny menjadi tempat kekuasaan itu saling berdialog satu sama lain. Jika kita mencari contoh tentang berbagai macam relasi kekuasaan yang melibatkan individu, masyarakat, dan pandangan moral sekolahlah contoh paling tepat . Sebab dalam sekolah relasi kekuasaan itu begitu kentara sehingga situasi yang opresif maupun bebas itu bisa terjadi.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

E. PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti yang dinyatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:
“the highest and noblest office of education pertains to our moral nature.
The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).

Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).

Kegagalan pendekatan moral reasoning dan values clarification yang mulai dirasakan akibatnya pada demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah membuat titik balik dalam pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik (ethics scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective character education).

Untuk itulah kemudian disusun suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter agar penyakit yang berada dalam masyarakat negara manapun di belahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan Goble menyarankan dalam bukunya The Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa semua agama memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya: Brooks dan Goble dalam bukunya The Case for Character Education menyatakan : It is important to note that the authors' recent experience with groups of teachers in different religious schools has clearly indicated that the various world religions do have a common set of core values. Work with Muslim, 7th Day Adventist, Lutheran, Jewish and Roman Catholic educators all resulteed in the generation of a list of values that were overlapping. All groups listed such values as honesty, respect, courage, perseverence, responsibility, and caring as common values that must be taught in their school

Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta , kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.

Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

  1. Bentuk-Bentuk Karakter

Macam nilai yang akan dibangun dalam diri peserta didik meliputi berbagai hal. Menurut Tim pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:16-18) telah teridentifikasi 80 butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima.

a. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan.

b. Nilai-nilai perilaku manusia terhadapdiri sendiri.

c. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama.

d. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan.

e. Nilai-nilai kebangsaan.

Secara skematis, Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010) menggambarkan nilai-nilai luhur dan perilaku berkarakter yang menyangkut olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa Davies (2010) menyebutkan ada 52 kalimat yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter anak, enam diantaranya misalnya: (1) how I look is not as important as how I act; (2) I treat others the way I want them to treat me; (3) I am a good sport, I follow the rules, take turns and play fair; (4) it is okay to laugh at funny things, but not to laugh at others; (5) I do not gossip, if I cannot say anything helpful, I do not say anything at all; (6) when I am sad, I help myself feel better by thinking of things that are good in my life.

  1. Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Menurut Lickona, dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) mengusahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik (Bashori, 2010).

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai- nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah seharihari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti. (Bashori, 2010).

  1. Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran

Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam pembelajaran dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, memfasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkahlaku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/ peduli, dan menginternalisasi nilai- nilai dan menjadikannya perilaku.

Integrasi dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan dan metode pembelajaran, serta model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan.

Integrasi pendidikan karakter bukan saja dapat dilakukan dalam materi pelajaran, namun teknik dan metode mengajar dapat pula digunakan sebagai alat pendidikan karakter. Membangun individu yang teliti dapat dilakukan dalam proses pengukuran,dan observasi misalnya, membangun tanggungjawab melalui penugasan, membangun kepercayaan diri melalui presentasi dan sebagainya.

Namun sampai saat ini, belum ada upaya di setiap satuan pendidikan untuk mencoba melakukan kegiatan ini hingga menghasilkan dokumen otentik. Pada tingkat sekolah, kepala sekolah harus memfasilitasi hal ini, demikian juga pada tingkat-tingkat birokrasi di atasnya. Disadari variabilitas kualitas pendidik, sekolah, dan akses informasi, sangat mempengaruhi hasil kegitaan ini, namun dengan koordinasi Kemendiknas, melalui pelatihan dan workshop yang mengacu pada sistem perimbasan, hambtan ini dapat dikurangi.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Kegiatan Ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.

Kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian keigiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok. Kegiatan ekstra kurikuler juga diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut.

a. Pengembangan, yaitu mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.

b. Sosial, yaitu mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.

c. Rekreatif, yaitu mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.

d. Persiapan karir, yaitu mengembangkan kesiapan karir peserta didik.

Implementasi pendidikan karakter dalam kegiatan ekstra kurikuler merupakan langkah yang sangat strtegis, namun saat ini, tidak banyak sekolah yang benar-benar mempunyai kegiatan ekstrakurikuler yang memadai. Di banyak sekolah, kegiatan ekstra kurikuler masih dianggap sebapai tempelan kegiatan, sehingga dianggap sebagai kegiatan yang tidak harus diadakan. Beberapa sekolah bahkan lebih senang mengadakan les bimbingan tes dalam kegiatan ekstrakurikulernya. Capaian rerata skor UN yang tinggi masih dianggap memiliki gengsi lebih tinggi daripada prestasi kegiatan yang lain.

  1. Pendidikan Karakter Dalam Manajemen Sekolah

Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai pula. Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi:

a. nilai-nilai perilaku (karakter) kompetensi lulusan;

b. muatan kurikulum nilai-nilai perilaku (karakter);

c. nilai-nilai perilaku (karakter) dalam pembelajaran;

d. nilai-nilai perilaku (karakter) pendidik dan tenaga kependidikan; dan

e. nilai-nilai perilaku (karakter) pembinaan kepesertadidikan.

Berbagai hal yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dan lain-lain) dirancang dan diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, seperti pengelolaan: siswa, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi, serta pengelolaan lainnya. Ketiga jalur tersebut dalam implementasinya dapat dilakukan dengan seperti berikut.

1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif peserta didik dengan diberikan materi pelajaran yang kongkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual teaching and learning, inquiry based learning, integrated learning).

2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conductive learning community).

3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good.

4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing peserta didik.

5) Menerapkan prinsip-prinsip developmentally appropriate practices.

6) Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas dan seluruh sekolah.

7) Model atau contoh perilaku positif.

8) Menciptakan peluang bagi peserta didik untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk dalam kehidupan di kelas dan di sekolah.

9) Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial.

10) Melibatkan peserta didik dalam wacana moral. Isu moral adalah esensi pendidikan anak untuk menjadi prososial, dan moral manusia.

11) Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk peserta didik.

12) Tidak ada peserta didik yang terabaikan.

F. TAHAPAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Menurut Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:19-21) pengembangan karakter melalui beberapa tahapan, yaitu tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.

Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter.

Penguatan ini berkaitan dengan bentuk- bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Dengan demikian, pendidikan karakter bukan saja membangun pengetahuan tentang karakter yang baik, namun juga harus dilanjutkan dengan membentuk perasaan dalam diri peserta didik agar memiliki kepekaan rasa terhadap hal-hal yang kurang baik dan dapat mengimplementasikan karakterkarakter yang baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

G. PENUTUP

Pendidikan karakter adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Jika komponen-komponen pendidikan peduli untuk meningkatkan mutu lulusan peserta didikinya maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia.

Berikut kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi menyebutkan salah satu dosa fatal adalah “education without character”(pendidikan tanpa karakter).

Martin Luther King pernah berkata: “Intelligence plus character…. that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).

Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya kepada masyarakat).

Pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil baik bilamana dukungan lingkungan yang berupa kehidupan masyarakat dan teknologinya tidak membantu. Tayangan televisi dan media informasi lainnya yang saat ini menjadi dunia keseharian anak, perlu mendapatkan pengaturan waktu dan kualitasnya agar bersahabat dengan pendidikan karakter. Untuk itu diperlukan sosok di bidang regulasi dan pengawasan penyiaran.yang benar-benar memahami pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Albertus, Doni Koesoema. (2009). Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku perubahan dan Pendidik Karakter, Jakarta: Grasindo.

Albertus, Doni Koesoema. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta, Grasindo.

Bashori, Khoiruddin. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com

http://www.republika.co.id. November 2008. Dirjen: Pendidikan Cenderung Cari Nilai Tinggi.

.

http://www.republika.co.id: Maret 2010. Majelis Guru Besar Bahas Pendidikan Berkarakter Indonesia.

Leah, Davies. 52 Character Building Thoughts for Children. http://www. kellybear. com/TeacherArticles/ TeacherTip52.html

_______. Children and Television. http:- //www.kellybear.com/Teacher Articles/TeacherTip8.html

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. How Our School can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Ryan, Kevi & Bohlin, K.E. 1999. Building Character in Schools. Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey-Bass.

Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak diterbitkan.

Williams, Russell T. dan Ratna Megawangi. 2010. Kecerdasan Plus Karakter. http://ihf-org.tripod.com.

Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter, Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.




.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar