Rabu, 27 Januari 2010

PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL DAN MOTIVASI KERJA KEPALA SEKOLAH TERHADAP KUALITAS PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI KOTA MATARAM

oleh : IB Arjana
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan dibidang pendidikan Nasional dan merupakan bagian integral dan upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan keidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan mejadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kebutuhan mendesak yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah dalam mengahadapi era globalisasi dimana perkembangan tekhnologi dan informasi yang begitu cepat. Harus diakui bahwa yang menjadi pokok permasalah pendidikan di Indonesia adalah kinerja manajemen. Kinerja manajemen ini ditenggarai sebagai salah satu faktor yang memiliki potensi dalam mempengaruhi dunia pendidikan yang meliputi berbagai sumber daya pendidikan yang terkait dengan mutu output yang dihasilkan.
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang digulirkan saat ini adalah manajemen negara yaitu dan manajemen entsralistik ke manajemen berbasi daerah. Secara resmi perubahan ini diwujudkan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Konsekuensi logis dalam Undang-Undang tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi daerah.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara menyempurnakan sistem pendidikan, baik melalui penataan perangkat lunak maupun perangkat keras. Upaya tersebut, antara lain dikeluarkannya Undang-Undang No 22 dan 2 Tahun 1999 tentang otonomi Daerah serta diikuti oleh penyempurnaa Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Dengan perubahan paradigma dari top-down ke bottom-up atau desentralisasi dalam wujud pemberdayaan sekolah, yang meyakini bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan sedapat mungkin keputusan harus dibuat oleh mereka yang berada digaris depan, yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan pendidikan yaitu kepala sekolah dan guru.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi. tuntutan dan kebutuhannya. Otonomi dalam manajemen merupakan tugas sekolah untuk meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan, menawarkan partispasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Manajemen Berbasis Sekolah yang ditawarkan sebagai bentuk operasional desentaralisasi pendidikan dalam konteks otonomi Daerah akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi, efektifitas dan kinerja sekolah dengan menyediakan layanan pendidikan yang komperhensif dan tanggap tehadap kebutuhan masyarakat.
Dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat penting. Kepemimpinan berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam upaya meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan, dan menciptakan kondisi yang kondusif terhadap lingkungan satuan pendidikan dan penuh pertimbangan baik sebagai individu maupun kelompok.
Kepala sekolah selaku manajer mempunyai peranan penting dalam mengembangkan mutu pendidikan di sekolah. Sebagai manajer harus mempertimbangkan peran penting yang tidak hanya membuat pengaruh tetapi ia membina bawahan agar memiliki kemampuan dalam mengatur kinerjanya baik kemampuan manajerial maupun kemampuan teknis. Karena itulah, para manajer dituntut untuk memiliki pandangan dan starategi jangka panjang kearah mana organisasi akan di bawa.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) program-program sekolah harus didukung oleh kemampuan manajerial kepala sekolah yang demokratis dan professional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana inti program sekolah merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas professional. Kepala sekolah adalah manajer pendidikan. Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memilki strategi yang tepat untuk memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapi tujuan pendidikan. Kemampuan manajerial kepala sekolah yang baik dalam mengkoordinasikan. menggerakan, dan menyerasikan segala sumber daya yang pada dasarnya kemampuan manajerial sangat terkait dengan bagaimana penerapan fungsi-fungsi manajemen atau proses manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, pengontrolan, dan pengendalian.
Setiap kepala sekolah pada sebuah sekolah mempunyai tujuan individu yang arif serta senantiasa memperhatikan adanya kesesuaian antara tujuan individu yang tidak jauh menyimpang dan aktivitas organisasi. Jika terjadi kesenjangan antara tujuan individu dan dengan tujuan organisasi, maka akan tercipta ketidakharmonisan kerja. Kepala sekolah akan mudah menyalagunakan tugas kewajiban untuk kepentingan individunya.
Kemampuan kerja dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan serta pengalaman, juga diharapkan dapat memiliki motivasi kerja yang tinggi. Motivasi kerja tersebut merupakan kekuatan yang penting yang harus ada dalam diri kepala sekolah sehingga ia memiliki keinginan atau semangat yang kuat untuk berusaha dan bekerja keras sehingga dapat diperoleh keberhasilan bagi dirinya dan instansi dimana ia bekerja.
Siswanto (2005:119) mengatakan bahwa motivasi kerja dapat memberi energi yang menggerakkan segala potensi yang ada, menciptakan keinginan yang tinggi dan luhur, serta meningkatkan kegairahan bersama. Menurut Uno (2006:71) bahwa motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja seseorang. Lebih lanjut Uno mengatakan bahwa besar atau kecilnya pengaruh motivasi pada kinerja seseorang tergantung pada seberapa banyak intensitas motivasi yang diberikan. Untuk mengoptimalkan peran, fungsi dan kedudukan kepala sekolah dalam suatu instansi sekolah dalam era manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan analisis terhadap kemampuan manajerial dan motivasi kerja kepala sekolah, sebagai umpan balik untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan yang ada, sehingga dapat dilakukan pembenahan peningkatan unsur yang dianggap perlu.
Hasil pengamatan awal penulis menunjukkan bahwa secara umum kualitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di Kota Mataram masih rendah walaupun telah banyak sekolah yang melaksanakan manajemen berbasis sekolah dengan baik. Beberapa fenomena yang menunjukkan diantaranya masih banyak kepala sekolah yang selalu meminta restu atau petunjuk dan atasan yaitu pihak Dinas Pendidikan dalam rangka merumuskan kebijakan, namun dipihak lain ada kepala sekolah telah sukses mengaplikasikan konsep manajemen berbasis sekolah secara benar dengan keberanian mengambil keputusan atas inisiatif sendiri bersama dengan guru dan pegawai tata usaha sekolah.
Berdasarkan paparan di atas bahwa kemampuan manajenial dan motivasi kerja kepala sekolah memiliki peranan penting dalam kualitas penerapan Manajemen Berbasis Sekolah untuk meningkatkan efisiensi, mutu, relevansi dan penataan pendidikan. Maka, peneliti ingin mengkaji apakah kemampuan manajenial dan motivasi kerja kepala sekolah berpengaruh terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah di Kota Mataram..
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran kemampuan manajerial, motivasi kerja kepala sekolah dan kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah ?
2. Apakah ada pengaruh kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah ?
3. Apakah ada pengaruh motivasi kerja kepala sekolah terhadap kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah ?
4. Apakah ada pengaruh secara bersama sama antara kemampuan manajerial dan motivasi kerja kepala sekolah terhadap kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran kemampuan manajerial, motivasi kerja kepala sekolah dan kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.
2. .Untuk mengetahui pengaruh kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah .
3. Untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja kepala sekolah terhadap kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.
4. Untuk mengetahui pengaruh secara bersama sama antara kemampuan manajerial dan motivasi kerja kepala sekolah terhadap kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Pendidikan Kota Mataram dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.
2. Sebagai bahan masukan bagi sekolah-sekolah yang berada pada kawasan penelitian ataupun sekolah lain untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
3. Sebagai bahan informasi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya bidang manajemen pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu.











BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Manajemen
Menu rut James A.F. Stoner dan Charles Wan kel (dalam Siswanto, 2005:2) memberikan batasan manajemen sebagai berikut: manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber daya organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi
Manajemen sebagai proses, oleh para ahli diberikan pengertian yang berbeda-beda. Menurut Daft (2002:8) manajemen adalah pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian sumber daya organisasi. The Liang Gie (dalam Mahtika, 2006:6) mengemukakan bahwa manajemen adalah segenap perbuatan menggerakkan sekolompok orang atau mengerahkan segala fasilitas dalam suatu kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka manajemen mempunyai tiga unsur pokok yaitu: (1) adanya tujuan yang ingin dicapai, (2) tujuan dapat dicapai dengan menggunakan kegiatan orang lain, dan (3) kegiatan-kegiatan orang lain itu harus dibimbing dan diawasi. Dengan demikian manajemen dapat dipastikan adanya maksud untuk mencapai tujuan tertentu dan kelompok atau organisasi yang bersangkutan. Sedangkan untuk mencapainya suatu perencanaan yang baik, pelaksanaan yang konsisten dan pengendalian yang kontinyu, dengan maksud agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan efisien dan efektif. Efisien dapat dikatan suatu kondisi atau keadaan, dimana penyelesaian suatu pekerjaan dilaksanakan dengan benar dan dengan penuh kemampuan yang dimiliki. Sedangkan efektivitas adalah suatu kondisi atau keadaan dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai menggunakan sarana ataupun peralatan yang tepat, disertai dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan.
Manajemen sebagai seni berlungsi untuk mencapai tujuan yang nyata mendatangkan hasil atau manfaat, sedangkan manajemen sebagai ilmu berfungsi menerangkan fenomena-fenomena, kejadian-kejadian, keadaan-keadaan sebagai penjelasannya.
Menurut Mondy dan Premeaux (1993:5) bahwa “Manajemen adalah proses penyelesaian pekerjaan melalui usaha-usaha orang lain.” Berdasarkan definisi ini tampak bahwa proses manajemen akan terjadi apabila seorang melibatkan orang lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan karena fakta menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi, manajer tidak dapat melakukan sendiri tugas tersebut tanpa bantuan orang lain atau pegawai. Menurut Hasibuan (2001:1) bahwa manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumberdaya-sumberdaya lainnya sebara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Wahjosumidjo (2001 :93) mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengendalikan usaha-anggota-anggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen adalah seni, dan ilmu perencanaan dan pengorganisasian, penyusunan pegawai, pemberian perintah, dan pengawasan terhadap human and natural resources terutama human resources untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Kriteria yang dapat pula digambarkan sebagai strategi pokok manajemen adalah mencapai hasil dengan efisien, efektif, ekonomis dan bertanggung jawab dengan memanfaatkan manusia dan sumber daya manusia, biaya, alat, bahan, metode kerja, tempat dan waktu sehemat mungkin.
B. Konsep manajemen berbasis sekolah
1. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen bebasis sekolah merupakan terjemahan dan “school-based management’. Manajemen Bebasis Sekolah (MBS) merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas kapada tingkat satuan pendidikan (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola dan mangatur sumberdaya dan mengalokasikan dana sesuai dengan perioritas kebutuhan. Slameto (2002:2) mengemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah berasal dan tiga kata yaitu: Manajemen, Berbasis, dan Sekolah. Manajemen adalah pengkordinasian, dan penyesuaian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai adanya kewenangan pengambilan keputusan yang Iebih luas ditingkat sekolah, partispasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan pendidikan Nasional.
Para pakar memberikan konsep MBS dan sudut pandang yang berbeda-beda akan tetapi maknanya tidak jauh bebeda mengacu pada peningkatan mutu. Malen, Ogawa, dan Kranz (dalam Duhao, 2002:16) mendefinisikan mengemukakan bahwa manajemen bebasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelengganaan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa MBS merupakan salah satu bentuk desentralisasi pendidikan yang di terapkan dimasing-masing sekolah sebagai pelaksana untuk mengembangkan diri sesuai dengan otoritas yang dimiliki. Lebih lanjut Candoli (dalam Duhaou, 2002:16) memberikan konsep bahwa suatu cara untuk memaksakan sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi pada anak menurut juridisnya dan mengikuti sekolahnya. Konsep ini menegaskan bahwa, ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah khusus itu, personil sekolah akan mengembangkan program-program yang telah meyakini karena mereka mengetahui para siswa dan kebutuhan mereka.
Pernyataan yang berbeda dengan konsep di atas, Slamet (2002:17) menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otomatis dan mandiri oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan Nasional, dengan melibatkan semua kelompok berkepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif.
BPPN dan Bank Dunia (dalam Mulyasa, 2002:11) memberikan konsep bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentaralisasi dibidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikn Nasional. MBS merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi peserta didik.
Dalam sistem MBS, semua kebijakan dan program sekolah ditetapkan olek Komite sekolah dan dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang di tetapkan berdasarkan musyawarah dan pada pejabat daerah setempat. Komisi pendidikan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pejabat pendidikan Daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang berlaku.
2. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah adalah memberdayakan sekolah, tertutama sumberdaya manusianya (Slamet,2003:9). Pemberdayaan terjadi melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumberdaya untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan, Menurut slamet, ciri-ciri sekolah yang “berdaya” adalah: (1) tingkat kemandirian tinggi, (2) tingkat ketergantungan rendah, (3) bersifat adaptif dan antisipatif, (3) memiliki jiwa kewirausahaan tinggi, bertanggung jawab terhadap hasil sekolah, (4) memiliki kontrol yang kuat terhadap input sekolah.
Ada dua esensi penting Manajemen Berabasis Sekolah yaitu otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif (Depdiknas, 2001:15). Otonomi sekolah diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak terlalu bergantung. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis, dimana warga sekolah dan seluruh stakeholder didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontrinbusi terhadap pencapaian tujuan.
Secara Spesifik Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk: (1) mendorong peningkatan mutu sekolah karena fokus penekanannya pada tiga komponen yaitu input-output-proses, (2) meningkatkan partisipasi warga sekolah dalam proses pengambilan keputusan, (3) meningkatkan akuntablitas sekolah terhadap masyarakat sebagai konsekuensi keterlibatan masyarakat dalam proses persekolahan. Durry dan Levin (1994) mengemukakan tujuan jangka pendek penerapan MBS, yaitu (1) meningkatkan efiseinsi penggunaan sumberdaya, (2) meningkatkan profesionalisme guru, dan (3) mendorong implementasi pembaharuan kurikulum di sekolah.
3. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Fullan (dalam Muslim, 2003:13) mendefinisikan implementasi “as the actual use of an inofation consists of in practice”. Dan definisi tersebut dapat dipahami bahwa implementasi merupakan penggunaan atau praktek secara inofatif secara actual dan nyata. selanjutnya Fullan mengatakan bahwa implementasi merupakan suatu proses dalam rangka mempraktekkan sebuah ide, program, atau seperangkat aktifitas yang bersifat baru kepada orang lain dengan megharapkan adanya perubahan yang terjadi.
Lebih jauh Muslim (2003:13) mengemukakan bahwa implementasi ditinjau dan kenyataan yang subyektif adalah sebagai proses pelaksanaan suatu ide, gagasan, program atau kegiatan lain melalui usaha agar terjadi suatu perubahan.
Poerwardarminta (1996:327) menegemukakan bahwa implentasi adalah pelaksanaan suatu usaha-usaha yang akan dijalankan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Manajemen Berbasis Sekolah adalah upaya pelaksanaan program yang telah ditetapkan secara konseptual dalam meningkatkan mutu pendidikan dan tetap mangacu pada tujuan pendidikan Nasional.
Upaya pelaksanaan program MBS secara efektif dan efisien, selain mamahami konsep implementasi dengan baik, harus juga didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan profesional. Dana yang tersedia juga cukup memadai untuk manggaji staf sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, serta sarana dan prasarana yang didukung oleh masyarakat. Mulyasa (2002:34) mengemukakan konsep pelaksanaan manajemen berbasis sekolah diantaranya adalah pengelompokan sekolah yang didasarkan pada kemampuan manajemen dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan kualitas sekolah.
Pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan dalam implementasi MBS antara lain yaitu : kategori sekolah yang sudah maju, sedang dan masih tertinggal. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan sekolah dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lain. Keragaman kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing sekolah menuntut perlakuan yang berbeda dalam melaksanakan MBS.
Menurut Bellen, dkk (2000:21) ,mengemukakan konsep pelaksanaan MBS antara lain (1) meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sumberdaya dan penyusunan program, (2) memberikan wewenang kepada kepala sekolah untuk mengelola sumber daya dan mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas peraturan yang berlaku, (3) mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di sekolah serta melakukan control terhadap sekolah, (4) mendorong pemanfatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan sekolah dengan memberikan anggaran dana blok grant yang dimanfaatkan bersama dan sumber-sumber lain, (5) mendorong adanya transparansi dalam pengelolaan sekolah mulai dan perencanaan samapi pada evaluasi, (6) mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang efektif, kreatif dan menyenangkan serta terciptanya sekolah yang sayang anak.
4. Kepala sekolah sebagai manajer dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Berdasarkan pengertian manajemen yaitu proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan usaha-usaha anggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber daya yang ada dalam rganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh yang berfungsi sebagai manajer dalam sebuah organisasi yaitu: proses, pendayagunaan, dan tujuan. Proses merupakan sesuatu yang sistematik dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu (Wahjosumidjo: 2001 :94).
Menurut Stoner dalam (Wahjosumidjo: 2001 :96) adalah delapan macam fungsi manajer dalam suatu organisasi yaitu: (1) Kepala sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain, (2) kepala sekolah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan, (3) Kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan dalam kondisi yang terbatas, (4) Kepala sekolah harus berpikir secara analitik dan konsepsional,(5) Kepala sekolah sebagai juru penengah, (6) Kepala sekolah sebagai politisi, (7) Kepala sekolah adalah seorang diplomat, (8) Kepala sekolah berfungsi sebagai pengambil keputusan.
Untuk mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara efektif dan efisien kepala sekolah sebagai manajer perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan, pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuh kembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan, dan hubungan manusiawi sebagai modal untuk menciptakan iklim yang kondusif. Lebih lanjut lagi kepala sekolah sebagai manajer dituntut untuk melakukan fungsinya dalam proses belajar mengajar, denngan melakukan supervisi kelas, pembinaan dan memberikan saran positif kepada guru.
Dapat disimpulkan bahwa dalam implmentasi manajemen berbasis sekolah merupakan kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan sekolah. Karena dia dibertanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai potensi masyarakat serta orang tua untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi manajemen berbasis sekolah harus mempunyai visi, misi dan wawasan luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan professional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Ia juga di tuntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah.
C. Konsep kemampuan manajerial
Manajerial berasal dan kata manager yang berati pimpinan. Menurut Fattah (1999:13) menjelaskan bahwa praktek manajenial adalah kegiatan yang dilakukan oleh manajer. Selanjutnya Siagian (1996:63) mengemukakan bahwa Manajenial skill adalah keahlian menggerakan orang lain untuk bekerja dengan baik.”
Kemampuan manajerial sangat berkaitan erat dengan manajemen kepemimpinan yang efektif, karena sebenarnya manajemen pada hakekatnya adalah masalah interaksi antara manusia baik secara vertikal maupun horizontal oleh karena itu kepemimpinan dapat dikatakan sebagai perilaku memotivasi orang lain untuk bekerja kearah pencapaian tujuan tertentu. Kepemimpinan yang baik seharusnya dimiliki dan diterapkan oleh semua jenjang organisasi agar bawahanya dapat bekerja dengan baik dan memiliki semangat yang tinggi untuk kepentingan organisasi.
Menurut Mondy dan Premeaux (1993:5) bahwa Manajemen adalah proses penyelesaian pekerjaan melalui usaha-usaha orang lain.”Berdasarkan definisi mi nampak bahwa proses manajemen akan terjadi apabila seseorang melibatkan orang lain untuk mencapi tujuan organisasi. Selanjutnya Gatewood, Tayler, dan Fennel (1 993:73) mengemukakan bahwa manajemen adalah “Serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan onganisasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya secara efektif dan efisien.” Definisi mi tidak hanya menegaskan apa yang telah dikemukakan sebelumnya tentang pencapaian hasil pekerjaan melalui orang lain, tetapi menjelaskan tentang adanya ukuran atau standar yang menggambarkan tingkat keberhasilan seorang manajer yaitu efektif dan efisien.
Manajemen adalah “proses menyelesaikan aktivitas-aktivitas secara efisien dengan dan melalui orang lain” (Robbins, 1986:86). Sedangkan Hasibuan (2001 :20) mengemukakan bahwa “Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya-sumberdaya lainnya secara efektif dan efisien untuk suatu tujuan tertentu.”
Pada umumnya manajemen adalah suatu kerjasama dengan dan melalui orang lain untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama dengan sistematis, efisiensi, dan efektif (Martoyo, 2002:12). Manajemen menurut Hasibuan (2001:42), adalah suatu proses yang khas yang terjadi tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lain. Stooner (1986:7) menyatakan bahwa proses mencakup perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Sedangkan menurut Siagian (1996:12) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi manajemen yang ada pada prinsipnya tidak bebeda dengan berbagai pendapat lain yaitu, planning, organaising, stepping, directing, coordinating, reporting, dan budgeting
Yulk (1988) mengemukakan bahwa, kemampuan dapat diartikan keterampilan atau skill menuju kepada kemampuan dan seesorang untuk melalukan berbagai jenis kegiatan kognitif atau diperlukan dengan suatu cara yang efektif. Keterampilan menggerakkan orang lain inilah yang disebut manajerial skill (Burhanudin, 1994). Demikian pula (Siagian, 1996:36) mengemukakan bahwa Manajerial skill adalah keahlian menggerakan orang lain untuk bekerja dengan baik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan manajerial adalah kemampuan untuk menggerakan orang lain dalam memanfaatkan sumber-sumber yang ada dalam mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Ukuran seberapa efisien dan efektifnya seorang manajer adalah seberapa baik dia menetapkan rencana dalam mencapai tujuan yang memadai, kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci keberhasilan organisasi.
Kepala sekolah sebagai manajer pada jalur pendidikan formal, dituntut memiliki kemampuan dalam manajemen sekolah, agar mampu mencapai tujuan proses belajan mengajar secara keseluruhan. Menurut Katz dan Payol (Robbins, 2003:7) bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas manajenial paling tidak diperlukan tiga macam bidang keterampilan, yakni: keterampilan teknis, yaitu kemampuan manusia untuk menggunakan prosedur, tekhnis, dan pengetahuan mengenai bidang khusus, keterampilan manusiawi, yaitu keterampilan untuk bekerja sama dengan orang lain, memahami, memotivasi, sebagai individu atau kelompok dan keterampilam konseptual, yaitu kemampuan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua kepentingan dan aktivitas organisasi.
Peranan kepala sekolah sebagai manajer, sangat memerlukan ketiga macam keterampilan di atas. Agar kepala sekolah dapat secara efektif melaksanakan fungsinya sebagai manajer maka harus memahami niali-nilai yang terkandung di dalam ketiga keterampilan di atas dan mampu mewujudkannya ke dalam tindakan atau perilaku.
Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam ketiga keterampilan tersebut sebagai berikut: Keterampilan teknis: (1) menguasai pengetahuan tentang metode. Proses, prosedur, dan tekhnik untuk melaksanakan kegiatan khusus dan (2) kemampuan untuk memanfaatkan serta mendayagunakan sarana, peralatan yang diperlukan dalam mendukung kegiatan yang bersifat khusus tersebut. Keterampilan manusiawi: (1) kemampuan untuk memahami perilaku manusia dan proses kerja sama, (2) kemampuan untuk memahami isi hati, sikap, dan motif orang lain, mengapa mereka berkata dan berperilaku, (3) kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan efektif, (4) kemampuan menciptakan kerja sama yang efektif, kooperatif, praktis, dan diplomatis, (5) mampu berperilaku yang dapat diterima. Keterampilan konseptual: (1) kemampuan berpikir rasional, (2) cakap dalam berbagai macam konsepsi, (4) mampu menganalisis berbagai kejadian serta mamapu memahami berbagai kecendrungan, (5) mampu mangantisipasi perintah, dan (6) mampu mengenali dan mamahami macam-macam masalah sosial.
Untuk mendukung terpenuhinya tututan manajerial skill sesuai dengan kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi, maka setiap orang yang disebut pemimpin harus berusaha memiliki sikap kepemimpinan yang baik. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan manjerial kepala sekolah adalah kapasitas yang dimiliki oleh seorang kepala sekolah dalam mengelola organisasi dan sumber daya yang ada, guna mencapai tujuan organisasi yang mancakup: (1) kemampuan merencanakan dengan indikator yaitu mampu menyusun dan menerapkan strategi, dan mampu mengefektifkan perancanaan, (2) kemampuan mengorganisasikan dengan indikator mampu melakukan departementalisasi , membagi tanggung jawab dan mampu mengelola personil. (3) kemampuan dalam pelaksanaan dengan indikator yaitu mampu mengambil keputusan, dan mampu menjalin komunikasi, (4) kemampuan mengadakan pengawasan indikator mampu mengelola, dan mampu mengendalikan operasional.
D. Motivasi kerja
Istilah motivasi berasal dan kata latin yaitu: motifus yang berarti sebab, alasan dasar, pikiran dasar dorongan bagi seseorang untuk berbuat atau ide pokok yang selalu berpengaruh besar terhadap tingkah laku manusia ( Kartono 1979:32). Menurut Siswanto (2008:120), motivasi adalah (1) setiap perasaan atau kehendak dan keinginan yang sangat mempengaruhi kemauan individu sehingga individu tersebut didorong untuk untuk berperilaku dan bertindak, (2) pengaruh kekuatan yang menimbulkan perilaku individu, (3) setiap tindakan atau kejadian yangmenyebakan berubahnya perilaku seseorang, (4) proses yang menentukan gerakan atau perilaku individu kepada tujuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hasibuan (1993:95), motivasi sebagai pemberi daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif dan berintegrasi dengan segala upaya untuk mencapai tujuan.
Purwanto (1990:72), menyatakan bahwa motivasi mengandung tiga kemampuan pokok yaitu menggerakkan, mengarahkan, dan menopang tingkah laku. Mengarahkan adalah menyatukan tingkah laku untuk mencapai suatu orientasi tujuan. Menopang yaitu memberikan penguatan intensitas, arah, dorongan-dorongan dan kekuatan-kekuatan individu. Uno (2008:1), mengemukakan bahwa motivasi adalah kekuatan, baik dan dalam maupun dan luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain sebagai dorongan mental terhadap pereorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. Motivasi dapat juga diartikan sebagai proses untuk mencoba mempengaruhi orang atau orang-orang yang dipimpinnya agar melakukan pekerjaan yang diinginkan.
Stevenson (2002:2) menganggap bahwa motivasi adalah insentif, dorongan, atau stimulus untuk bertindak, atau semua hal verbal, fisik, atau psikologis yang membuat seseorang melakukan sesuatu sebagai respon.
Walgito (1985:17) mengatakan bahwa seorang berpenilaku pasti berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai, apa yang mendorongnya, dan apa yang ditujuh, dengan kata lain bahwa penilaku manusia selalu menyangkut kebutuhan biologis dan psikologis.
Robbins (2003:208) mengatakan bahwa motivasi sebagai suatu proses yang menghasilkan suatu intensitas, arah, dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai satu tujuan.
Nawawi (1997:14), motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong atau menjadi penyebab seorang melakukan sesuatu atau kegiatan yang dilakukan secara sadar, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang melakukan sesuatu kegiatan yang tidak disukai, sehingga kekuatan didorong oleh sesuatu yang tidak disukai berupa kegiatan yang terpaksa dilakukan cenderung berlangsung tidak efektif dan efisien. Motivasi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah pendorong perilaku yang bersumber dalam diri seseorang sebagai individu, berupa kesadaran mengenai pentingnya manfaat/makna pekerjaan yang dilaksanakan, baik karena mampu memenuhi kebutuhan atau menyenangkan orang yang memungkinkan seorang mampu mencapai suatu tujuan positif dimasa depan. Sedangkan ekstrinsik adalah pendorong kerja yang bersumber dan luar diri sebagai individu berupa suatu kondisi yang mengharuskan pekerja melaksanakan perilaku secara maksimal karena adanya pujian, hukuman, aturan, dan sebagainya.
Dengan demikian jelaslah bahwa motivasi selalu berhubungan dengan kebutuhan, keinginan dan dorongan, sekaligus menjadi penyebab seorang pegawai, berusaha mencapai tujuan tertentu, dan berperilaku memelihara dan mengendalikan kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan dalam suatu organisasi.
Manusia dan kerja merupakan dua hal yang terangkung dalam kesatuan integral. Semua manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Abdurachman (1996:31), mengatakan bahwa kerja adalah kegiatan yang memuat suatu tujuan tertentu, disamping itu memuat perpaduan tenaga manusia, baik jasmani maupun rohani dengan alat, bahan, uang dan waktu. Moenir (1 996:90), mengemukakan bahwa pekerjaan adalah rangkaian perbuatan tetap yang dilakukan oleh seseorang yang menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati baik langsung maupun tidak langsung, baik hasil itu berupa barang atau jasa.
Menurut Kartono (1997:23), alasan orang bekerja dapat dilihat dan sudut penting yaitu: (1) pandangan konservatif mengatakan bahwa kerja jasmani adalah orang berakal sehat harus bekerja untuk mempertahankan eksistensi dirinya dan keluarganya. Pandangan konservatif mi menganggap bahwa kebanyakan orang tidak menyukai pekerjaan, sehingga perlu diberikan motivasi. Motivasi adalah sebagai satu-satunya ransangan untuk bekerja. Kekuatan untuk dipecat dan pekerjaan adalah satu-satunya motivasi negatif untuk mendorong orang agar terus tetap bekerja, dan (2) pandangan moderen melihat kerja sebagai aktivitas dasar dan dijadikan bagian yang esensial dan kebutuhan manusia. Kerja memberikan status, mengikat seseorang pada individu lain serta masyarakat. Kerja merupakan aktivitas sosial yang memberikan isi dan makna dalam kehidupan. Kerja merupakan realisasi diri manusia, yang bertitik tolak dan dalam kesenangan dan kesukaan, dengan kata lain kerja merupakan suatu bentuk pelayanan bagi manusia lain baik sebagai individu maupun bermasyarakat.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa bekerja adalah suatu aktivitas baik fisik maupun mental dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan atau pemenuhan kebutuhan. Dengan kata lain orang bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan hidupnya.
Menurut Maslow yang dikutif Robbins (2003:209), mengemukakan bahwa kebutuhan manusia dapat digolongkan menjadi lima tingkatan yaitu Kebutuhan yang bersifat fisiologis atau fisik berupa pangan, sandang dan tempat tinggal, Kebutuhan rasa aman yaitu kebutuhan akan perlindungan dan ancaman terutama berasal dan luar, baik yang bersifat ancaman fisik maupun psikis. Kalau dikaitkan dengan kerja, maka kebutuhan akan keamanan menyangkut keamanan jiwa sewaktu bekerja, perasaan aman akan harta benda yang ditinggalkan sewaktu bekerja dan juga menyangkut perasaan aman pada masa depan, Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan-kebutuhan sosial seperti kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dimana ia hidup dan bekerja, rasa ikut memiliki, kebutuhan akan dihormati, kebutuhan untuk maju dan perasaan ikut serta, Kebutuhan akan harga diri/prestasi. Harga din selalu menyertai status atau kedudukan seseorang di dalam organisasi atau masyarakat. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin banyak pula hal-hal yang digunakan sebagai statusnya, Kebutuhan mempertinggi kapasitas diri/kerja. Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya melalui pengembangan dirinya.
Asa’ad (1987:23), mengemukakan motivasi kerja merupakan suatu yang menimbulkan semangat dan dorongan kerja. Lebih lanjut dikatakan bahwa motivasi kerja psikologis kerja disebut pendorong semangat kerja. Kuat lemahnya motivasi kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasi kerja.
Teori pemeliharaan motivasi dua faktor yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang dikutif oleh Syahdam (1 996:22). Mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan yaitu : (1) faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfer atau intrinsik motivation, (2) faktor pemeliharaan (maintanance factor) yang disebut juga discatisfier atau extrinsic motivation.
Faktor pemuas merupakan faktor pendorong seorang untuk berprestasi yang bersumber dalam diri orang yang bersangkutan yang mencakup: (1) kepuasan kerja itu sendiri, (2) prestasi yang diraih, (3) peluang untuk maju, (4) pengakuan orang lain (5) kemungkinan pengembangan karier.
McClelland (dalam Handoko 2003:262), mengemukakan bahwa kebutuhan prestasi tersebut dapat dikembangkan pada orang dewasa orang-orang yang berorientasi prestasi mempunyai karakteristikkarakteristik tertentu yang dapat dikembangkan, yaitu:
1. Menyukai pengambilan risiko yang layak (moderat) sebagai fungsi keterampilan, bukan kesempatan, menyukai suatu tantangan dan menginginkan tanggung jawab pribadi bagi hasil-hasil yang dicapai
2. Mempunyai kecenderungan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang layak dan menghadapi risiko yang sudah diperhitungkan. Salah satu alasan mengapa banyak perusahaan berpinda keprogram management by objectives (MBO) adalah karena adanya korelasi positif antara penetapan tujuan dan tingkat prestasi.
3. Menyukai kebutuhan yang kuat akan umpan balik tentang apa yang telah dikerjakannya.
4. Mempunyai keterampilan dalam perencanaan jangka panjang dan memiliki kemampuan-kemampuan organisasional.
Selanjutnya Mc CIelland mengatakan bahwa untuk berprestasi merupakan kebutuhan motivasi dalam setiap kegiatan, sehingga merupakan motivasi untuk bekerja dan berkreativitas dalam pekerjaannya.
Teori motivasi yang telah dijelaskan, secara nyata berhubungan dengan peningkatan aktivitas seseorang, motivasi kerja pada hakekatnya menggerakkan atau menjadi tenaga pendorong yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya, dimana pekerjaan tersebut dilaksanakan secara sistematis dengan berkesinambungan, serta progresif, agar dapat mencapai tujuan organisasi. Sejalan dengan pandangan tersebut, Sardiman (1986:19) menyebutkan kesimpulan dua teori yang muncul yaitu: (1) biogenic theories, menyangkut proses biologis seperti intrinsik dan kebutuhan-kebutuhan dasar Iainnya, (2) sosiogenic theories, yang menekankan adanya pengaruh luar, berupa kebudayaan dan kehidupan masayarakat. Kedua teori tersebut menekankan bahwa seseorang melakukan aktivitas karena kebutuhan biologis intrinsik dan ekstrinsik atau sumber-sumber kebudayaan yang dipengaruhi oleh perkembangan budaya manusia.
Setiap manusia normal, berkeinginan meraih prestasi dan selalu mendambakannya, sehingga ia akan terdorong melakukan aktivitas atau pekerjaan serta berusaha melakukannya secara berkualitas. Pencapaian prestasi atau achievement dalam suatu pekerjaan akan menggerakkan bagi yang bersangkutan untuk melakukan aktivitas atau tugas-tugas berikutnya. Prestasi yang dicapai dalam suatu pekerjaan akan menimbulkan sikap positif, atau sikap yang selalu ingin melakukan aktivitas yang penuh tantangan. Sebaliknya jika seseorang selalu gagal meraih prestasi dalam pekerjaannya, akan menimbulkan rasa tidak puas, kecewa, bahkan mungkin frustasi, sehingga dapat berakibat munculnya kecenderungan konflik dalam lingkungan pekerjaannya.
Untuk mencapai pelaksanaan pekerjaan bagi setiap pegawai, diperlukan seorang pemimpin yang selalu berusaha mendorong bawahannya agar dapat melakukan pekerjaan yang lebih berkualitas guna mencapai prestasi semaksimal mungkin. Hal itu penting karena prestasi yang dicapai oleh setiap pegawai bukan saja menimbulkan rasa kebanggaan tersendiri pada diri yang bersangkutan, tetapi juga menguntungklan bagi organisasi dalam usaha meningkatkan produktivitasnya.
Sedangkan Wainer (1990:96), mengemukakan bahwa orang-orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi ditandai oleh: (1) berusaha untuk melakukan kegiatan yang meningkatkan prestasi, (2) berusaha untuk menghindari terjadinya kegagalan, (3) bekerja dengan intensitas yang lebih tinggi dan (4) memilih tugas yang mempunyai tingkat kesulitan. Pendapat ini pun menggambarkan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi tinggi untuk berprestasi akan selalu bekerja keras untuk mencapai hasil yang memuaskan dalam pekerjaannya, sebab yang bersangkutan akan merasa bangga dan bahagia jika ia berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan meskipun dengan mengerahkan segala kemampuan dan usaha maksimal yang cukup melelahkan, bahkan perasaan bangga/bahagia ini dapat semakin memperbesar dorongan seseorang untuk meraih prestasi yang lebih baik. Menurut Wahjosumijo (1999::92), motivasi itu merupakan dorongan yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, karena motivasi tersebut mempengaruhi seseorang untuk melakukan peningkatan aktivitas atau tindakan, serta mempertahankan kegiatan kearah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Motivasi merupakan proses biologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, persepsi dan kemampuan lainnya yang ada pada diri seseorang. Proses psikologi tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1) faktor intrinsik yang meliputi : kepribadian, sikap, pengalaman, pribadi, latar belakang pendidikan, dan harapan atau cita-cita, dan (2) faktor ekstrinsik, yang meliputi: prilaku pimpinan, hubungan antara individu, atau antar individu dengan kelompoknya, sosial ekonomi dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, bahwa begitu pentingnya motivasi kerja bagi kepala sekolah baik yang bersumber dan dalam dirinya (intrinsik) maupun dan luar (ekstrinsik) sebagai pendorong dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan pokoknya dan tugas-tugas tambahan yang dibebankan kepadanya. Dengan memiliki motivasi kerja yang tinggi maka kecenderungan produktivitas kerja kepala sekolah akan tinggi.
Indikator untuk mengukur motivasi kerja kepala sekolah di Kota Mataram adalah (1) meningkatkan prestasi, (2) menghindari kegagalan, (3) bekerja keras, (4) mengaktualisasikan din, (5) pujian, (6) hukuman, (7) aturan.
E. Fungsi Kepala Sekolah
1. Konsep dasar fungsi kepala sekolah
Fungsi merupakan karakteristik suatu tindakan yang harus dilakukan pada suatu pekerjaan. Menurut Sutaryadi (1993:6), konsep kepemimpinan dipandang sebagai seperangkat fungsi yang dibawah oleh pemimpin, bahwa tugas-tugas, iklim kelompok, dan kepuasan individu berhubungan dengan tujuan organisasi. Dan pandangan Sutaryadi ini tersurat tugas-tugas kepemimpinan yang pokok yaitu: (1) menentukan sasaran organisasi, (2) menyiapkan fasilitas, (3) mempengaruhi, (4) memotivasi, dan (6) menciptakan suasana kerja kondusif untuk tercapainya tujuan.
Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di sekolah. Pola kepemimpinannya akan sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan terhadap kemajuan sekolah. OIeh karena itu, kepemimpinan kepala sekolah adalah cara atau usaha kepala sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan guru, stap, siswa, orang tua siswa, dan pihak lain yang terkait, untuk bekerja atau berperan serta guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Atmodiwiro (2000:63) mengemukakan bahwa ada lima keterampilan administrasi dan dua belas kompetensi yang diperlukan untuk menjadi seorang kepala sekolah yang efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Lima keterampilan yang dimaksud adalah: (1) keterampilan teknis, 2) keterampilan hubungan manusia, (3) keterampilan konsepsional, (4) keterampilan pendidikan dan pengajaran, dan (5) keterampilan kognitif. Sedangkan dua belas kompetensi yaitu: (1) komitmen terhadap misi sekolah dan keterampilan untuk menjadikan gambaran bagi sekolahnya, (2) orientasi kepemimpinan proaktif (3) ketegasan, (4) sensitif terhadap hubungan yang bersifat interpersonal dan organisasi, (5) mengumpulkan informasi, menganalisis pembentukan konsep, (6) fleksibilitas intelektual, (7) persuasif dan manajemen interaksi, (8) kemampuan beradaptasi secara taktis, (9) motivasi dan perhatian terhadap pengembangan, (10) manajemen kontrol, (11) kemampuan berorganisasi dan pendelegasian, dan (12) komunikasi.
Menurut Dirawat, dkk (1986:43) tugas dan tanggung jawab kepala sekolah digolongkan atas dua bidang yaitu: (1) tugas kepala sekolah dalam bidang administrasi dan (2) tugas kepala sekolah dalam bidang supervisi. Tugas kepala sekolah dalam bidang administrasi digolongkan dalam bidang manajemen yang berhubungan dengan pengelolaan pengajaran, kepegawaian, kesiswaan, gedung dan halaman, keuangan, dan pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat. Sedangkan tugas kepala sekolah dalam bidang supervisi bertugas memberi bimbingan, bantuan, pengawasan, dan penilaian pada masalah-masalah yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan dan pengajaran yang berupa perbaikan program dan kegiatan pendidikan pengajaran untuk dapat menciptakan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
Peningkatan prestasi kepala sekolah dapat tercipta jika tugas dan fungsi kepala sekolah dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Menurut Mulyasa (2005:98-120) Fungsi tersebut adalah: (1) edukator, (2) manager, (3) administrator, (4) supervisor, (5) leader, (6) inovator, dan (7) motivator.
Menurut Lazarut (1992:21) kompetensi manajerial kepala sekolah pada dasarnya merupakan kemampuan kognitif, kemampuan afektif, dan kemampuan psikomotor. Kepala Sekolah mengelolah pendidikan melalui fungsi-fungsi manajemen dengan memamfaatkan semua sumber-sumber daya sekolah termasuk manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan pendidikan.
2. Fungsi kepala sekolah sebagai manajer di sekolah.
Dari berbagai pandangan tentang fungsi-fungsi manajemen tidaklah terdapat perbedaan yang prinsip, semuanya memandang fungsi-fungsi manajemen sebagai suatu proses manajemen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi manajemen dapat dikelompokkan atas perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan. Fungsi manajemen diatas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wahjosumijo (1999:94), bahwa proses manajemen disekolah mencakup proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan program, sumber daya manusia, sarana dan dana. Kepala sekolah sebagai manajer di sekolah menyelenggarakan berbagai bidang diantaranya adalah


a Kurikulum atau pengajaran
Salah satu tugas utama kepala sekolah adalah melaksanakan perencanaan, mengkoordinasikan, sampai tahap evaluasi pada kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian pemahaman terhadap kurikulum sampai dengan strategi pelaksanaan sangat penting. Tahap pelaksanaan kurikulum melalui empat tahap, yaitu:(1) perencanaan (2) pengorganisasian dan koordinasi, (3) pelaksanaan, dan (4) pengendalian (Depdikbud, 1999).
b. Personalia
Dalam manajemen personalia, ada tiga aspek tugas kepala sekolah yaitu: (1) pengadaan tenaga, (2) pemamfaatan tenaga yang telah dimiliki, dan (3) pembinaan dan pengembangan. Ada dua tahap harus dilakukan kepala sekolah untuk pengadaan tenaga yaitu analisis pekerjaan, pengadaan tenaga, sedangkan yang berhubungan dengan pemamfaatan tenaga yaitu peningkatan propesionalisme, pembinaan karier, dan kesejahteraan, demikian pula pembinaan dan pengembangan personalia, kepala sekolah perlu mendayagunakan staf.
c. Kesiswaan
Semua kegiatan di sekolah pada akhirnya ditujukan untuk membantu siswa mengembangkan dirinya. Upaya itu akan optimal jika siswa itu sendiri secara aktif berupaya mengembangkan diri, sesuai dengan program-program yang dilakukan sekolah. Oleh karena itu peran kepala sekolah sangat penting untuk menciptakan kondisi agar siswa dapat mengembangkan diri secara optimal. Misalnya, penerimaan siswa baru, pembinaan siswa, dan pemantapan program kesiswaan.
d. Keuangan
Segala kegiatan yang dilakukan di sekolah perlu dana. Hal ini disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah dalam segala aktivitasnya perlu sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan, supervisi, penggajian, dan kesejahteraan guru, dan staf lainnya kesemuanya itu memerlukan dana (Cambell, dalam Maisyaroh, 2003)
e. Sarana dan prasarana
Para pakar pendidikan sering kali menegaskan bahwa guru merupakan sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan program pendidikan. Namun tidak berarti bahwa keberadaan unsur-unsur lain tidak begitu penting. Tujuan manajemen sarana dan prasarana di sekolah yaitu: (1) untuk mengupayakan pengadaan melalui sistim perencanaan agar sesuai dengan kebutuhan sekolah, (2) mengupayakan pemakaian secara tepat dan efisien, (3) mengupayakan pemeliharaan sehingga keberadaannya selalu dalam kondisi siap pakai.
f. Hubungan sekolah dengan masyarakat
Sekolah adalah bagian dan sistem sosial yang berperang dalam rangka mencetak kader bangsa yang diharapkan dapat meneruskan cita-cita pembangunan nasional. Dengan dasar itu maka hubungan sekolah dengan masyarakat harus dijalin dengan baik, karena mempunyai tujuan seperti yang dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1995:334), tujuan pokok pengembangan hubungan efektif dengan masyarakat setempat adalah untuk memungkinkan orang tua dan warga wilayah berpartisipasi aktif dan penuh arti didalam kegiatan. Pendekatan yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah dalam menjalin hubungan dengan masyarakat adalah persuasif. Atas dasar itu maka beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain: (1) pertemuan dan hati kehati, kunjungan rumah, (2) laporan kemajuan belajar siswa kepada orang tua, (3) pertemuan kelompok, (4) tatap muka, (5) tukar menukar pengalaman, (6) diskusi bersama ( Husain, MS 2005). Mintzberg (dalam Marzuzak, 2008) membagi tiga kemampuan kepala sekolah sebagai manajer di sekolahnya, yaitu: (1) impersonal, kepala sekolah sebagai figur, pemimpin, dan juru runding, (2) informational, kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar dan perantara, (3) desisional, kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, pengalokasi sumber-sumber dan negosiator.


F. Kerangka pikir
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam bebagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang digulirkan saat ini adalah menajemen negara, yaitu sentralisasi ke desentaralisasi secara resmi perubahan itu telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah.
Konsekuensi logis dan Undang-Undang tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Manajemen Berbasis (MBS) merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada sekolah dalam mengatur, mengelola dan melaksanakan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pelakasaan pendidikan yang bermutu di sekolah. Dalam Implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah,
Manajemen Berbasis Sekolah diharapkan dapat menunjang kegiatan pembelajaran sekolah sehingga upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan di lembaga pendidikan dapat tercapai. Beberapa pokok yang perlu diperhatikan agar manajemen berbasisi sekolah dapat terlaksana dengan baik anatara lain: (1) kinerja kepala sekolah, (2) kinerja guru, (3) peran serta masyarakat.
Pelaksanaan MBS menuntut kepemimpinan kepala sekolah profesional yang memiliki kemampuan manjerial dan integritas pribadi untuk mewujudkan visi menjadi aksi, serta demokratis dan taransparan dalam berbagai pengambilan keputusan. kemampuan manjerial kepala sekolah adalah kapasitas yang dimiliki oleh seorang kepala sekolah dalam mengelola organisasi dan sumber daya yang ada guna mencapai tujuan organisasi dengan indikator: (1) kemampuan merencanakan (2) kemampuan mengorganisasikan (3) kemampuan dalam pelaksanaan dan (4) kemampuan mengadakan pengawasan.
Motivasi kerja adalah daya dorong yang menggerakkan kepala sekolah melaksanakan tugas yang bersumber dan dalam dirinya maupun yang diluar dirinya yang dapat diukur dengan indikator (1) meningkatkan prestasi, (2) menghindari kegagalan, (3) bekerja keras, (4) mengaktualisasikan diri, (5) pujian, (6) hukuman, (7) aturan. Sedangkan kualitas manajemen berbasis sekolah adalah terlaksananya segala kegiatan yang berhubugan dengan manajemen berbasis sekolah yang dapat diukur dengan indikator (1) organisasi, (2) kurikulum, (3) kesiswaan, (4) sarana dan prasarana (5) anggaran (6) partisipasi masyarakat. Untuk Iebih jelasnya kerangka pikir tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut:








Gambar 1. Skema kerangka pikir
G. Hipotesis penelitian
1. Terdapat pengaruh positif kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah di Kota Mataram .
Hipotesis statistik:
H0: Tidak terdapat pengaruh positif kemampuan manajerial Kepala Sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah .
Hi: Terdapat pengaruh positif kemampuan manajerial Kepala sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah
Dengan simbol:
H0: B1 = 0
H1 : B2 ≠ 0
2. Terdapat pengaruh positif motivasi kerja Kepala Sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah. Kota Mataram.
Hipotesis statistik:
H0: Tidak terdapat pengaruh positif motivasi kerja Kepala Sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah.
H1: Terdapat pengaruh positif motivasi kerja Kepala Sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah.
Dengan simbol:
H0 : B1 = 0
H1 : B2 ≠ 0
3. Terdapat pengaruh positif secara bersama sama kemampuan manajerial dan motivasi kerja Kepala Sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah di Kota Mataram.
Hipotesis statistik:
H0: Tidak terdapat pengaruh positif kemampuan manajerial dan motivasi kerja Kepala Sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah .
H1: Terdapat pengaruh positif kemampuan manajerial dan motivasi kerja Kepala Sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah .
Dengan simbol:
H0: Bi 2 = 0
H1 : Bi 2 ≠ 0









BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Penelitian ini dikategorikan sebagai deskriptif korelasional karena berusaha memaparkan hubungan faktor-faktor atau berbagai variabel yang mempengaruhi keadaan tanpa memanipulasi variabel tersebut. Apabila dilihat dan segi pendekatannya, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif mencoba membuktikan kebenaran teori dengan observasi yang didahului dengan mengajukan hipotesis dan operasionalisasi variabel. Sedang dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan sebagaimana penelitian eksperimen (Arikunto, 2002:87). Karena penelitian ini dapat juga disebut penelitian non-eksperimen. Selanjutnya karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, penelitian ini juga disebut penelitian korelasional.
B. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kota Mataram Propinsi NTB
C. Variabel dan desain penelitian
1. Variabel penelitian
Variabel penelitian ini terdiri dan dua variabel bebas (predictor) yaitu kemampuan manajerial (Xi), dan motivasi kerja (X2), satu variabel terikat (kriterium) kualitas penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (Y).
2. Desain penelitian
Penelitian ini ingin mengkaji hubungan antara kemampuan manajerial dan motivasi kerja kepala sekolah terhadap kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah di Kota Mataram dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan non-eksperimen, yang berarti penelitian mengkaji fakta-fakta yang telah terjadi. Penelitian mi bersifat korelasional dengan desain survey. Dengan demikian, pada saat penelitian dilakukan para responden memiliki penghayatan, persepsi, pengalaman, dan perasaan serta penilaian tertentu yang merefleksikan persepsi mereka terhadap semua aspek kegiatan dan keadaan pada Iingkungan kerjanya. Adapun pola hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat, secara sederhana dan skematis digambarkan sebagai berikut:






Gambar 2. Pola hubungan antar variabel
Keterangan: X1 = Kemampuan manajerial
X2 = Motivasi Kerja
Y = Kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah
D. Definisi operasional variabel
Untuk memperoleh kesamaan persepsi mengenai penelitian ini dan mengarahkan peneliti untuk merumuskan instrumen penelitian maka dirumuskan definisi operasional sehubungan dengan variabel yang ada dalam penelitian ini yaitu :
1. Kemampuan manajerial kepala sekolah adalah kemampuan kepala sekolah dalam mengelola organisasi dan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang diukur dengan; (1) kemampuan merencanakan yaitu mampu menyususn rencana dan menetapkan strategis serta mampu mengefektifkan perencanaan, (2) kemampuan mengorganisasikan yaitu meliputi mampu melakukan pembangian tugas dan tanggung jawab serta mampu mengelola personil, (3) kemampuan pelaksanaan yaitu mampu mengambil keputusan dan mampu menjalin komunikasi, dan (4) kemampuan pengawasan yaitu mampu mengendalikan organisasi.
2. Motivasi kerja adalah daya dorong yang menggerakkan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas yang bersumber dan dalam dirinya maupun yang diluar dirinya guna mencapai hasil kerja yang memuaskan yang dapat diukur dan indikator (1) meningkatkan prestasi, (2) menghindari kegagalan, (3) bekerja keras, (4) mengaktualisasikan din, (5) pujian, (6) hukuman, (7) aturan.
3. Kualitas pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah adalah upaya pelaksanaan program-program pendidikan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui otonomi sekolah yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Dan indikatornya meliputi (1) organisasi, (2) kurikulum, (3) kesiswaan, (4) sarana dan prasarana (5) anggaran (6) partisipasi masyarakat.
E. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiono, 2006: 114). Kedudukan instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai alat pengumpul data dilapangan. Dalam penelitian ini ada dua instrumen penelitian yang digunakan yaitu:
1. Kuesioner dipergunakan untuk mengetahui kemampuan manajerial, motivasi kerja, dan kualitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang diberi nilai 1,2,3,4 dan 5 untuk nilai positif dan 5,4,3,2, dan 1 untuk nilai negatif.
2. Dokumentasi adalah alat yang di gunakan untuk mengumpul data yang berhubungan dengan karakter responden yaitu jumlah kepala sekolah, jenis kelamin, golongan serta tingkat pendidikan.
F. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua kepala sekolah di Mataram yang terdiri dan kepala sekolah SD, SMP serta SMA yang berjumlah 150 orang.
2. Sampel
Menurut Sugiyono (2003:91) mengatakan bahwa sampel adalah sebagian dan jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah random sampling dengan mengambil sampel sebesar 25 % dan 150 kepala sekolah yang ada.. Dengan demikian jumlah sampel sebanyak 38 orang. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2006:134), yang menyatakan bahwa jika jumlah populasi penelitian dibawah 100 maka sebaiknya diambil semua, tetapi jika jumlah populasinya diatas 100 maka jumlah sampelnya dapat diambil 10-15% atau 20 — 25 % atau lebih tergantung dan ketersediaan waktu, tenaga, dan dana serta kemampuan peneliti termasuk sempit luasnya wilayah penelitian.
G. Teknik pengumpulan data
1. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan beberapa teknik yaitu: Memberikan kuesioner kepada kepala sekolah untuk menjaring data kemampuan manajerial, motivasi kerja dan kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah
2. Mengkaji dokumen yang berhubungan dengan jumlah kepala sekolah, tingkat pendidikan, golongan, dan jenis kelaminnya.
H. Analisis data dan uji persyaratan analisis
1. Analisis data
Data yang telah dikumpulkan, diolah dengan menggunakan dua macam teknik statistik yaitu teknik analisis statistik deskriptif dan teknik analisis statistik inferensial. Teknik analisis statistik deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel penelitian dengan menggunakan rata-rata, standar deviasi, skor tertinggi, skor terendah, tabel frekuensi, dan persentase. Sedangkan analisis statistik inferensial dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan analisis korelasi dan analisis regresi. Rumus korelasi ganda yang dikemukakan oleh Sudjana (1991:369 dan 385) adalah sebagai berikut:
n ∑X1Y – ( ∑X1) ( ∑Y1 )
r = ( utk ry1 dan ry2 )
( n ∑x² - ( ∑X1 )² ) ( n∑Y² - (∑Y) ² )
Sedangkan untuk mencari r12 dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
n ∑X2 X1 – ( ∑X2) ( ∑X1 )
r 12 = ( utk ry1 dan ry2 )
( n ∑x²2 - ( ∑X2 )² ) (n ∑x² - (∑x1) ² )
Untuk Koefisien korelasi ganda digunakan rumus sebagai berikut:

r² y + r² y2 – 2y. ry2.ry12
Ry12 = √
1 r²12
Dimana : ryi : koefisien korelasi antara y dan X1
ry2 : koefisien korelasi antara y dan X2
R12 : koefisien korelasi antara X1 dan X2
Kriteria yang digunakan untuk interpretasi nilai adalah seperti yang dikemukakan oleh Tiro (1999) yaitu:
Tabel 1. Konversi nilai kualitatif nilai IKH
NILAI IKH HUBUNGAN
0.80 – 1.00 Sangat Kuat
0.60 – 0.79 Kuat
0.40 – 0.59 Sedang
0.20 – 0.39 Lemah
0.00 – 0.19 Sangat Lemah

Sedangkan rumus regresi ganda yang dikemukakan oleh Tiro (2000:109), adalah sebagai berikut: Y = a0 + a1X1 + a2X2+E
Keterangan: Kualitas penerapan manajemen berbasis sekolah
X1 : Kemampuan manajerial
X2 : Motivasi Kerja
E : Variabel ganguan stokastic
a : Konstanta regresi.
2. Uji persyaratan analisis
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas sebagai persyaratan analisis. Pengujian normalitas bertujuan untuk melihat apakah data pada setiap variabel berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan dengan melihat nilai kolmogorov-Smirnov pada setiap variabel yang diolah dengan program komputer statistik “SPSS 15”. Jika pengujian tersebut terpenuhi, maka pengujian linieritas dan pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi dapat dilanjutkan (Manangkasi, 1998).
DAFTER PUSTAKA

Abdurrahman, H. A. 1996. Leadership (Teori Pengembangan Filosofi Kepemimpinan Kerja). Jakarta: Dinas Latihan Jabatan LAN.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Reneka cipta.
As’ad. Moch. 1987. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Bafadall, Ibrahim. 1992. Supervisi Pengajaran Teori dan Aplikasinya dalam Pembina Profesional Guru. Bandung: Bumi Aksara.
Burhanuddin 1994. Analisis Administrasi Manajemen Kepemimpinan pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Daft, Richard L. 2002. Manajemen. Jakarta: Erlangga.
Bellen S. dkk. 2000.Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: UNESCOUNICEF-Pemerintah Indonesia
Depdiknas, 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Tampa Penerbit
Duhou. Abu. 2002. School Based Management. Paris: Internasional Institute for Educational Planning
Fattah. 1999. Landasan Manajemen Pendidikan Remaja. Bandung:Rosda Karya
Handoko, T. Hani.2003. Manajemen Edisi 2, Yogyakarta: BPFE
Hasibuan, S.P. Melayu. 2001. Manajemen Dasar, Pengertian, dan Makalah. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Kartono, K. 1997. Psikologis Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri. Jakarta: Rajawali PressYogyakarta: Kanisius
Liputo, Benyamin. 1998. Pengantar Manajemen. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mahtika, Hanafie. 2006. Ilmu administrasi Konsep dan Organisasi Terhadap Pembinaan Pegawai. Jakarta: Gunung Agung
Maisyaroh. 2003. Manajemen Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Moenir. 1996. Pendekatan Manusiawi dan Organisasi Terhadap Pembinaan Pegawai. Jakarta: Gunung Agung.
Mondy, R Wayne dan Shane R. Premeaux. 1993. Management: Concept, Practices, and Skill. Boston: Allyn and Bacon
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya
Muslim, S. 2003. Kinerja Kepala Sekolah dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) SLTP Negeri 2 Mataram:Universitas Negeri Surabaya.
Nawawi, H. 1999. Administrasi Pendidikan Indonesia. Jakarta: Toko Gunung Agung.
Purwanto. M. Ngalim, 1998. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Robbins, D. Stephen.2003. Perilaku Organisasi. Jakarta:Gramedia.
Slamet, PH., 2000. “Manajemen Berbasis Sekolah.”Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.Tahun 6 (027) hlm.60-63.Depdiknas
Siagian, Sondang P. 1992. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: Bumi Aksara
Siswanto, H.B. 2006. Pengantar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan RD. Bandung: Alfabeta.
Stevenson, Nancy. 2001. Penuntun 10 Menit Seni Memotivasi. Yogyakarta: Andi
Sutaryadi. 1993. Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Syadan. G. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Manajement). Jakarata: Djembatan.
Tilaar. H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka cipta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Uno. B. Hamzah. 2006. Teori Motivasi dan Pengukurannya.Jakarta: Bumi Aksara.
Wahjosumidjo. 2001. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: Rajawali Pers.
Walgito. Bimo. 2000. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta
YuIk. Gary. 1998. Leadership in Organization. Jakarta: Prennhalindo

Sabtu, 16 Januari 2010

PEMBINAAN MORAL DALAM KAJIAN FILSAFAT JAWA (Sebuah Tinjauan Fenomenologis Moral dalam Perilaku Njawani)

Oleh
Ib Arjana

A. Pengantar
Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagi makhuk individu, sebagi makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada dibumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.
Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bagsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil dengan baik.
Namun masalah-masalah moral yang terjadi sekarang ini jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan masalah-masalah moral yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap moral yang tepat, studi di bidang moral dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi itu belum cukup menjamin terjadinya perilaku moral yang tepat. Studi tentang moral tidak bersifat teknis melainkan refeksi, yaitu suatu refleksi tentang tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Moral dapat dikaji secara kognitif sebagai penalaran moral, dapat juga dari aspek perasaan moral, dan dapat huga dari perilaku atau tindakan moral. Ketiga aspek tersebut terintegrasi dalam diri seseorang dan membentuk kematangan moralitas orang tersebut. Maka objek kajian tentang moralitas ini langsung berkaitan dengan praktik kehidupan manusia.
Dari bingkai filsafat, pentingnya nilai dekat dengan teri Revitalisasi Budaya yang melahirkan esensialisme dan perenialisme. Esensialisme menghendaki agar pendidikan bersendikan atas norma dan nilai yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan perenialisme bersendikan atas penggunaan kesenian bebas sebagai modal dasarnya. Unsur-unsur budaya yang telah berabad-abad usianya dipandang sebagai vitalitas yang mantap sebagai landasan menemukan perubahan dan kemajuan pada zaman sekarang (Barnadib, 1996:40).
Dalam konteks yang aplikatif, norma dan nilai seperti termaktub dalam esensialisme dapat dipersonifikasikan dengan norma dan nilai luhur Pancasila. Norma dan nilai luhur, seperti: ketuhanan, persatuan dan kesatuan, rela berkorban, kebenaran dan keadilan, kebersamaan, keberagaman, cinta tanah air, dan sebagainya dapat dijadikan “modal dasar” dalam menyelesaikan krisis yang melanda Indonesia.
Selebihnya penumbuhkembangan norma dan nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan wujud internalisasi dari hakikat manusia, sebagai makhluk berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Keempat dimensi manusia itu dalam pendidikan harus dikembangkan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang agar dapat terbentuk kepribadian manusia yang utuh (Satmoko, 2000:18).
Berdasarkan uraian di atas maka persoalan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: bagaimana melakukan pembinaan moral dalam kajian filsafat Jawa?

B. Pembahasan
1. Pembinaan Moral dan Penalaran Moral
Menurut Lillie dalam Budiningsih, (2004:24), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Moral juga diartikan sebagai hal-hal yang berhungan dengan nilai-nilai susila. Sedangkan Baron, dkk dalam Budiningsih, (2004:24) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Suseno (1987:18) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tinsdakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.
Kohlberg dalam Budiningsih (2004:25) tidak memusatkan perhatian pada perilaku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatanya. Ia menjadikan penalaran moralnya sebagai pusat kajiannya.dikatakan bahwa mengamati perilaku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan moral. Seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perilakunya sama., tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercemin dalam perilaku mereka.
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral judgement,sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian yang sama dan digunakan secara bergantian. Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi penalaran moral Setiono dalam Budiningsih, (2004:25). Penalaran moral mereka lah yang mencerminkan perbedaan kematangan moral tersebut.
Moral dapat diartikan sebagai keseluruan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kerlompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematik dalam etika, filsafat moral, dan teknologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagi makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhluk individu, sebagi makhluk sosial, dan sebagai makhluk yang berpribadi, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak yang mulia. Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bangsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil, dan sustainable (Tauhid, 2002:19).
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan di lakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehinga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan ( statement ) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah,. Alasanya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan mengatakan sesuatu yang sama, maka disini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikanya terhadap sesuatu hal yang benar atau salah.
Penalaran moral dipandang sebagai struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg dalam Budiningsih, 2004:25) Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahab kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya.
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akn sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penalaran moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat di identifikasi tingkat perkembangan moralnya.
Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui prose perkembangan dan cara-cara membantu mengembangkan moral tersebut.
Piaget dan Kohlberg 1980 dalam Budiningsih, (2004:26) telah mengadakan studi dalam proses perkembangan moral. Mereka lebih memusatkan penyelididkan pada pola-pola sturtur penelaran manusia dalam mengadakan keputusan moral dari pada penyelidikan tingkah laku. Kedua tokoh tersebut telah menyusun peta lengkap mengenai bagaimana individu-individu berkembang secara moral. Mereka telah mengembangkan teori-teori perkembangan moral yang dengan jelas memperlihatkan tahap-tahap mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral.
Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahp mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral. Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahap perkembangan moral dan perincian prosedur untuk menentukan siapa-siapa yang ada pada tahap-tahap itu. Dengan demikian teori-teori mereka memberikan sutu alat pendidikan yang tidak tenilai harganya, karena sudah menjadi aksioma dalam pendidikan bahwa pendidikan akan mencapai hasil yang paling efektif kalau orang menyapa pada siswanya pada tahap yang sejajar dengan kemampuan belajar mereka. Program-program pendidikan moral yang disusun tanpa mengetahui tahap perkembangan anak (karakteristik siswa) tidak akan berhasil.
Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:27) mengembangkan alat sistematis untuk mengungkap penalaran-penalaran itu dengan mengembangkan sekumpulan cerita, yang memasukkan orang atau orang-orang kedalam suatu dilema moral. Kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan mengenai dilema-dilema tersebut, yang dimaksudkan untuk menjajaki penalaran-penalaran subjek yang bersangkutan, apakan alasannya maka ia akan melakukan tindakan tertentu dalam situasi seperti itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa moral adalah keseluruhan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan. Sedangkan penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan yaitu: (1) tingkatan pra moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dalam Budiningsih, (2004:28) dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu: (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahaun, (3) tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.
Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat terbalik (irreversible) yaitu bahwa suatu tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan dibawahnya Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28). Misalnya, seseorang yang telah berada pada tahap –5 tidak akan kembali pada tahap –3 atau tahap –4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu gerak maju dari tahap –1 sampai tahap-6, dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral. Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg yang disarikan oleh Hardiman (1987) dalam Budiningsih, (2004:29) sebagai berikut:
a. Tingkatan Pra-Konvensional
Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistik). Tingkat ini di bagi 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap pengusa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2: Orientasi instrumentalistik. Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain. Hubungan antara manusia di pandang seperti hubungan dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip tindakan dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prisip kesalingan adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seseorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan doniman adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kerukunan atau orientasi good boy – nice girl. Pada tahap ini orang perpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagi “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.
Tahap 2: Orientasi ketertiban masyarakat. Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjada tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.
c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagi subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa beralah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani . tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kontrak sosial. Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang lain menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yng jelas untuk mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 2: Orientasi prinsip etis universal. Paad tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputuan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya; cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri, dan kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Melihat tahap-tahap dan orientasi tiap tahap tersebut tampak bahwa seseorang tetap mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan kesalingan, hanya saja konkretisasinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masing-masing tahap. Menurut kohlberg perkembangan penalaran moral ini berlangsung setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peranan pendidik adalah menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi seseorang untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. Seorang terutama memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapnya sekarang dan ia mempunyai peluag untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang pernah dilampauinya.
Menurut kohlberg dalam Budiningsih, (2004:32) perkembangan ini tidak ditentukan oleh usia. Dalam penelitiannya, lebih dari 50% respondennya (orang dewasa) masih ada pada tahap konvensional Hardiman, (1987) dalam Budiningsih, (2004:32). Kecepatan perkembangannya pun beragam. Satu faktor penting dalam perkembangan penlaran moral adalah faktor kognitif, terutama dalam berpikir abstrak dan luas.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahap-tahap penalaran moral di atas penulis berpendapat bahwa terdapat sejumlah tahap perkembangan penalaran moral yang dicirikan sebagai pola struktur pemikiran formal, terlepas dari isinya. Ada perbedaan kualitatif pada masing-masing strukturnya, atau cara berpikir yang berbeda yang mempunyai fungsi dasar dalam proses perkembangan. Semua struktur yang berbeda ini membentuk urutan tetap dan konsisten dalam proses perkembangan moral.
Piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional formal berkembang, maka Kohlberg secara sejajar menunjukkan juga bahwa pada masa remaja dapat dicapai tahap tertinggi penalaran moral yaitu prinsip keadilan yang universal. Dengan demikian seluruh tahap perkembangan penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg dapat diajarkan pada remaja.


3. Membentuk Moral dalam Filsafat Jawa
Pemakaian istilah “filsafat Jawa” kurang popular, barang kali juga kurang tepat, lebih tepat bila disebut dengan falsafah Jawa atau Kejawen. Falsafah berbeda dari filsafat. Falsafah merupakan suatu pandangan hidup, pandangan dunia, lebih mendekati pada pengertian ideologi; sedang filsafat termasuk dalam kawasan ilmu pengetahuan. Kejawen juga dibedakan dari kejawaan. Kalau kejawen merupakan suatu bentuk “kata benda”, berupa ajaran Jawa; sementara kejawaan merupakan suatu bentuk “kata kerja” dan sekaligus “kata sifat”, yaitu tingkah laku kongkrit orang jawa, sebagai orang jawa. Kesesuaian kejawen dengan kejawaan dalam sikap hidup dan tingkah laku orang jawa, disebut njaweni; sebaliknya ketidak-sesuaian sikap hidup dan tingkah laku orang jawa (kejawaan) dengan ajaran atau falsafah jawa (kejawen), dikatakan sebagai ora njaweni (tidak sebagaimana mestinya orang jawa).
Kekaburan nilai, merupakan hal yang sangat mengganggu sekali dalam proses pendidikan. Hal ini lantaran nilai merupakan bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dan sikap hidup itulah, sering disebut mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannnya pada masyarakat (Mulder, 1973).
Dalam pembicaraan ini perbedaan dalam pemakaian istilah filsafat dan falsafah diabaikan, pemakaian istilah “filsafat jawa” dipertahankan dengan meletakkannya diantara tanda kutip; untuk menjaga konsistensi dengan pembicaraan sebelumnya (filsafat India, filsafat Cina).
“Filsafat Jawa” mempunyai ciri-ciri umum yang banyak persamaannya dengan filsafat India maupun Cina. Orang Jawa juga merasakan kefanaan dunia ini dan merindukan kepada baka. Dengan demikian mereka berupaya untuk menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Alam pemikiran Jawa bersifat religius. “Filsafat Jawa” lebih menyerupai ngelmu, suatu aktivitas batin, hasil dari perenungan, daripada ilmu, yang mencari kebenaran dengan metode tertentu.
Sikap orang Jawa lebih bersifat subyektif, menekankan pada perasaan, menyatukan diri dengan alam semesta, lebih terbuka bagi realitas ajaib yang mengatasi segala-galanya. Kehidupan orang Jawa dipenuhi dengan berbagai upacara ritual, yang disebut slametan. Dalam pandangan Jawa, manusia adalah dunia kecil (mikro kosmos) yang merupakan cerminan dari semesta alam (makro kosmos). Manusia dan dunia merupakan satu kesatuan yang harus selalu dijaga keharmonisannya.
“Filsafat Jawa” tidak mengejar kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat berkembang sejauh tidak mengganggu keseimbangan atau keharmonisan semesta alam. Perkembangan ilmu pengetahuan justru terjadi karena upaya untuk mencari keseimbangan tersebut. Oleh karena itu “filsafat Jawa” mengajarkan bagaimana sikap manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. “Filsafat Jawa” menitik-beratkan pada kualitas moral (etika).
“Filsafat Jawa” memandang Tuhan sebagai suatu kekuatan di atas manusia, yang mengatasi manusia, yang menguasai segala sesuatu; yang tidak dapat dikuasai oleh manusia. Oleh karena itu orang Jawa menganggap semua yang berada di atasnya, yang berasal dari atas, adalah Tuhan atau wakil/manifestasi dari Tuhan. Raja adalah wakil/penjelmaan Tuhan di dunia (paham dewaraja). Memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai sarana yang dapat membebaskan manusia. Manusia harus menjalani kewajiban terhadap penguasa sebagai kewajiban berbakti (kebaktian). Bawahan tidak boleh menentang penguasa, sekalipun penguasa telah melanggar norma-norma. Sifat kebaktian terhadap penguasa yang tidak bersifat kritis tersebut mnyuburkan kehidupan feodalis-kolonialis.
Dari uraian tentang ciri-ciri umum “filsafat Jawa” tersebut di atas, dapat disimpulkan tiga pokok pembicaraan dalam “filsafat Jawa” yaitu “ (1) pandangan hidup orang Jawa, (2) sikap hidup orang Jawa, dan (3) prinsip hidup orang Jawa. Berikut ini ketiganya dibicarakan lebih lanjut.
Pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) berdasarkan keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah satu; merupakan satu kesatuan hidup. Menurut pandangan orang Jawa tidak mungkin memisahkan unsur-unsur sakral (yang suci) dari yang profane.
Hidup manusia diselaraskan dengan alam raya (kosmos, alam semesta), yang diatur secara hirarkis. Menjaga keselarasan, keserasian dan keharmonisan dengan tata tertib universal merupakan suatu tugas moral. Kelakuan antara manusia diatur dengan tatakrama (Jawa: etiket); keselarasan dalam masyarkat diatur dengan kaidah-kaidah adat; keselarasan dengan alam atas diatur dengan peraturan dan praktik agama atau keyakinan; dorongan dan emosi pribadi diatur dengan kaidah/norma moral yang menekankan pada sikap: sabar, narima, eling, waspada, andap-asor dan prasaja.
Untuk menjaga keseimbangan semestas alam (alam raya, kosmos), manusia tidak ingin menaklukan atau menguasai alam, tidak ingin merubah alam, melainkan menyatukan diri dengan alam dan menghindari nafsu-nafsu materialistis. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengubah kodrat alam dan kodrat manusia itu sendiri. Perkembangan dan kemajuan pada dasarnya usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan selaras. Teknik, pendidikan, semuanya baik, tetapi intelektualisme dianggap mengandung bahaya, karena intelektulisme memperkuat individualisme dan individualisme dapat mengganggu keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan. Investasi mental merupakan suatu bagian dari setiap perkembangan, kemajuan dan perkembangan. Namun demikian tidak boleh mengganggu/merugikan keseimbangan, keserasian, keselarasan dan keharmonisan. Ilmu hendaklah bersifat sosial dan menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dan alam.
Inti dari pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) adalah kebatinan. Kebatinan menjadi gaya hidup orang Jawa; gaya hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap alam raya, pengetahuan mengenai alam raya bertujuan menjalin hubungan langsung dengan Tuhan, sebagai ekspresi hidup keagamaan yang luhur. Aliran kebatinan merupakan perguruan yang ideal, tempat belajar mencari jalan menuju persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Aliran kebatinan merupakan mistik Jawa.
Kaidah pokok dalam masyarakat Jawa adalah “tidak merugikan orang lain”, menghormati keselarasan sosial dengan menghormati orangtua, guru atau raja, sebagai langkah awal menuju persatuan dengan Tuhan. Syarat utama bagi keselarasan itu adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Konsep-konsep sentral dari cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa adalah: seremonial (upacara), formal (bentuk), simbolik (lambang-lambang), kosmologis, statis dan teratur.
Kehidupan orang Jawa ditempuh melalui berbagai macam upacara, baik yang bersifat pribadi, keluarga, maupun kelompok masyarakat; dari upacara kelahiran, kehidupan sosial, hingga kematian. Untuk peristiwa kelahiran ada upacara: brokohan, sepasaran, selapanan, setahunan, wetonan, tanggap warsa (ulang tahun), dan sewindunan. Dalam kehidupan sosial dikenal upacara supitan, tetesan (sunat), mantenan(pernikahan), omah dewe (menempati rumah sendiri pisah dengan orangtua). Dalam peristiwa kematian ada upacara: bedah kubur, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (satu tahun), pendak pindo (dua tahun), seribu hari, tumbuk warsa. Dalam kehidupan bersama juga ada berbagai upacara, antara lain: sadranan (upacara srada), bersih desa, syukuran, dan lain-lain. Inti dari semua upacara tersebut adalah selamatan (slametan), upaya memperoleh keselamatan.
Bagi orang Jawa, segala sesuatu diwujudkan dalam bentuk formal, dan dalam hal itu lambang-lambang berperan penting. Bentuk atau forma lebih penting, walaupun sering tanpa isi. Bentuk itu menentukan isi, sama dengan isi. Lambang telah dianggap sebagai kenyataan. Segala sesuatu dianggap sah, beres, selesai, bila telah ada secara formalitas; sekalipun hanya berupa pralambang. Orang Jawa tidak memperhatikan waktu, yang lebih diperhatikan adalah bentuk dari waktu itu, misalnya: usia tua dihormati, peringatan-peringatan pegang peran utama, dianggap sebagai kenyataan dari yang diperingati, tentang isinya tidak diperhatikan. Upacara bentuk yang menjadi-sah-kan.
Pandangan orang Jawa bersifat kosmologis, bahwa manusia, dan segala sesuatunya, merupakan bagian dari kosmo (alam raya, semesta alam) yang telah ada secara tetap (statis) dan teratur. Oleh karena itu segala sesuatu harus terpola secara tetap dan teratur. (Hal inilah yang memungkinkan dan mempermudah berlakunya sistem feodal dan kolonial). Orang Jawa tidak membenarkan adanya konflik atau beda pendapat, karena hal itu dapat menimbulkan ketidakteraturan, mengganggu yang sudah mapan. Dalam pemikiran orang Jawa tidak ada pendapat yang salah, maka merasa terhina bila disalahkan. Setiap pendapat memiliki kebenaran. Hal ini menjadi dasar toleransi dan praktik musyawarah bagi orang Jawa.
Sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup. Sikap hidup dipengaruhi oleh adat, agama, latar belakang kebudayaan, dan watak suatu bangsa. Orang yang berbeda pandangan hidupnya terhadap Tuhan, dapat sama sikap hidupnya. Sikap hidup orang Jawa dapat dipelajari, antara lain lewat kebatinan dan sastra Jawa karya para pujangga.
Kebatinan
Kebatinan atau mistik Jawa, merupakan salah satu bentuk bahkan pandangan dasar dari Javanisme. Hampir semua orang Jawa diliputi oleh suasana mistik. Ada tiga ciri sikap hidup orang Jawa, yaitu:
a) Distansi (spiritualisme), yaitu sikap mengambil jarak terhadap hal-hal yang duniawi, atau terhadap kenyataan materiil, dengan maksud agar dapat menguasai kenyataan tersebut, dan dapat mencapai kenyataan (realitas) yang lebih tinggi. Distansi ini tampak dalam sikap hidup: rila, sabar, narima, sepi ing pamrih rame ing gawe.
b) Konsentrasi (sakralitas), yaitu mencari kenyataan lain yang lebih luhur di dalam batin manusia. Hal ini tampak dalm konsep-konsep: tapa (bertapa, askese), pemudaran (pembebasan), nyegah hawa nafsu, mati sajroning urip, hening-hening (bandingkan dengan Samadhi dalam Buddhisme!).
c) Reperesentasi (perwakilan, moralitas), yaitu sikap setelah pemurnian batin melalui distansi dan konsentrasi, kembali ke “dunia” sebagai utusan Allah (Khalifu’llah). Representasi terwujud dalam cara hidup memayu hayuning bawana, yang dapat digambarkan seperti bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah, tetapi dari dirinya sendiri tetap gelap.
Konsentrasi mencakup dua cara, yaitu (1) bertapa (askese) yang merupakan jalan, dan (2) pemudaran atau kebebasan, yang merupakan hasil dari konsentrasi. Konsentrasi tersebut dapat dikacaukan oleh nafsu, utamanya nafsu egosentris, atau egoistis. Dengan bertapa kekuatan jasmani diperlemah, orang menjadi lebih sadar akan kerelatifan dirinya. Dengan demikian perasaan dan sikapnya terhadap sesama manusia akan berubah menjadi lebih baik. Ada dua aliran, berkaitan dengan bertapa.
Pertama, tapa dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat, di tengah-tengah hutan, di gua-gua, di puncak gunung atau tempat-tempat sepi yang lain. Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa orang yang suci, mencapai kesempurnaan lahir dan batin,yang dekat atau menyatu dengan Tuhan, adalah orang yang tidak makan, tidak tidur dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Aliran ini lebih bersifat individualistis (bandingkan dengan aliran Hinayana dalam Buddhisme, yang berarti “Kendaraan Kecil”!).
Kedua, aliran yang berpendapat bahwa tapa perlu dikaitkan dengan makna sosial. Orang tidak boleh mengasingkan diri dari masyarkat. Tapa yang dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat berarti mengusahakan kesempurnaan diri secara egosentris, dapat memperkuat individualisis. Bagi aliran kedua ini melakukan tapa tidak boleh melalaikan tugas atau kewajiban sosialnya (tapa ngrame). Hal inilah yang dilakukan antara lain oleh Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), salah satu aliran kebatinan di Jawa. Aliran kedua ini lebih bersifat sosial. (Bandingkan dengan aliran Mahayana dalam Buddhisme, yang artinya “Kendaraan Besar!)
Pemudaran, merupakan produk dari konsentrasi, yang telah dijalani dengan betapa (laku tapa), adalah suatu kebebasan batin. Pemudaran tidak diartikan sebagai meninggalkan dunia, melainkan tidak terkait atau tidak lekat (lengket) dengan dunia. Orang mengambil jarak terhadap hal-hal yang materialistis. Inilah yang disebut dengan sepi ing pamrih. Orang yang sudah mendapatkan pemudaran, tidak terikat oleh rasa suka atau tidak suka, tidak ada rasa takut, satu-satunya rasa suka yang sah adalah rasa bersatu dengan Tuhan (Pamoring/Manunggaling Kawula-Gusti). Keadaan pemudaran (pembebasan) tersebut juga disebut keadaan hening-hening, suatu ketenangan yang telah mapan, mati sajroning urip, laya-layap ing ngaluyup (mati di tengah-tengah kehidupan).
Laku tapa dilaksanakan melalui proses distansi (mengambil jarak terhadap kenyataan materiil), untuk dapat berkonsentrasi (pemusatan batin), agar dapat mencapai kenyataan yang lebih tinggi atau lebih luhur, yaitu pemudaran atau pembebasan (manunggaling kawula-gusti); yang selanjutnya akan di-representasi-kan dengan memayu hayuning bawana (tugas sosial dalam kehidupan masyarakat). Memayu hayuning bawana dapat diartikan sebagai: (1) menghiasi atau meperindah (ayu = indah, cantik) dunia, dan (2) mengusahakan keselamatan (rahayu) dunia.
Dalam pengertian yang pertama, dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan orang Jawa, dunia atau bawana itu tetap tidak dapat berubah, tetapi diperindah oleh cahaya keindahan yang dipancarkan oleh manusia yang telah mencapai kesempurnaan (pemudaran, kebebasan). Seperti bumi yang disinari dengan terang bulan purnama, kelihatan lebih indah, tetapi sesungguhnya bumi itu sendiri tidak berubah. Manusia yang telah sampai pada tingkat pemudaran berfungsi seperti sinar terang bulan purnama terhadap dunia sekelilingnya.
Dalam pengertian yang kedua, dapat dijelaskan bahwa mengusahakan keselamatan dunia menurut konsep pemikiran orang Jawa memang tidak mengubah dunia, karena dunia memang tidak dapat dirubah. Orang Jawa tidak ingin mengubah dunia, melainkan menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan serta keharmonisan dunia. Tugas dan kewajiban moral orang Jawa adalah mencapai kesempurnaan batin atau pemudaran diri (jagad cilik, mikro kosmos) untuk membangun atau sebagai syarat keselarasan dunia (jagad gede, makro kosmos). Hal itu dapat dicapai melalui sikap hidup sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (kerja keras tanpa pamrih mengusahakan keselamatan dunia). Keselamatan rasionalisme, seimbang dan harmonis. Menarik untuk diingat bahwa ketidak-tertiban manusia (jagad cilik) dapat membahayakan dunia atau bawana (jagad gede). Dengan demikian tepat bila dikatakan bahwa memayu hayuning bawana diartikan sebagai “mengusahakan keselamatan dunia”.
Laku tapa (lelana brata, nglakoni, prihatin), termasuk di dalamnya: berpuasa, adalah cara-cara orang Jawa untuk memusatkan kesaktian (kesakten) atau kekuatan semesta alam menjadi sakti (sekti). Kesaktian akan menjadi luntur dan hilang bila oran mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan pribadi, yang disebut pamrih.
Laku tapa juga sebagai upaya mencapai kesempurnaan urip sajroning mati; layap-layap ing nglayup, di mana orang telah menyadari tentang dirinya, bersatu dengan Tuhan.persatuan diri dengan Tuhan, digambarkan sebagai: makro kosmos termuat dalam mikro kosmos; curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, kodok kinemulan ing leng, kodok ngemuli lenge; sotya manjing embanan; Kang Paring Gasang dimuat oleh kita yang dimuat-Nya (Ajaran mistik).
Laku tapa berguna bagi kontrol terhadap nafsu dan pamrih yang keduanya dapat mengancam keselarasan hidup. Tapa yang berat/keras tidak dianjurkan kepada khalayak ramai, melainkan hanya bagi mereka yang memiliki kekuatan batin istimewa. Bagi orang biasa, hanya berpegang pada prinsip: “jangan berhenti bekerja sebelum capai, jangan makan sebelum lapar”.
Nafsu manusia dirumuskan dalam malima (lima M), yaitu: madat, madon, minum, mangan dan main; sedang pamrih dirumuskan dalam 3 dewe, yaitu: menange dewe, benere dewe dan butuhe dewe. Pamrih tersebut dapat menimbulkan sikap aji mumpung dan dumeh; maka ada ungkapan yang mengingatkan: aja dumeh.
Beberapa ungkapan dalam ajaran moral Jawa yang bernilai luhur antara lain: eling (ingat akan asalnya: Allah), waspada (mawas diri), percaya (percaya pada bimbingan Tuhan), mituhu (taat pada Allah), jagad ora mung sagodong kelor (optimis). Ciri khas kematangan moral orang Jawa antara lain: sabar, narima, rila, legawa, digawe gampang ya gampang, digawe angel ya angel, jujur, temen, prasaja, andapasor, tepa salira, ngono ya ngono ning aja ngono. Budi luhur tersebut juga diterapkan untuk orang lain, maka timbul ungkapan: mangan ora mangan yen kumpul, ana sethitik didum sethitik ana akeh didum akeh. Budi luhur (keutamaan) tersebut bertentangan dengan sifat-sifat yang harus dihindari, yaitu: dahwen (gemar mencela), open (suka memperhatikan kejelekan orang lain) dengki (berbudi rendah), srei (iri), jail (suka main intrik), methakil (kekerasan, licik). Orang Jawa yang belum matang/dewasa secara moral, disebut sebagai durung Jawa atau ora Jawa, atau ora/durung ngerti. Mereka itu masih banyak belum mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebut durung dadi wong. Mereka yang sudah dewasa, tahu menempatkan diri, dapat memenuhi tugas/kewajibannya, disebut wis dadi wong, dan mereka akan dihargai/dihormati (diwongake).
Dua prinsip hidup atau kaidah dasar dalam kehidupan orang Jawa adalah: rukun dan hormat. Berikut ini masing-masing dijelaskan lebih lanjut.
Prinsip rukun
Prinsip rukun atau kerukunan tidak menimbulkan konflik secara terbuka, untuk menciptakan dan mempertahankan keharmonisan. Rukun berarti tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu saling membantu, dalam suasana tenang dan tentram, tidak mengganggu keharmonisan, mempertahankan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Prinsip rukun juga ditunjukkan dari sikap: (a) tidak mau ambil putusan dan menanggung resiko sendiri, (b) penyelesaian segala persoalan dalam semangat kekeluargaan, penyelesaian masalah secara hukum baru ditempuh setelah cara kekeluaragaan menemui jalan buntu, atau sebagai upaya terakhir, (c) memberi bantuan sanak-saudara, baik sebagai keluarga dekat maupun jauh, (dan) perlakuan terhadap orang lain seperti saudara/keluarga sendiri, dengan menggunakan sebutan yang akrab, seperti: bapak, ibu, mbah, eyang, pakde, paklik, bude, bulik, mas, mbakyu, dik dan seterusnya.
Prinsip kerukunan juga tercermin dalam praktik dan sikap: gotong-royong musyawarah untuk mufakat, dalam hal itu kebenaran ada pada kelompok, bukan pada orang-perorang, bukan pada pimpinan dan bukan pada luar kelompok. Kerukunan dalam hal ini termasuk prinsip pranata masyarakat, bukan prinsip moral, artinya orang hanya terikat secara lahir, sedang secara batin tetap bebas untuk berbeda pendapat. Maka sikap rukun tidak berarti tenggelamnya individu dalam kolektif, tidak berarti bahwa orang kehilangan hak-haknya.
Dengan sikap rukun orang Jawa tidak melepaskan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi ditinggalkan pada waktu orang menjalani laku tapa dan telah mencapai kesadaran tingkat tinggi (pemudaran, pembebasan, manunggaling kawula-gusti). Prinsip rukun tidak berarti pengorbanan diri, karena pada saatnya masing-masing pribadi akan mendapat keuntungan dari sikap rukun tersebut. Dengan demikian prinsip kerukunan orang Jawa tidak sama dengan ajaran kolektivitas komunis yang tidak mengakui hak milik, yang disebut persaudaraan universal.
Disamping hal yang positif, kerukunan dalam perspektif Jawa juga menimbulkan hal-hal yang kurang positif, seperti :
a) Sikap rukun tersebut hanya sekedar untuk menghindari konflik terbuka, sehingga rukun tidak merupakan sikap batin (keadaan kejiwaan) melainkan sekedar penampilan, untuk menjaga keharmonisan (harmonious social appearances): sementara konflik batin, di belakang layar masih tetap terjadi.
b) Orang lebih baik tidak berbuat sesuatu daripada menimbulkan konflik, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tetapi rasa ingin tahu tentang urusan orang lain begitu besar, dan dibicarakan di balik layar (ngrasani).
c) Prakarsa pribadi tidak penting, harus maju bersama kelompok.
d) Tidak berterus terang, kurang terbuka: jawaban yang paling tepat adalah “yaitu” (nggih), tidak baik menjawab “tidak” (mboten).
e) Orang Jawa terbiasa dengan berbuat semu (ethok-ethok). Tatakrama merupakan sarana terbaik dalam membina kerukunan. Tatakrama diciptakan untuk mengatur sikap dan perbuatan, agar masing-masing melewati jalur yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak terjadi tabrakan (konflik).
Prinsip hormat
Sikap hormat diatur secara hirarkis sesuai dengan fungsi, derajat dan kedudukannya. Antar keluarga, hirarki tersebut ditentukan berdasar keturunan; antara sesama ditentukan oleh usia dan derajat kepangkatan. Hirarki tersebut akan menentukan jenis kata dan bahasa yang dipergunakan (krama inggil, krama madya, krama andap dan ngoko). Dengan demikian setiap orang dituntut untuk tahu menempatkan dan membawakan dirinya. Keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keharmonisan akan tercapai apabila masing-masing tahu menempatkan dan membawakan dirinya, yaitu juga disebut dengan tahu tatakrama.
Sikap hormat yang ditata secara hirarkis tersebut menimbulkan tanggung jawab moral bagi yang berposisi lebih tinggi (orangtua, sesepuh, pinisepuh, pejabat atau pimpinan). Mereka dituntut untuk berperan sebagai panutan. Adalah cela besar bila panutan ternyata tidak dapat atau tidak pantas untuk dianut (tuwa tuwas). Keteladanan merupakan hal yang prinsipial dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panutan merupakan prinsip hormat yang berlaku bagi yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Jadi sebenarnya prinsip hormat tidak terbatas kepada atasan (wong gede), tetapi juga kepada bawahan (wong cilik).
Seperti halnya dengan sikap rukun, sikap hormat dalam perspektif orang Jawa bukan merupakan sikap batin. Menghormat tidak berarti tunduk atas segala perintah. Orang bisa tetap hormat walaupun tidak setuju dan tidak melaksanakan perintahnya.

C. Penutup
1. Simpulan
Dalam konteks perlunya melakukan upaya pembinaan moral dalan konteks filsafat Jawa maka diperlukan adanya upaya yang sinergis dari seluruh stakeholders. Pandangan seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana, sabar, narima, rila, legawa, jujur, temen, prasaja, andapasor, dan tepa salira, merupakan perilaku positif yang bisa dikembangkan untuk mengadakan pembinaan moral secara mikro dan makro.
Pada akhirnya penumbuhkembangan nilai-nilai dalam pendidikan tidak terlepas dari upaya melakukan ritual yang bermuara pada Filsafat Jawa. Sekalipun pada masa kini ada kecenderungan yang cukup mencemaskan bahwa perilaku yang njawani hanya dipergunakan sebagai lip service atau bahkan hanya moralisme saja, agaknya perilaku yang njawani masih juga merupakan salah satu laku utama yang diharapkan oleh masyarakat.

2. Saran
Apapun format dan desainnya, potret pendidikan kita perlu berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang merupakan refleksi Filsafat Jawa. Perilaku yang njawani merupakan conditio sine qua non manakala stakeholders pendidikan di negeri ini membincangkan pendidikan baik pendidikan konteks makro maupun mikro. Hanya saja, memang diperlukan uraian laku dan patrap yang jelas, supaya perilaku yang njawani dapat menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri yang pluralis dan holistik (Trimo).

PUSTAKA ACUAN:


Barnadib, Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan (Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiningsih, C Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta:Rinika Cipta
Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Satmoko, Retno Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Tauhid. 2002. Fasilitator. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional




PEMBINAAN MORAL DALAM KAJIAN FILSAFAT JAWA
(Sebuah Tinjauan Fenomenologis Moral dalam Perilaku Njawani)

Oleh
Ib Arjana

A. Pengantar
Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagi makhuk individu, sebagi makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada dibumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.
Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bagsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil dengan baik.
Namun masalah-masalah moral yang terjadi sekarang ini jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan masalah-masalah moral yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap moral yang tepat, studi di bidang moral dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi itu belum cukup menjamin terjadinya perilaku moral yang tepat. Studi tentang moral tidak bersifat teknis melainkan refeksi, yaitu suatu refleksi tentang tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Moral dapat dikaji secara kognitif sebagai penalaran moral, dapat juga dari aspek perasaan moral, dan dapat huga dari perilaku atau tindakan moral. Ketiga aspek tersebut terintegrasi dalam diri seseorang dan membentuk kematangan moralitas orang tersebut. Maka objek kajian tentang moralitas ini langsung berkaitan dengan praktik kehidupan manusia.
Dari bingkai filsafat, pentingnya nilai dekat dengan teri Revitalisasi Budaya yang melahirkan esensialisme dan perenialisme. Esensialisme menghendaki agar pendidikan bersendikan atas norma dan nilai yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan perenialisme bersendikan atas penggunaan kesenian bebas sebagai modal dasarnya. Unsur-unsur budaya yang telah berabad-abad usianya dipandang sebagai vitalitas yang mantap sebagai landasan menemukan perubahan dan kemajuan pada zaman sekarang (Barnadib, 1996:40).
Dalam konteks yang aplikatif, norma dan nilai seperti termaktub dalam esensialisme dapat dipersonifikasikan dengan norma dan nilai luhur Pancasila. Norma dan nilai luhur, seperti: ketuhanan, persatuan dan kesatuan, rela berkorban, kebenaran dan keadilan, kebersamaan, keberagaman, cinta tanah air, dan sebagainya dapat dijadikan “modal dasar” dalam menyelesaikan krisis yang melanda Indonesia.
Selebihnya penumbuhkembangan norma dan nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan wujud internalisasi dari hakikat manusia, sebagai makhluk berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Keempat dimensi manusia itu dalam pendidikan harus dikembangkan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang agar dapat terbentuk kepribadian manusia yang utuh (Satmoko, 2000:18).
Berdasarkan uraian di atas maka persoalan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: bagaimana melakukan pembinaan moral dalam kajian filsafat Jawa?

B. Pembahasan
1. Pembinaan Moral dan Penalaran Moral
Menurut Lillie dalam Budiningsih, (2004:24), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Moral juga diartikan sebagai hal-hal yang berhungan dengan nilai-nilai susila. Sedangkan Baron, dkk dalam Budiningsih, (2004:24) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Suseno (1987:18) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tinsdakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.
Kohlberg dalam Budiningsih (2004:25) tidak memusatkan perhatian pada perilaku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatanya. Ia menjadikan penalaran moralnya sebagai pusat kajiannya.dikatakan bahwa mengamati perilaku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan moral. Seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perilakunya sama., tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercemin dalam perilaku mereka.
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral judgement,sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian yang sama dan digunakan secara bergantian. Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi penalaran moral Setiono dalam Budiningsih, (2004:25). Penalaran moral mereka lah yang mencerminkan perbedaan kematangan moral tersebut.
Moral dapat diartikan sebagai keseluruan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kerlompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematik dalam etika, filsafat moral, dan teknologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagi makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhluk individu, sebagi makhluk sosial, dan sebagai makhluk yang berpribadi, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak yang mulia. Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bangsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil, dan sustainable (Tauhid, 2002:19).
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan di lakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehinga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan ( statement ) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah,. Alasanya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan mengatakan sesuatu yang sama, maka disini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikanya terhadap sesuatu hal yang benar atau salah.
Penalaran moral dipandang sebagai struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg dalam Budiningsih, 2004:25) Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahab kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya.
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akn sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penalaran moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat di identifikasi tingkat perkembangan moralnya.
Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui prose perkembangan dan cara-cara membantu mengembangkan moral tersebut.
Piaget dan Kohlberg 1980 dalam Budiningsih, (2004:26) telah mengadakan studi dalam proses perkembangan moral. Mereka lebih memusatkan penyelididkan pada pola-pola sturtur penelaran manusia dalam mengadakan keputusan moral dari pada penyelidikan tingkah laku. Kedua tokoh tersebut telah menyusun peta lengkap mengenai bagaimana individu-individu berkembang secara moral. Mereka telah mengembangkan teori-teori perkembangan moral yang dengan jelas memperlihatkan tahap-tahap mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral.
Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahp mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral. Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahap perkembangan moral dan perincian prosedur untuk menentukan siapa-siapa yang ada pada tahap-tahap itu. Dengan demikian teori-teori mereka memberikan sutu alat pendidikan yang tidak tenilai harganya, karena sudah menjadi aksioma dalam pendidikan bahwa pendidikan akan mencapai hasil yang paling efektif kalau orang menyapa pada siswanya pada tahap yang sejajar dengan kemampuan belajar mereka. Program-program pendidikan moral yang disusun tanpa mengetahui tahap perkembangan anak (karakteristik siswa) tidak akan berhasil.
Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:27) mengembangkan alat sistematis untuk mengungkap penalaran-penalaran itu dengan mengembangkan sekumpulan cerita, yang memasukkan orang atau orang-orang kedalam suatu dilema moral. Kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan mengenai dilema-dilema tersebut, yang dimaksudkan untuk menjajaki penalaran-penalaran subjek yang bersangkutan, apakan alasannya maka ia akan melakukan tindakan tertentu dalam situasi seperti itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa moral adalah keseluruhan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan. Sedangkan penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan yaitu: (1) tingkatan pra moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dalam Budiningsih, (2004:28) dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu: (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahaun, (3) tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.
Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat terbalik (irreversible) yaitu bahwa suatu tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan dibawahnya Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28). Misalnya, seseorang yang telah berada pada tahap –5 tidak akan kembali pada tahap –3 atau tahap –4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu gerak maju dari tahap –1 sampai tahap-6, dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral. Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg yang disarikan oleh Hardiman (1987) dalam Budiningsih, (2004:29) sebagai berikut:
a. Tingkatan Pra-Konvensional
Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistik). Tingkat ini di bagi 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap pengusa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2: Orientasi instrumentalistik. Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain. Hubungan antara manusia di pandang seperti hubungan dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip tindakan dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prisip kesalingan adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seseorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan doniman adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kerukunan atau orientasi good boy – nice girl. Pada tahap ini orang perpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagi “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.
Tahap 2: Orientasi ketertiban masyarakat. Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjada tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.
c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagi subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa beralah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani . tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kontrak sosial. Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang lain menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yng jelas untuk mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 2: Orientasi prinsip etis universal. Paad tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputuan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya; cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri, dan kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Melihat tahap-tahap dan orientasi tiap tahap tersebut tampak bahwa seseorang tetap mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan kesalingan, hanya saja konkretisasinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masing-masing tahap. Menurut kohlberg perkembangan penalaran moral ini berlangsung setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peranan pendidik adalah menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi seseorang untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. Seorang terutama memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapnya sekarang dan ia mempunyai peluag untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang pernah dilampauinya.
Menurut kohlberg dalam Budiningsih, (2004:32) perkembangan ini tidak ditentukan oleh usia. Dalam penelitiannya, lebih dari 50% respondennya (orang dewasa) masih ada pada tahap konvensional Hardiman, (1987) dalam Budiningsih, (2004:32). Kecepatan perkembangannya pun beragam. Satu faktor penting dalam perkembangan penlaran moral adalah faktor kognitif, terutama dalam berpikir abstrak dan luas.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahap-tahap penalaran moral di atas penulis berpendapat bahwa terdapat sejumlah tahap perkembangan penalaran moral yang dicirikan sebagai pola struktur pemikiran formal, terlepas dari isinya. Ada perbedaan kualitatif pada masing-masing strukturnya, atau cara berpikir yang berbeda yang mempunyai fungsi dasar dalam proses perkembangan. Semua struktur yang berbeda ini membentuk urutan tetap dan konsisten dalam proses perkembangan moral.
Piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional formal berkembang, maka Kohlberg secara sejajar menunjukkan juga bahwa pada masa remaja dapat dicapai tahap tertinggi penalaran moral yaitu prinsip keadilan yang universal. Dengan demikian seluruh tahap perkembangan penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg dapat diajarkan pada remaja.


3. Membentuk Moral dalam Filsafat Jawa
Pemakaian istilah “filsafat Jawa” kurang popular, barang kali juga kurang tepat, lebih tepat bila disebut dengan falsafah Jawa atau Kejawen. Falsafah berbeda dari filsafat. Falsafah merupakan suatu pandangan hidup, pandangan dunia, lebih mendekati pada pengertian ideologi; sedang filsafat termasuk dalam kawasan ilmu pengetahuan. Kejawen juga dibedakan dari kejawaan. Kalau kejawen merupakan suatu bentuk “kata benda”, berupa ajaran Jawa; sementara kejawaan merupakan suatu bentuk “kata kerja” dan sekaligus “kata sifat”, yaitu tingkah laku kongkrit orang jawa, sebagai orang jawa. Kesesuaian kejawen dengan kejawaan dalam sikap hidup dan tingkah laku orang jawa, disebut njaweni; sebaliknya ketidak-sesuaian sikap hidup dan tingkah laku orang jawa (kejawaan) dengan ajaran atau falsafah jawa (kejawen), dikatakan sebagai ora njaweni (tidak sebagaimana mestinya orang jawa).
Kekaburan nilai, merupakan hal yang sangat mengganggu sekali dalam proses pendidikan. Hal ini lantaran nilai merupakan bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dan sikap hidup itulah, sering disebut mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannnya pada masyarakat (Mulder, 1973).
Dalam pembicaraan ini perbedaan dalam pemakaian istilah filsafat dan falsafah diabaikan, pemakaian istilah “filsafat jawa” dipertahankan dengan meletakkannya diantara tanda kutip; untuk menjaga konsistensi dengan pembicaraan sebelumnya (filsafat India, filsafat Cina).
“Filsafat Jawa” mempunyai ciri-ciri umum yang banyak persamaannya dengan filsafat India maupun Cina. Orang Jawa juga merasakan kefanaan dunia ini dan merindukan kepada baka. Dengan demikian mereka berupaya untuk menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Alam pemikiran Jawa bersifat religius. “Filsafat Jawa” lebih menyerupai ngelmu, suatu aktivitas batin, hasil dari perenungan, daripada ilmu, yang mencari kebenaran dengan metode tertentu.
Sikap orang Jawa lebih bersifat subyektif, menekankan pada perasaan, menyatukan diri dengan alam semesta, lebih terbuka bagi realitas ajaib yang mengatasi segala-galanya. Kehidupan orang Jawa dipenuhi dengan berbagai upacara ritual, yang disebut slametan. Dalam pandangan Jawa, manusia adalah dunia kecil (mikro kosmos) yang merupakan cerminan dari semesta alam (makro kosmos). Manusia dan dunia merupakan satu kesatuan yang harus selalu dijaga keharmonisannya.
“Filsafat Jawa” tidak mengejar kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat berkembang sejauh tidak mengganggu keseimbangan atau keharmonisan semesta alam. Perkembangan ilmu pengetahuan justru terjadi karena upaya untuk mencari keseimbangan tersebut. Oleh karena itu “filsafat Jawa” mengajarkan bagaimana sikap manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. “Filsafat Jawa” menitik-beratkan pada kualitas moral (etika).
“Filsafat Jawa” memandang Tuhan sebagai suatu kekuatan di atas manusia, yang mengatasi manusia, yang menguasai segala sesuatu; yang tidak dapat dikuasai oleh manusia. Oleh karena itu orang Jawa menganggap semua yang berada di atasnya, yang berasal dari atas, adalah Tuhan atau wakil/manifestasi dari Tuhan. Raja adalah wakil/penjelmaan Tuhan di dunia (paham dewaraja). Memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai sarana yang dapat membebaskan manusia. Manusia harus menjalani kewajiban terhadap penguasa sebagai kewajiban berbakti (kebaktian). Bawahan tidak boleh menentang penguasa, sekalipun penguasa telah melanggar norma-norma. Sifat kebaktian terhadap penguasa yang tidak bersifat kritis tersebut mnyuburkan kehidupan feodalis-kolonialis.
Dari uraian tentang ciri-ciri umum “filsafat Jawa” tersebut di atas, dapat disimpulkan tiga pokok pembicaraan dalam “filsafat Jawa” yaitu “ (1) pandangan hidup orang Jawa, (2) sikap hidup orang Jawa, dan (3) prinsip hidup orang Jawa. Berikut ini ketiganya dibicarakan lebih lanjut.
Pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) berdasarkan keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah satu; merupakan satu kesatuan hidup. Menurut pandangan orang Jawa tidak mungkin memisahkan unsur-unsur sakral (yang suci) dari yang profane.
Hidup manusia diselaraskan dengan alam raya (kosmos, alam semesta), yang diatur secara hirarkis. Menjaga keselarasan, keserasian dan keharmonisan dengan tata tertib universal merupakan suatu tugas moral. Kelakuan antara manusia diatur dengan tatakrama (Jawa: etiket); keselarasan dalam masyarkat diatur dengan kaidah-kaidah adat; keselarasan dengan alam atas diatur dengan peraturan dan praktik agama atau keyakinan; dorongan dan emosi pribadi diatur dengan kaidah/norma moral yang menekankan pada sikap: sabar, narima, eling, waspada, andap-asor dan prasaja.
Untuk menjaga keseimbangan semestas alam (alam raya, kosmos), manusia tidak ingin menaklukan atau menguasai alam, tidak ingin merubah alam, melainkan menyatukan diri dengan alam dan menghindari nafsu-nafsu materialistis. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengubah kodrat alam dan kodrat manusia itu sendiri. Perkembangan dan kemajuan pada dasarnya usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan selaras. Teknik, pendidikan, semuanya baik, tetapi intelektualisme dianggap mengandung bahaya, karena intelektulisme memperkuat individualisme dan individualisme dapat mengganggu keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan. Investasi mental merupakan suatu bagian dari setiap perkembangan, kemajuan dan perkembangan. Namun demikian tidak boleh mengganggu/merugikan keseimbangan, keserasian, keselarasan dan keharmonisan. Ilmu hendaklah bersifat sosial dan menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dan alam.
Inti dari pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) adalah kebatinan. Kebatinan menjadi gaya hidup orang Jawa; gaya hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap alam raya, pengetahuan mengenai alam raya bertujuan menjalin hubungan langsung dengan Tuhan, sebagai ekspresi hidup keagamaan yang luhur. Aliran kebatinan merupakan perguruan yang ideal, tempat belajar mencari jalan menuju persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Aliran kebatinan merupakan mistik Jawa.
Kaidah pokok dalam masyarakat Jawa adalah “tidak merugikan orang lain”, menghormati keselarasan sosial dengan menghormati orangtua, guru atau raja, sebagai langkah awal menuju persatuan dengan Tuhan. Syarat utama bagi keselarasan itu adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Konsep-konsep sentral dari cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa adalah: seremonial (upacara), formal (bentuk), simbolik (lambang-lambang), kosmologis, statis dan teratur.
Kehidupan orang Jawa ditempuh melalui berbagai macam upacara, baik yang bersifat pribadi, keluarga, maupun kelompok masyarakat; dari upacara kelahiran, kehidupan sosial, hingga kematian. Untuk peristiwa kelahiran ada upacara: brokohan, sepasaran, selapanan, setahunan, wetonan, tanggap warsa (ulang tahun), dan sewindunan. Dalam kehidupan sosial dikenal upacara supitan, tetesan (sunat), mantenan(pernikahan), omah dewe (menempati rumah sendiri pisah dengan orangtua). Dalam peristiwa kematian ada upacara: bedah kubur, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (satu tahun), pendak pindo (dua tahun), seribu hari, tumbuk warsa. Dalam kehidupan bersama juga ada berbagai upacara, antara lain: sadranan (upacara srada), bersih desa, syukuran, dan lain-lain. Inti dari semua upacara tersebut adalah selamatan (slametan), upaya memperoleh keselamatan.
Bagi orang Jawa, segala sesuatu diwujudkan dalam bentuk formal, dan dalam hal itu lambang-lambang berperan penting. Bentuk atau forma lebih penting, walaupun sering tanpa isi. Bentuk itu menentukan isi, sama dengan isi. Lambang telah dianggap sebagai kenyataan. Segala sesuatu dianggap sah, beres, selesai, bila telah ada secara formalitas; sekalipun hanya berupa pralambang. Orang Jawa tidak memperhatikan waktu, yang lebih diperhatikan adalah bentuk dari waktu itu, misalnya: usia tua dihormati, peringatan-peringatan pegang peran utama, dianggap sebagai kenyataan dari yang diperingati, tentang isinya tidak diperhatikan. Upacara bentuk yang menjadi-sah-kan.
Pandangan orang Jawa bersifat kosmologis, bahwa manusia, dan segala sesuatunya, merupakan bagian dari kosmo (alam raya, semesta alam) yang telah ada secara tetap (statis) dan teratur. Oleh karena itu segala sesuatu harus terpola secara tetap dan teratur. (Hal inilah yang memungkinkan dan mempermudah berlakunya sistem feodal dan kolonial). Orang Jawa tidak membenarkan adanya konflik atau beda pendapat, karena hal itu dapat menimbulkan ketidakteraturan, mengganggu yang sudah mapan. Dalam pemikiran orang Jawa tidak ada pendapat yang salah, maka merasa terhina bila disalahkan. Setiap pendapat memiliki kebenaran. Hal ini menjadi dasar toleransi dan praktik musyawarah bagi orang Jawa.
Sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup. Sikap hidup dipengaruhi oleh adat, agama, latar belakang kebudayaan, dan watak suatu bangsa. Orang yang berbeda pandangan hidupnya terhadap Tuhan, dapat sama sikap hidupnya. Sikap hidup orang Jawa dapat dipelajari, antara lain lewat kebatinan dan sastra Jawa karya para pujangga.
Kebatinan
Kebatinan atau mistik Jawa, merupakan salah satu bentuk bahkan pandangan dasar dari Javanisme. Hampir semua orang Jawa diliputi oleh suasana mistik. Ada tiga ciri sikap hidup orang Jawa, yaitu:
a) Distansi (spiritualisme), yaitu sikap mengambil jarak terhadap hal-hal yang duniawi, atau terhadap kenyataan materiil, dengan maksud agar dapat menguasai kenyataan tersebut, dan dapat mencapai kenyataan (realitas) yang lebih tinggi. Distansi ini tampak dalam sikap hidup: rila, sabar, narima, sepi ing pamrih rame ing gawe.
b) Konsentrasi (sakralitas), yaitu mencari kenyataan lain yang lebih luhur di dalam batin manusia. Hal ini tampak dalm konsep-konsep: tapa (bertapa, askese), pemudaran (pembebasan), nyegah hawa nafsu, mati sajroning urip, hening-hening (bandingkan dengan Samadhi dalam Buddhisme!).
c) Reperesentasi (perwakilan, moralitas), yaitu sikap setelah pemurnian batin melalui distansi dan konsentrasi, kembali ke “dunia” sebagai utusan Allah (Khalifu’llah). Representasi terwujud dalam cara hidup memayu hayuning bawana, yang dapat digambarkan seperti bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah, tetapi dari dirinya sendiri tetap gelap.
Konsentrasi mencakup dua cara, yaitu (1) bertapa (askese) yang merupakan jalan, dan (2) pemudaran atau kebebasan, yang merupakan hasil dari konsentrasi. Konsentrasi tersebut dapat dikacaukan oleh nafsu, utamanya nafsu egosentris, atau egoistis. Dengan bertapa kekuatan jasmani diperlemah, orang menjadi lebih sadar akan kerelatifan dirinya. Dengan demikian perasaan dan sikapnya terhadap sesama manusia akan berubah menjadi lebih baik. Ada dua aliran, berkaitan dengan bertapa.
Pertama, tapa dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat, di tengah-tengah hutan, di gua-gua, di puncak gunung atau tempat-tempat sepi yang lain. Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa orang yang suci, mencapai kesempurnaan lahir dan batin,yang dekat atau menyatu dengan Tuhan, adalah orang yang tidak makan, tidak tidur dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Aliran ini lebih bersifat individualistis (bandingkan dengan aliran Hinayana dalam Buddhisme, yang berarti “Kendaraan Kecil”!).
Kedua, aliran yang berpendapat bahwa tapa perlu dikaitkan dengan makna sosial. Orang tidak boleh mengasingkan diri dari masyarkat. Tapa yang dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat berarti mengusahakan kesempurnaan diri secara egosentris, dapat memperkuat individualisis. Bagi aliran kedua ini melakukan tapa tidak boleh melalaikan tugas atau kewajiban sosialnya (tapa ngrame). Hal inilah yang dilakukan antara lain oleh Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), salah satu aliran kebatinan di Jawa. Aliran kedua ini lebih bersifat sosial. (Bandingkan dengan aliran Mahayana dalam Buddhisme, yang artinya “Kendaraan Besar!)
Pemudaran, merupakan produk dari konsentrasi, yang telah dijalani dengan betapa (laku tapa), adalah suatu kebebasan batin. Pemudaran tidak diartikan sebagai meninggalkan dunia, melainkan tidak terkait atau tidak lekat (lengket) dengan dunia. Orang mengambil jarak terhadap hal-hal yang materialistis. Inilah yang disebut dengan sepi ing pamrih. Orang yang sudah mendapatkan pemudaran, tidak terikat oleh rasa suka atau tidak suka, tidak ada rasa takut, satu-satunya rasa suka yang sah adalah rasa bersatu dengan Tuhan (Pamoring/Manunggaling Kawula-Gusti). Keadaan pemudaran (pembebasan) tersebut juga disebut keadaan hening-hening, suatu ketenangan yang telah mapan, mati sajroning urip, laya-layap ing ngaluyup (mati di tengah-tengah kehidupan).
Laku tapa dilaksanakan melalui proses distansi (mengambil jarak terhadap kenyataan materiil), untuk dapat berkonsentrasi (pemusatan batin), agar dapat mencapai kenyataan yang lebih tinggi atau lebih luhur, yaitu pemudaran atau pembebasan (manunggaling kawula-gusti); yang selanjutnya akan di-representasi-kan dengan memayu hayuning bawana (tugas sosial dalam kehidupan masyarakat). Memayu hayuning bawana dapat diartikan sebagai: (1) menghiasi atau meperindah (ayu = indah, cantik) dunia, dan (2) mengusahakan keselamatan (rahayu) dunia.
Dalam pengertian yang pertama, dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan orang Jawa, dunia atau bawana itu tetap tidak dapat berubah, tetapi diperindah oleh cahaya keindahan yang dipancarkan oleh manusia yang telah mencapai kesempurnaan (pemudaran, kebebasan). Seperti bumi yang disinari dengan terang bulan purnama, kelihatan lebih indah, tetapi sesungguhnya bumi itu sendiri tidak berubah. Manusia yang telah sampai pada tingkat pemudaran berfungsi seperti sinar terang bulan purnama terhadap dunia sekelilingnya.
Dalam pengertian yang kedua, dapat dijelaskan bahwa mengusahakan keselamatan dunia menurut konsep pemikiran orang Jawa memang tidak mengubah dunia, karena dunia memang tidak dapat dirubah. Orang Jawa tidak ingin mengubah dunia, melainkan menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan serta keharmonisan dunia. Tugas dan kewajiban moral orang Jawa adalah mencapai kesempurnaan batin atau pemudaran diri (jagad cilik, mikro kosmos) untuk membangun atau sebagai syarat keselarasan dunia (jagad gede, makro kosmos). Hal itu dapat dicapai melalui sikap hidup sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (kerja keras tanpa pamrih mengusahakan keselamatan dunia). Keselamatan rasionalisme, seimbang dan harmonis. Menarik untuk diingat bahwa ketidak-tertiban manusia (jagad cilik) dapat membahayakan dunia atau bawana (jagad gede). Dengan demikian tepat bila dikatakan bahwa memayu hayuning bawana diartikan sebagai “mengusahakan keselamatan dunia”.
Laku tapa (lelana brata, nglakoni, prihatin), termasuk di dalamnya: berpuasa, adalah cara-cara orang Jawa untuk memusatkan kesaktian (kesakten) atau kekuatan semesta alam menjadi sakti (sekti). Kesaktian akan menjadi luntur dan hilang bila oran mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan pribadi, yang disebut pamrih.
Laku tapa juga sebagai upaya mencapai kesempurnaan urip sajroning mati; layap-layap ing nglayup, di mana orang telah menyadari tentang dirinya, bersatu dengan Tuhan.persatuan diri dengan Tuhan, digambarkan sebagai: makro kosmos termuat dalam mikro kosmos; curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, kodok kinemulan ing leng, kodok ngemuli lenge; sotya manjing embanan; Kang Paring Gasang dimuat oleh kita yang dimuat-Nya (Ajaran mistik).
Laku tapa berguna bagi kontrol terhadap nafsu dan pamrih yang keduanya dapat mengancam keselarasan hidup. Tapa yang berat/keras tidak dianjurkan kepada khalayak ramai, melainkan hanya bagi mereka yang memiliki kekuatan batin istimewa. Bagi orang biasa, hanya berpegang pada prinsip: “jangan berhenti bekerja sebelum capai, jangan makan sebelum lapar”.
Nafsu manusia dirumuskan dalam malima (lima M), yaitu: madat, madon, minum, mangan dan main; sedang pamrih dirumuskan dalam 3 dewe, yaitu: menange dewe, benere dewe dan butuhe dewe. Pamrih tersebut dapat menimbulkan sikap aji mumpung dan dumeh; maka ada ungkapan yang mengingatkan: aja dumeh.
Beberapa ungkapan dalam ajaran moral Jawa yang bernilai luhur antara lain: eling (ingat akan asalnya: Allah), waspada (mawas diri), percaya (percaya pada bimbingan Tuhan), mituhu (taat pada Allah), jagad ora mung sagodong kelor (optimis). Ciri khas kematangan moral orang Jawa antara lain: sabar, narima, rila, legawa, digawe gampang ya gampang, digawe angel ya angel, jujur, temen, prasaja, andapasor, tepa salira, ngono ya ngono ning aja ngono. Budi luhur tersebut juga diterapkan untuk orang lain, maka timbul ungkapan: mangan ora mangan yen kumpul, ana sethitik didum sethitik ana akeh didum akeh. Budi luhur (keutamaan) tersebut bertentangan dengan sifat-sifat yang harus dihindari, yaitu: dahwen (gemar mencela), open (suka memperhatikan kejelekan orang lain) dengki (berbudi rendah), srei (iri), jail (suka main intrik), methakil (kekerasan, licik). Orang Jawa yang belum matang/dewasa secara moral, disebut sebagai durung Jawa atau ora Jawa, atau ora/durung ngerti. Mereka itu masih banyak belum mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebut durung dadi wong. Mereka yang sudah dewasa, tahu menempatkan diri, dapat memenuhi tugas/kewajibannya, disebut wis dadi wong, dan mereka akan dihargai/dihormati (diwongake).
Dua prinsip hidup atau kaidah dasar dalam kehidupan orang Jawa adalah: rukun dan hormat. Berikut ini masing-masing dijelaskan lebih lanjut.
Prinsip rukun
Prinsip rukun atau kerukunan tidak menimbulkan konflik secara terbuka, untuk menciptakan dan mempertahankan keharmonisan. Rukun berarti tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu saling membantu, dalam suasana tenang dan tentram, tidak mengganggu keharmonisan, mempertahankan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Prinsip rukun juga ditunjukkan dari sikap: (a) tidak mau ambil putusan dan menanggung resiko sendiri, (b) penyelesaian segala persoalan dalam semangat kekeluargaan, penyelesaian masalah secara hukum baru ditempuh setelah cara kekeluaragaan menemui jalan buntu, atau sebagai upaya terakhir, (c) memberi bantuan sanak-saudara, baik sebagai keluarga dekat maupun jauh, (dan) perlakuan terhadap orang lain seperti saudara/keluarga sendiri, dengan menggunakan sebutan yang akrab, seperti: bapak, ibu, mbah, eyang, pakde, paklik, bude, bulik, mas, mbakyu, dik dan seterusnya.
Prinsip kerukunan juga tercermin dalam praktik dan sikap: gotong-royong musyawarah untuk mufakat, dalam hal itu kebenaran ada pada kelompok, bukan pada orang-perorang, bukan pada pimpinan dan bukan pada luar kelompok. Kerukunan dalam hal ini termasuk prinsip pranata masyarakat, bukan prinsip moral, artinya orang hanya terikat secara lahir, sedang secara batin tetap bebas untuk berbeda pendapat. Maka sikap rukun tidak berarti tenggelamnya individu dalam kolektif, tidak berarti bahwa orang kehilangan hak-haknya.
Dengan sikap rukun orang Jawa tidak melepaskan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi ditinggalkan pada waktu orang menjalani laku tapa dan telah mencapai kesadaran tingkat tinggi (pemudaran, pembebasan, manunggaling kawula-gusti). Prinsip rukun tidak berarti pengorbanan diri, karena pada saatnya masing-masing pribadi akan mendapat keuntungan dari sikap rukun tersebut. Dengan demikian prinsip kerukunan orang Jawa tidak sama dengan ajaran kolektivitas komunis yang tidak mengakui hak milik, yang disebut persaudaraan universal.
Disamping hal yang positif, kerukunan dalam perspektif Jawa juga menimbulkan hal-hal yang kurang positif, seperti :
a) Sikap rukun tersebut hanya sekedar untuk menghindari konflik terbuka, sehingga rukun tidak merupakan sikap batin (keadaan kejiwaan) melainkan sekedar penampilan, untuk menjaga keharmonisan (harmonious social appearances): sementara konflik batin, di belakang layar masih tetap terjadi.
b) Orang lebih baik tidak berbuat sesuatu daripada menimbulkan konflik, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tetapi rasa ingin tahu tentang urusan orang lain begitu besar, dan dibicarakan di balik layar (ngrasani).
c) Prakarsa pribadi tidak penting, harus maju bersama kelompok.
d) Tidak berterus terang, kurang terbuka: jawaban yang paling tepat adalah “yaitu” (nggih), tidak baik menjawab “tidak” (mboten).
e) Orang Jawa terbiasa dengan berbuat semu (ethok-ethok). Tatakrama merupakan sarana terbaik dalam membina kerukunan. Tatakrama diciptakan untuk mengatur sikap dan perbuatan, agar masing-masing melewati jalur yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak terjadi tabrakan (konflik).
Prinsip hormat
Sikap hormat diatur secara hirarkis sesuai dengan fungsi, derajat dan kedudukannya. Antar keluarga, hirarki tersebut ditentukan berdasar keturunan; antara sesama ditentukan oleh usia dan derajat kepangkatan. Hirarki tersebut akan menentukan jenis kata dan bahasa yang dipergunakan (krama inggil, krama madya, krama andap dan ngoko). Dengan demikian setiap orang dituntut untuk tahu menempatkan dan membawakan dirinya. Keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keharmonisan akan tercapai apabila masing-masing tahu menempatkan dan membawakan dirinya, yaitu juga disebut dengan tahu tatakrama.
Sikap hormat yang ditata secara hirarkis tersebut menimbulkan tanggung jawab moral bagi yang berposisi lebih tinggi (orangtua, sesepuh, pinisepuh, pejabat atau pimpinan). Mereka dituntut untuk berperan sebagai panutan. Adalah cela besar bila panutan ternyata tidak dapat atau tidak pantas untuk dianut (tuwa tuwas). Keteladanan merupakan hal yang prinsipial dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panutan merupakan prinsip hormat yang berlaku bagi yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Jadi sebenarnya prinsip hormat tidak terbatas kepada atasan (wong gede), tetapi juga kepada bawahan (wong cilik).
Seperti halnya dengan sikap rukun, sikap hormat dalam perspektif orang Jawa bukan merupakan sikap batin. Menghormat tidak berarti tunduk atas segala perintah. Orang bisa tetap hormat walaupun tidak setuju dan tidak melaksanakan perintahnya.

C. Penutup
1. Simpulan
Dalam konteks perlunya melakukan upaya pembinaan moral dalan konteks filsafat Jawa maka diperlukan adanya upaya yang sinergis dari seluruh stakeholders. Pandangan seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana, sabar, narima, rila, legawa, jujur, temen, prasaja, andapasor, dan tepa salira, merupakan perilaku positif yang bisa dikembangkan untuk mengadakan pembinaan moral secara mikro dan makro.
Pada akhirnya penumbuhkembangan nilai-nilai dalam pendidikan tidak terlepas dari upaya melakukan ritual yang bermuara pada Filsafat Jawa. Sekalipun pada masa kini ada kecenderungan yang cukup mencemaskan bahwa perilaku yang njawani hanya dipergunakan sebagai lip service atau bahkan hanya moralisme saja, agaknya perilaku yang njawani masih juga merupakan salah satu laku utama yang diharapkan oleh masyarakat.

2. Saran
Apapun format dan desainnya, potret pendidikan kita perlu berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang merupakan refleksi Filsafat Jawa. Perilaku yang njawani merupakan conditio sine qua non manakala stakeholders pendidikan di negeri ini membincangkan pendidikan baik pendidikan konteks makro maupun mikro. Hanya saja, memang diperlukan uraian laku dan patrap yang jelas, supaya perilaku yang njawani dapat menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri yang pluralis dan holistik (Trimo).

PUSTAKA ACUAN:


Barnadib, Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan (Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiningsih, C Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta:Rinika Cipta
Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Satmoko, Retno Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Tauhid. 2002. Fasilitator. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional





PEMBINAAN MORAL DALAM KAJIAN FILSAFAT JAWA
(Sebuah Tinjauan Fenomenologis Moral dalam Perilaku Njawani)

Oleh
Ib Arjana

A. Pengantar
Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagi makhuk individu, sebagi makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada dibumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.
Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bagsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil dengan baik.
Namun masalah-masalah moral yang terjadi sekarang ini jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan masalah-masalah moral yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap moral yang tepat, studi di bidang moral dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi itu belum cukup menjamin terjadinya perilaku moral yang tepat. Studi tentang moral tidak bersifat teknis melainkan refeksi, yaitu suatu refleksi tentang tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Moral dapat dikaji secara kognitif sebagai penalaran moral, dapat juga dari aspek perasaan moral, dan dapat huga dari perilaku atau tindakan moral. Ketiga aspek tersebut terintegrasi dalam diri seseorang dan membentuk kematangan moralitas orang tersebut. Maka objek kajian tentang moralitas ini langsung berkaitan dengan praktik kehidupan manusia.
Dari bingkai filsafat, pentingnya nilai dekat dengan teri Revitalisasi Budaya yang melahirkan esensialisme dan perenialisme. Esensialisme menghendaki agar pendidikan bersendikan atas norma dan nilai yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan perenialisme bersendikan atas penggunaan kesenian bebas sebagai modal dasarnya. Unsur-unsur budaya yang telah berabad-abad usianya dipandang sebagai vitalitas yang mantap sebagai landasan menemukan perubahan dan kemajuan pada zaman sekarang (Barnadib, 1996:40).
Dalam konteks yang aplikatif, norma dan nilai seperti termaktub dalam esensialisme dapat dipersonifikasikan dengan norma dan nilai luhur Pancasila. Norma dan nilai luhur, seperti: ketuhanan, persatuan dan kesatuan, rela berkorban, kebenaran dan keadilan, kebersamaan, keberagaman, cinta tanah air, dan sebagainya dapat dijadikan “modal dasar” dalam menyelesaikan krisis yang melanda Indonesia.
Selebihnya penumbuhkembangan norma dan nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan wujud internalisasi dari hakikat manusia, sebagai makhluk berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Keempat dimensi manusia itu dalam pendidikan harus dikembangkan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang agar dapat terbentuk kepribadian manusia yang utuh (Satmoko, 2000:18).
Berdasarkan uraian di atas maka persoalan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: bagaimana melakukan pembinaan moral dalam kajian filsafat Jawa?

B. Pembahasan
1. Pembinaan Moral dan Penalaran Moral
Menurut Lillie dalam Budiningsih, (2004:24), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Moral juga diartikan sebagai hal-hal yang berhungan dengan nilai-nilai susila. Sedangkan Baron, dkk dalam Budiningsih, (2004:24) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Suseno (1987:18) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tinsdakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.
Kohlberg dalam Budiningsih (2004:25) tidak memusatkan perhatian pada perilaku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatanya. Ia menjadikan penalaran moralnya sebagai pusat kajiannya.dikatakan bahwa mengamati perilaku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan moral. Seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perilakunya sama., tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercemin dalam perilaku mereka.
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral judgement,sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian yang sama dan digunakan secara bergantian. Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi penalaran moral Setiono dalam Budiningsih, (2004:25). Penalaran moral mereka lah yang mencerminkan perbedaan kematangan moral tersebut.
Moral dapat diartikan sebagai keseluruan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kerlompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematik dalam etika, filsafat moral, dan teknologi moral. Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagi makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhluk individu, sebagi makhluk sosial, dan sebagai makhluk yang berpribadi, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak yang mulia. Dengan demikian apabila setiap individu, kelompok dan masyarakat suatu bangsa mempuyai karsa, pikir, rasa, sikap, tindak, dan karya yang berlandaskan norma-norma moral, maka niscaya bangsa tersebut dapat hidup aman, tentram, damai, sejahtera, dan bahkan bahagia dan mampu melaksanakan pembangunan yang dinamis, berhasil, dan sustainable (Tauhid, 2002:19).
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan di lakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehinga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan ( statement ) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah,. Alasanya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan mengatakan sesuatu yang sama, maka disini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikanya terhadap sesuatu hal yang benar atau salah.
Penalaran moral dipandang sebagai struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg dalam Budiningsih, 2004:25) Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahab kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya.
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akn sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penalaran moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat di identifikasi tingkat perkembangan moralnya.
Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui prose perkembangan dan cara-cara membantu mengembangkan moral tersebut.
Piaget dan Kohlberg 1980 dalam Budiningsih, (2004:26) telah mengadakan studi dalam proses perkembangan moral. Mereka lebih memusatkan penyelididkan pada pola-pola sturtur penelaran manusia dalam mengadakan keputusan moral dari pada penyelidikan tingkah laku. Kedua tokoh tersebut telah menyusun peta lengkap mengenai bagaimana individu-individu berkembang secara moral. Mereka telah mengembangkan teori-teori perkembangan moral yang dengan jelas memperlihatkan tahap-tahap mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral.
Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahp mana yang dilalui oleh seorang individu dalam mencapai kematangan moral. Teori mereka mengidentifikasikan tahap-tahap perkembangan moral dan perincian prosedur untuk menentukan siapa-siapa yang ada pada tahap-tahap itu. Dengan demikian teori-teori mereka memberikan sutu alat pendidikan yang tidak tenilai harganya, karena sudah menjadi aksioma dalam pendidikan bahwa pendidikan akan mencapai hasil yang paling efektif kalau orang menyapa pada siswanya pada tahap yang sejajar dengan kemampuan belajar mereka. Program-program pendidikan moral yang disusun tanpa mengetahui tahap perkembangan anak (karakteristik siswa) tidak akan berhasil.
Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:27) mengembangkan alat sistematis untuk mengungkap penalaran-penalaran itu dengan mengembangkan sekumpulan cerita, yang memasukkan orang atau orang-orang kedalam suatu dilema moral. Kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan mengenai dilema-dilema tersebut, yang dimaksudkan untuk menjajaki penalaran-penalaran subjek yang bersangkutan, apakan alasannya maka ia akan melakukan tindakan tertentu dalam situasi seperti itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa moral adalah keseluruhan kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan. Sedangkan penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan yaitu: (1) tingkatan pra moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dalam Budiningsih, (2004:28) dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu: (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahaun, (3) tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.
Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat terbalik (irreversible) yaitu bahwa suatu tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan dibawahnya Kohlberg dalam Budiningsih, (2004:28). Misalnya, seseorang yang telah berada pada tahap –5 tidak akan kembali pada tahap –3 atau tahap –4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu gerak maju dari tahap –1 sampai tahap-6, dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral. Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg yang disarikan oleh Hardiman (1987) dalam Budiningsih, (2004:29) sebagai berikut:
a. Tingkatan Pra-Konvensional
Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistik). Tingkat ini di bagi 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap pengusa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2: Orientasi instrumentalistik. Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain. Hubungan antara manusia di pandang seperti hubungan dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip tindakan dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prisip kesalingan adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seseorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan doniman adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kerukunan atau orientasi good boy – nice girl. Pada tahap ini orang perpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagi “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.
Tahap 2: Orientasi ketertiban masyarakat. Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjada tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.
c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagi subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa beralah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani . tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi kontrak sosial. Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang lain menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yng jelas untuk mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 2: Orientasi prinsip etis universal. Paad tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputuan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya; cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri, dan kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Melihat tahap-tahap dan orientasi tiap tahap tersebut tampak bahwa seseorang tetap mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan kesalingan, hanya saja konkretisasinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masing-masing tahap. Menurut kohlberg perkembangan penalaran moral ini berlangsung setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peranan pendidik adalah menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi seseorang untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. Seorang terutama memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapnya sekarang dan ia mempunyai peluag untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang pernah dilampauinya.
Menurut kohlberg dalam Budiningsih, (2004:32) perkembangan ini tidak ditentukan oleh usia. Dalam penelitiannya, lebih dari 50% respondennya (orang dewasa) masih ada pada tahap konvensional Hardiman, (1987) dalam Budiningsih, (2004:32). Kecepatan perkembangannya pun beragam. Satu faktor penting dalam perkembangan penlaran moral adalah faktor kognitif, terutama dalam berpikir abstrak dan luas.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahap-tahap penalaran moral di atas penulis berpendapat bahwa terdapat sejumlah tahap perkembangan penalaran moral yang dicirikan sebagai pola struktur pemikiran formal, terlepas dari isinya. Ada perbedaan kualitatif pada masing-masing strukturnya, atau cara berpikir yang berbeda yang mempunyai fungsi dasar dalam proses perkembangan. Semua struktur yang berbeda ini membentuk urutan tetap dan konsisten dalam proses perkembangan moral.
Piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional formal berkembang, maka Kohlberg secara sejajar menunjukkan juga bahwa pada masa remaja dapat dicapai tahap tertinggi penalaran moral yaitu prinsip keadilan yang universal. Dengan demikian seluruh tahap perkembangan penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg dapat diajarkan pada remaja.


3. Membentuk Moral dalam Filsafat Jawa
Pemakaian istilah “filsafat Jawa” kurang popular, barang kali juga kurang tepat, lebih tepat bila disebut dengan falsafah Jawa atau Kejawen. Falsafah berbeda dari filsafat. Falsafah merupakan suatu pandangan hidup, pandangan dunia, lebih mendekati pada pengertian ideologi; sedang filsafat termasuk dalam kawasan ilmu pengetahuan. Kejawen juga dibedakan dari kejawaan. Kalau kejawen merupakan suatu bentuk “kata benda”, berupa ajaran Jawa; sementara kejawaan merupakan suatu bentuk “kata kerja” dan sekaligus “kata sifat”, yaitu tingkah laku kongkrit orang jawa, sebagai orang jawa. Kesesuaian kejawen dengan kejawaan dalam sikap hidup dan tingkah laku orang jawa, disebut njaweni; sebaliknya ketidak-sesuaian sikap hidup dan tingkah laku orang jawa (kejawaan) dengan ajaran atau falsafah jawa (kejawen), dikatakan sebagai ora njaweni (tidak sebagaimana mestinya orang jawa).
Kekaburan nilai, merupakan hal yang sangat mengganggu sekali dalam proses pendidikan. Hal ini lantaran nilai merupakan bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dan sikap hidup itulah, sering disebut mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannnya pada masyarakat (Mulder, 1973).
Dalam pembicaraan ini perbedaan dalam pemakaian istilah filsafat dan falsafah diabaikan, pemakaian istilah “filsafat jawa” dipertahankan dengan meletakkannya diantara tanda kutip; untuk menjaga konsistensi dengan pembicaraan sebelumnya (filsafat India, filsafat Cina).
“Filsafat Jawa” mempunyai ciri-ciri umum yang banyak persamaannya dengan filsafat India maupun Cina. Orang Jawa juga merasakan kefanaan dunia ini dan merindukan kepada baka. Dengan demikian mereka berupaya untuk menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Alam pemikiran Jawa bersifat religius. “Filsafat Jawa” lebih menyerupai ngelmu, suatu aktivitas batin, hasil dari perenungan, daripada ilmu, yang mencari kebenaran dengan metode tertentu.
Sikap orang Jawa lebih bersifat subyektif, menekankan pada perasaan, menyatukan diri dengan alam semesta, lebih terbuka bagi realitas ajaib yang mengatasi segala-galanya. Kehidupan orang Jawa dipenuhi dengan berbagai upacara ritual, yang disebut slametan. Dalam pandangan Jawa, manusia adalah dunia kecil (mikro kosmos) yang merupakan cerminan dari semesta alam (makro kosmos). Manusia dan dunia merupakan satu kesatuan yang harus selalu dijaga keharmonisannya.
“Filsafat Jawa” tidak mengejar kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat berkembang sejauh tidak mengganggu keseimbangan atau keharmonisan semesta alam. Perkembangan ilmu pengetahuan justru terjadi karena upaya untuk mencari keseimbangan tersebut. Oleh karena itu “filsafat Jawa” mengajarkan bagaimana sikap manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. “Filsafat Jawa” menitik-beratkan pada kualitas moral (etika).
“Filsafat Jawa” memandang Tuhan sebagai suatu kekuatan di atas manusia, yang mengatasi manusia, yang menguasai segala sesuatu; yang tidak dapat dikuasai oleh manusia. Oleh karena itu orang Jawa menganggap semua yang berada di atasnya, yang berasal dari atas, adalah Tuhan atau wakil/manifestasi dari Tuhan. Raja adalah wakil/penjelmaan Tuhan di dunia (paham dewaraja). Memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai sarana yang dapat membebaskan manusia. Manusia harus menjalani kewajiban terhadap penguasa sebagai kewajiban berbakti (kebaktian). Bawahan tidak boleh menentang penguasa, sekalipun penguasa telah melanggar norma-norma. Sifat kebaktian terhadap penguasa yang tidak bersifat kritis tersebut mnyuburkan kehidupan feodalis-kolonialis.
Dari uraian tentang ciri-ciri umum “filsafat Jawa” tersebut di atas, dapat disimpulkan tiga pokok pembicaraan dalam “filsafat Jawa” yaitu “ (1) pandangan hidup orang Jawa, (2) sikap hidup orang Jawa, dan (3) prinsip hidup orang Jawa. Berikut ini ketiganya dibicarakan lebih lanjut.
Pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) berdasarkan keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah satu; merupakan satu kesatuan hidup. Menurut pandangan orang Jawa tidak mungkin memisahkan unsur-unsur sakral (yang suci) dari yang profane.
Hidup manusia diselaraskan dengan alam raya (kosmos, alam semesta), yang diatur secara hirarkis. Menjaga keselarasan, keserasian dan keharmonisan dengan tata tertib universal merupakan suatu tugas moral. Kelakuan antara manusia diatur dengan tatakrama (Jawa: etiket); keselarasan dalam masyarkat diatur dengan kaidah-kaidah adat; keselarasan dengan alam atas diatur dengan peraturan dan praktik agama atau keyakinan; dorongan dan emosi pribadi diatur dengan kaidah/norma moral yang menekankan pada sikap: sabar, narima, eling, waspada, andap-asor dan prasaja.
Untuk menjaga keseimbangan semestas alam (alam raya, kosmos), manusia tidak ingin menaklukan atau menguasai alam, tidak ingin merubah alam, melainkan menyatukan diri dengan alam dan menghindari nafsu-nafsu materialistis. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengubah kodrat alam dan kodrat manusia itu sendiri. Perkembangan dan kemajuan pada dasarnya usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan selaras. Teknik, pendidikan, semuanya baik, tetapi intelektualisme dianggap mengandung bahaya, karena intelektulisme memperkuat individualisme dan individualisme dapat mengganggu keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan. Investasi mental merupakan suatu bagian dari setiap perkembangan, kemajuan dan perkembangan. Namun demikian tidak boleh mengganggu/merugikan keseimbangan, keserasian, keselarasan dan keharmonisan. Ilmu hendaklah bersifat sosial dan menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dan alam.
Inti dari pandangan hidup orang Jawa (Javanisme) adalah kebatinan. Kebatinan menjadi gaya hidup orang Jawa; gaya hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap alam raya, pengetahuan mengenai alam raya bertujuan menjalin hubungan langsung dengan Tuhan, sebagai ekspresi hidup keagamaan yang luhur. Aliran kebatinan merupakan perguruan yang ideal, tempat belajar mencari jalan menuju persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Aliran kebatinan merupakan mistik Jawa.
Kaidah pokok dalam masyarakat Jawa adalah “tidak merugikan orang lain”, menghormati keselarasan sosial dengan menghormati orangtua, guru atau raja, sebagai langkah awal menuju persatuan dengan Tuhan. Syarat utama bagi keselarasan itu adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Konsep-konsep sentral dari cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa adalah: seremonial (upacara), formal (bentuk), simbolik (lambang-lambang), kosmologis, statis dan teratur.
Kehidupan orang Jawa ditempuh melalui berbagai macam upacara, baik yang bersifat pribadi, keluarga, maupun kelompok masyarakat; dari upacara kelahiran, kehidupan sosial, hingga kematian. Untuk peristiwa kelahiran ada upacara: brokohan, sepasaran, selapanan, setahunan, wetonan, tanggap warsa (ulang tahun), dan sewindunan. Dalam kehidupan sosial dikenal upacara supitan, tetesan (sunat), mantenan(pernikahan), omah dewe (menempati rumah sendiri pisah dengan orangtua). Dalam peristiwa kematian ada upacara: bedah kubur, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (satu tahun), pendak pindo (dua tahun), seribu hari, tumbuk warsa. Dalam kehidupan bersama juga ada berbagai upacara, antara lain: sadranan (upacara srada), bersih desa, syukuran, dan lain-lain. Inti dari semua upacara tersebut adalah selamatan (slametan), upaya memperoleh keselamatan.
Bagi orang Jawa, segala sesuatu diwujudkan dalam bentuk formal, dan dalam hal itu lambang-lambang berperan penting. Bentuk atau forma lebih penting, walaupun sering tanpa isi. Bentuk itu menentukan isi, sama dengan isi. Lambang telah dianggap sebagai kenyataan. Segala sesuatu dianggap sah, beres, selesai, bila telah ada secara formalitas; sekalipun hanya berupa pralambang. Orang Jawa tidak memperhatikan waktu, yang lebih diperhatikan adalah bentuk dari waktu itu, misalnya: usia tua dihormati, peringatan-peringatan pegang peran utama, dianggap sebagai kenyataan dari yang diperingati, tentang isinya tidak diperhatikan. Upacara bentuk yang menjadi-sah-kan.
Pandangan orang Jawa bersifat kosmologis, bahwa manusia, dan segala sesuatunya, merupakan bagian dari kosmo (alam raya, semesta alam) yang telah ada secara tetap (statis) dan teratur. Oleh karena itu segala sesuatu harus terpola secara tetap dan teratur. (Hal inilah yang memungkinkan dan mempermudah berlakunya sistem feodal dan kolonial). Orang Jawa tidak membenarkan adanya konflik atau beda pendapat, karena hal itu dapat menimbulkan ketidakteraturan, mengganggu yang sudah mapan. Dalam pemikiran orang Jawa tidak ada pendapat yang salah, maka merasa terhina bila disalahkan. Setiap pendapat memiliki kebenaran. Hal ini menjadi dasar toleransi dan praktik musyawarah bagi orang Jawa.
Sikap hidup tidak identik dengan pandangan hidup. Sikap hidup dipengaruhi oleh adat, agama, latar belakang kebudayaan, dan watak suatu bangsa. Orang yang berbeda pandangan hidupnya terhadap Tuhan, dapat sama sikap hidupnya. Sikap hidup orang Jawa dapat dipelajari, antara lain lewat kebatinan dan sastra Jawa karya para pujangga.
Kebatinan
Kebatinan atau mistik Jawa, merupakan salah satu bentuk bahkan pandangan dasar dari Javanisme. Hampir semua orang Jawa diliputi oleh suasana mistik. Ada tiga ciri sikap hidup orang Jawa, yaitu:
a) Distansi (spiritualisme), yaitu sikap mengambil jarak terhadap hal-hal yang duniawi, atau terhadap kenyataan materiil, dengan maksud agar dapat menguasai kenyataan tersebut, dan dapat mencapai kenyataan (realitas) yang lebih tinggi. Distansi ini tampak dalam sikap hidup: rila, sabar, narima, sepi ing pamrih rame ing gawe.
b) Konsentrasi (sakralitas), yaitu mencari kenyataan lain yang lebih luhur di dalam batin manusia. Hal ini tampak dalm konsep-konsep: tapa (bertapa, askese), pemudaran (pembebasan), nyegah hawa nafsu, mati sajroning urip, hening-hening (bandingkan dengan Samadhi dalam Buddhisme!).
c) Reperesentasi (perwakilan, moralitas), yaitu sikap setelah pemurnian batin melalui distansi dan konsentrasi, kembali ke “dunia” sebagai utusan Allah (Khalifu’llah). Representasi terwujud dalam cara hidup memayu hayuning bawana, yang dapat digambarkan seperti bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah, tetapi dari dirinya sendiri tetap gelap.
Konsentrasi mencakup dua cara, yaitu (1) bertapa (askese) yang merupakan jalan, dan (2) pemudaran atau kebebasan, yang merupakan hasil dari konsentrasi. Konsentrasi tersebut dapat dikacaukan oleh nafsu, utamanya nafsu egosentris, atau egoistis. Dengan bertapa kekuatan jasmani diperlemah, orang menjadi lebih sadar akan kerelatifan dirinya. Dengan demikian perasaan dan sikapnya terhadap sesama manusia akan berubah menjadi lebih baik. Ada dua aliran, berkaitan dengan bertapa.
Pertama, tapa dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat, di tengah-tengah hutan, di gua-gua, di puncak gunung atau tempat-tempat sepi yang lain. Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa orang yang suci, mencapai kesempurnaan lahir dan batin,yang dekat atau menyatu dengan Tuhan, adalah orang yang tidak makan, tidak tidur dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Aliran ini lebih bersifat individualistis (bandingkan dengan aliran Hinayana dalam Buddhisme, yang berarti “Kendaraan Kecil”!).
Kedua, aliran yang berpendapat bahwa tapa perlu dikaitkan dengan makna sosial. Orang tidak boleh mengasingkan diri dari masyarkat. Tapa yang dilakukan dengan mengasingkan diri dari masyarakat berarti mengusahakan kesempurnaan diri secara egosentris, dapat memperkuat individualisis. Bagi aliran kedua ini melakukan tapa tidak boleh melalaikan tugas atau kewajiban sosialnya (tapa ngrame). Hal inilah yang dilakukan antara lain oleh Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), salah satu aliran kebatinan di Jawa. Aliran kedua ini lebih bersifat sosial. (Bandingkan dengan aliran Mahayana dalam Buddhisme, yang artinya “Kendaraan Besar!)
Pemudaran, merupakan produk dari konsentrasi, yang telah dijalani dengan betapa (laku tapa), adalah suatu kebebasan batin. Pemudaran tidak diartikan sebagai meninggalkan dunia, melainkan tidak terkait atau tidak lekat (lengket) dengan dunia. Orang mengambil jarak terhadap hal-hal yang materialistis. Inilah yang disebut dengan sepi ing pamrih. Orang yang sudah mendapatkan pemudaran, tidak terikat oleh rasa suka atau tidak suka, tidak ada rasa takut, satu-satunya rasa suka yang sah adalah rasa bersatu dengan Tuhan (Pamoring/Manunggaling Kawula-Gusti). Keadaan pemudaran (pembebasan) tersebut juga disebut keadaan hening-hening, suatu ketenangan yang telah mapan, mati sajroning urip, laya-layap ing ngaluyup (mati di tengah-tengah kehidupan).
Laku tapa dilaksanakan melalui proses distansi (mengambil jarak terhadap kenyataan materiil), untuk dapat berkonsentrasi (pemusatan batin), agar dapat mencapai kenyataan yang lebih tinggi atau lebih luhur, yaitu pemudaran atau pembebasan (manunggaling kawula-gusti); yang selanjutnya akan di-representasi-kan dengan memayu hayuning bawana (tugas sosial dalam kehidupan masyarakat). Memayu hayuning bawana dapat diartikan sebagai: (1) menghiasi atau meperindah (ayu = indah, cantik) dunia, dan (2) mengusahakan keselamatan (rahayu) dunia.
Dalam pengertian yang pertama, dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan orang Jawa, dunia atau bawana itu tetap tidak dapat berubah, tetapi diperindah oleh cahaya keindahan yang dipancarkan oleh manusia yang telah mencapai kesempurnaan (pemudaran, kebebasan). Seperti bumi yang disinari dengan terang bulan purnama, kelihatan lebih indah, tetapi sesungguhnya bumi itu sendiri tidak berubah. Manusia yang telah sampai pada tingkat pemudaran berfungsi seperti sinar terang bulan purnama terhadap dunia sekelilingnya.
Dalam pengertian yang kedua, dapat dijelaskan bahwa mengusahakan keselamatan dunia menurut konsep pemikiran orang Jawa memang tidak mengubah dunia, karena dunia memang tidak dapat dirubah. Orang Jawa tidak ingin mengubah dunia, melainkan menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan serta keharmonisan dunia. Tugas dan kewajiban moral orang Jawa adalah mencapai kesempurnaan batin atau pemudaran diri (jagad cilik, mikro kosmos) untuk membangun atau sebagai syarat keselarasan dunia (jagad gede, makro kosmos). Hal itu dapat dicapai melalui sikap hidup sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana (kerja keras tanpa pamrih mengusahakan keselamatan dunia). Keselamatan rasionalisme, seimbang dan harmonis. Menarik untuk diingat bahwa ketidak-tertiban manusia (jagad cilik) dapat membahayakan dunia atau bawana (jagad gede). Dengan demikian tepat bila dikatakan bahwa memayu hayuning bawana diartikan sebagai “mengusahakan keselamatan dunia”.
Laku tapa (lelana brata, nglakoni, prihatin), termasuk di dalamnya: berpuasa, adalah cara-cara orang Jawa untuk memusatkan kesaktian (kesakten) atau kekuatan semesta alam menjadi sakti (sekti). Kesaktian akan menjadi luntur dan hilang bila oran mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan pribadi, yang disebut pamrih.
Laku tapa juga sebagai upaya mencapai kesempurnaan urip sajroning mati; layap-layap ing nglayup, di mana orang telah menyadari tentang dirinya, bersatu dengan Tuhan.persatuan diri dengan Tuhan, digambarkan sebagai: makro kosmos termuat dalam mikro kosmos; curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, kodok kinemulan ing leng, kodok ngemuli lenge; sotya manjing embanan; Kang Paring Gasang dimuat oleh kita yang dimuat-Nya (Ajaran mistik).
Laku tapa berguna bagi kontrol terhadap nafsu dan pamrih yang keduanya dapat mengancam keselarasan hidup. Tapa yang berat/keras tidak dianjurkan kepada khalayak ramai, melainkan hanya bagi mereka yang memiliki kekuatan batin istimewa. Bagi orang biasa, hanya berpegang pada prinsip: “jangan berhenti bekerja sebelum capai, jangan makan sebelum lapar”.
Nafsu manusia dirumuskan dalam malima (lima M), yaitu: madat, madon, minum, mangan dan main; sedang pamrih dirumuskan dalam 3 dewe, yaitu: menange dewe, benere dewe dan butuhe dewe. Pamrih tersebut dapat menimbulkan sikap aji mumpung dan dumeh; maka ada ungkapan yang mengingatkan: aja dumeh.
Beberapa ungkapan dalam ajaran moral Jawa yang bernilai luhur antara lain: eling (ingat akan asalnya: Allah), waspada (mawas diri), percaya (percaya pada bimbingan Tuhan), mituhu (taat pada Allah), jagad ora mung sagodong kelor (optimis). Ciri khas kematangan moral orang Jawa antara lain: sabar, narima, rila, legawa, digawe gampang ya gampang, digawe angel ya angel, jujur, temen, prasaja, andapasor, tepa salira, ngono ya ngono ning aja ngono. Budi luhur tersebut juga diterapkan untuk orang lain, maka timbul ungkapan: mangan ora mangan yen kumpul, ana sethitik didum sethitik ana akeh didum akeh. Budi luhur (keutamaan) tersebut bertentangan dengan sifat-sifat yang harus dihindari, yaitu: dahwen (gemar mencela), open (suka memperhatikan kejelekan orang lain) dengki (berbudi rendah), srei (iri), jail (suka main intrik), methakil (kekerasan, licik). Orang Jawa yang belum matang/dewasa secara moral, disebut sebagai durung Jawa atau ora Jawa, atau ora/durung ngerti. Mereka itu masih banyak belum mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, disebut durung dadi wong. Mereka yang sudah dewasa, tahu menempatkan diri, dapat memenuhi tugas/kewajibannya, disebut wis dadi wong, dan mereka akan dihargai/dihormati (diwongake).
Dua prinsip hidup atau kaidah dasar dalam kehidupan orang Jawa adalah: rukun dan hormat. Berikut ini masing-masing dijelaskan lebih lanjut.
Prinsip rukun
Prinsip rukun atau kerukunan tidak menimbulkan konflik secara terbuka, untuk menciptakan dan mempertahankan keharmonisan. Rukun berarti tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu saling membantu, dalam suasana tenang dan tentram, tidak mengganggu keharmonisan, mempertahankan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Prinsip rukun juga ditunjukkan dari sikap: (a) tidak mau ambil putusan dan menanggung resiko sendiri, (b) penyelesaian segala persoalan dalam semangat kekeluargaan, penyelesaian masalah secara hukum baru ditempuh setelah cara kekeluaragaan menemui jalan buntu, atau sebagai upaya terakhir, (c) memberi bantuan sanak-saudara, baik sebagai keluarga dekat maupun jauh, (dan) perlakuan terhadap orang lain seperti saudara/keluarga sendiri, dengan menggunakan sebutan yang akrab, seperti: bapak, ibu, mbah, eyang, pakde, paklik, bude, bulik, mas, mbakyu, dik dan seterusnya.
Prinsip kerukunan juga tercermin dalam praktik dan sikap: gotong-royong musyawarah untuk mufakat, dalam hal itu kebenaran ada pada kelompok, bukan pada orang-perorang, bukan pada pimpinan dan bukan pada luar kelompok. Kerukunan dalam hal ini termasuk prinsip pranata masyarakat, bukan prinsip moral, artinya orang hanya terikat secara lahir, sedang secara batin tetap bebas untuk berbeda pendapat. Maka sikap rukun tidak berarti tenggelamnya individu dalam kolektif, tidak berarti bahwa orang kehilangan hak-haknya.
Dengan sikap rukun orang Jawa tidak melepaskan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi ditinggalkan pada waktu orang menjalani laku tapa dan telah mencapai kesadaran tingkat tinggi (pemudaran, pembebasan, manunggaling kawula-gusti). Prinsip rukun tidak berarti pengorbanan diri, karena pada saatnya masing-masing pribadi akan mendapat keuntungan dari sikap rukun tersebut. Dengan demikian prinsip kerukunan orang Jawa tidak sama dengan ajaran kolektivitas komunis yang tidak mengakui hak milik, yang disebut persaudaraan universal.
Disamping hal yang positif, kerukunan dalam perspektif Jawa juga menimbulkan hal-hal yang kurang positif, seperti :
a) Sikap rukun tersebut hanya sekedar untuk menghindari konflik terbuka, sehingga rukun tidak merupakan sikap batin (keadaan kejiwaan) melainkan sekedar penampilan, untuk menjaga keharmonisan (harmonious social appearances): sementara konflik batin, di belakang layar masih tetap terjadi.
b) Orang lebih baik tidak berbuat sesuatu daripada menimbulkan konflik, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tetapi rasa ingin tahu tentang urusan orang lain begitu besar, dan dibicarakan di balik layar (ngrasani).
c) Prakarsa pribadi tidak penting, harus maju bersama kelompok.
d) Tidak berterus terang, kurang terbuka: jawaban yang paling tepat adalah “yaitu” (nggih), tidak baik menjawab “tidak” (mboten).
e) Orang Jawa terbiasa dengan berbuat semu (ethok-ethok). Tatakrama merupakan sarana terbaik dalam membina kerukunan. Tatakrama diciptakan untuk mengatur sikap dan perbuatan, agar masing-masing melewati jalur yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak terjadi tabrakan (konflik).
Prinsip hormat
Sikap hormat diatur secara hirarkis sesuai dengan fungsi, derajat dan kedudukannya. Antar keluarga, hirarki tersebut ditentukan berdasar keturunan; antara sesama ditentukan oleh usia dan derajat kepangkatan. Hirarki tersebut akan menentukan jenis kata dan bahasa yang dipergunakan (krama inggil, krama madya, krama andap dan ngoko). Dengan demikian setiap orang dituntut untuk tahu menempatkan dan membawakan dirinya. Keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keharmonisan akan tercapai apabila masing-masing tahu menempatkan dan membawakan dirinya, yaitu juga disebut dengan tahu tatakrama.
Sikap hormat yang ditata secara hirarkis tersebut menimbulkan tanggung jawab moral bagi yang berposisi lebih tinggi (orangtua, sesepuh, pinisepuh, pejabat atau pimpinan). Mereka dituntut untuk berperan sebagai panutan. Adalah cela besar bila panutan ternyata tidak dapat atau tidak pantas untuk dianut (tuwa tuwas). Keteladanan merupakan hal yang prinsipial dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panutan merupakan prinsip hormat yang berlaku bagi yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Jadi sebenarnya prinsip hormat tidak terbatas kepada atasan (wong gede), tetapi juga kepada bawahan (wong cilik).
Seperti halnya dengan sikap rukun, sikap hormat dalam perspektif orang Jawa bukan merupakan sikap batin. Menghormat tidak berarti tunduk atas segala perintah. Orang bisa tetap hormat walaupun tidak setuju dan tidak melaksanakan perintahnya.

C. Penutup
1. Simpulan
Dalam konteks perlunya melakukan upaya pembinaan moral dalan konteks filsafat Jawa maka diperlukan adanya upaya yang sinergis dari seluruh stakeholders. Pandangan seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana, sabar, narima, rila, legawa, jujur, temen, prasaja, andapasor, dan tepa salira, merupakan perilaku positif yang bisa dikembangkan untuk mengadakan pembinaan moral secara mikro dan makro.
Pada akhirnya penumbuhkembangan nilai-nilai dalam pendidikan tidak terlepas dari upaya melakukan ritual yang bermuara pada Filsafat Jawa. Sekalipun pada masa kini ada kecenderungan yang cukup mencemaskan bahwa perilaku yang njawani hanya dipergunakan sebagai lip service atau bahkan hanya moralisme saja, agaknya perilaku yang njawani masih juga merupakan salah satu laku utama yang diharapkan oleh masyarakat.

2. Saran
Apapun format dan desainnya, potret pendidikan kita perlu berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang merupakan refleksi Filsafat Jawa. Perilaku yang njawani merupakan conditio sine qua non manakala stakeholders pendidikan di negeri ini membincangkan pendidikan baik pendidikan konteks makro maupun mikro. Hanya saja, memang diperlukan uraian laku dan patrap yang jelas, supaya perilaku yang njawani dapat menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri yang pluralis dan holistik (Trimo).

PUSTAKA ACUAN:


Barnadib, Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan (Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiningsih, C Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta:Rinika Cipta
Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Satmoko, Retno Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Tauhid. 2002. Fasilitator. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional