Selasa, 03 November 2009

filsafat ilmu Manajemen Pendidikan

ANALISIS FILSAFATI ( ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI ) MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS PARADIGMA KONSERVATIF, LIBERAL DAN KRITIS

Oleh :
Ida Bagus Made Arjana


A. PENDAHULUAN
Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) masyarakat bangsa tersebut. Kualitas SDM tergantung pada tingkat pendidikan masing-masing individu pembentuk bangsa. Pendidikan yang visioner,memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah pentingnya manajemen dalam pendidikan diterapkan.
Manajemen pendidikan untuk saat ini merupakan hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan. Kenyataan yang ada, sekarang ini banyak institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas.
Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya terkadang para pengelola pendidikan tidak menyadari akan hal itu, oleh karena itu, tulisan ini akan sedikit mengulas tentang problematika, tantangan serta isu-isu yang berkaitan dengan manajemen pendidikan.
1. Definisi Manajemen
Sebagaimana dicatat dalam Encyclopedia Americana manajemen merupakan "the art of coordinating the ele-ments of factors of production towards the achievement of the purposes of an organization", yaitu suatu seni untuk mengkoordinir sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sumberdaya organisasi tersebut meliputi manusia(men), bahan baku(ma-terials) danmesin(machines).Koordinasi dimaksudkan agar tujuan organisasi bisa dicapai dengan efisien sehingga dapat memenuhi harapan berbagai pihak (stake-holders) yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan setiap proses di mana seseorang memperoleh
pengetahuan (knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan (skills developments) sikap atau mengubah sikap (attitute change). Pendidikan adalah suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal _hal tertentu sebagai akibat proses pendidikan yang diikutinya.
Sebagai bagian dari masyarakat, pendidikan memiliki fungsi ganda yaitu fungsi sosial dan fungsi individual. Fungsi sosialnya untuk membantu setiap individu menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif masa lalu dan sekarang, sedangkan fungsi individualnya untuk memungkinkan seorang menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya untuk menghadapi masa depan (pengalaman baru). Fungsi tersebut dapat dilakukan secara formal seperti yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan, maupun informal melalui berbagai kontak dengan media informasi seperti buku, surat kabar, majalah, TV, radio dan sebagainya.



3. Manajemen Pendidikan
Dari pengertian diatas, manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dsb untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan.
Tujuan pendidikan sebagaimana tertuang pada UU Nomor 2 tahun 1989 pasal 4, antara lain dirumuskan : "Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Sasaran pendidikan secara makro sebagaimana yang terdapat dalam lembaga-lembaga pendidikan dapat diklasifikasikan pada beberapa hal, antara lain akuisisi pengetahuan (sasaran kognitif), pengembangan keterampilan/kemampuan (sasaran motorik) dan pembentukan sikap (sasaran afektif). Sasaran sasaran makro ini kemudian diterjemahkan dalam berbagai bentuk. sasaran mikro yang dapat diukur secara rinci dan spesifik berupa apa yang diharapkan dari hasil belajar mengajar. Salah satu sasaran yang dapat diukur untuk sasaran kognitif adalah nilai hasil akhir belajar dan perankingan sebagai implikasi dari nilai hasil akhir belajar .
Untuk sasaran motorik, terkait dengan apa yang telah dihasilkan oleh siswa, sedangkan untuk sasaran afektif, terkait dengan perubahan sikap/perilaku siswa setelah proses belajar mengajar. Oleh karena itu, pendidikan pun memerlukan adanya manajemen pendidikan yang berupaya mengkoordinasikan semua elemen pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana pada manajemen secara umum, manajemen pendidikan meliputi empat hal pokok, yaitu perencanaan pendidikan, pengorganisasian pendidikan, penggiatan pendidikan, dan pengendalian atau pengawasan pendidikan. Secara umum terdapat sepuluh komponen utama pendidikan, yaitu: peserta didik, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, paket instrusi pendidikan, metode pengajaran (dalam proses belajar mengajar), kurikulum pendidikan, alat instruksi & alat penolong instruksi, fasilitas pendidikan, anggaran pendidikan, dan evaluasi pendidikan.
Perencanaan pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan semua komponen pendidikan, agar dapat terlaksana proses belajar mengajar yang baik dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengorganisasian pendidikan ditujukan untuk menghimpun semua potensi komponen pendidikan dalam suatu organisasi yang sinergis untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Penggiatan pendidikan merupakan pelaksanaan dari penyelenggaraan pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh organisasi penyelenggara pendidikan dengan memparhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam perencanaan.
Sedangkan pengendalian pendidikan dimaksudkan untuk menjaga agar penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai yang direncanakan dan semua komponen pendidikan digerakkan secara sinergis dalam proses yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Semua hal pokok tersebut ditujukan untuk menghasilkan keluaran secara optimal seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan pendidikan.
Oleh karena itu, manajemen pendidikan dalam perkembangannya memerlukan apa yang dikenal dengan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Tetapi pada prakteknya, Good management practice dalam pendidikan masih merupakan suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa manajemen pendidikan bukanlah suatu hal yang penting, karena kesalahan persepsi yang menganggap bahwa domain manajemen adalah bisnis. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan keberhasilan Good Management Practice dalam pendidikan, beberapa hal tersebut teringkas dalam item-item sebagai berikut :
a. Sasaran Pendidikan: Aspek afektif
Salah satu isu utama keberhasilan pendidikan adalah sejauh mana tingkat afektifitas yang dimiliki oleh anak didik. Apakah anak didik akan menjadi lebih saleh, lebih berbudi pekerti, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Hal itulah yang seharusnya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh pendidikan. Fenomena yang ada berupa maraknya tawuran, konsumsi narkoba dan jual beli ujian di sekolah membuktikan bahwa sasaran afektif masih terabaikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Baik dalam pendidikan yang berbasis agama maupun tidak. Perilaku dan sikap anak di berbagai lembaga pendidikan berbasis agama tidaklah berbeda signifikan dengan mereka yang bersekolah di sekolah non agama. Padahal aspek afektifitas inilah yang seharusnya menjadi nilai jual lebih lembaga pendidikan berbasis agama dibandingkan lembaga pendidikan berbasis non agama. Fenomena tersebut muncul karena sekolah hanya menanamkan nilai-nilai skolastik secara teoritis saja, tanpa disertai dengan praktek langsung terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini sasaran afektif yang ingin dicapai tidak dijabarkan secara nyata dalam kehidupan para anak didik. Sehingga Banyak institusi pendidikan berbasis agama berhasil menempatkan anak didiknya dalam posisi terhomat dari segi skolastik, namun, di balik sukses ini justru terjadi kegagalan besar dalam membentuk anak sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai kepedulian besar terhadap orang lain, masyarakat sekitar dan isu-isu sosial yang berkembang dalam masyarakat.
b. Manajemen Guru
Guru sebagai salah satu sumber daya terpenting pendidikan, sampai saat ini masih merupakan sumber daya yang undermanaged atau bahkan mismanaged. Pimpinan pendidikan pada umumnya masih melihat guru sebagai faktor produksi saja. Padahal manajemen guru, adalah suatu hal yang bisa dikatakan sangat penting untuk keberhasilan suatu pendidikan. Manajemen guru harus diatur mulai dari proses seleksi dan rekrutmen guru, proses pengembangan kemampuan guru sebagai tenaga pengajar sampai pada proses motivasi guru agar dapat mempunyai komitmen tinggi. Parahnya guru diperlakukan dapat kita ketahui di berbagai media masa. Mulai dari gaji yang tidak cukup untuk hidup layak sampai tidak adanya jaminan kesehatan apalagi jaminan hari tua. Tidak sedikit guru yang kemudian bekerja sambilan sebagai tukang ojek. Tidaklah juga mengherankan kalau ada di antara mereka yang melakukan tindakan tidak terpuji seperti menjual soal ujian dan sebagainya. Pihak penyelenggara pendidikan lebih mementingkan surplus sekolah ketimbang meningkatkan kesejahteraan guru. Padahal pendidikan dan keberhasilan pendidikan mencapai sasaran amat ditentukan oleh guru.
c. Peningkatan Pengawasan
Dalam manajemen pendidikan, fungsi pengawasan sepertinya menempati posisi terlemah. Hal ini bisa kita lihat pada misalnya hampir tidak adanya upaya untuk menganalisis mengapa NEM terus merosot dari tahun ke tahun atau mengapa jumlah siswa merosot padahal biaya pendidikan sudah relatif murah. Selama ini, kegiatan pengawasan hanya difokuskan kepada presensi guru dan murid. Walaupun hal itu penting, namun lebih banyak aspek pendidikan yang berkaitan dengan pencapaian sasaran yang masih luput dari pengawasan.
d. Manajer Pendidikan
Keberhasilan manajemen pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran serta manajer/pengelola pendidikan. Selama ini yang kita lihat adalah peranan ganda yang dijalankan oleh komponen pendidikan. Guru merangkap sebagai karyawan, dan bahkan guru menempati posisi sebagai kepala institusi pendidikan itu sendiri. Efisiensi biaya sering dijadikan alasan penerapan sistem tersebut. Padahal urusan manajemen sangat berbeda dengan urusan belajar-mengajar. Seharusnya manajer pendidikan dipegang oleh orang yang benar-benar ahli dalam manajemen dan tidak berperan sebagai guru pengajar. Hal ini selain karena faktor professionalisme juga agar masing-masing komponen lebih fokus pada bidang yang mereka garap.
Fenomena yang terjadi selama ini adalah promosi seorang guru yang baik menjadi manajer pendidikan tanpa melewati persiapan memadai seperti penyelenggaraan pelatihan dan penyiapan manajer sekolah. Tidaklah heran, banyak guru baik yang lalu menjadi manajer pendidikan yang gagal, karena ia menempati tingkatan inkompetensinya dalam bidang manajerial. Hal ini dibiarkan berlarut-larut, tanpa adanya tindakan dari institusi pendidikan untuk secara serius mencari dan memposisikan seorang manajer sebagai manajer pendidikan di institusi tersebut.
Kerberhasilan penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh tersedianya manajer pendidikan yang handal. Isu ini menjadi lebih relevan mengingat persaingan dalam setiap jenjang dunia pendidikan kita makin intens. Tanpa manajemen dan manajer handal, akan banyak lembaga pendidikan yang gulung tikar karena tidak berhasil memuaskan para stakeholders.
e. Partisipasi Manajer Bisnis
Dalam membenahi manajemen pendidikan, tidak ada salahnya bagi penyelenggara pendidikan untuk memanfaatkan keterampilan menajerial para manajer bisnis. Fakta di manca negara membuktikan keefektifan pendekatan ini. Karena fungsi manajemen bersifat universal dan keterampilan manajemen dapat ditransfer dari satu bidang ke bidang lain, maka jalan pintas yang dapat diambil yaitu, sambil menyiapkan manajer pendidikan, memanfaatkan tenaga manajer bisnis yang tersedia untuk mengelola pendidikan.
Kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman berbagai sekolah bisnis di Amerika Serikat yang merekrut para manajer bisnis yang ternyata berhasil meningkatkan kinerja sekolah bisnis tersebut. Hal ini selayaknya diuji cobakan pada institusi-institusi pendidikan di tanah air, untuk mencapai kemajuan manajemen pendidikan.
f. Aliansi Antarsekolah
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk memajukan institusi pendidikan adalah melakukan aliansi antar institusi pendidikan. Melalui koordinasi asosiasi lembaga pendidikan (seperti MDPK/MPPK), suatu lembaga pendidikan dapat belajar dari good management practice lembaga pendidikan lain. Begitu juga melalui proses benchmarking, suatu lembaga dapat belajar dari pengalaman lembaga lain.
g. Kebijakan Pemerintah
Selain faktor-faktor internal lembaga pendidikan, faktor eksternal berupa keterlibatan pemerintah dalam pendidikan juga sedikit banyak mempengaruhi manajemen pendidikan di negara tersebut. Misalnya pada manajemen pendidikan sentralistis. Penerapan manajemen pendidikan sentralistis sebagai kebijakan pemerintah ternyata menjadikan proses demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan terutama di daerah, menjadi kurang terdorong dan nilainilai lokal tempat institusi pendidikan kurang terakomodasi dalam pelaksanaan pendidikan.
Isu-isu diatas menjadi PR bagi institusi pendidikan untuk menjadikan pendidikan yang memiliki mutu dan kualitas tinggi. Hal ini memerlukan keterlibatan semua pihak untuk mewujudkannya. Semua stakeholders pendidikan mencakup orang tua, masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah nasional harus turut serta dalam penyelenggaraan aspek-aspek manajemen.
Selain itu perubahan sikap dan tingkah laku semua stakeholder yang semestinya sesuai dengan tuntutan manajemen modern, juga merupakan salah satu tantangan yag harus dihadapi. Karena hal ini memerlukan upaya penyadaran dan sosialisasi terhadap semua stakeholder untuk menerima hal yang baru. Dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana memasukkan nilai-nilai lokal kedalam manajemen pendidikan sehingga nantinya pendidikan akan menghasilkan keluaran yang berkomitmen untuk membangun daerahnya bukan keluaran yang malah pergi meninggalkan daerahnya hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya pribadi.


Membahas tentang filsafat manajemen pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia
Dalam abad ke 18 dengan bermunculannya negara-negara maju dibelahan dunia, muncul cabang ilmu pengetahuan baru yakni manajemen, yang semula masih segan diakui sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang baru. Ilmu kemasyarakatan (sosiologi) harus memperjuangkan kedudukannya untuk menjadi ilmu pengetahuan disamping ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Demikian pula halnya ilmu ”manajemen” yang menjadi bahan perbincangan kita sekarang. Barulah pada masa Taylor dan Fuyol, seiring dengan tumbuhnya negara-negara industri ilmu manajemen itu mulai dianggap sebagai ilmu. Kelahiran ilmu manajemen kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan yang kemudian disintesiskan menjadi menajemen pendidikan.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu ilmu pengetahuan (manajemen pendidikan), paling sedikit ada 3 hal yang pertanyakan (1) apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat gejala/objek itu (landasan aksiologis).
B. DASAR ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI MANAJEMEN PENDIDIKAN
1. Ontologi Manajemen Pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari manajemen pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan manajemen pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris baik yang berupa tingkat kualitas maupun kuantitas hasil yang dicapai. Objek materi manjemen pendidikan pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi Pemantauan penilaian, dan pelaporan).
a. Konsep Manajemen Pendidikan
Menurut Husaini (2006:7) pengertian manajemen pendidikan adalah seni atau ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaa, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sumber daya pendidikan adalah sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi enam hal; (1) administrasi peserta didik; (2) administrasi tenaga pendidik; (3) administrasi keuangan; (4) administrasi sarana dan prasarana; (5) admistrasi hubungan sekolah dengan masyarakat; dan (6) administrasi layanan khusus.
b. Tujuan Dan Manfaat Manajemen Pendidikan
Sesuai dengan tujuannya, maka manfaat manajemen pendidikan; Pertama, terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang Aktif, Inovative, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM); Kedua, terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara; Ketiga, terpenuhinya salah satu dari 4 kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan (tertunjangnya kompetensi profesional sebagai pendidik dan tenaga kependidikan sebagai manajer); Keempat, tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien; Kelima, terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan (tertunjangnya profesi sebagai manajer pendidikan atau konsultan manajemen pendidikan); Keenam, teratasinya masalah mutu pendidikan.(Husaini, 2006:8)
c. Temuan masalah
Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu : (1) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak consisten; (2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara birokratik-sentralistik; (3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim (Husaini Usman, 2002).
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas – batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement) (Umaedi: 1999).
Dari uraian teori dan temuan tersebut tentu saja kita harus mendapatkat titik penyelesaian secara teoritis dengan mengadakan pendekatan teori pula dengan berlandaskan pada filsafat. Karena Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh. Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler dalam Umaedi, 1999).
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari manajemen pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan manajemen pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris baik yang berupa tingkat kualitas maupun kuantitas hasil yang dicapai. Objek materi manjemen pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengkomunikasian dan pengawasan.
2. Epistemologis Manajemen Pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu manajemen pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi: 1999)
Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing – masing.
e. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
f. Memotivasi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
g. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan
Peran esensial pemimpin mempunyai peran strategis dalam upaya perbaikan kualitas. Setiap anggota organisasi harus memberikan konstribusi penting dalam upaya tersebut. Namun, setiap upaya perbaikan yang tidak didukung secara aktif oleh pimpinan, komitment, kreatifitas, maka lama-kelamaan akan hilang
3. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan
Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula untuk menjembatani persoalan yang sedang berlangsung maupun yang akan terjadi.
Implikasinya pada penyelesaian temuan diatas ialah aplikasi teoritis untuk menjabarkan fenomena sekaligus peneyelesaian secara konperhensif. Terkait dengan masalah kualitas (mutu) tersebut maka penyusunan program peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school review, b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality control. Berdasarkan Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan sebagai berikut :
a. School review
Suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut :
1) Apakah yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua siswa dan siswa sendiri ?
2) Bagaimana prestasi siswa ?
3) Faktor apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu?
4) Apakah faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
School review akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan program tahun mendatang.
b. Benchmarking
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga.
Tiga pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah :
1) Seberapa baik kondisi kita?
2) Harus menjadi seberapa baik?
3) Bagaimana cara untuk mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah :
a) Tentukan fokus
b) Tentukan aspek/variabel atau indikator
c) Tentukan standar
d) Tentukan gap (kesenjangan) yang terjadi.
e) Bandingkan standar dengan kita
f) Rencanakan target untuk mencapai standar
g) Rumuskan cara-cara program untuk mencapai target
c. Quality assurance
Suatu teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Teknik menekankan pada monitoring yang berkesinambungan, dan melembaga, menjadi subsistem sekolah. Quality assurance akan menghasilkan informasi, yang :
1) Merupakan umpan balik bagi sekolah
2) Memberikan jaminan bagi orang tua siswa bahwa sekolah senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi siswa.
Untuk melaksanakan quality assurance menurut Bahrul Hayat dalam hand out pelatihan Calon kepala sekolah (2000:6), maka sekolah harus :
a) Menekankan pada kualitas hasil belajar
b) Hasil kerja siswa dimonitor secara terus menerus
c) Informasi dan data dari sekolah dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki proses di sekolah.
d) Semua pihak mulai kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan juga orang tua siswa harus memiliki komitmen untuk secara bersama mengevaluasi kondisi sekolah yang kritis dan berupaya untuk memperbaiki.
d. Quality control
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan pasti, sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.
A. PARADIGMA PENDIDIKAN
Istilah paradigma menjadi salah satu cirri khas haluan pemikiran postmodern, terutama bagi ilmuwan Amerika yang bernama Yhomas S Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions (1962), menurutnya seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma (cara memandang sesuatu, model, pola, ideal) tertentu, yang memungkinkan sang ilmuwan untuk memecahkan kesulitan yang muincul dalam rangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tak dapat dimasukan dalam kerangka ilmunya, dan menuntut revolusi paradigmatic terhadap ilmuwan tersebut.
Dalam kaitanya dengan dunia pendidikan, pemahaman terhadap paradigma pendidikan merupakan condition sine qua non bagi segenap praktisi dan penyelenggara pendidikan, yang secara signifikan mendasar dalam mereflesikan secara kritis : apa pada dasarnya hakikat pendidikan dan mendidik itu, serta apa hakikat proses pemelajaran itu?, paradigma apa pula yang mengubah cara pandang kita terhadap peserta didik dalam proses pemelajaran, yang sebelumnya hanya dipandang sebagai obyek penderira, tetapi kini justru mereka adalah subyek pemelajaran itu sendiri (student centered). Semua itu terpulang pada paradigma pendidikan yang dijadikan acuannya.
Secara sederhana pemetaan terhadap aliran paradigma pendidikan yang dikenal selama ini dapat mengacu pada pendapat Henry Giroux dan Aronowitz (1985), yang dibedakan atas tiga pilihan yaitu : 1). paradigma konservatif, 2) paradigma liberal dan 3) paradigma kritis. Sementara menurut F William F O’neil mengemukakan ada enam paradigma pendidikan yaitu : 1) Fundamentalisme, 2) Intelektualisme, 3) Konservatisme, 4) Liberalisme, 5) Liberasionisme dan 6)Anarkisme (O’neil, 2002:498).
1. Pradigma Konservatif
Paradigma konservatif memiliki pandangan bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari, serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan social bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya membuat manusia lebih sengsara saja. Kaum konservatif cenderung lebih menyalahkan subyeknya. Bagi Kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri.
Aliran pemikiran yang juga termasuk dalam paradigma ini adalah fundamentalisme (pendidikan yang berdasarkan pada system social dan orientasi cara lama secara tertutup), dan intelektualisme ( pendidikan yang menekankan stabilitas filosofis sebagai prioritas yang lebih tinggi dibandingkan kebutuhan akan perubahan, dan berdasarkan system ideologis tertutup yang berisi kemutlakan filosofis, kebenaran intelek sebagai yang tertinggi). Sejauh ini, paradigma pendidikan konservatif masih menjadi ciri khas pada sebagian dunia pendidikan .


2. Paradigma Liberal
Paradigma liberal berpandangan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi pendidikan tidak ada kaitanya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan pandangan seperti itu,tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Namun kaum liberal selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar pendidikan, memecahkan masalah pendidikan dengan cara kosmetik (seperti membangun fasilitas baru,modernisasi peralatan canggih dsb).
Implikasi liberalisme dalam pendidikan dapat dilihat dari komponen-komponennya yakni: Komponen pengaruh filsafat barat tentang model manusia universal (seperti manusia Amerika dan Eropa), model tipe ideal mereka adalah manusia “rasionalis liberal” yakni : a) semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, b) tatanan alam maupun norma social dapat di tangkap oleh akal dan c) individualis, bahwa manusia adalah otomistik dan otonom.
Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya bersifat positivistic, karena bertolak dari positivisme yakni suatu paradigma ilmu social yang dipinjam dari pandangan dan metode ilmu alam dalam memahami realitas. Aliran pemikiran yang juga tercakup dalam paradigma ini adalah Liberasionisme (seldhood, yang berpandangan bahwa puncak pendidikan berupa penanaman pembangunan kembali masyarakat yang mengikuti alur yang benar-benar berkemanusiaan atau humanistic, yang menekankan sepenuh-penuhnya dari potensi-potensi khas setiap orang sebagai makhluk manusia), dan anarkisme (pemusnahan segala belenggu atas manusia yang berpandangan bahwa pendidikan sebagai sebuah proses yang harus ada untuk belajar melalui pengalaman social alamiah manusia sendiri, berbeda dengan persekolahan yang merupakan kaki tangan negara otoriter).
3. Paradigma Kritis
Paradigma kritis yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik (yang menyangkut kesadaran hak-hak politis warga). Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan itu berada. kelas sosial dan gender dalam masyarakat juga tercermin dalam dunia pendidikan, sehingga hal ini sangat bertolak belakang dengan paham liberal yang beranggapan pendidikan terlepas dari persoalan kelas dan gender.
Dalam kerangka dasar paradigma kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap ”the dominant ideology” kearah transformasi social. Tugas utama pendidikan hádala menciptakan ruang agar sikap kritis (dan skeptis) terhadap system dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju system social yang lebih adil. Paham pemikiran paradigma kritis ini rupanya sejalan dengan penggolongan tingkat kesadaran manusia yang dikemukakan Paulo Freire (1970), yakni kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagi penganut paradigma ini, hakikat pendidikan pada dasarnya adalah untuk memanusiakan manusia (terlebih lagi karena kegagalan proyek modernisme yang telah menyeret manusia pada kenyataan dehumanisasi). Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Paradigma kritis telah membawa implikasi mendasar dalam mengubah sudut pandang terhadap proses pemelajaran, yaitu dari paham Paedagogy (seni mendidik anak) manjadi Andragogy (senik mendidik orang dewasa). Kontardiksi ini bukan semata-mata karena obyek didik, melainkan sebuah pahan yang terkait dengan filosofis dan epistemologis. Perubahan sudut pandang ini secar signifikan dan rasional telah mengubah metode PBM dari teacher centered learning (TCL) menjadi student centered learning(SCL). Dalam kerangka pikir ini, peserta didik bukan lagi sebagai obyek penderira pendidikan, akan tetapi justru menjadi subyek utama dari system pendidikan. Dengan demikian, sasaran pendidikan bukan lagi secara apriori untuk menghasilkan lulusan siap pakai, tetapi secara hakiki pendidikan merupakan the process of becoming.
C. ANALISIS FILSAFATI MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS PARADIGMA KONSERVATIF, LIBERAL DAN KRITIS
Sebagaimana yang disampaikan Paula Allman (1999), proses pendidikan tidaklah dimaknai sebagai proses memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, tapi lebih sebagai proses untuk memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk mengubah realitas. Namun apakah para pendidik menerapkan hal tersebut? Lalu, apakah paradigma pendidikan yang, sadar atau tidak sadar, digunakan oleh para pendidik kita saat ini? Apakah paradigma konservatif, paradigma liberal, atau paradigma pendidikan kritis? Dan pendekatan pendidikan seperti apa yang mereka gunakan? Apakah pendekatan pedagogi ataukah andragogi?
Menurut Giroux dan Aronowitz (1985), paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa bahwa masyarakat, dalam hal ini peserta didik, pada dasarnya tidak merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Dengan pandangan seperti itu, para pendidik yang menggunakan paradigma konservatif menganggap peserta didik tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk melakukan perubahan atas kondisi mereka. Para pendidik ini sangat melihat pentingnya harmoni dan menghindari konflik dan kontradiksi. Hampir senada dengan paradigma konservatif, para pendidik yang menggunakan paradigma liberal menganggap bahwa pendidikan adalah sesuatu yang apolitis dan menganggap bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Pendidikan justru dijadikan alat untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi dengan baik untuk menjaga kestabilan sistem yang ada. Pengaruh positivisme sangat besar dalam paradigma liberal ini, di mana paham ini mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai-nilai dalam rangka menuju pemahaman yang objektif terhadap realtias sosial yang terjadi. Pendidikan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran para pendidik Indonesia. Hal ini terlihat dari pendidikan yang lebih mengutamakan prestasi melalui persaingan antar peserta didik. Namun adakah pendidik yang menggunakan paradigma pendidikan kritis dalam proses pendidikannya? Suatu paradigma yang menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. Hal ini berbeda dengan paradigma konservatif yang bertujuan untuk menjaga status quo dan paradigma liberal yang menginginkan perubahan moderat. Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap “the dominant ideology” ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan sruktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain, sebagaimana yang disampaikan Driyarkara (1980), tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Lalu bagaimana implikasi dari paradigma pendidikan tersebut pada pendekatan pendidikan yang digunakan oleh para pendidik? Knowles (1970) mengungkapkan bahwa pendekatan pendidikan pada dasarnya diklasifikasikan ke dalam dua bentuk pendekatan yang saling kontradiktif, yakni antara pedagogi dan andragogi. Pedagogi sebagai “seni mendidik anak” mendapat pengertian lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang “menempatkan objek pendidikannya sebagai “anak-anak”, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk “dewasa”. Konsekuensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai “murid” yang pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek suatu proses belajar seperti misalnya: guru menggurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan terseut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi, dan seterusnya. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran. Sebaliknya, andragogi atau pendekatan pendidikan “orang dewasa” merupakan pendekatan yang menempatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan “murid” sebagai adalah subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan menggurui. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat “multicommunication” dan seterusnya. Sebagai pendekatan, andragogi dan pedagogi sering digunakan dalam ketiga paradigma konservatif, liberal, dan kritis tersebut. Banyak sekali dijumpai proses pendidikan yang konservatif atau liberal, tetapi dilakukan dengan cara pendekatan andragogi. Perkawinan antara andragogi dan paradigma konservatif atau liberal sesungguhnya adalah menghubungkan dua hal yang kontradiktif. Pendidikan kritis mensyaratkan penggunaan andragogi sebagai pendekatan ketimbang pedagogi. Secara prinsipil meletakkan “anak didik” sebagai “objek” pendidikan adalah problem dehumanisasi. Sebaliknya pendidikan liberal yang bersifat I (blaming the victim) meskipun digunakan pedekatan andragogi, namun yang terjadi pada dasarnya adalah menjadikan pendidikan sebagai proses “menjinakkan” untuk menyesuaikan ke dalam sistem dan struktur yang sudah mapan. “Penjinakan” sendiri sebenarnya bukan karakter dari andragogi. Sebaliknya, banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis namun dilakukan dengan cara pedagogi ataupun indoktrinasi. Meskipun materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan persoalan mendasar tentang sistem dan struktur masyarakat, namun dalam proses pendidikannya lebih “banking concept of education” bersifat indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri adalah anti-pendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga bertentangan dengan hakekat pendidikan kritis. Sehingga dengan demikian pendidikan kritis yang dilakukan secara pedagogi pada dasarnya adalah kontradikif dan anti-pendidikan. Jadi, apa yang dapat kita lakukan untuk memanusiakan kembali manusia setengah dewa agar dapat memanusiakan kita sebagai peserta didik? Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural ) sebagai penyebab dan ketakberdyaan. Dalam dunia pendidikan jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai pendidika fatalistik. Proses pendidikan lebih merupakan proses menirukan, dimana murid mengikuti secara buta perkataan dan pandangan guru. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, Kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan satu masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘ kebenaran ‘ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Paradigma tradisional yang menggunakan paham pendidikan dan sekolah konservatif di kategorikan dalam kesadaran magis ini.
Kesadaran kedua adalah kesadaran naïf. Keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas need for achievement dianggap sebagai suatu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena salah masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswsataan, atau tidak memiliki budaya membangun, dan seterusnya. Oleh karena itu “man power development” adalah suatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor given; oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas sekolah adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigama umat modernis yang menggunakan paham pendidikan liberal dapat dikatagorikan kedalam kesadaran naïf.
Kesadaan ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaim the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan system sosial , politik, ekonomi dan budaya, dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi “ketidakadilan” dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Paradigma umat Islam transformatif yang menggunakn model pendidikan kritis dapat dikatagorikan kedalam kesadaran kritis. Dalam pemetaan diatas, sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih jauh untuk dikatagorikan pendidikan kritis. Dapat pula dikatakan, dalam tarap tertentu pendidikan kita justru terjebak dalam paradigma konservatif, meskipun kalau dilihat secara umum pendidikan nasional termasuk dalam mainstream liberal. Hal ini ditandai dengan adanya privatisasi pendidikan, model subjek-objek (walau secara de yure saat ini menggunakan model KTSP), serta orientasinya yang kental dengan idiologi kapitalisme.

Ketika kita membincangkan masalah hakekat pendidikan berarti kita membicarakan aspek ontologis dari pendidikan itu sendiri. Mempermasalahkan tentang apa itu sebenarnya pendidikan. Pendidikan merupakan instrumen (alat) bagi manusia yang mengajarkan tentang bagaimana berperilaku, bertindak, berkomunikasi, berfikir dalam menghadapi problematika kehidupan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan media untuk “memanusiakan manusia”. Manusia adalah mahluk berfikir, dimana karakteristik ini membedakan dirinya dengan mahluk yang lain. Melalui pendidikan, diharapkan partisipan didik mampu berperan aktif dalam mencerap segala pengetahuan sehingga dia mampu mengenal dirinya dan lingkungannya.
Pada tahap awal perkembangan manusia, proses pendidikan berlangsung sangat sederhana. Transformasi pengetahuan dan tingkah laku langsung didapat anak-anak dari orang tua mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh manusia, pendidikan tidak lagi menjadi monopoli para orang tua. Mulai terdapat orang lain yang secara khusus meluangkan waktunya dengan diberi imbalan tertentu. Inilah yang menjadi permulaan dari institusionalisasi pendidikan bernama sekolah. Kata sekolah sendiri berasal dari bahasa latin scolae yang berarti waktu senggang. Namun, keberadaan sekolah (termasuk juga universitas) sekarang ini tak lebih dari rumah-makan cepat saji semacam McDonalds, yang hanya mengutamakan citra dan poduktivitas untuk memenuhi target kelulusan belaka. Dengan pola pendidikan yang demikian alih-alih produk yang dihasilkan menjadi kritis dan berkualitas. Bisa-bisa terjadi pembodohan secara sistematis. Kondisi yang seperti ini klop dengan bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang sekarang ini sedang marak digagas di beberapa perguruan tinggi negeri. BHMN mengandaikan adanya kemandirian dari tiap PTN dalam hal akademik maupun keuangan. Kemandirian lantas diartikan sebagai legitimasi untuk meraup sebanyak-banyaknya pemasukan bagi BHMN, dimana jika tidak dimbangi dengan sumber daya yang mumpuni dalam PTN tersebut maka akan mengarah pada sikap yang pragmatis (mengejar keuntungan semata). Untuk meghindari pragmatisme dalam dunia pendidikan, maka semua harus dikembalikan pada hakekat pendidikan, sehingga paradigma yang dipakai pun juga sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (pragmatis) dalam Managemen pendidikan mempunyai peran penting dalam :
1. Menentukan nilai-nilai filosofis dalam pengembangan manajemen pendidikan.
2. Dasar ontologi manajemen pendidikan adalah objek materi manjemen pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi Pemantauan,penilaian, dan pelaporan.
3. Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
4. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan adalah Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi agar supaya upaya dan usaha yang menjadi program dalam manajemen pendidikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar